Anda di halaman 1dari 19

MAQOMAT; TAUBAT DAN ZUHUD

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pembimbing : Muh Fuad Achsan, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Lilla Adibatul Musta’anah 23070210029


2. Umi Lailatul Qadriyah 23070210039
3. Vadhia Sukma Kennata 23070210063
4. Maratus Sholihah 23070220010
5. Tika Febryana 23070220014

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA

2024

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "
MAQOMAT; TAUBAT DAN ZUHUD" ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan
dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Muh Fuad
Achsan, M.Pd. pada mata kuliah Akhlak Tasawuf. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Maqomat; Taubat Dan Zuhud bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muh Fuad Achsan, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf yang telah memberikan banyak bantuan,
arahan, dan petunjuk yang sangat jelas sehingga mempermudah penulis dalam
menyelesaikan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka pada kritik dan saran yang
membangun sehingga makalah ini bisa lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Akhlak
Tasawuf.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Salatiga, 30 Maret 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I ........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II ...................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................ 3
A. MAQAMAT................................................................................................... 3
1. Pengertian Maqamat .................................................................................. 3
2. Tingkatan Maqamat ................................................................................... 3
B. ZUHUD.......................................................................................................... 4
1. Pengertian Zuhud....................................................................................... 4
2. Ciri-Ciri Zuhud .......................................................................................... 4
3. Tingkatan Zuhud ....................................................................................... 4
4. Contoh Perilaku Zuhud Rasulullah SAW................................................... 5
C. TAUBAT........................................................................................................ 6
1. Pengertian Taubat ...................................................................................... 6
2. Dalil-Dalil Taubat....................................................................................... 6
3. Syarat Taubat ............................................................................................ 8
4. Rukun Taubat ............................................................................................ 9
5. Jenis-Jenis Taubat .................................................................................... 11
6. Kisah Taubat ............................................................................................ 12
BAB III ................................................................................................................... 15
PENUTUP .............................................................................................................. 15
A. Simpulan ...................................................................................................... 15
B. Saran ........................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maqam dalam tasawuf merujuk pada tingkat spiritual yang dicapai oleh seorang
sufidalam perjalanan menuju Tuhan. Maqam ini meliputi keadaan-keadaan tertentu
dalam perjalanan sufi, seperti kecintaan, kerinduan, ketakutan, kesedihan, dan lain
sebagainya.Maqam juga dapat diartikan sebagai tingkat pemahaman dan keinsafan
seseorang terhadaprealitas ilahi. Maqam dalam tasawuf berkaitan erat dengan konsep
tarekat, yang merupakan suatu jalanatau metode untuk mencapai maqam tertentu.
Setiap tarekat memiliki maqam-maqam khususyang harus dicapai oleh para
muridnya. Maqam-maqam ini dapat berbeda-beda tergantung pada tarekat yang
diikuti.Dalam praktik tasawuf, para sufi sering mengalami berbagai macam
pengalaman spiritual yang dianggap sebagai tanda-tanda mencapai maqam tertentu.
Misalnya, sufi yang telahmencapai maqam tawakkal (kepercayaan penuh kepada
Tuhan) dapat merasakan ketenangandan ketentraman dalam segala situasi kehidupan,
begitupun sebaliknya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian maqamat ?
2. Bagaimana tingkatan maqamat ?
3. Apa pengertian zuhud ?
4. Apa saja ciri-ciri zuhud ?
5. Bagaimana tingkatan zuhud ?
6. Bagaimana contoh perilaku zuhud rasulullah saw ?
7. Apa pengertian taubat ?
8. Bagaimana dalil-dalil taubat ?
9. Apa saja syarat-syarat taubat ?
10. Apa saja rukun-rukun taubat ?
11. Bagaimana contoh kisah taubat ?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian maqamat
2. Untuk mengetaui tingkatan maqamat
3. Untuk mengetahui pengertian zuhud
4. Untuk mengetahui ciri-ciri zuhud
5. Untuk mengetahui tingkatan zuhud
6. Untuk mengetahui contoh perilaku zuhud rasulullah saw
7. Untuk mengetahui pengertian taubat
8. Untuk mengetahui dalil-dalil taubat
9. Untuk mengetahui syarat-syarat taubat
10. Untuk mengetahui rukun-rukun taubat
11. Untuk mengetahui contoh kisah taubat

