Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TEORI MEMAHAMI HADITS MUKHTALIF

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Ma’anil Hadits


Dosen Pembimbing : Ratna Mei Ningsih M.Pd.I

Disusun Oleh :
1. Indra Ari Irvan
2. Nurul Idayanti

Semester : VI ( Enam )

PRODI ILMU AL - QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI ILMU AL - QUR’AN ( STIQ ) AN-NUR
LEMPUING OKI SUMATERA SELATAN
2021
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa


atas ridho dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah
ini dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal. Semoga dengan
terselesaikannya tugas ini dapat memberi pelajaran positif bagi kita semua.
Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata
kuliah yang telah memberikan tugas Makalah ini kepada kami sehingga dapat
memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar lebih giat dan menggali ilmu lebih
dalam khususnya mengenai “ILMU MA’ANIL HADITS” sehingga dengan kami
dapat menemukan hal-hal baru yang belum kami ketahui.
Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di berikan sehingga
kami dapat menyelasaikan tugas Makalah ini dengan usaha semaksimal mungkin.
Terima kasih pula atas dukungan para pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta semua pihak yang
penuh kebaikan dan telah membantu penulis.Terakhir kali sebagai seorang
manusia biasa yang mencoba berusaha sekuat tenaga dalam penyelesaian Makalah
ini,  tetapi tetap saja tak luput dari sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah,
oleh karena itu segenap saran penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan
tugas-tugas serupa di masa datang.

Lempuing, 12 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
A. Pengertian Hadist Mukhtalif....................................................................... 2
B. Penyebab Hadist Mukhtalif........................................................................ 3
C. Metode Menyelesaikan Hadist-Hadist Mukhtalif....................................... 4

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 11


A. Kesimpulan................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12

ii
BAB II
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Harus diakui bahwa situasi dan kondisi masa dul yang berbeda, kadang
menyebabkan sebagian hadits-hadits Nabi SAW terasa tidak komunikatif dengan
kehidupan sosial dengan kehidupan sosial sekarang yang telah berubah dan
berkembang. Maka dalam memahami hadis diperlukan kehati-hayian, tidak boleh
gegabah atau terburu-buru menolak suatu hadis yang shahih secara sanad, hanya
karena kita melihat bahwa hadis tersebut musykil (janggal atau sulit dipahami).
Demikian halnya dengan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Boleh jadi kesan
adanya pertentangan dalam redaksi hadis-hadis, disebabkan karena kita hanya
memahami secara harfiyyah (tekstual), belum mempertimbangkan secara
mendalam , bagaimana kualotas sanad dari masing-masing hadis, bagaimana
struktur kalimat, situasi dan konteks hadis tersebut disampaikan dan sebagainya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hadis mukhtalif ?
2. Apa penyebab hadis mukhtalif ?
3. Apa metode yang digunakan dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui deskripsi hadis mukhtalif.
2. Untuk mengetahui penyebab hadis mukhtalif.
3. Untuk mengetahui metode menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADIS MUKHTALIF


Kata mukhtalif merupakan bentuk isim fa’il (kata sifat) dari kata
ikhtalafa-yakhtalifu-ikhtilaf, berarti berselisih dan bertentangan. Dengan
demikian, secara bahasa hadis mukhtalif adalah hadis yang bertentangan satu
sama lain. Para ulama ahli hadis mendefinisikan bahwa hadis mukhtalif
adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Namun
hadis-hadis tersebut boleh jadi sebenarrnya tidak benar-benar kontradiktif,
sehingga masih bisa diselesaikan antara lain dengan metode al-jam’u wa al-
taufiq (kompromi dan pemaduan).

