Anda di halaman 1dari 13

1

HADIS AHAD
{‫} خبر الواحد‬

A. Pendahuluan.

Kita telah melihat bahwa meskipun para imam Mazhab besar semuanya
sepakat mengenai pentingnya empat prinsip dasar hukum Islam (al-Quran, Sunnah,
ijma’ dan Qiyas), perbedaan-perbedaan tertentu masih terjadi dan tetap dalam
ketentuan-ketentuan hukum mazhab-mazhab mereka. Perbedaan-perbedaan tersebut
muncul kerena alasan yang beragam, dan alasan utama terkait dengan aspek-aspek
interpretasi makna kata, susunan gramatikal. riwayat hadis yang meliputi keberadaan,
kesahihan, syarat-syarat penerimaannya dan interpretasi atas teks-teks hadis yang
berbeda sumber periwayatannya.
Berdasarkan deskipsi di atas, penulis ingin membahas serta mengkaji secara
global klasifikasi hadis, defenisi dan jenis-jenis hadis ahad dan keterkaitannya, serta
melihat bagaimana pendapat para Imam Mazhab dalam menyingkap qiyas dan
relevansinya terhadap hadis ahad dan keberadaan masing-masing.

B. Klasifikasi Hadis, Defenisi Serta jenis-jenisnya.


Klasifikasi hadis berdasarkan jumlah perawi, dapat dikelompokkan kepada
dua, yaitu: Hadis Mutawātir dan hadis ahad. 1 Sementara di antara Ulama Hadis, ada
yang membagi menjadi tiga, yaitu: Hadis Mutawatir, Hadis Masyhur dan hadis
Ahad.2 Pada sesen ini penulis khusus membicarakan tentang hadis ahad.

1
Para Ulama yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada dua katagori, yaitu:
Mutawatir dan Ahad, mereka memasukkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad. Lihat
Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits (Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim, 1399 H/1979 M),
h. 18.
2
M. ‘Ajjaj al- Khathib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), h. 30.
2

Kata ahad berarti “satu”. Khabar al-Wāhid adalah kabar yang diriwayatkan
oleh satu orang.3 Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :

.‫هو ما لم يجمع شروط المتواتر‬


“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.
’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada
tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:

^.‫هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر‬
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau
lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad
adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis
Mutawatir ataupun Hadis Masyhur. Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi
pedoman penulis adalh defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis, yang
mengelompokkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad.
Adapun jenis-jenis Hadis Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu: Masyhur,
‘Aziz dan Gharib.

1. Hadis Masyhur.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-
zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu
Hadis adalah:

.‫ما رواه ثال ثة – في كل طبقة – ما لم يبلغ حدّ التواتر‬


“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap
tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.

3
Al-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits. h. 19.
3

Menurut Ibnu Hajar, Hadis Masyhur adalah:

.‫المشهور ما له طرق محصورة باكثر من ا ثنين ولم يبلغ حدّ التواتر‬


“Masyhur adalah Hadis yang memiliki jalan yang terbatas, yaitu lebih dari dua
namun tidak sampai ke derajat Mutawatir”.
Di samping itu juga ada istilah lain yang sering disamakan dengan Masyhur,
yaitu al- Mustafidh. Dimana al-Mustafidh secara bahasa adalah isim fa’il dari
istifadha, berasal dari kata fadha, yang berarti “melimpah”. Para Ulama Hadis
berbeda pendapat delam memberikan defenisi al-Mustafidh kepada tiga, antara lain:
1. Sama pengertiannya (muradif) dengan Masyhur.
2. Lebih khusus pengertiannya dari masyhur, karena pada Mustafidh disyaratkan
kedua sisi sanadnya harus sama, sedangkan pada Masyhur tidak disyaratkan
demekian.
3. Lebih luas dari Masyhur, yaitu kebalikan dari pengertian nomor (2) di atas.
Hukum Hadis Masyhur tidak ada hubungannnya dengan shahih atau tidaknya
suatu hadis, karena di antara Hadis Masyhur terdapat hadis yang mempunyai status
Shahih, Hasan atau Dha’if dan bahkan ada yang Maudhu’. Akan tetapi, apabila suatu
hadis masyhur tersebut berstatus shahih, maka hadis masyhur tersebut hukumnya
lebih kuat daripada Hadis ‘Aziz dan Gharib.4
Selain Hadis Masyhur yang dikenal secara khusus di kalangan Ulama Hadis,
sebagaimana yang telah dikemukakan definisinya di atas dan disebut dengan al-
Masyhur al-Ishthilahi, juga terdapat Hadis Masyhur yang dikenal di kalangan ulama
lain selain ulama Hadis dan di kalangan umat secara umum. Hadis Masyhur dalam
bentuk yang terakhir ini disebut dengan al-Masyhur Ghair Ishthilahi yang mencakup
hadis-hadis yang sanad-nya terdiri dari satu orang perawi atau lebih pada setiap
tingkatannya, atau bahkan yang tidak mempunyai sanad sama sekali.