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. MAQAMAT

1. Pengertian Maqamat
Maqamat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat
dengan Allah.1 Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara
bahasa berarti pangkat atau derajat. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf,
maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh
dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spritual serta
(berhubungan) yangtidak putus-putusnya dengan Allah swt.2
2. Tingkatan Maqamat
Diantara tingkatan maqamat adalah taubat, zuhud, wara’, faqir, sabar,
tawakkal, dan ridho. Secara umum pemahamannya sebagai berikut: 3
1. Taubat, yaitu memohon ampun disertai janji tidak akan mengulangi lagi.
2. Zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia (dalam hal kemaksiatan) dan
mengutamakan kebahagiaan di akhirat.
3. Wara’, yaitu meninggalkan segala yang syubhat (tidak jelas halal haramnya).
4. Faqir, yaitu tidak meminta lebih dari apa yang sudah diterima.
5. Sabar, yaitu tabah dalam menjalankan perintah Allah SWT dan tenang
menghadapi cobaan.
6. Tawakkal, yaitu berserah diri pada qada dan keputusan Allah.
7. Ridho, yaitu tidak berusaha menentang qada Allah.

1
Eni, Akhlak Dan Tasawuf, Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 1967.
2
Abdul Wahab Syakhrani, Nadia Nursyifa, and Nurul Fithroti, ‘Konsep Maqomat Dan Akhwal’, MUSHAF
JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis, 3.1 (2022), 9–23 <https://doi.org/10.54443/mushaf.v3i1.84>.
3
Eni.

3
B. ZUHUD
1. Pengertian Zuhud
Dari segi etimologi atau bahasa, zuhud berasal dari kata zahuda, yazhudu,
dan zuhdan, yang berarti meninggalkan sesuatu dan tidak menginginkannya. 4 Dari
segi bahasa, zuhud adalah ketidak pedulian terhadap duniawi. 5
Menurut tasawuf, zuhud adalah sejauh mana seseorang membenci dunia dan
meninggalkan kesenangan hidup demi akhirat. 6 Menurut para tokoh sufi, zuhud
adalah sebuah tindakan syukur kepada Allah Swt. Seseorang yang hanya
memikirkan dunia akan membawa pada kezaliman, kufur nikmat, dan kurangnya
rasa syukur. Para tokoh sufi meyakini bahwa menikmati hal-hal duniawi yang tidak
memberikan kontribusi untuk akhirat akan menjadi akar dari segala kesalahan, baik
secara zahir maupun batin.7 Syarat zuhud sendiri, yaitu tidak kembali kepada sesuatu
yang dibencinya.

2. Ciri-Ciri Zuhud
Zuhud ditandai dengan beberapa sifat, seperti:
a. Tidak merasa senang dengan apa yang dimilikinya dan tidak takut kehilangan
b. Bersikap biasa saja dalam menanggapi pujian atau cacian
c. senantiasa mengingat Allah Swt.8 dan
d. tidak boros, hidup sederhana, menabung, dan berderma. 9

3. Tingkatan Zuhud
Dalam ajaran tasawuf, para tokoh sufi mengkategorikan tingkatan zuhud ke dalam
tiga tingkatan.

4
Ichsan H., dkk., “Manifestasi Zuhud dalam Tasawuf Modern Hamka”, In Proceeding International Conference
on Tradutuon and Religious Studies, Vol. 1 No. 1 (2022), 158.
5
Abdul Muqit, makna Zuhud dalam Kehidupan Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Ta’wiluna:
Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir, dan Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 2, 40-41
6
Op.cit., 41.
7 Muhammad Hafiun, “Zuhud dalam Ajaran Tasawuf”, Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam,

Vol 14 No. 1 (2017), 79


8
Muhammad Hafiun, “Zuhud dalam Ajaran Tasawuf”, Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam,
Vol 14 No. 1 (2017), 86-87.
9 Abdul Muqit, Makna Zuhud dalam Kehidupan Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an,

Tafsir, dan Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 2 (2020), 45.

4
a. Tingkat yang pertama yaitu Prazuhud. Pada tahap ini, hati seseorang masih
tertarik pada kesenangan dunia, tetapi ia telah berusaha untuk menekan semua
keinginannya terhadap dunia.10
b. Tingkatan kedua, yaitu ketika seseorang sudah tidak tertarik kepada kenikmatan
dunia dan dia telah mencapai zuhud, tetapi dia masih berbangga terhadap
zuhudnya.11
c. Tingkatan ketiga yaitu ketika seseorang tekah sukarela melakukan zuhud dan dia
zuhud dalam kezuhudannya.12

