Anda di halaman 1dari 25

Ilmu Mukhtalif Al- hadits

MAKALAH

Diajukan Memenuhi Syarat Sebagai Bahan Presentasi

Pada Mata Kuliah Ulumul Hadits

STIT DDI Pasangkayu

Dosen Pengampun : Bunaim S.Ag. M.pd

OLEH:

Nur Asma Amalianti

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STIT DDI PASANGKAYU

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehinggakami dapat menyelasaikan makalah ini dengan tepat waktu.Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelasaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga telimpah tercurahkan kepada
baginda tercinta kita nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya
di akhirat nanti.

Saya mengucapkansyukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,


baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran sehingga saya mampu
menyelasaikan pembuatan makalah sebagai tugas pada mata kuliah ulumul hadits
dengan judul “Ilmu Mukhtalif Al-hadits “. Saya tentu menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis

Nur Asma Amalianti


SAMPUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah.......................................................................................
2. Rumusan Masalah ..............................................................................................
3. Tujuan.................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian mukhtalif al-hadits.............................................................................
2. Urgensi mukhtalif hadits.......................................................................................
3. Syarat-syarat mukhtalif hadits...............................................................................
4. Sebab-sebab terjadinya mukhtalif hadits..............................................................
5. Metode penyelasaian mukhtalif hadits..................................................................

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan.........................................................................................................
2. Saran..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah

Sebagaimana kita tahu ilmu hadits dalam pembagiannya memiliki banyak sekali
cabang cabang yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan hadits. Ilmu-
ilmu tersebut sangat penting untuk diketahui apalagi bagi orang-orang yang menekuni
bidang hadits, karena dapat membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan hadits. Salah satu dari ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu mukhtalif al-
hadits. Ilmu ini membahas tentang haditshadits yang secara lahir saling bertentangan
antara satu dengan yang lain. Pertentangan tersebut terkadang membuat orang-orang
yang menekuni hadits menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan
dalam hadits-hadits tersebut. Karena hal inilah para tokoh hadits berpikir tentang apa
yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akhirnya
ditemukanlah ilmu mukhtalif al-hadits ini yang di dalamnya membahas tentang
metode-metode yang digunakan untuk memecahkan masalah pertentangan diantara
haditshadits nabi tersebut. Dan untuk lebih jelasnya, makalah ini akan mencoba
membahas tentang ilmu mkhtalif al-hadits ini.

B. Rumusan Masalah

Masalah dan topik pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana definisi mukhtalif hadis?

2. Bagaimana sebab-sebab terjadi mukhtalif hadis?

3. Bagaimana tahapan penyelesaian mukhtalif hadis menurut ulama?

4. Sebutkan contoh masing-masing tahapan!

5. Bagaimana urgensi ilmu mukhtalif?


C.Tujuan

Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui definisi mukhtalif hadis

2. Mengetahui sebab-sebab terjadi mukhtalif hadis

3. Mengetahui tahapan penyelesaian mukhtalif hadis menurut ulama

4. Mengetahui contoh masing-masing tahapan

5. Mengetahui urgensi ilmu mukhtalif


BAB II

PEMBAHASAN

1.Pengertian Ilmu Mukhtalif al Hadits

Dalam kaidah bahasa Arab, kata mukhtalif al-hadits adalah susunan dua kata yakni
mukhtalif dan al-hadits. Menurut bahasa,mukhtalif merupakan isim fa’il dari kata
ikhtilafa artinya lawan dari kata sepakat (ittifaq). Makna dari hadis mukhtalif adalah
hadis-hadis yang sampai kepada kita, namun satu sama lain saling bertentangan
maknanya. Dengan kata lain, maknanya saling kontradiktif. Menurut istilah,mukhtalif
merupakan hadis maqbul yang bertentangan dengan hadis lain yang semisal, namun
memiliki peluang untuk di-jama’(dikompromikam) diantara keduanya. Yaitu bisa
berupa hadis shahih atau hadis hasan, lalu ada hadis lain yang derajat dan
kekuatannya sama, akan tetapi secara zhahir maknanya bertentangan.1

Ilmu mukhtalif al-hadits dapat didefinisikan sebagai berikut:

‫العلم الذي يبحث في االحاديث التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها او يوفق بينهاكما‬

‫يبحث في االحاديث التي يشكل فهمها او تصو رها فيدفع اشكالها ويوضح حقيقتها‬.

“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan,lalu


menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping membahas
hadis yang sulit di pahami. Dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu
dan menjelaskan hakekatnya”.2

An-Nawawiy menilai ilmu Mukhtalif al-Hadits ini sebagai salah satu cabang ilmu
hadits terpenting yang perlu diketahui oleh semua golongan ulama. Penilaian an-
Nawawi ini,menurut Dr. Edi Safri tidaklah berlebihan karena ilmu ini memiliki fungsi
sebagai alat panduan bagi seseorang dalam memahami hadits-hadits Rasulullah saw.
khususnya hadits-hadits mukhtalif, agar tidak keliru atau salah dalam menangkap
makna atau mengambil kesimpulan tentang maksud sebenarnya yang dituju oleh
hadis-hadits tersebut.3

Oleh karena itu, sebagian ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan Ilmu Musykil al-
Hadits , Ilmu Ikhtilaf al-Hadits, Ilmu Ta’wilal-Hadits, Ilmu Ta’arudh al-Hadits ataupun