4
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 210.
4

Dengan demikian, Hadis Masyhur dapat dibedakan menjadi enam macam,


yaitu:
(1). Hadis Masyhur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang perawi atau lebih. Contohnya hadis yang berasal dari Anas r.a., dia
berkata:

.ٍ‫انّ رسول اﷲ صلى اﷲ عليه وسلم قنت بعد الركوع يدعو على رعلٍ وذكوان‬
{ ‫}رواه البخا رى و مسلم‬
Bahwasanya Rasulullah SAW berkunut selama satu buan setelah ruku’
mendo’akan hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan. (HR
Bukhari dan Muslim).
(2). Hadis Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadis:

{‫} رواه ابو داود وابن ما جه‬.‫أبغض الحال ل الى اﷲ الطال ق‬


“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. (HR Abu Daud dan Ibn
Majjah”.
(3). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Figh, contohnya:

{ ‫} رواه ابن ما جه‬.‫رفع عن أمتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه‬


“ Diangkatkan (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah(tidak disengaja),
lupa, dan perbuatan yang dilakukan kerena terpaksa.(HR Ibn Majjah).
(4). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis, Fugaha, Ulama Ushul Figh dan
kalangan awam, seperti:

. ‫ والمها جر من هجر ما حرّم اﷲ‬,‫المسلم من سلم المسلمون من لسا نه ويد ه‬


{ ‫}رواه البخا رى و مسلم‬
“ Muslim yang sebenarnya itu adalah orang yang selamat menyelamatkan
muslim-muslim lainnya dari akibat lidah dan tangannya, dan orang yang
berjihad itu adalh orang yang pindah(meninggalkan segala perbuatan yang
diharamkan Allah”. (HR Bukhari dan Muslim).
5

(5). Hadis Masyhur di kalangan ahli Nahwu, seperti:

.‫نعم العبد صهيب‬


“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib”
(6). Hadis Masyhur di kalangan awam, seperti:

{ ‫ } رواه الترمذي‬.‫العجلة من ا لشيطا ن‬


“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan. (HR Tirmidzi).

2. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu
yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata
’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.5
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:

. ‫أن ال يقبل رواته عن اثنين في جميع طبقا ت السند‬


“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya
tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh
lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu
tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk
membedakan dari Hadis Msyhur.
Contoh Hadis ’Aziz adalah:

‫ما رواه البخاري عن ابي هريرة رضي هللا عنه انّ رسول هللا ص^^لى هللا علي^^ه‬
. ‫حب اليه من والده ولده‬
ّ ‫ ال يؤمن أحدكم حتى أكون أ‬:‫وسلم قال‬
“Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Hadis Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang kamu sehingga aku
lebih dicintainya dari orang tuanya dan anaknya”.

5
Al- Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits, h. 25.
6

Hadis tersebut di atas diriwayatkan dari Abu Hurairah dan juga Anas, dan dari
Anas oleh Qatadah dan ’Abd al-Aziz ibn Shuhaib, dan diriwayatkan dari Qatadah
oleh Syu’bah dan Sa’id, dan diriwayatkan dari ’Abd al- ’Aziz oleh Isma’il ibn
’Aliyah dan ’Abu al- Waris. Dan diriwayatkan dari masing-masingnya oleh
sekelpmpok (banyak) perawi.