4. Contoh Perilaku Zuhud Rasulullah SAW


Mengutip dalam buku Muhammad: My Beloved Prophet terjemahan Iman
Firdaus, Rasulullah SAW disebut sebagai orang yang paling berzuhud di dunia dan
paling sedikit keinginan duniawinya. Bahkan, zuhud menjadi sifat dan akhlaknya
yang paling mulia. Berikut merupakan contoh dari sikap zuhud Rasulullah SAW
yang bisa ditiru :
a. Sabda Rasulullah SAW kepada Umar RA ketika dia masuk ke tempatnya dan
menemukan beliau tengah berbaring di atas kasur yang terbuat dari serabut.
Menyaksikan hal itu, Umar lantas berkata, "Kisra dan Kaisar tidur begini dan
begitu, sementara engkau, Rasulullah, engkau tidur hanya begitu!"
Lalu Rasulullah menjawab, "Untuk apa bagiku dunia, Umar. Aku di dunia ini
ibarat seorang penunggang yang berteduh di bawah pohon, kemudian setelah itu
meninggalkannya dan pergi,"
b. Aisyah RA pernah berkata: "Rasulullah SAW wafat dan di rumahku sedang tak
ada sesuatu pun yang bisa dimakan kecuali seraup gandum di rak rumahku,"
atau ucapannya: "Rasulullah SAW wafat sementara baju besinya masih tergadai
di tangan seorang Yahudi senilai 30 sha' gandum,"
c. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Seandainya aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, tak akan membuatku
bahagia jika emas itu harus menetap di tempatku selama tiga hari. Akan aku

10
Muhammad Hafiun, “Zuhud dalam Ajaran Tasawuf”, Hisbah: Jurnal Bimbingan
Konseling dan Dakwah Islam, Vol 14 No. 1 (2017), 85.
11
Imam al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, ‘Abdul Rosyad Siddiq, (Jakarta: Penerbit Akbar Media, 2008),
hlm. 380. 13
12 Ratna Dewi, “Konsep Zuhud pada Ajaran Tasawuf dalam Kehidupan Santri pada Pondok Pesantren”,

Mawa’izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol. 12 No. 2 (2021), 126.

5
bagikan sekian dan sekian, kecuali sedikit aku pergunakan untuk membayar
hutangku,"
d. Allah SWT pernah menawari Rasulullah SAW dua buah gunung untuk diubah
menjadi emas dan perak. Itu terjadi sepulangnya beliau dari Tha'if dalam
keadaan sedih dan murung. Akan tetapi, Rasulullah menjawab : "Tidak,
Tuhanku, sehari saja kenyang, aku sudah memuji-Mu. Yang sedikit dan cukup
itu lebih baik daripada yang banyak tapi melenakan."

C. TAUBAT
1. Pengertian Taubat
Secara etimologi taubat merupakan masdar dari ‫ تاب‬- ‫ يتاب‬yang bermakna
kembali. Taubat berarti kembali dari perbuatan maksiat atau dosa menuju taat
kepada Allah, dan menyesali semua perbuatan dosa yang dilakukannya. Dan orang
yang taubat disebut atta’ib ( ‫)التائب‬. Karenanya, seorang ta’ib adalah orang yang
kembali dari sesuatu yang dilarang Allah menuju apa yang diperintahkan-Nya,
orang yang kembali dari sesuatu yang dibenci Allah menuju sesuatu yang diridhai-
Nya, atau orang yang kembali kepada Allah setelah berpisah, menuju taat kepada-
Nya, setelah melakukan pelanggaran atau kedurhakaan (al-mukhalafat).
Taubat memiliki empat unsur penting. Pertama, penyesalan dari kesalahan
dan dosa di masa lalu. Kedua, segera menghentikan kemaksiatan yang sedang
dilakukan. Ketiga, memohon ampunan (istigfar) pada Allah SWT. Keempat, tekad
kuat untuk tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut di masa depan. Kadang-
kadang kata taubat digunakan untuk makna menyesal, bahkan Rasulullah SAW
bersabda: “Penyesalan adalah taubat.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Karena
penyesalan pasti ada penyebabnya dan ada hasilnya. Penyebab penyesalan adalah
ilmu yang mendalam tentang agama atau ma’rifat, sedangkan hasilnya adalah tekad
kuat untuk tidak mengulangi kembali kesalahan tersebut.

2. Dalil-Dalil Taubat
a. ِ َ‫اِذْ قَا َل ُم ْوسٰ ى لِقَ ْو ِم ٖه ٰيقَ ْو ِم اِنَّكُ ْم ظَلَ ْمت ُ ْم اَنْفُسَكُ ْم بِاتِخَا ِذكُمُ الْ ِع ْج َل فَت ُ ْوب ُْْٓوا ا ِٰلى ب‬
‫ارىكُ ْم فَاقْتُلُ ْْٓوا‬
ُ‫الر ِحيْم‬ ُ ‫َاب عَلَيْكُ ْۗ ْم اِنَّ ٗه ه َُو التَّ َّو‬
َّ ‫اب‬ ِ َ‫اَنْفُسَكُ ْۗ ْم ٰذلِكُ ْم َخي ٌْر لَّكُ ْم ِعنْدَ ب‬
َ ‫ارىكُ ْۗ ْم فَت‬

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku,
sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah
6
menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang
menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada
sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah SWT akan menerima tobatmu.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(Q.S. Al-Baqarah : 54).