1
DR. Mahmud Thahan,IlmuHadisPraktis,(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010),64
2
saifudin Nur, M.Ag dan Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag,Ulumul Hadis,(Bandung: Tafakur,2011), 136.
3
Dr. Edi Safri Metode PenyelesaianHadis-hadis Mukhtalif,(Padang: IAIN Imam Bonjol,1999), 92
Ilmu Talfiq al-Hadits.4 Semua itu memiliki pengertian yang sama. Ilmu ini mengkaji
hadis yang tampaknya bertentangan, dari segi memadukannya,mengkompromikannya
dengan mentaqyid muthlaq-nya, men takhsis‘am-Nya, memahaminya berdasarkan
latar belakangnya yang berbeda atau lainnya. Al-Suyuthi menyebutkan dalam Tadrib
al-Rawi,bahwa hadits-hadtis mukhtalif adalah dua buah hadis yang saling bertentangan
pada makna zhahir Nya, maka diantara keduanya itu dikompromikan atau di-tarjih
salah satunya.Ilmu ini merupakan sebuah pengetahuan antara fiqh dan hadis sehingga
sampai kepada sebuah kesimpulan yang benar5

menurut al-Syafi’i, sebenarnya tidak ada pertentangan yang sesungguhnya


(kontradiksi) di antara hadits-haditstersebut. Dengan tegas dikatakannya: “Kami tidak
menemukan ada dua hadits yang bertentangan (mukhtalif), melainkan ada jalan keluar
penyelesaiannya. Hadits-hadits yang oleh sementara orang dinilai mukhtalif yang
mengandung makna bertentangan, menurut al-Syafi’i,sebenarnya bukanlah
bertentangan. Pertentangan-pertentangan yang tampak tersebut hanyalah pada
lahirnya saja bukan dalam arti yang sebenarnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam
pandangan al-Syafi’i,timbulnya penilaian suatu hadits yang bertentangan dengan
hadits lainnya sebenarnya disebabkan oleh kekeliruan memahaminya.6

Para imam dan tokoh kritikus hadits secara umum membagi hadits yang mengandung
problem di atas menjadi dua langkah penyelesaian. Langkah pertama, jika kedua hadits
yang bertentangan memungkinkan untuk dikompromikan, maka langkah kompromi
segera ditetapkan dan dijalankan terhadap keduanya. Langkah kedua,jika kedua hadits
yang bertentangan tidak memungkinkan untuk dikompromikan dengan berbagai
alasan. Hadits ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Pertama, jika diketahui salah satu
diantara kedua hadits itu merupakan nasikh, maka nasikh lebih didahulukan dan
diamalkan. Sedangkan hadits yang mansukh kita tinggalkan.Kedua, jika kita tidak
mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, maka kita harus men tarjih
salah satu diantara kedua hadits tersebut,kemudian kita mengamalkan hadits yang
rajih (terkuat).Ketiga, jika terhadap kedua hadits itu tidak bisa dilakukan proses tarjih
dan hal ini merupakan kebuntuan, maka kita tawaqquf kan(bekukan) mengamalkan
kedua hadits tersebut, hingga tampak bagi kita mana hadts yang lebih rajih. 7

4
lmu Talfiq al-Hadis ialah ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antarahadis-hadis yang
berlawanan zhahirny
5
bdirrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi,Tadrib al-Rawifi Syarhi Taqrib al-Nawawi,(Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, 1992), jilid 1, 310
6
Dr. Edi Safri,Metode Penyelesaian Hadis-hadisMukhtalif,(Padang: IAIN Imam Bonjol,1999),6
7
DR. Mahmud Thahan,Ilmu Hadis Praktis,(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,2010),67
2. Urgensi Ilmu Mukhtalif Hadits

Ilmu ini termasuk ilmu terpenting bagi ahli hadis, ahli fiqh dan ulama-ulama lain.
Yang menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, teratih
dan berpengalaman. Dalam hal ini,as-Sakhawiy mengatakan: “Ilmu ini termasuk jenis
yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama di berbagai disiplin.Yang bisa
menekuninya secera tuntas adalah mereka yang berstatusimam yang memadukan
antara hadis dan fiqh dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam. 8
Pertentangan berbagelah menyibukkan para ulama. Dalam perkara inilah kehebatan
mereka, pemahamannya mereka, dan kesungguhan ikhtiar mereka sangat menonjol.
Namun, tidak sedikit pula yang terpeleset dalam kubangan kebodohan dari sebagian
orang yang suka capur tangan terhadap urusan para ulama. 9 Selain itu diantara
pentingnya memahami ilmu ini adalah.10
1.Menolak syubhat terhadap hadits Nabi SAW. dan menetapkan terjaganya Nabi
SAW.serta terpeliharanya syari’at Islam, karena syari’at Islam selalu bermanfaat
untuk setiap waktu dan tempat.
2.Menjelaskan tidak adanya pertentangan pada dalil yang shahih,tetapi yang demikian
itu menunjjukkan kesempurnaan.
3.Menyingkap sebagian kesalahan periwayatan serta menjelaskan adanya syadz
pada riwayat tersebut.
4.Menetapkan bahwa kritik terhadap nash (matan hadits) muncul lebih awal sebelum
kritik sanad.

3.Syarat-Syarat mukhtalif hadits

Ulama hadits mengemukakan, tidak selamanya hadits yang bertentangan dianggap


suatu yang mukhtalif. Oleh karena itu, untuk memberikan batasan terhadap hadits
yang termasuk dalam kategori mukhtalif maka ulama hadits memberikan beberapa
syarat:

1.Terjadinya pertentangan antara dua buah hadits yang sama derajat ataupun
kualitasnya.