Termasuk dalam pengertian hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang


sulit dipahami karena ada kata-kata janggal atau sulit dipahami (musykil). Itu
sebabnya, ilmu yang dipakai untuk menyelesaikan hadis-hadis seperti itu
kadang disebut dengan istilah ilmu ikhtilah al-hadis atau ta’wil al-hadis, atau
talfiq al-hadis, atau musykul al-hadis.1

Satu hal yang penting dikemukakan berkaitan dengan bagaimana kita


menyikapi hadis mukhtalif adalah bahwa kesan adanya kontradiksi hadis
dengan al-Qur’an atau dengan temuan sejarah, atau ilmu pengetahuan, boleh
jadi hanya pada level interpretasi atau pemahaman hadis tersebut. Disinilah
perlu sikat hati-hati dan kecermatan bagj para peneliti hadis. Seperti pendapat
Dr. Yusuf Qardlawi bahwa wujub al-tatsabbut qabl al-hukm bi al-ta’arudl
(wajib melakukan verifikasi sebelum menghukumi bahwa hadis itu
bertentangan atau kontradiktif). 2

1
Muhammad ‘Ajjaj al-Khattib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahu (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), hlm. 283.
2
Yusuf al-Qardhawi, al-Marji’ayyah al-‘Ulya fil Islam lil Qur’an wa al-Sunnah (Mesir: Maktabah
2001), hlm. 200

2
Para ulama sebenarnya telah memberikan perhatian mengenai hadis-
hadis mukhtalif, terbukti dengan munculnya berbagai kitab berkaitan dengan
ilmu Mukhtalif al-Hadis antara lain :

1. Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn idris al-Syafi’i (150-204 H).
Karya ini memang tidak mencakup semua hadis-hadis mukhtalif tetapi
hanya menjelaskan sebagian hadis-hadis mukhtalif dan cara
menyelesaikannya.
2. Takwil Mukhtalif al-Hadits karya Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Qutaibah al-
Dainuri (213-276 H). Kitab ini disamping memuat hadis-hadis mukhtalif
dan cara menyelelesaikannya, juga memuat bantahan terhadap para
penentang hadis yang disebabkan oleh bias-bias ideologi madzhab.
3. Musykil al-Atsar karya Imam Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-
Thahawi (239-321 H).
4. Musykil al-Hadits wa Bayanuh, karya Abu Bakar Muhammad Ibn Hasan
al-Anshari (w. 406).

Ilmu Mukhtalif al-Hadits ini jika dilihat dari perspektif filsafat ilmu,
memiliki objek formal yaitu khusus meneliti hafis-hadis yang tampak
bertentangan (al-hadits al-mukhtalifah) dengan tujuan meencari solusi agar
hadis tersebut bisa dipahami secara tepat, sesuai dengan konteksnya masing-
masing, sehingga kesan kontradiksi bisa dihilangkan.

B. PENYEBAB HADIS MUKHTALIF


Ada empat faktor yang menyebabkan hadis-hadis tampak saling bertentangan,
yaitu :

1. Faktor internal hadis (al-amil al-dakhil), yakni menyangkut internal


redaksi teks hadis yang memang berkesan bertentangan. Jika kontradiksi
ini benar-benar terjadi, maka biasanya karena hadis tersebut ‘illat (cacat)
yang menyebabkan hadis tersebut menjadi dla’if (lemah). Dan ketika itu
jelas bahwa hadis yang lemah tersebut harus ditolak, terutama ketika
bertentangan hadis yang shahih.

3
2. Faktor eksternal (al-‘amil al-khariji) yakni faktor yang disebabkan oleh
konteks dimana Nabi SAW. menyampaikan hadis dan kepada siapa beliau
berbicara. Biasanya hadis-hadis yang tampak bertentangan seperti ini
masih bisa dikompromikan dan diletakkan sesuai dengan konteks masing-
masing, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan. Termasuk waktu dan
tempat (geografis) dimana Nabi Saw menyampaikan hadis.
3. Faktor metodologi (al-bu’du al-munhaji), yakni berkaitan dengan proses
dan cara seseorang memahami hadis tersebut. Ada sebagian hadis
dianggap bertentangan dengan dengan hadis lain, atau dengan akal (ilmu
pengetahuan), karena hadis tersebut dipahami secara tekstualis. Padahal
jika hadis tersebut dipahami dengan kontekstual, misalnya dengan metode
ta’wil , kesan tersebut akan hilang .
4. Faktor ideologi (al-bu’du al-madzhabi), yakni berkaitan dengan ideologi
atau madzhab seseorang ketika memahami suatu hadis. Suatu hadis dinilai
bertentangan dengan hadis atau ayat tertentu menjadi dasar ideologi
madzhab atau alirannya. Solusi terhadap hadis-hadis yang tampak
bertentangan disebabkan oleh faktor ideologi adalah bagaimana
‘mengurung diri’ dari prejudice-prejudice ideologi, kemudian
mengumpulkan hadis-hadis tersebut secara tematik, kemudian dianalisis
secara kritis, sehingga akan menghasilkan kesimpulan secara relatif lebih
objektif dan intersubjektif.