Dalam tafsir Kemenag dijelaskan juga perihal Q.S. Al Baqarah:54


bahwasanya Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah agar menyampaikan
kepada Bani Israil yang hidup semasanya pada waktu itu bahwa Musa AS
sekembali dari munajat dengan tuhannya, mendapati kaumnya menyembah
patung anak Sapi, lalu dia berkata kepada kaumnya:’Hai Kaumku,
sesungguhnya perbuatan kamu menjadikan anak Sapi sebagai Tuhanmu, kamu
telah membinasakan diri kamu sendiri. Oleh sebab itu, bertobatlah kepada
tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan janganlah berbuat kebodohan
semacam itu’. (Tafsir Kemenag, 2010:109-110)

b. ْْٓ ِ‫ضلَهٗ ْۗ َوا ِْن ت ََولَّ ْوا فَاِن‬


‫ي‬ ْ َ‫ِي فَضْل ف‬
ْ ‫ت كُ َّل ذ‬ َ ‫سنًا ا ِٰلْٓى اَ َجل ُّم‬
ِ ْ‫س ًّمى َّويُؤ‬ َ ‫َّواَ ِن اسْتَغْف ُِر ْوا َربَّكُ ْم ثُ َّم تُ ْوب ُْْٓوا اِلَيْهِ يُ َمتِعْكُ ْم َّمتَاعًا َح‬
َ َ‫َاف َعلَيْ ُك ْم َعذ‬
‫اب يَ ْوم كَبِيْر ۝‬ ُ ‫اَخ‬

Artinya: “dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat
kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada
waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang
yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat’. (Hud ayat:
3).
Aidh al-Qarni menafsirkan ayat ini bahwasanya setiap manusia tidak
luput dari kesalahan dan perbuatan dosa. Maka dari itu bertaubatlah kepada
Allah SWT dari perbuatan dosa dan kembalilah kepadanya dalam keadaan
bertaubat dengan disertai penyesalan yang mendalam atas perbuatan yang telah
dilakukan. Allah SWT akan memberikan kehidupan yang baik, kesehatan
badan, negeri yang aman dan keridhaanNya hingga genap umur kalian dalam
sebaik-baiknya keadaan.

7
c. َ‫ارا َّو َي ِزدْكُ ْم قُ َّوةً ا ِٰلى قُ َّوتِكُ ْم َو َل تَت ََولَّ ْوا ُمج ِْرمِ يْن‬
ً ‫َو ٰيقَ ْو ِم اسْتَغْف ُِر ْوا َربَّكُ ْم ثُ َّم تُ ْوب ُْْٓوا اِلَيْهِ ي ُْر ِس ِل السَّ َم ۤا َء َعلَيْكُ ْم مِ د َْر‬

Artinya: Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu
lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat
deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan
janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’. (Hud ayat: 52).
Aid al Qarni menjelaskan dalam penafsirannya wahai kaumku,
bertaubatlah kepada Allah SWT dengan meninggalkan perbuatan dosa dengan
penuh penyesalan. Orang-orang yang benar-benar bertaubat dan menyesali
perbuatannya maka Allah SWT akan menurunkan hujan yang sangat deras
sehingga dengan itu mendatangkan kebaikan, perasaan yang bahagia, kekuatan,
keturunan, harta, dan kebrkahan rezeki. Dan janganlah berpaling dan terus-
menerus dalam keadaan dosa serta tidak mau menerima kebenaran. Ayat ini
menjelaskan tentang perintah bertaubat untuk banyak orang (Aidh al Qarni,
2008: 249) .

Rasulullah Saw bersabda : “Jika seorang hamba berbuat kebohongan,


niscaya dua malaikat (baca: Raqib dan ‘Atid) akan menjauhinya, karena tidak
tahan mencium aroma busuk yang keluar dari mulutnya.”