8
Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib,Ushul al-Hadis-Pokok-pokok IlmuHadis,(Jakarta Gaya Media Pratama,
1998), 254
9
DR. Mahmud Thahan,Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010),67
10
Asifah,Skripi (Pekanbaru:UIN Suska Riau,2014), 22
2.Dua buah hadits tersebut merupakan dua buah bentuk hukumyang berbeda, yakni
satu hadits menetapkan hukum halal dan hadits yang lain menetapkan hukum
haram.11

3.Kedua hadits bertentangan secara lahiriyah dan dapat dikompromikan

4.Sebab-Sebab Terjadinya Mukhtalif Hadits

Nabi Muhammad saw. adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering diminta
petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berlangsung selama kehidupan
Nabi saw. dan segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian dengan tuntas.
Nasehat yang diberikan kepada seseorang kadang kala belum dipahami secara penuh
oleh sahabat. Disamping itu, sahabat juga memahami perbuatan Rasulullah saw.
dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat perbuatan Rasulullah saw.
dalam kaitannya dengan ibadah sekilas bertentangan dengan hadits yang
disampaikan dengan lisan, sehingga pemahaman yang tidak komprehensif ini
menjadikan dua hadis dalam tema yang sama seolah-olah bertentangan 12. Adapun
sebab-sebab yang melatar belakangi hadits-hadis mukhtalif ialah sebagai berikut:

1.Faktor Internal. Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut.
Biasanya terdapat‘illat(cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan
hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika
hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.

2.Faktor Eksternal. Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteksmpenyampaian dari


Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di
mana Nabi saw. Menyampaikan hadits Nya.

3.Faktor Metodologi. Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan proses
seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara
tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan
kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga
memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.

4.Faktor Ideologi. Yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam
memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan
berbagai aliran yang sedang berkembang.13

5.Metode Penyelesaian Mukhtalif Hadits


11
Dr. Zikri Darussamin, M.A,IlmuHadis,(Pekanbaru: Suska Press, 2010), 152
12
http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html 01/04/2015 08:45
13
Abdul Mustaqim,Ilmu Ma’anil Hadîts,(Yogyakarta : Idea Press, 2008),87
Dalam menghadapi dua buah hadits yang menurut lahirnyan berlawanan atau
bertentangan, Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa langkah-langkah yang mesti
dilakukan berdasarkan prioritasnya adalah sebagai berikut: pertama,menjama’kan
(mentaufiqkan), kedua, mentarjih-kan salah satunya,ketiga,meneliti asbab al-wurud
kedua hadits tersebut,keempat, membekukan (tawaqquf). Imam al-Ghazali
mengatakan, bahwa usaha-usaha untuk menghadapi dua hadits yang saling
berlawanan dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, menjama’kan,
bila memungkinkan,kedua,mencari sejarah datangnya hadits (asbab al-wurud),ketiga,
meninggalkan beristidlal dengan mencari hukum dari hadits yang lain, keempat,
memilih diantara keduanya. Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahawa langkah-langkah
yang mesti dilakukan berdasarkan prioritasnya adalah sebagai berikut: pertama, al-
jam’u wa at –taufiq (menggabungkan dan mengkompromikannya),kedua,al-
tarjih(mentarjihkan/ menguatkan salah satunya),ketiga, nusikha ahadu al-qaulain
(menasakh salah satunya) dan keempat, tasaquth al-qaulaini (menggugurkan
keduanya). Meskipun berbeda dalam urutan penyelesaian dan skala prioritasnya, akan
tetapi mereka sepakat menetapkan langkah-langkah penyelesaian “ta’arudh al-
hadits/mukhtalif al-hadits yaitu: al-jam’u wa al-taufiq, al-tarjih, nasakh dan
tawaqquf/tasaquth.14

Al-Jam’u wa al-Taufiq

Al-Jam’u wa al-Taufiq artinya mengumpulkan dua buah hadits yang saling


bertentangan. Hal ini dapat dilakukan terhadap hadits-hadits yang mukhtalif, yaitu
hadits-hadits yang secara lahiriyah terlihat saling bertentangan. Makna thariqah al-
jam’u wa al-taufiq adalah dengan jalan mengumpulkan dua hadis yang bertentangan,
apabila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara
keduanya (hadis yang terkesan bertentangan), maka keduanya dikompromikan dan
wajib diamalkan. Untuk mengkompromikan hadis-hadis yang tampak saling
bertentangan dapat dilakukan dengan mentaqyid mutlaqnya, mentakhsis ‘amnya,
memahaminya berdasarkan latar belakangnya yang berbeda, atau menta’wilkan
maknanya. Ilmu ini mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang untuk
dapat menyelami makna filosofis suatu hadits.15

Imam Syafi’i membagi penyelesaian melalui metode jam’u wa al-taufiq menjadi


beberapa cara, yaitu:

a.Penyelesaian dengan pendekatan kaidah ushul

14
Zikri Darussamin, Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Suska Press, 2010), 153..
15
Ibid, 154
Pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul ialah memahami hadis-hadis
Rasulullah saw. Dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaidah-
kaidah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama. Harus memperhatikan
kaidah-kaidah terkait yang telah dirumuskan oleh ulama ushul ialah menyangkut
masalah ‘am dan khash. Misalnya, dirumuskan bahwa nash (ayat al-qur’an dan hadits
nabi saw.) yang datang dengan reaksi umum, haruslah didipahami dan diberlakukan
secara umum. Selama tidak ditemukan dalil lain yang meng-takhsis-kannya. Jika
ditemukan dalil lain yang men-takhsis-kannya, maka nash yang ‘am diberlakukan
terhadap afrad (pribadi dan satuan) selain yang di-takhsis-kan. Demikian juga halnya
masalah nash yang muthlaq dengan yang muqayyad. Nash yang muthlaq harus
dipahami dan diberlakukan sesuai ke-muthlaq-annya selama tidak ditemukan dalil
yang men-taqyd-kannya. Jika ditemukan dalil lain yang men-taqyd-kannya, maka nash
yang muthlaq haruslah ditanggungkan atas yang muqyyad.16

b.Penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual

Pemahaman kontekstual yang dimaksud ialah memahami hadis-hadis Rasulullah saw.


Dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi
yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut atau dengan perkataan lain,
dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Berkaitan dengan asbabul wurud
ini, hal yang perlu diperhatikan menurut Imam Syafi’i sebagai berikut: pertama,
adakalanya Rasulullah saw. ditanya tentang sesuatu dan beliau memberi jawaban
sesuai dengan masalah yang ditanyakan. Kedua, adakalanya Rasulullah saw.
menetapkan suatu ketentuan mengenai suatu masalah atau suatu peristiwa. Hal ini
merupakan faktor penyebab timbulnya penilaian suatu hadis bertentangan dengan
hadis lainnya karena tidak mengetahui asbab-al-wurud-nya atau tidak memperhatikan
konteksnya sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru.17

c.Penyelesaian berdasarkan pemahaman koleratif

Penyelesaian dengan pendekatan koleratif ialah bahwa hadis-hadis mukhtalif yang


tampak saling bertentangan (menyangkut suatu masalah), dikaji bersama dengan hadis
lain yang terkait. Dengan memperhatikan keterkaitan makna satu dengan lainnya agar
maksud atau kandungan makna yang sebenarnya dari hadis-hadis tersebut dapat
dipahami dengan baik dan dengan demikian pertentangan yang tampak dapat
ditemukan pengkompromiannya.18

16
Edi Safri, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol, 1999), 98.
17
Ibid, 103
18
Ibid, 111
d.Penyelesaian dengan cara takwil

Penyelesaian dengan cara takwil yakni dengan cara mentakwilkannya dari makna
lahiriah yang tampak bertentangan kepada makna lain, sehingga pertentangan yang
tampak tersebut dapat ditemukan titik temu atau pengkompromiannya. Takwil
sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama “memalingkan lafadz (kata-kata) dari
makna lahiriahnya kepada makna lain (yang lebih tepat) yang dikandung oleh lafadz
karena ada dalil lain (qarinah) yang menghendakinya” artinya meninggalkan makna
lahiriah suatu lafadz karena dinilai tidak tepat untuk menjelaskan maksud yang
ditujunya dengan mengambil makna lain yang lebih tepat diantara beberapa
kemungkinan makna yang dapat dipahami dari kandungan lafadz tersebut. 19

e. Al-Tarjih

Al-Tarjih adalah bentuk masdar dari ‫ رﺟﺢ ﻳﺮﺟﺢ ﺗﺮﺟﻴﺤﺎ‬artinya memberatkan,


menguatkan, menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada yang
lain. Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan, tarjih adalah menjadikan rajih salah satu dari
dua hadis yang berlawanan yang tidak bisa dikompromikan karena ada sesuatu sebab
dari sebab-sebab tarjih.20

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa tarjih ialah menyatakan keistimewaan salah


satu dari dua buah hadits yang sama derajatnya menjadi lebih utama dari yang lain.
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tarjih hanya terjadi padadua nash yang zhanni,
karena zhanni itu berbeda-bedakekuatannya. Sehingga tidak dapat dibayangkan
adanya tarjih pada nash-nash yang qath’i. Sebab sebagian nash yang qath’i tidaklah
lebih kuat dari nash qath’i lainnya. Pentarjihan dapat dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya dari aspek sanad, matan atau dari segi-segi yang lain. Pentarjihan dari segi
sanad dapat dilakukan dengan dengan melihat aspek-aspek sebagai berikut: pertama,
jumlah bilangan rawi pada salah satu pihak, kedua, hafalan perawi, ketiga, keadilan
perawi, keempat, baligh tidaknya perawi saat menerima suatu hadis, kelima, dari segi
kesesuaian dengan zhahir al-Qur’an, keenam, kesesuaian dengan qiyas, ketujuh, dari
segi transmisi sanad. Sementara pentarjihan dari segi matan dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut: pertama, mendahulukan hadis yang khash (khusus) atau
yang ‘am (umum), kedua, mendahulukan makna hakiki atas makna majazi, ketiga,
mendahulukan makna yang muqayyad atas yang mutlaq, keempat, mendahulukan
hadis yang mempunyai isyarat kepada illat hukum atas yang tidak demikian. 21

19
Ibid, 118
20
T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang, 1992), 277
21
Zikri Darussamin, Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Suska Press, 2010), 158.
f. Nasakh

Secara bahasa nasakh berarti memindahkan, membatalkan dan menghilangkan.


Nasikh berarti yang memindahkan, yang membatalkan dan yang menghilangkan.
Mansukh berarti yang dipindahkan, yang dibatalkan dan yang dihilangkan. Menurut
istilah, nasakh adalah suatu metode untuk menyelesaikan hadis-hadis yang tampak
saling bertentangan, dengan cara membatalkan atau menghilangkan hukum salah satu
darinya.22 Ulama ushul mengatakan bahwa nasakh adalah menghilangkan atau
mengahapus suatu hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datang kemudian.

Ilmu Nasikh wa Mansukh adalah ilmu yang membahas hadis hadis yang saling
bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan
sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh. Yang terbukti
datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai
nasikh.23 Dalam hal ini, al-Hazimiy mengatakan bahwa cabang ilmu ini merupakan
kesempurnaan ijtihad. Sebab rukun utama ijtihad adalah mengetahui daldan salah satu
fungsi dalam pengutipan (dalil-dalil naqli) adalah mengetahui yang nasikh dan yang
mansukh.

g. Tawaqquf

Secara etimologi, tawaqquf adalah berhenti ditempat itu atau berdiri. Secara
terminologi, tawaqquf berarti membekukan atau meninggalkan kedua buah hadis yang
saling bertentangan tersebut untuk beristidlal. Metode ini dapat dilakukan apabila tida
metode sebelumnya tidak dapat dilaksanakan atau menemui jalan buntu. Ketiga
metode yang dimaksud yaitu: pertama, menjama’kan (mentaufiqkan), kedua,
mentarjihkan salah satunya, ketiga, meneliti asbab al-wurud kedua hadis tersebut
(nasakh).