3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al-
munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari
kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:

.‫هو ما ينفرد بروايته راو واحد‬


“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan
oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan
sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis tersebut
dinamakan Hadis Gharib.
Menurut Ulama Hadis, Hadis Gharib terbagi dua, yaitu: Gharib Muthlaq dan
Gharib Nisbi.
a. Gharib Muthlaq, yaitu:

. ‫ما ينفرد بروايته شخص واحد في أصل سنده‬


“Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada ashal
sanad.”7

6
Ibid, h. 26
7
Asal sanad adalah bagian (tingkatan) sanad yang padanya adalah sahabat. Apabila
menyendiri seorang sahabat dalam meriwayatkan suatu hadis, maka hadis tersebut dinamai Gharib
Muthlaq. Lihat Ibid, h. 28.
7

Contoh Hadis Gharib Muthlaq, mengenai niat:

{ ‫} أخرجه الشيخا ن‬.‫إنما اﻷعمال بالنّيا ت‬


“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”.
Hadis niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ’Umar ibn al- Khattab sendiri di
tingkat sahabat.
b. Gharib Nisbi, adalah:

.‫هو ما كا نت الغرابه في أثنا ء سنده‬


“Hadis yang terjadi Gharib di pertengahan sanad-nya”.
Hadis Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang
perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya
terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ).
Contoh Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
ّ ‫ما رواه ما لك عن الزهري عن أنس رضى هللا عنه‬
‫أن الن^^بي ص^^لى هللا علي^^ه و‬
{ ‫} أخرجه الشيخان‬.‫سلّم دخل مكة وعلى رأسه المغفر‬
“Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya
Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan di atas kepalanya terdapat al-mighfar
(alat penutup kepala). (HR Bukhari dan Muslim).

C. Pendapat para imam Mazhab tentang beramal dengan Khabar wahid dan
Qiyas menurut Kitab ‘Asar al- Ikhtilaf fi al- Qawa’id al-‘Ushulliyah.
Perbedaan Khabar Wahid dan Qiyas kerap terjadi pada beberapa segi, apabila
hal tersebut terjadi, maka timbul pertanyaan, apakah didahulukan Khabar atau Qiyas
atau sebaliknya.?
Para Ahli Ushul memandang beberapa perbedaan antara kedua istilah itu dari
sudut pandang mereka masing-masing dalam masalah yang bersifat furu’, baik itu
sebelum perbedaan itu timbul, dan juga dapat dilihat dari sudut susunannya.
Semestinya kita harus mengetahui topik atau sasaran dari sudut perbedaan tersebut.
8

Para Pakar Ushul memiliki persepsi dan pendapat mengenai penjelasan


perbedaan pada masalah Hadis Ahad dan Qiyas, di mana perjelasan tersebut bersifat
umum dan tidak terikat, Abu Husein al-Bisri berkomentar pada perbincangan tentang
hal itu di mana; sesungguh Qiyas dapat menerangkan Khabar Wahid, apabila ’illat
(dalil Qiyas itu berupa nash yang qath’i, sedangkan Hadis Ahad berupa nash yang
dhanni). Melihat ondisi demikian, maka wajib beramal dengan Qiyas tanpa adanya
perbedaan sama sekali, sebab nash yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu dalil
hukum, maka Hadis Ahad menjadi lemah kedudukannya, sebab nash yang dijadikan
dasar hukum merupakan dalil yang dhanni. Jika seandainya ini menjadi barometer
dalam penentuan hukum secara benar, maka yang diakui adalah Qiyas yang
merupakan dasar pertama. Ini disebabkan dalil yang dipergunakan adalah dali yang
bersifat hukum secara jelas dan akurat tanpa ada faktor-faktor lainnya.
Setiap dugaan terdapat kemunginan walau sedikit yang dapat dijadikan
pelajaran dalam istilah Hadis, dan jika dalam menentukan suatu formulasi hukum
dalail-dalil yang diambil adalah nash-nash qath’i, maka Khabar dapat menjelaskan
kedudukan Qiyas sebagai Hadis Ahad, dan ini menjadi masalah perbedaan pendapat
di kalangan ulama.
Al-Amidiy secara bebas menerangkan hal-hal yang menjadi perbedaan
dengan berkata: bahwa yang masyhur mengenai hal tersebut sebagaimana disebutkan
baik matan itu qath’i, atau dhanni, maka jika matannya qath’i sesuai dengan nash
dalam menetapkan hukum, maka dalilnya adalah Qiyas. Seandainya tidak qath’i ,
maka ia sama dengan dalil-dalil dari Hadis Ahad walaupun rajih atau marjuh.
Selanjutnya beliau mengatakan apabila terdapat suatu dalil yang menunjukkan pada
pengistimbatan hukum, maka Hadis didahulukan atas Qiyas secara muthlak.
Para Ulama Mazhab terjadi perbedaan persepsi dalam memandang kehujjahan
dari setiap yang terjadi di antara mereka, antara lain:
1. Menurut pendapat Imam Syafi’i , Ahmad bin Hambal dan Jumhur Para Imam
Hadis kepada tarjihnya suatu hadis terhadap qiyas sama-sama berdasarkan
kreteria perawi baik ia seorang yang ’alim atau seorang faqih atau belum
9