3. Syarat Taubat
Imam al-Ghazali membaginya menjadi empat macam, diantaranya.
a. Meninggalkan perbuatan dosa dengan dibarengi tekad hati yang kuat bahwa
yang bersangkutan tidak akan mengulang dosa tersebut. Adapun jika seseorang
meninggalkan satu perbuatan dosa, tetapi dalam hatinya masih terlintas bahwa
mungkin saja suatu waktu dia akan mengerjakannya lagi, atau hatinya masih
maju-mundur dalam penghentian dosa tersebut maka, maka dia tidak dapat
dikatakan bertaubat. Dia hanya dapat dikatakan sebagai orang yang
meninggalkan dosa, tetapi bukan orang yang bertaubat.
b. Menghentikan dan meninggalkan semua dosa yang telah dia lakukan (pada masa
lalu) sebelum dia bertobat. Adapun jika seseorang meninggalkan dosa yang
tidak pernah dia lakukan, dia dinamakan sebagai orang yang menjaga diri,
bukan orang yang bertobat. Bukankah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad Saw.

8
itu selalu suci dari kekufuran, sehingga tidaklah benar bila dikatakan bahwa
Nabi Saw. bertobat dari kekufuran? Sebab, Nabi Saw. tiada pernah dihinggapi
kekufuran sedikit pun. Adapun bila dikatakan Sayyidina Umar r.a. bertaubat
dari kekufuran, hal ini tepat karena beliau pernah melakukan dosa kekufuran.
c. Dosa yang ditinggalkannya (sekarang) harus sepadan dengan dosa yang pernah
dilakukannya. Sepadan bukan dari sisi bentuk dosa, tetapi dari sisi tingkatan
dosa. Misalnya, seorang kakek renta dulunya adalah tukang zinadan tukang
merampok. Karena usia tua, dia sudah tidak bisa lagi melakukan dua perbuatan
dosa itu. Sang kakek tidak dapat dikatakan “bertaubat dari (dalam arti menahan
diri dan meninggalkan) dua perbuatan dosa itu”, toh dia sudah tidak mampu lagi
melakukannya. Maka, taubat yang tepat bagi kakek ini adalah dengan
meninggalkan dosa tersebut, yang masih bisa dilakukan. Misalnya, berdusta,
menggunjing orang lain, menuduh orang lain berbuat zina tanpa saksi, mengadu
doba dan sebagainya. Dengan meninggalkan dosa yang sepadan ini, si kakek
dapat bertaubat dari perbuatan zina dan merampok yang dahulu pernah
dilakukannya (meski sekarang dalam keadaan tidak mampu lagi
melakukannya).
d. Meninggalkan dosa harus karena mengagungkan Allah Swt. Bukan karena takut
yang lain, tetapi hanya takut dimurkai oleh Allah Swt., takut pada hukuman-
Nya yang pedih. Semata dengan niat seperti ini, tanpa dicampuri hal-hal yang
lain. Tidak boleh juga ada maksud keduniaan. Artinya, bukan karena takut orang
lain dan bukan juga takut dipenjara. Kalau taubat karena takut dipenjara, berarti
taubat terhadap penjara. Bukan taubat karena Allah. Jadi, taubat itu harus karena
takut kepada murka Allah, bukan karena takut dipenjara. Atau, bukan karena
tidak punya uang. Kalau taubatnya karena dia tidak punya uang, dia masih bisa
saja melakukannya ketika mempunyai uang, dan sebagainya.
Itulah syarat-syarat taubat dan rukun-rukunnya. Apabila empat syarat itu
berhasil dan diamalkan secara penuh, itulah taubat yang sesungguhnya. Taubat
sejati. Itulah yang dinamakan dengan taubatan nasuha di dalam al-Qur’an.

4. Rukun Taubat
Imam Ghazali menyebutnya ada empat rukun taubat yakni mengetahui,
menyesal, bertekad tak mengulangi, dan meninggalkan segala dosa.

‫علم و عزم و ترك والقدر الواجب من الندم مايحث على الترك‬: ‫واما اركانها فاربعة‬

9
Artinya : “Adapun rukun taubat itu ada empat perkara; mengetahui [dosanya],
menyesal, meninggalkan dosa, dan bertekad dengan sekuat tenaga tidak
mengulangi dosa yang telah ditinggalkan tersebut." 13

Sedangkan al-Ghazali membaginya menjadi empat macam, diantaranya:

Pertama, meninggalkan perbuatan dosa dengan dibarengi tekad hati yang kuat
bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulang dosa tersebut. Adapun jika
seseorang meninggalkan satu perbuatan dosa, tetapi dalam hatinya masih
terlintas bahwa mungkin saja suatu waktu dia akan mengerjakannya lagi, atau
hatinya masih maju-mundur dalam penghentian dosa tersebut maka, maka dia
tidak dapat dikatakan bertaubat. Dia hanya dapat dikatakan sebagai orang yang
meninggalkan dosa, tetapi bukan orang yang bertaubat.