Agar tidak terjadi kekosongan hukum atau dasar hukum sebagai rujukan untuk
bertindak, maka langkah-langkah yang dapat digunakan, yaitu:

1.Mencari hadis lain atau dalil hukum lain, meskipun kualitas, kuantitas, dan
tingkatannya lebih rendah dari hadis yang berta’arrudh

2. Kembali ke hukum asal. Artinya, jika hal itu berkaitan dengan masalah ibadah, maka
pelaksanaannya harus didasarkan pada nash atau dalil hukum. Selama dasar
hukumnya belum ditemukan, maka sesuatu yang dipandangibadah tidak dapat
dilaksanakan. Sesuatu ibadah yang dilaksanakan tanpa adanya dasar hukum yang
22
Izzuddin Husain, Menyikapi Hadis-Hadis yang saling bertentangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), 34
23
Saifudin Nur dan Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011), 140.
jelas adalah bid’ah (mengada-ada) dan sesuatu yang bid’ah akan membahwa
kepada kesesatan dan orang yang sesat tempatnya dineraka. Sebaliknya, jika tidak
berkaitan langsung dengan pelaksanaan ibadah, maka hal itu boleh dilakukan
selama tidak ada dalil hukum yang melarangnya.24

Cara Menyelesaikan Hadits Mukhtalif

Hadits mukhtalif adalah dua buah hadits (atau lebih) yang saling bertentangan pada
makna lahiriahnya, kemudian keduanya dikompromikan atau ditarjih salah
satunya.25

Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa tidak semua hadits yang secara
tekstual bertentangan, tertutup untuk dikompromikan Untuk itu Syarafuddin Ali al-
Rajihi mendefinisikan hadits mukhtalif sebagai berikut: "

Hadits mukhtalif adalah dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan pada
makna lahiriahnya, namun maksud yang dituju oleh kedua hadits tersebut masih
mungkin untuk dikompromikan dengan tanpa dicari-cari (wajar) 26

Imam al-Syafi'I berkata : " Demikianlah, tidak pernah kami temukan dua hadits
yang kontradiksi, kecuali ada saja jalan keluarya. Atau ditemukan petunjuk yang
yang memberikan isyarah mana hadits yang lebih otentik, baik atas dasar
kesesuaiannya dengan kitab Allah, hadits Nabi, atau berdasarkan dalalah (petunjuk)
lainnya."27

Dengan demikian, maka tidak akan ditemukan hadits-hadits yang bertentangan


secara lahiriyah, kecuali ditemukan jalan keluar untuk menghilangkan sifat
kontradiksinya, baik melalui jalan kompromi (al-jam'u), tarjih, atau nasih mansuh.

Cara yang ditempuh para ulama dalam menyelesaikan ikhtilaf hadits adalah sebagai
berikut:

1.Apabila mungkin, supaya diupayakan untuk dikompromikan keduanya, baik melalui


pendekatan kaidah ushul fiqh, pendekatan konteks. pendekatan korelatif,
pendekatan ta'wil, atau pendekatan dari sudut pandang al-tanawwu' al-ibadah." 28

24
Zikri Darussamin, Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Suska Press, 2010), 164-165
25
Ibid, hal. 149
26
*Dr. Muhammad Thahir al-Jawably, Juhud al-Muhadditsin... hal. 372
27
* Dr. Edi Safri, al-Imam al-Syafi'i... hal. 152, 160, 171, 180, 205 10 Muhammad Utsman al-Kasyit,
ibid, hal. 128
28
"Muhammad Zakariya al-Kandahlawi (selanjutnya disebut al-Kandahlawi), Awjazu al-Masalik lla
Muwatha' Malik, juz XIV (Bairut: Dar al-Fikr, tth) hal 270
2. Apabila mustahil dikompromikan, maka perlu diteliti sejarah keduanya, dan bila
ditemukan sejarah yang menunjukkan mana yang lebih awal dan lebih akhir
wurudnya, maka diselesaikan melalui pendekatan nasih mansuh

3. Apabila tidak dapat ditemukan sejarah wurudnya, maka pertama- tama supaya
diamalkan secara sendiri-sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.
Namun bila tidak dapat diperlakukan seperti itu, terpaksa dilakukan tarjih. Dalam
hal ini Muhammad Utsman alHasyit membagi tarjih ke dalam empat kategori; yaitu
tarjih dari sudut sanad, dari sudut matan, dari sudut makna yang dimaksud
(madlul), dari sudut yang datangnya dari luar. Sungguhpun demikian, pendekatan
pertama, yaitu al-jam'u (kompromi), merupakan cara terbaik, yang diakui sejumlah
ulama, sebagaimana dituturkan al-Kandahlawi. Untuk itu, sebagai pengetahuan
mengenai pemahaman terhadap hadits (sunnah) Nabi secara lebih baik perlu
menyimak pendapat as-Syafi'i. Ia berpendapat bahwa sunnah Nabi tidak akan
bertentangan dengan al-Qur'an, baik sunnah itu bersifat sebagai tafsir, atau sebagai
ketentuan tambahan. Sebab al-Qur'an sendiri memerintahkan untuk mengikutinya.
Oleh karna itu apabila terdapat hadits yang sama-sama shahih, tidak mungkin
terjadi pertentangan. Sabda Nabi Muhammad saw dalam Haditsnya kadang
ditujukan sebagai ketentuan yang bersifat umum, tetapi yang umum itu kadang
dimaksudkan sebagai ketentuan khusus.