memenuhi ciri-ciri tersebut, di mana kesemua itu dengan syarat ’adil dan
dhabit. Syeikh Abu Hasan al-Kharakhie dari Mazhab Hanafi mendukung
mazhab ini. Adapun alasan mereka, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika
mengutus Mu’adz, maka Rasulullah berkata “ Wahai Mu’adz dengan apa
engkau memutuskan suatu perkara, maka Mu’adz menjawab : dengan al-
Qur’an lantas kemudian beliau bertanya, jika tidak dijumpai dalam al-Qur’an,
maka Mu’adz menjawab dengan Hadis Rasulullah SAW, seandainya tidak ada
dalam Hadis, maka ia menjawab: saya berijtihad dengan pendapatku sungguh
selanjutnya beramal dengan Qiyas yang sesuai dengan Sunnah baik itu
mutawatir ataupun Ahad. Kemudian Rasulullah membenarkan hal demikian.
2. Menurut pendapat Isya bin Aban, bahwa seorang perawi harus dhabit dan
’alim dan tidak cacat, maka wajib mendahulukan qiyas dan ini memerlukan
ijtihad. Sedangkan menurut perkataan para Ulama Hanafiyah bahwa tidak
wajib beramal dengan Hadis Ahad apabila terdapat perbedaan pendapat
dengan Qiyas, jka perawinya tidak faqih. Al-Badzdhawi dalam ushulnya
berkata: Adapun periwayatan suatu Hadis, seorang perawi harus terkenal
dengan keadilan serta kedhabitannya, seperti Abi Hurairah, Anas bin Malik,
jika bersepakat untuk Qiyas, maka kita wajib beramal dengannya. Para
Sahabat mereka mendahulukan Qiyas daripada Hadis Ahad, Ibnu Abbas
tatkala mendengar perkataan dari Abi Hurairah pada masalah wudhu’, beliau
tidak menolaknya dan tidak beramal dengannnya. Dan ia berkata jikalau
berwudhu’ dengan air yang terdapat di suatu piring, maka itu termasuk
wudhu’ di antaranya.
3. Imam Malik berpendapat bahwa ia mendahulukan Qiyas atas Hadis Ahad
secara muthlak. Inilah yang ditegaskan oleh beliau, kecuali orang yang
mengambil nash-nash yang bersifat qaht’i dan mereka mengatakan bahwa
pendapat tersebut menjadi batal karena terdapat kesalahan yang besar, dan
sesungguhnya menegaskan pendapat ini dengan mengatakan bahwa tidak
mengetahui pendapat tersebut secara detail.
10

Khabar Wahid dapat diterima pada hal-hal yang bersifat umum. Keberadaan
Hadis Ahad pada suatu keputusan terhadap apa yang umum dan kerap terjadi antar
manusia secara kebiasaan, maka timbul pertanyaan, apakah hal itu membutuhkan
kepada Hadis Ahad atau sebaliknya.
Jumhur Ulama di kalangan Ulama Ushul, seperti Asy- Syafi’i dan kebanyakan
para Ulama Hadis memandang bahwa diterimanya hdis tersebut jika keberadaan
sanad-nya shahih. Abu Hasan al-Kharakhie dari kalangan Hanafiyah dan kebanyakan
ulama Mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah menolak hadis tersebut dan tidak
beramal dengannya.
Orang-orang yang mengatakan bahwa beramal dengan Hadis Ahad tersebut
meliputi beberapa unsur, antara lain:
1. Harus mengetahui sebab sebab turunnya suatu hadis secara muthlak, baik dari
segi perbedaan dalam kontks umum atau tidak.
2. Menurut kesepakatan para sahabat beramal dengan Hadis Ahad selama dalam
pembahasan universal. Seperti; yang diriwayatkan oleh ibn ’Umar,
sesungghnya ia berkata: sebagaimana kami saling mengkhabarkan selama 40
tahun, dan kami beranggapan tidak mengapa bermasalah. Sehingga Rafi’ bin
Khadij telah meriwayatkan kepada kami, bahwa Nabi SAW melarang tentang
itu, maka kamipun berhenti. Di antara itu pula, para sahabat setelah terjadi
perbedaan pendapat antara mereka dalam hal wajib mandi, jika bertemu dua
kemaluan tanpa keluar mani. Mereka meruju’ kepada Hadis ’Aisyah r.a. :
Apabila bertemu dua kemaluan, maka ia wajib mandi baik dalam keadaan
keluar ataupun tidak, adapun dasarnya saya (’Aisyah) dan Rasulullah kami
mandi bersama.
3. Hal-hal yang rasional. Artinya keberadaan perawi dalam sebuah hadis harus
mempunyai kreteria ’adil dan shiqat. Hal ini mesti diriwayatkan terhadap apa
yang memungkinkan kebenaran tentang sasaran suatu hadis tersebut.
Kebiasaan demikian menunjukkan kepada kebenaran yang bersifat dhanni,
maka itu merupakan pembenaran yang muthlak; seperti berita yang
11

