HADIS AHAD
{} خبر الواحد
A. Pendahuluan.
Kita telah melihat bahwa meskipun para imam Mazhab besar semuanya
sepakat mengenai pentingnya empat prinsip dasar hukum Islam (al-Quran, Sunnah,
ijma’ dan Qiyas), perbedaan-perbedaan tertentu masih terjadi dan tetap dalam
ketentuan-ketentuan hukum mazhab-mazhab mereka. Perbedaan-perbedaan tersebut
muncul kerena alasan yang beragam, dan alasan utama terkait dengan aspek-aspek
interpretasi makna kata, susunan gramatikal. riwayat hadis yang meliputi keberadaan,
kesahihan, syarat-syarat penerimaannya dan interpretasi atas teks-teks hadis yang
berbeda sumber periwayatannya.
Berdasarkan deskipsi di atas, penulis ingin membahas serta mengkaji secara
global klasifikasi hadis, defenisi dan jenis-jenis hadis ahad dan keterkaitannya, serta
melihat bagaimana pendapat para Imam Mazhab dalam menyingkap qiyas dan
relevansinya terhadap hadis ahad dan keberadaan masing-masing.
1
Para Ulama yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada dua katagori, yaitu:
Mutawatir dan Ahad, mereka memasukkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad. Lihat
Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits (Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim, 1399 H/1979 M),
h. 18.
2
M. ‘Ajjaj al- Khathib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), h. 30.
2
Kata ahad berarti “satu”. Khabar al-Wāhid adalah kabar yang diriwayatkan
oleh satu orang.3 Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :
^.هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau
lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad
adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis
Mutawatir ataupun Hadis Masyhur. Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi
pedoman penulis adalh defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis, yang
mengelompokkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad.
Adapun jenis-jenis Hadis Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu: Masyhur,
‘Aziz dan Gharib.
1. Hadis Masyhur.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-
zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu
Hadis adalah:
3
Al-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits. h. 19.
3
4
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 210.
4
.ٍانّ رسول اﷲ صلى اﷲ عليه وسلم قنت بعد الركوع يدعو على رعلٍ وذكوان
{ }رواه البخا رى و مسلم
Bahwasanya Rasulullah SAW berkunut selama satu buan setelah ruku’
mendo’akan hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan. (HR
Bukhari dan Muslim).
(2). Hadis Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadis:
2. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu
yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata
’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.5
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
ما رواه البخاري عن ابي هريرة رضي هللا عنه انّ رسول هللا ص^^لى هللا علي^^ه
. حب اليه من والده ولده
ّ ال يؤمن أحدكم حتى أكون أ:وسلم قال
“Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Hadis Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang kamu sehingga aku
lebih dicintainya dari orang tuanya dan anaknya”.
5
Al- Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits, h. 25.
6
Hadis tersebut di atas diriwayatkan dari Abu Hurairah dan juga Anas, dan dari
Anas oleh Qatadah dan ’Abd al-Aziz ibn Shuhaib, dan diriwayatkan dari Qatadah
oleh Syu’bah dan Sa’id, dan diriwayatkan dari ’Abd al- ’Aziz oleh Isma’il ibn
’Aliyah dan ’Abu al- Waris. Dan diriwayatkan dari masing-masingnya oleh
sekelpmpok (banyak) perawi.
3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al-
munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari
kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
6
Ibid, h. 26
7
Asal sanad adalah bagian (tingkatan) sanad yang padanya adalah sahabat. Apabila
menyendiri seorang sahabat dalam meriwayatkan suatu hadis, maka hadis tersebut dinamai Gharib
Muthlaq. Lihat Ibid, h. 28.
7
C. Pendapat para imam Mazhab tentang beramal dengan Khabar wahid dan
Qiyas menurut Kitab ‘Asar al- Ikhtilaf fi al- Qawa’id al-‘Ushulliyah.
Perbedaan Khabar Wahid dan Qiyas kerap terjadi pada beberapa segi, apabila
hal tersebut terjadi, maka timbul pertanyaan, apakah didahulukan Khabar atau Qiyas
atau sebaliknya.?