Demikian pula (dalam "Muhammad Zakariya al-Kandahlawi (selanjutnya disebut al-


Kandahlawi), Awjazu al-Masalik lla Muwatha' Malik, juz XIV (Bairut: Dar al-Fikr, tth)
hal 270 sabdanya itu) kadang dimaksudkan oleh Nabi sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam konteks tertentu, tetapi kadang ia
menjawab persoalan yang sama dengan jawaban yang berbeda dalam konteks yang
lain. Atas dasar paradigma itulah, maka as-Syafi'i berkeyakinan bahwa tidak ada dua
hadits yang bertentangan, kecuali akan ditemukan jalan keluar untuk
mempertemukannya. Hadits-Hadits Yang Terkesan Berlawanan Redaksi hadits
bersangkutan diambil dari kitab Shahih Muslim. Hal ini dilakukan atas pertimbangan
bahwa kitab shahih Muslim merupakan salah saatu kitab shahih yang menduduki
peringkat kedua setalah shahih al- Bukhari. Mengapa tidak mengambil dari kitab
Shahih alBukhari ? karena dalam kitab yang terakhir ini hadits yang dimuat hanya
mengenai riwayat yang menuturkan bahwa Nabi SAW meminum air Zam-zam
dengan berdiri. Sedangkan mengenai.

larangan Nabi tidak dimuatnya. Jadi disamping alasan di atas, kitab shahih Muslim
dalam hal ini menyebutkan kedua hadits yang berlawanan. Redaksi hadits yang
dimaksud, baik yang bersifat larangan maupun kebolehan (ibahah), masing -masing
diriwayatkan tidak kurang dari empat jalur sanad. Secara rinci hadits dimaksud
adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang bersifat larangan. Hadits ini ada yang disusun dengan ‫ " ﺗ ﻬ ﯽ‬dan ada
yang menggunakan " ‫ " ر‬menggunakan lafadz Hadits yang menggunakan
diriwayatkan Imam Muslim dari dua jalur sanada, yaitu :

a. Dari Haddab bin Khalid, dari Hammam, dari Qatadah, dari Anas;

b. Dari Haddab bin Khalid, dari Hammam, dari Qatadah, dari Abi Isa al-Aswari, dari Abu
Sa'id alHudazri.

Sedangkan hadits yang menggunakan kata Imam Muslim dari dua jalur sanad, yaitu:
juga diriwayatkan

a. Dari Muhammad bin al-Mutsanna, dari Abd. Al-A'la, dari Sa'id, dari Qatadah, dari
Anas.

b. Dari Zuher bin Harb, Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Bassyar. Mereka bertiga
menerima dari Yahya bin Sa'id, dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Abu Isa al-Aswari,
dari Abu Sa'id al-Khudzri,

2. Haditsyang bersifat memberi ijin kebolehan (ibahah) adalah

disusun dengan redaksi sebagai berikut:

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻛﺎﻣﻞ اﻟﺠﺤﺪري ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻋﻮاﻧﺔ ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ اﻟﺸﻌﺒﻲ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗال ﺳﻘﻴﺖ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻣﻦ زﺣﺰم ﻓﺸﺮب وﻫﻮ ﻗﺎﺋٌﻢ‬

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﺗﻤﻴﺮ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ اﻟﺸﻌﻲ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﻪﻠﻟا ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ﺷﺮب من زﻋﺰم ﻣﻦ دﻟﻮ ﻣﻨﻬﺎ وﻫﻮ ﻗﺎﺋم م‬

‫وﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﺮﻳﺞ ﺑﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﻴﻢ أﺧﺒﺮﻧﺎ ﻋﺎﺻٌﻢ اﺄﻟﺣﻮل ح و ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻳﻌﻘﻮب اﻟﺪورﻗﻲ وإﺳﻤﻌﻴﻞ ﺑﻦ ﺳاﻟﻢ ﻗال‬
‫إﺳﻤﻌﻴﻞ أﺧﺒﺮﻧﺎ و ﻗال ﻳﻌﻘﻮب ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﻴٌﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺎﺻٌﻢ اﺄﻟﺣﻮل وﻣﻐﻴﺮة ﻋﻦ اﻟﺸﻌﺒﻲ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أن رﺳﻮل‬
‫ﻪﻠﻟا ﺻﻠﻰ ﻪﻠﻟا ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺷﺮب ﻣﻦ زﻣﺰم وﻫﻮ ﻗﺎﺋٌﻢ‬

Semua hadits di atas diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Abbas melalui

empat jalur sanad berikut : a Dari Abu Kamil al-Jahdari, dari Abu Uwanah, dari ' Ashim,
dari al- Sya'biy, dari Ibnu Abbas;b.
Dari Muhammad bin Abdullah bin Numair, dari Sufyan, dari

*Ashim, dari al-Sya'bi, dari Ibnu Abbas; Dari Syurej bin Yunus, Ya'qub al-Duraqi dan
Isma'in bin Salim.

Semuanya menerima dari Hasyim, dari Ashim al-Ahwal dan Mughirah dari al-Sya'bi,
dari Ibnu Abbas.

d. Dari Ubaidillah bin Mu'ad, dari ayahnya sendiri, dari Syu'bah, dari "Ashim, dari al-
Syabi, dari Ibnu Abbas.

Menurut penelitian yang dilakukan Imam Nawawi, penulis kitab Syarah Muslim,
semua hadits tersebut di atas, bersetatus shahih. Bahkan mengecam pendapat yang
mengatakan bahwa sebagian hadits tersebut sebagai dha'if. Pendapat al-Nawawi ini
kemudian dikutip oleh banyak penulis syarah hadits, seperti Ibnu Hajar al-
Atsqalaniy, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Abady (penulis Awnul Ma'bud),
Muhammad Zakaria al Kandahlawi (penulis Awjazul Masalik), Al- Syaukani dan lain-
lain.