Kedua, menghentikan dan meninggalkan semua dosa yang telah dia lakukan
(pada masa lalu) sebelum dia bertobat. Adapun jika seseorang meninggalkan
dosa yang tidak pernah dia lakukan, dia dinamakan sebagai orang yang menjaga
diri, bukan orang yang bertobat. Bukankah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad
Saw. itu selalu suci dari kekufuran, sehingga tidaklah benar bila dikatakan
bahwa Nabi Saw. bertobat dari kekufuran? Sebab, Nabi Saw. tiada pernah
dihinggapi kekufuran sedikit pun. Adapun bila dikatakan Sayyidina Umar r.a.
bertaubat dari kekufuran, hal ini tepat karena beliau pernah melakukan dosa
kekufuran.

Ketiga, dosa yang ditinggalkannya (sekarang) harus sepadan dengan dosa yang
pernah dilakukannya. Sepadan bukan dari sisi bentuk dosa, tetapi dari sisi
tingkatan dosa. Misalnya, seorang kakek renta dulunya adalah tukang zinadan
tukang merampok. Karena usia tua, dia sudah tidak bisa lagi melakukan dua
perbuatan dosa itu. Sang kakek tidak dapat dikatakan “bertaubat dari (dalam arti
menahan diri dan meninggalkan) dua perbuatan dosa itu”, toh dia sudah tidak
mampu lagi melakukannya. Maka, taubat yang tepat bagi kakek ini adalah
dengan meninggalkan dosa tersebut, yang masih bisa dilakukan. Misalnya,
berdusta, menggunjing orang lain, menuduh orang lain berbuat zina tanpa saksi,
mengadu doba dan sebagainya. Dengan meninggalkan dosa yang sepadan ini,

13
Abu Hamid Al Ghazali, Raudhatut Thalibin wa 'Umdatus Salikin, [Beirut, Dar al Kutub al -Ilmiyah, tt] hal. 151.

10
si kakek dapat bertaubat dari perbuatan zina dan merampok yang dahulu pernah
dilakukannya (meski sekarang dalam keadaan tidak mampu lagi
melakukannya).

Keempat, meninggalkan dosa harus karena mengagungkan Allah Swt. Bukan


karena takut yang lain, tetapi hanya takut dimurkai oleh Allah Swt., takut pada
hukuman-Nya yang pedih. Semata dengan niat seperti ini, tanpa dicampuri hal-
hal yang lain. Tidak boleh juga ada maksud keduniaan. Artinya, bukan karena
takut orang lain dan bukan juga takut dipenjara. Kalau taubat karena takut
dipenjara, berarti taubat terhadap penjara. Bukan taubat karena Allah. Jadi,
taubat itu harus karena takut kepada murka Allah, bukan karena takut dipenjara.
Atau, bukan karena tidak punya uang. Kalau taubatnya karena dia tidak punya
uang, dia masih bisa saja melakukannya ketika mempunyai uang, dan
sebagainya. Itulah syarat-syarat taubat dan rukun-rukunnya. Apabila empat
syarat itu berhasil dan diamalkan secara penuh, itulah taubat yang
sesungguhnya. Taubat sejati. Itulah yang dinamakan dengan taubatan nasuha.14

5. Jenis-Jenis Taubat
Taubat dilihat dari segi maknanya dalam ayat-ayat al-qur’an, taubat dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama, taubat dari kemaksiatan. Taubat ini diperuntukan
untuk segala kemaksiatan, termasuk taubat dari kekufuran dan kemusyrikan
sebelum ajal menjemputnya. Taubat ini terdapat pada surat Al-Nisa’ ayat 17.
Kedua, taubat orang murtad dan orang munafik. Taubat semacam ini dinyatakan
tidak diterima oleh Allah. Taubat ini terdapat pada surat Ali-Imran ayat 90. Ketiga,
taubatnya para nabi. Taubat ini bermakna keridaan dan kasih sayang merupakan
taubat dari perbuatan yang kurang afdhol, bukan perbuatan buruk atau tercela.15
Menurut Ibnu Taimiyah, taubat terbagi menjadi dua yaitu taubat wajib dan
taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan
meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesali karenamelakukan perkara-
perkara haram. Taubat jenis ini wajib dilakukan bagi semua orang mukalaf. Taubat

14
Albania: al-Maktabah wa Mathba’ah Mustafa, 1856, h. 116.
15
Miftahus Surur, “Konsep Taubat dalam Al-Qur’an”, Jurnal KACA: Jurusan Ushuludin STAI Al Fithrah, Vol. 8, No.
2, Agustus, 2018, hlm. 127-128.