Para Ahli Ushul memandang beberapa perbedaan antara kedua istilah itu dari
sudut pandang mereka masing-masing dalam masalah yang bersifat furu’, baik itu
sebelum perbedaan itu timbul, dan juga dapat dilihat dari sudut susunannya.
Semestinya kita harus mengetahui topik atau sasaran dari sudut perbedaan tersebut.
8
memenuhi ciri-ciri tersebut, di mana kesemua itu dengan syarat ’adil dan
dhabit. Syeikh Abu Hasan al-Kharakhie dari Mazhab Hanafi mendukung
mazhab ini. Adapun alasan mereka, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika
mengutus Mu’adz, maka Rasulullah berkata “ Wahai Mu’adz dengan apa
engkau memutuskan suatu perkara, maka Mu’adz menjawab : dengan al-
Qur’an lantas kemudian beliau bertanya, jika tidak dijumpai dalam al-Qur’an,
maka Mu’adz menjawab dengan Hadis Rasulullah SAW, seandainya tidak ada
dalam Hadis, maka ia menjawab: saya berijtihad dengan pendapatku sungguh
selanjutnya beramal dengan Qiyas yang sesuai dengan Sunnah baik itu
mutawatir ataupun Ahad. Kemudian Rasulullah membenarkan hal demikian.
2. Menurut pendapat Isya bin Aban, bahwa seorang perawi harus dhabit dan
’alim dan tidak cacat, maka wajib mendahulukan qiyas dan ini memerlukan
ijtihad. Sedangkan menurut perkataan para Ulama Hanafiyah bahwa tidak
wajib beramal dengan Hadis Ahad apabila terdapat perbedaan pendapat
dengan Qiyas, jka perawinya tidak faqih. Al-Badzdhawi dalam ushulnya
berkata: Adapun periwayatan suatu Hadis, seorang perawi harus terkenal
dengan keadilan serta kedhabitannya, seperti Abi Hurairah, Anas bin Malik,
jika bersepakat untuk Qiyas, maka kita wajib beramal dengannya. Para
Sahabat mereka mendahulukan Qiyas daripada Hadis Ahad, Ibnu Abbas
tatkala mendengar perkataan dari Abi Hurairah pada masalah wudhu’, beliau
tidak menolaknya dan tidak beramal dengannnya. Dan ia berkata jikalau
berwudhu’ dengan air yang terdapat di suatu piring, maka itu termasuk
wudhu’ di antaranya.
3. Imam Malik berpendapat bahwa ia mendahulukan Qiyas atas Hadis Ahad
secara muthlak. Inilah yang ditegaskan oleh beliau, kecuali orang yang
mengambil nash-nash yang bersifat qaht’i dan mereka mengatakan bahwa
pendapat tersebut menjadi batal karena terdapat kesalahan yang besar, dan
sesungguhnya menegaskan pendapat ini dengan mengatakan bahwa tidak
mengetahui pendapat tersebut secara detail.
10
Khabar Wahid dapat diterima pada hal-hal yang bersifat umum. Keberadaan
Hadis Ahad pada suatu keputusan terhadap apa yang umum dan kerap terjadi antar
manusia secara kebiasaan, maka timbul pertanyaan, apakah hal itu membutuhkan
kepada Hadis Ahad atau sebaliknya.
Jumhur Ulama di kalangan Ulama Ushul, seperti Asy- Syafi’i dan kebanyakan
para Ulama Hadis memandang bahwa diterimanya hdis tersebut jika keberadaan
sanad-nya shahih. Abu Hasan al-Kharakhie dari kalangan Hanafiyah dan kebanyakan
ulama Mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah menolak hadis tersebut dan tidak
beramal dengannya.
Orang-orang yang mengatakan bahwa beramal dengan Hadis Ahad tersebut
meliputi beberapa unsur, antara lain:
1. Harus mengetahui sebab sebab turunnya suatu hadis secara muthlak, baik dari
segi perbedaan dalam kontks umum atau tidak.