Pendapat Para Ulama Dalam Menyelesaikan Ikhtila

Inti yang dimaksud hadits pertama melarang (mengecam) orang yang minum dalam
keadaan berdiri. Sedangkan inti maksud hadits kedua menjelaskan bahwa Nabi SAW
meminum air zam- zam dengan berdiri. Dari sini dapat difahami bahwa antara hadits
pertama dengan hadits kedua terdapat ikhtilaf. Hadits pertama bersifat melarang,
sedang yang kedua membolehkan, sebab Nabi sendiri melakukannya. Berarti ada
pertentangan ucapan dan perbuatan. Dalam hadits riwayat Muslim melalui jalur Abu
Hurairah, dituturkan bahwa Nabi bersabda:

‫ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﺪ اﻟﺠﺒﺎر ﺑﻦ اﻟﻌﺎﻠء ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺮوان ﻳﻌﻨﻲ اﻟﻔﺰاري ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺣﻤﺰة أﺧﺒﺮﻧﻲ أﺑﻮ ﻏﻄﻔﺎن اﻟﻤﺮي أﻧﻪ ﺳﻤﻊ‬
‫أﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮة‬

‫ﻳﻘﻮﺎﻟ ﻗال رﺳﻮل ﻪﻠﻟا ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺎﻟ ﻳﺸﺮﺑﻦ أﺣٌﺪ ﻣﻨﻜﻢ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﻓﻤﻦ ﻧﺴﻲ‬

: Namun Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Nu'aim, dari Mis'ar, dari Abd. Malik bin
Maisarah, dari al-Nazzal, berkata

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﺣﺪﺗﻨﺎ ﻣﺴﻌٌﺮ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻤﻠﻚ ﺑﻦ ﻣﻴﺴﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺰال ﻗال أﻧﻰ ﻋﻠٌﻲ رﺿﻲ ﻪﻠﻟا ﻋﻨﻪ ﻋﻠﻰ‬

‫ﺑﺎب اﻟﺮﺣﻴﺔ ﻓﺸﺮب ﻗﺎﺑﻨﺎ ﻓﻘﺎل إن اﻧﺎ ﺑﻜﺮة أﺣﺪﻫﻢ أن ﻳﺸﺮب وﻫﻮ ﻗﺎﻟٌﻢ وإﻧﻲ رأﻳﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﻪﻠﻟا ﻋﻠﻴﻪ‬

‫ﻓﻌﻠﺖ رأﻳﺘﻤﻮﻧﻲ ﻛﻤﺎ ﻓﻌﻞ وﺳﻠﻢ‬


Maka semakin jelas, bahwa secara tekstual, terdapat pertenatangan (ikhtilaf) antara
ucapan dan perbuatan nabi SAW. Timbullah pertanyaan; Mungkinkah terdapat
pertentangan dalam sunnah Nabi yang disepakati sebagai pedoman hidup muslimin?.
Untuk itu perlu ditemukan penyelesaian. Sebab tidak mungkin ada dua hadits yang
bertentangan kecuali Syafi'i.-terdapat jalan keluar untuk dipertemukan. Demikian kata
al-syafii

Menghadapai persoalan tersebut, sikap para ulama' tidak mengambil jalan yang
sama. Di antara mereka ada yang menempuh tarjih, ada yang menempuh nasih-
mansuh, dan ada yang menempuh jalan al-jam'u.

Abu Bakar al-Atsram mengambil pendekatan tarjih, di mana hadits yang


membolehkan dinyatakan sebagai lebih rajih dibanding hadits yang melarangnya,
walau sebenarnya kedua hadits itu sama-sama shahih. Alasan yang dijadikan dasar
adalah sebagai berikut:

Pertama, hadits yang secara gamblang dinyatakan sendiri oleh Nabi, yang sifatnya
melarang, adalah diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Redaksi hadits tersebut adalah:

‫ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﺪ اﻟﺠﺒﺎر ﺑﻦ اﻟﻌﻼء ﺣﺪﺗﻨﺎ ﻣﺮوان ﻳﻌﻨﻲ اﻟﻔﺰاري ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺣﻤﺰة اﻟﻤﻨﺮﻧﻲ أﺑﻮ ﻏﻄﻔﺎن اﻟﻌﺰي أﻧﻪ ﺳﻤﻊ‬
‫أﻧﺎ ﻫﺮﻳﺮة ﻳﻘﻮ ﻻ ﻗال رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻻ ﻳﺸﺮﻳﻦ أﺣٌﺪ ﻣﻨﻜﻢ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﻓﻤﻦ ﻧﻤﻲ‬

Namun pada saat yang sama terdapat riwayat yang menuturkan bahwa Abu Hurairah
berkata:

‫وﻳﺮوى ﻋﻦ أﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮة أﻧﻪ ﻗﺎل ﻻ ﺑﺄس ﺑﺎﻟﺸﺮب ﻗﺎﺋﻤﺎ‬

Kedua, ulama' telah sepakat, bahwa orang yang meminum berdiri karena lupa, tidak
wajib memuntahkan air yang telah diminum, padahal bila memperhatikan hadits
riwayat Abu Hurairah di atas, orang tersebut wajib memuntahkannya.

Memperhatikan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menurut


pendapat Abu Bakar al-Atsram, meminum sambil berdiri itu hukumnya boleh (ibahah)
secara mutlaq, tidak makruh dan tidak khilaf al- awla.