11
sunnah adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara
sunnah, atau menyesali perbuatan melakukan perkara-perkara makruh.16
Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa taubat dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu taubatnya kaum awam, taubatnya kaum pertengahan dan taubatnya
kaum khawas. Taubatnya kaum awam, kaum ini memandang banyak kebaikan dan
ketaatan yang telah ia kerjakan selama hidup. Mereka lengah dan tidak
memperhatikan aib kebaikan-kebaikannya sehingga mereka mengingkari karunia
Allah yang telah menutupi kebaikan-kebaikan mereka dan memberi mereka
kesempatan memperbaiki kesalahannya dengan bertaubat. Taubatnya kaum
pertengahan. Kaum pertengahan ini mengira bahwa sangat sedikit maksiatnya.
Sedangkan mengira sedikit maksiatnya adalah dosa sebagaimana memandang
ketaatan sudah banyak. Selanjutnya taubatnya kaum khawas atau orang yang telah
jadi sufi, yaitu bertaubat dari menyia-nyiakan waktu atas kelalaiannya serta
kelengahannya dari berhubungan atau meleburkan diri dengan Allah. 17

6. Kisah Taubat
Semua bermula ketika Allah swt murka kepada Iblis karena ia tidak mau
bersujud kepada Adam sebagai bentuk hormat, padahal itu adalah perintah Allah.
Akibat keangkuhannya inilah Allah mengusir Iblis dari surga.
Rupanya Iblis tidak tinggal diam. Dia menaruh dendam kepada Adam yang
menurutnya telah membawa sial. Iblis segera merencanakan jebakan untuk Adam
dan Hawa agar keduanya melanggar aturan Allah dengan memakan buah Khuldi.
Dengan begitu keduanya akan diusir dari surga.
Tipu daya yang dilancarkan Iblis adalah dengan menjanjikan kenaikan pangkat
kepada Adam dan Hawa jika memakan buah Khuldi. Kata Iblis, siapa yang
memakan buah tersebut akan naik level menjadi sosok malaikat atau menjadi kekal
berada di surga.
Yang tidak kalah cerdas, Iblis membujuk Adam dengan bersumpah atas nama
Allah. Dalam hemat Adam, orang yang bersumpah atas nama Allah pasti tidak
berbohong. Akhirnya, Adam dan Hawa pun berhasil dikelabuhi oleh kelicikan Iblis
dan tanpa ragu memakan buah Khuldi.

16
Abdul Fattah Syyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Khalifa, 2013), hlm. 293-294.
56
17
Mochamad Nur Bani Abdillah, “Urgensi Pembahasan Taubat dalam Perspektif Hadis”, Jurnal Holistik Al-Hadis,
Vol. 5, No. 1, Januari-Juni, 2019, hlm. 34.

12
Selesai memakan buah larangan itu, pakaian Adam dan Hawa yang selama ini
menutup tubuhnya mendadak hilang. Keduanya sangat panik dan malu sehingga
berusaha menutupinya dengan daun pohon yang ada di surga. Tipu daya Iblis pun
berhasil. Kisah ini didokumentasikan dalam firman Allah berikut:
Artinya, “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu)
dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi
keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun
surga.
Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang
kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: ‘Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”.18
Adam dan Hawa sangat menyesali kecerobohan mereka dan segara bertobat
kepada Allah swt. Kendati tobat keduanya diterima, Allah tetap memberi
“hukuman” kepada mereka dengan menurukannya dari syurga sebagai konsekuensi
logis atas dosa.19
Dikisahkan, saat Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, keduanya sangat
bersedih. Dalam satu riwayat dikatakan keduanya menangis sejadi-jadinya.
Andaikan tangisan seluruh manusia dan Nabi Daud dibandingkan dengan tangisan
Adam dan Hawa saat itu, maka belum ada apa-apanya. Saking begitu merasa
berdosa, keduanya tidak berani memandang ke arah atas selama 40 tahun.
Dalam satu riwayat, Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyampaikan saat Adam
dan Hawa diturunkan di bumi, keduanya berthawaf mengelilingi Ka’bah selama
tujuh hari dan melaksanakan shalat dua rakaat. Kemudian membaca doa tobat
berikut :

‫ي وتعْلمُ ما‬
ْ ِ‫ي سُؤل‬
ْ ِ‫ي فأ ْع ِطن‬ ْ ِ‫ي فاقْب ْل معْذِرت‬
ْ ِ‫ي وتعْلمُ حاجت‬ ْ ‫اللّهُمّ إِنّك تعْلمُ ِس ِ ّر‬
ْ ِ‫ي وعَلنِيت‬