2. Menurut kesepakatan para sahabat beramal dengan Hadis Ahad selama dalam
pembahasan universal. Seperti; yang diriwayatkan oleh ibn ’Umar,
sesungghnya ia berkata: sebagaimana kami saling mengkhabarkan selama 40
tahun, dan kami beranggapan tidak mengapa bermasalah. Sehingga Rafi’ bin
Khadij telah meriwayatkan kepada kami, bahwa Nabi SAW melarang tentang
itu, maka kamipun berhenti. Di antara itu pula, para sahabat setelah terjadi
perbedaan pendapat antara mereka dalam hal wajib mandi, jika bertemu dua
kemaluan tanpa keluar mani. Mereka meruju’ kepada Hadis ’Aisyah r.a. :
Apabila bertemu dua kemaluan, maka ia wajib mandi baik dalam keadaan
keluar ataupun tidak, adapun dasarnya saya (’Aisyah) dan Rasulullah kami
mandi bersama.
3. Hal-hal yang rasional. Artinya keberadaan perawi dalam sebuah hadis harus
mempunyai kreteria ’adil dan shiqat. Hal ini mesti diriwayatkan terhadap apa
yang memungkinkan kebenaran tentang sasaran suatu hadis tersebut.
Kebiasaan demikian menunjukkan kepada kebenaran yang bersifat dhanni,
maka itu merupakan pembenaran yang muthlak; seperti berita yang
11
menyangkut hal-hal yang umum. Ini menunjukkan bahwa Qiyas itu diterima
di dalam Hadis Ahad, namun Qiyas lebih lemah dari Khabar Wahid. Mereka
menerima Khabar Wahid lebih utama dari Qiyas.
Eksistensi perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama banyak terkait
pada hal-hal yang bersifat furu’, khususnya pada bab figh, seperti : perkara wudhu’
dengan menyentuh kemaluan, persoalan al-Fatihah dibaca dengan jahar (terang) pada
waktu shalat yang mesti jahar, mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan
mengangkat diantaranya, keberadaan Rukyah Hilal di bulan Ramadhan dan
sebagainya.
Beramal terhadap perawi dengan perbedaan apa yang diriwayatkan
merupakan perbincangan dari segolongan orang yang mengatasnamakan “ingkar
rawi” baik sebelum diriwayatkan ataupun sesudah meriwayatkan suatu hadis. Adapun
jika beramal sebelum riyawat hadis, maka itu tidak ada perbedaan pendapat, tetapi
harus dapat menerangkan kerajuhan suatu hadis sesudah periwayatannya. Imam asy-
Syafi’I mendukung pendapat tersebut jika kehujjahan suatu hadis itu diidentikan dari
sahabat, baik melalui perkataannya maupun perbuatannya. Sedangkan menurut orang
yang tidak mendukung masalah ini beranggapan bahwa hal tersebut menjadi batal,
karena aspek meremehkan, melalaikan, kelupaan dan sebagainya. Jelasnya mereka
menolak diterima suatu riwayat tersebut. Adapun dampak yang ditimbulkan dari
perbedaan tersebut, seperti yang terdapat dalam hal furu’, di antaranya : mengangkat
kedua tangan ketika ruku’ dan mengangkat diantanya, nikah tanpa wali, keberadaan
para saksi dan sumpah dalam persoalan harta, radha’ah dan sebagainya.
D. Penutup
a. Kesimpulan.
1. Hadis Ahad adalah Hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang
terdapat pada Hadis Mutawatir ataupun Hadis Masyhur menurut ’Ajjaj al-
Khathib. Sedangkan Jumhur Ulama Hadis mengelompokkan Hadis Masyhur
kepada Hadis Ahad.
12
b. Saran-saran
kontribusi positif terhadap pengembangan makalah sangat penulis harapkan.
13
DAFTAR PUSTAKA
al- Khathib, ‘Ajjaj M. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M.
al- Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al- Hadits. Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim,
1399 H/1979 M.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997.
al- Khinn, Mustafa. Remume dari Kitab ‘Asar al- Ikhtilaf fi al- Qawa’id
al-‘Ushulliyah. Cet. 2 Beirut: Mu’assah al- Risalah, 1981.