C. METODE MENYELESAIKAN HADIS-HADIS MUKHKTALIF


Adanya kesan bahwa sebagian hadis-hadis Nabi Saw. itu bertentangan
satu sama lain, mendorong para ulama untuk merumuskan teori bagaimana
menyelesaikan problem tersebut. Lima teori yang digynakan untuk
menyelesaikan problem hadis-hadis mukhtalif, yaitu :
1. Metode al-Jam’u wa al-Tawfiq

Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan dan


mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan, dengan catatan
bahwa dua hadis tersebut sama-sama berkualitas shahih. Metode ini
dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengunggulkan salah satu

4
dari dua hadis yang tampak bertentangan). Dalam salah satu kaedah fiqh
dikatakan bahwa i’mal al-qawl khairun min ihmalihi (mengamalkan
suatu ucapan itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak
diamalkan). Metode al-jam’u wa al-taufiq ini tidak berlaku bagi hadis-
hadis dla’if (lemah) yang bertentangan dengan hadis-hadis yang shahih.

Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa al-taufiq adalah hadis


tentang cara Rasulallah Saw. hadis pertama menyatakan bahwa
Rasulallah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadis berikut ini :

Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata : Imam al-Syafi’i


memberi kabar kepada kami, dia berkata : Abdul Azizi ibn
Muhammad telah memberi kabar kepada kami, dari Zaid ibn
slam dari Atha’ ibn Yasar dari ibn Abbas bahwa Rasulallah Saw
berwudlu membasuh wajah dan keduan tangannya, serta
mengusap kepala satu kali-satu kali. (H.R al-Syafi’i)

Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw.


berwudlu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap
lepala tiga kali, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut ini :

Imam al-Syafi’i telah memberi kabar kepada, dia berkata, Sufyan


Ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya, dari Hamran Maula ‘Utsman ibn ‘Affan
bahwa Nabi Saw berwudlu dengan mengulangi tiga kali (dalam
membasuh dan mengusap). (H.R al-Syafi’i)

Kedua riwayat yang tampak bertentangan dan sama-sama shahih,


dapat diselesaikan dengan metode al-jam’u wa al-taufiq. Imam al-Syafi’i
berkata: “Hadis-hadis itu tidak bisa dikatakan sebagai hadis yang benar-
benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudlu dengan
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali
sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudlu

5
adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan kedua
tangan, serta mengusap kepala).

2. Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak
memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan
mengumpulkan mana diantara hadis-hadis yang tampak bertentangan
yang kualitasnya lebih baik.. sehingga hadis yang lebih beerkualitas
itulah yang dijadikan dalil.

Harus diakui bahwa ada beberapa matan hadis yang saling


bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-
Qur’an. Antara lain adalah hadis tentang nasib bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadis
berikut ini :

Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya itu masuk


neraka. (H.R. Abu Dawud)

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Ibnu


Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadis tersebut (sebab
wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama
saudaranya menghadap Rasulallah Saw, seraya bertanya : “Wahai Rasul,
sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka
menyambung silahturahmi, memuliakan tamu, tapi ia meningsal dalam
keadaan jahiliyyah. Apakah amal kebaikannya it bermanfaat baginya?
Nabi Saw. menjawab : tidak. Kami berkata : Dulu ia pernah mengubur
saudara perempuanku hidup-hidup di zaman jahiliyyah. Apakah amal
kenbaikannya bermanfaat baginya? Nabi Saw. menjawab : Orang yang
mengubur anak permpuan hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada
di neraka, kecuali jika permpuan yang menguburkannya itu kemudian
masuk islam, lalu Allah Swt memaafkannya. Demikian hadis

6
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Nasa’i, dan nilai sebagai hadis
hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.3

Hadis tersebut musykil (janggal) dari sisi matan dan mukhtalif


(bertentangan) dengan al-Qur’an surah at-Takwir.