‫ي‬
ْ ِ‫ُصيْبُن‬ ْ ِ‫اللَّهُمَّ إِنِّي أسْألُك إِيْمانًا يُبا ِش ُر قلْب‬. ‫ي‬
ِ ‫ي ويقِيْنًا صا ِدقًا حتَّى أعْلمُ أنَّهُ ل ي‬ ْ ِ‫ي ذنْب‬ ْ ‫ي نفْ ِس‬
ْ ِ‫ي فا ْغف ِْرل‬ ْ ِ‫ف‬
‫ي ِبما قس َّْمت لِي‬ ْ ِ‫ضن‬ ِ ‫ِإ َّل ما كتبْت لِي وأ ْر‬

“Ya Allah, sungguh Engkau tahu apa yang tersembunyi dan tampak dariku,
karena itu terimalah penyesalanku. Engkau tahu kebutuhanku, maka kabulkanlah
permintaanku. Engkau tahu apa yang ada dalam diriku, maka ampunilah dosaku.

18
QS. Al-A’raf [7]: 22
19
Abdul Karim Zaidan, al-Mustafâd min Qasâshil Qur’ânî: 1998, juz I, h. 24

13
Ya Allah sungguh aku memohon kepada-Mu iman yang menyentuh kalbuku
dan keyakinan yang benar sehingga aku tahu bahwa tidak akan menimpaku kecuali
telah Engkau tetapkan atasku. Ya Allah berikanlah rasa rela terhadap apa yang
Engkau bagi untuk diriku.”20

20
As-Suyuthi, Addurrul Mantsur, tanpa tahun: juz 1, h. 59

14
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Dari uraian diatas, kami menyimpulkan bahwa Maqamat adalah tempat atau
kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang jalannya dapat diperoleh dengan
melalui peribadatan, mujahadat dan masih banyak lagi.
Sedangkan Zuhud adalah sifat seseorang yang sudah tidak lagi terlalu
memikirkan dunia. Dalam artian seseorang itu tidak hanya ingin mendapatkan
kepuasan dunia. Tapi sudah berfikir tentang bagaimana nasibnya di akhirat.
Dan taubat, adalah seseorang yang kembali menuju jalan ridho-Nya, seseorang
yang kembali melaksanakan perintah atas segala larangannya.

B. Saran
Kami menyarankan kepada siapapun yang membaca untuk mendiskusikan lebih
lanjut tentang maqamat; zuhud dan taubat ini. Hal ini perlu dilakukan agar pembaca
semakin detail dalam mencari informasi, serta agar mendapatkan pengetahuan yang
lebih luas.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam. (2008). Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. (‘Abdul Rosyad Siddiq,


Terjemahan). Jakarta: Penerbit Akbar Media.

Eni, Akhlak Dan Tasawuf, Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951-952., 1967
Hafiun, M. (2017). Zuhud dalam Ajaran Tasawuf. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan
Dakwah Islam. 14(1), 77-93.

Ichsan, H., M.J. Nisrin, dan H.M. Arrizqi. (2022). Manifestasi Zuhud dalam Tasawuf Modern
Hamka. In Proceeding Internatioal Conference on Tradition and Religious Studies. 1(1),
155-162

Muqit, A. (2020). Makna Zuhud Dalam Kehidupan Prespektif Tafsir Al-Qur’an. Ta’wiluna:
Jurnal Ilmu Al-Qur'an, Tafsir dan Pemikiran Islam, 1(2), 36-51.Ichsan, H., M.J. Nisrin,
dan H.M. Arrizqi. (2022). Manifestasi Zuhud dalam Tasawuf Modern Hamka. In
Proceeding Internatioal Conference on Tradition and Religious Studies. 1(1), 155-162

Ridho, A. (2019). Konsep Taubat Menurut Imam al-Ghazali Dalam Kitab Minhajul
‘Abidin. Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah, 5(1), 23-48.

Rinalpi, R., & Satriadi, I. (2023). Taubat Dalam Perspektif Al-Qur’an. Lathaif: Literasi
Tafsir, Hadis dan Filologi, 2(1), 40-52.

Surur, M. (2018). Konsep Taubat dalam Al Qur'an. KACA (Karunia Cahaya Allah): Jurnal
Dialogis Ilmu Ushuluddin, 8(2), 115-131.

Wahab Syakhrani, Abdul, Nadia Nursyifa, and Nurul Fithroti, ‘Konsep Maqomat Dan
Akhwal’, MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis, 3.1 (2022), 9–23

16

Anda mungkin juga menyukai