menyangkut hal-hal yang umum. Ini menunjukkan bahwa Qiyas itu diterima
di dalam Hadis Ahad, namun Qiyas lebih lemah dari Khabar Wahid. Mereka
menerima Khabar Wahid lebih utama dari Qiyas.
Eksistensi perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama banyak terkait
pada hal-hal yang bersifat furu’, khususnya pada bab figh, seperti : perkara wudhu’
dengan menyentuh kemaluan, persoalan al-Fatihah dibaca dengan jahar (terang) pada
waktu shalat yang mesti jahar, mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan
mengangkat diantaranya, keberadaan Rukyah Hilal di bulan Ramadhan dan
sebagainya.
Beramal terhadap perawi dengan perbedaan apa yang diriwayatkan
merupakan perbincangan dari segolongan orang yang mengatasnamakan “ingkar
rawi” baik sebelum diriwayatkan ataupun sesudah meriwayatkan suatu hadis. Adapun
jika beramal sebelum riyawat hadis, maka itu tidak ada perbedaan pendapat, tetapi
harus dapat menerangkan kerajuhan suatu hadis sesudah periwayatannya. Imam asy-
Syafi’I mendukung pendapat tersebut jika kehujjahan suatu hadis itu diidentikan dari
sahabat, baik melalui perkataannya maupun perbuatannya. Sedangkan menurut orang
yang tidak mendukung masalah ini beranggapan bahwa hal tersebut menjadi batal,
karena aspek meremehkan, melalaikan, kelupaan dan sebagainya. Jelasnya mereka
menolak diterima suatu riwayat tersebut. Adapun dampak yang ditimbulkan dari
perbedaan tersebut, seperti yang terdapat dalam hal furu’, di antaranya : mengangkat
kedua tangan ketika ruku’ dan mengangkat diantanya, nikah tanpa wali, keberadaan
para saksi dan sumpah dalam persoalan harta, radha’ah dan sebagainya.

D. Penutup
a. Kesimpulan.
1. Hadis Ahad adalah Hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang
terdapat pada Hadis Mutawatir ataupun Hadis Masyhur menurut ’Ajjaj al-
Khathib. Sedangkan Jumhur Ulama Hadis mengelompokkan Hadis Masyhur
kepada Hadis Ahad.
12

2. Di kalangan Ulama Hanafiyah. Hadis Ahad hukumnya adalah zhanni, yaitu


mendekati yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi karena
kedudukannya tidak sampai kepada derajat Mutawatir, maka tidaklah
dihukumkan kafir bagi orang yang menolaknya atau tidak beramal dengannya.
3. menyangkut hal-hal yang bersifat umum, Imam asy- Syafi’I dan Para Ulama
Ushul berpendapat bahwa boleh beramal selama sanad-nya shahih.

b. Saran-saran
kontribusi positif terhadap pengembangan makalah sangat penulis harapkan.
13

DAFTAR PUSTAKA

al- Khathib, ‘Ajjaj M. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M.

al- Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al- Hadits. Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim,
1399 H/1979 M.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997.

al- Khinn, Mustafa. Remume dari Kitab ‘Asar al- Ikhtilaf fi al- Qawa’id
al-‘Ushulliyah. Cet. 2 Beirut: Mu’assah al- Risalah, 1981.

Anda mungkin juga menyukai