Artinya : Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup=hidup


ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (Q.A al-Takwir
[81] : 8-9 )

Kalau seorang perempuan yang mengubur anak perempuannya


hidup-hidup masuk neraka, itu memang logis, tetapi bagaimana dengan
nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ? Bukankah bayi itu
suci tidak berdosa? Oleh sebab itu, hadis tersebut harus ditolak,
meskipun sanadnya hasan. Lagi pula hadis tersebut, juga bertentangan
dengan hadis lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad. Nabi Saw. pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan
Mu’awiyyah al-Sharimiyyah, Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga?
Beliau menjawab : Nabi Saw akan masuk surga, orang yang mati syahid
akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan
yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR.Ahmad).

3. Metode Nasikh-Mansukh
Jika hadis tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama
menempuh metode nasikh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari
hadis yang lebih datang dulu dan mana hadis yang datang belakangan.
Otomatis yang datang lebih awal di naskh dengan yang datang
belakangan.

Secara bahasa naskh artinya menghilangkan (al-izalah), bisa pula


berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah, naskh berarti
penghapusan yang dilakukan oleh syari’ (pembuat syariat; yakni Allah
dan Rasulallah) terhadap ketentuan hukum syariat yang datang lebih dulu
3
Shalahuddin al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn...hlm. 265

7
dengan dalil syar’i yang datang belakangan.4 Dengan definisi tersebut
bahwa hadis-hadis yang sifatnya hanya sebagai penjelasan (bayan) dari
hadis yang bersifat global atau hadis-hadis yang memberikan ketentuan
khusus (takhsis) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan
sebagai hadis nasikh (yang menghapus).

Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadis hanya


teerjadi disaat Nabi Muhammad Saw masih hidup. Sebab yang berhak
menghapus ketentusn hukum syara’, sesungguhnya hanyalah syari, yakni
Allah dan Rasulallah. Naskh hanya terjadi ketika pembatalan syari’at
sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi stelah hukum yang tetap
(ba’da istiqraril hukm).

Salah satu contoh dua hadis yang saling bertentangan dan bisa
diselesaikan dengan metode naskh-mansukh adalah hadis tentang nikah
mut’ah. Nikah mut’ah (kawin kontrak), dulunya diizinkan Nabi Saw pada
waktu perang khibar, namun kemudian di naskh (dihapus), sehingga
nikah mut’ah tidak boleh lagi dipraktikkan sekarang ini, sampai hari
kiamat. Meski demikian, dalam madzhab Syi’ah masih membolehkan
model nikah mut’ah.

4. Metode Tawaqquf
Jika metode nasikh-mansukh ini pun tidak mungkin, maka dipilih
metode tawaqquf ditemukan adanya keterangan, hadis manakah yang
bisa diamalkan. Namun sikap tawaqquf, sebenarnya tidak menyelesaikan
masalah, melainkan membiarkan ataun mendiamkan masalah tersebut
tanpa solusi. Padahal sangat mungkin hadis-hadis yang bermasalah
terkesan kontradiksi bisa diselesaikan melalui ta’wil. Oleh sebab itu, teori
tawaqquf harus dipahami sebagai sementara waktu, sehingga ketika
ditemukan ta’wil yang rasional mengenai suatu hadis, dengan

4
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadits: Ulumuhu wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-
Fikr,1989), hlm. 287

8
ditemukannya suatu teori dari penelitian ilmu pengetahuan atau sains,
maka tawaqquf itu tidak berlaku.
Sebagai contoh adalah hadis tentang lalat, dimana Nabi Saw
memerintahkan supaya apabila ada lalat hinggap di minuman, supaya
menenggelamkan sekalian, sebab di sayap kiri terdapat racun, sedangkan
di sayap kanan terdapat penawarnya. Hadis ini dipersoalkan validitasnya
oleh sebagaian orang karena dianggap bertentangan dengan nalar dan
teori kesehatan. Namun ternyata sekarang ditemukan penelitian baru
yang justru menguatkan kebenaran hadis tersebut baik dari sisi sanad
maupun matan.
5. Metode Ta’wil ( Hermeneutik )
Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam
menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Sebagai contoh
hadis tentang lalat. Hadis tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan
teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya
dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaiman mungkin Nabi Saw
menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman?
Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan taufiq Shidqi terhadap
kebenaran hadis tentang lalat sebagaimana dikutip G.H A Juynboll.5
Hadis tersebut berbunyi :

Khalid ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita
kepada kami, dia berkata : Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku,
dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata : saya mendengar Abu
Hurairah berkata : Rasulallah SAW bersabda : apabila ada lalat jatuh
dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia
membenamkannya sekalian, lalu buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya
pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedangkan sayap yang lain
terdapat penawar (obat). ( H.R Al-Bukhari )

5
G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature: Discussions in Modern Egypt
(Leiden E.J. Brill, 1969), hlm. 141-142

9
Selintas hadis tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiktif
dengan teori kesehatan. Namun ternyata penelitian dari sejumlah peneliti
Muslim di Mesir dan Saudu Arabia terhadap masalah ini justru
membuktikkan lain. Mereka membuat minuman yang dimasukkan ke
dalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice, kemudian
dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk, ke dalam
beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian,
antara minuman yang lalat dibenamkan di dalamnya.

Ternyata, melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa


minuman yang dihinggapi lalat dan tidak dibenamkan ke dalamnya,
dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba. Sementara minuman yang
dihinggapi lalat, lalu dibenamkan ke dalamnya, justru tidak dijumpai
sedikit pu kuman dan mikroba.6 Itu adalah sebuah penelitian ilmiah dan
semakin membuktikan kebenaran hadis tersebut secara ilmiah. Itulah
salah satu fenomena i’jaz ‘ilmi.

6
Zaghlul Raghib Muhammad Najjar, al-Ijaz al-‘Ilmi fi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mesir:
Nahdlah,2006). hlm. 152. Lihat pula Nizar Ali, Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-Hadis
Musykil (Yogyakarta, Teras 2008), hlm. 35-36.

10
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas ada beberapa kesimpulan yaitu bahwa hadis
mukhtalif adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain.
Termasuk dalam pengertian hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang sulit
dipahami karena ada kata-kata janggal atau sulit dipahami (musykil). Namun
jangan kita terburu-buru menolak suatu hadis yang dinilai kontradiktif,
seebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam. Hal ini karena
hadis-hadis tersebut boleh jadi tidak benar-benar kontradiktif, sehingga masih
bisa diberikan solusi. Paling tidak ada lima metode yang bisa dipakai untuk
menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, yaitu : 1) al-jam’u wa al-tawfiq, 2) al-
tarjih, 3) nasikh-mansukh, 4) al-tawaqquf, dan 5) ta’wil ( hermeneutik )

11
DAFTAR PUSTAKA

Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.


M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits (Terjemahan). Jakarta : Gaya Media
Pratama.
Nuruddin ‘Itr. Ulum Al-Hadist. diterjemahkan oleh Mujiyo. 1994. Manhaj al-
Naqd fi Ulum al-Hadîts Cet. ke-1, Jilid 2. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Umi Sumbulah,Hj,Dr,M.Ag,2010.Kajian Kritis Ilmu Hadis.Malang:UIN-Maliki
Press
Ibn-Salah,1981,Ulum Al-hadis,Beirut:Maktabah Al-Ilmiyah

12

Anda mungkin juga menyukai