Agak mirip dengan pendapat Abu Bakar al-Atsram adalah pendapat Ibnu Syahin yang
menggunakan pendekatan nasih-mansuh. Ia berpendapat bahwa hadits Anas (bin
Malik tentang larangan minum dengan berdiri) adalah mansuh oleh hadits yang
membolehkannya. Alasan yang digunakan sebagai dasar adalah sebagai berikut :
Pertama, bahwa hadits yang memberi ijin dan memperbolehkan minum dengan
berdiri (berupa hadits fi'liyah) adalah terjadi lebih akhir, yaitu pada saat Nabi sedang
melaksanakan haji wada'.

Kedua, bahwa Khulafa' al-Rasyidin dikabarkan melakukan perbuatan minum sambil


berdiri. Demikian pula diriwayatkan bahwa sayyidah 'Aisyah berpendapat: "Tidak apa-
apa seorang yang minum dengan berdiri". Imam Malik meriwayatkan dari Abu Ja'far al-
Qariy bahwa ia telah mengetahui (menyaksikan) abdullah bin Umar bin al-Khatthab
minum sambil berdiri. Dengan begitu berarti para sahabat banyak yang melakukannya.
Atas dasar pertimbangan dan logika inilah para ulama' seperti Ibnu Syahin
berpendapat bahwa hadits Nabi yang melarang minum sambil berdiri telah mansuh.
Oleh karena itu mereka berkesimpulan bahwa minum sambil berdiri hukumnya boleh
secara mutlak.

Berlawanan dengan pendapat Ibnu Syahin walau pendekatan yang digunakan sama,
yaitu nasih mansuh - adalah pendapat Ibnu Hazmin. Ia berpendirian bahwa hadits yang
mansuh justru yang beresifat membolehkan (ibahah) dengan dasar bahwa kebolehan
adalah hukum asal, kemudian datanglah hadits yang melarangnya untuk menetapkan
hukum syari'at. Di samping itu dasar yangdipakai oleh pendapat yang mengatakan
bahwa hadits larangan itu mansuh, adalah tidak bisa dibenarkan, sebab hal itu hanya
berdasar dugaan. Dan yang demikian itu tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu Ibnu
Hazm berpendapat bahwa hukum minum sambil berdiri, hukumnya haram.

Pendekatan ketiga, adalah menggunakan cara (metode) al-jam'u; suatu pendekatan


yang ingin mencarikan titik temu antara dua hadits yang bertentangan, sehingga kedua
hadits bersangkutan sama diperlakukan secara adil, tanpa mengabaikan salah satunya.
Sungguhpun demikian, dalam hal ini para ulama tidak berada pada pemahaman yang
sama. Jumhur ulama' berpendapat bahwa hukum meminum dengan berdiri itu boleh,
hanya saja kurang disukai (makruh tanzih atau khilaf al-awla). Pendapat ini sama
dengan pendirian Imam Nawawi sebagaimana dijelaskan dalam kitab syarah Muslim. la
menjelaskan bahwa kedua hadits (yang terkesan bertentangan) itu sama- sama shahih,
namun tidak mengandung pertentangan. Larangan yang ada pada hadits Anas bin
Malik dan Abu Sa'id Al-Khudzri itu sifatnya tidak mutlaq. Hal ini disimpulkan dari
peristiwa minumnya Nabi. Tidak mungkin Rasulullah melakukan sesuatu yang telah
dilarangnya sendiri. Oleh karena itu perbuatan Nabi SAW (hadits filiyah berupa minum
sambil berdiri) harus difahami sebagai penjelasan terhadap hadits Anas bin Malik dan
Abu Sa'id al-Khudzri. Karena berfungsi sebagai penjelas, maka perbuatan Nabi itu
sifatnya tidak bisa dihukumi sebagai perbuatan yang makruh atau khilaf al- awla. Sama
dengan pendapat di atas adalah al-Khatthabiy, Ibnu Batthal dan al-Thabariy. Mereka
berpendapat bahwa larangan meminum dengan berdiri itu sifatnya hanya sebagai
irsyad dan ta 'dib, bukan sebagai keharaman.

Agak berbeda dengan pemahaman al-jam 'u di atas, adalah pendapat Abu al-Faraj al-
Tsaqafiy. Metode al-jam'u yang dipergunakan ialah dengan melakukan ta 'wil. Makna
yang dimaksud oleh kata adalah (berjalan). Seorang dikatakan apabila ia telah
menempuh dan bergumul dengan perkara tersebut. Jadi yang dimaksud oleh larangan
tersebut adalah minum dengan berjalan. Oleh karena itu apabila hanya minum sambil
berdiri dengan tenang, maka hal itu tidak termasuk dalam perbuatan yang dilarang
oleh hadits Nabi SAW tersebut. Ibnu Qutaibah memberi penegasan bahwa yang
dimaksud oleh larangan tersebut, supaya orang-orang yang sedang minum itu
melakukannya dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Tujuannya supaya air yang
masuk dapat berjalan dengan baik dan tidak nyangkut di dada. Menyimak apa yang
diterangkan Ibnu Qutaibah ini, tampaknya yang dituju oleh hadits Nabi yang melarang
minum sambil berdiri tersebut adalah kenyamanan dan kesehatan orang yang sedang
minum. Mereguk minuman dengan duduk akan mendatangkan kenyamanan dan
kesehatan. Sebaliknya, meminum dengan berdiri dihawatirkan akan mendatangkan
kemadzaratan dan penyakit.

Salah satu pemahaman al-jam 'u yang lain adalah pemahaman konteks. Hadits yang
bersifat melarang berlaku dalam keadaan normal, di mana dimungkinkan untuk
melakukan minum dengan duduk. Sedangkan hadits yang bersifat memberikan
kebolehan (ibahah) berlaku apabila keadaan tidak memungkinkan seorang untuk
minum dengan duduk. Pemahaman ini disimpulkan dari keadaan sewaktu Nabi
melakukan minum dengan berdiri, yaitu ketika sedang melakukan haji. Peristiwa ini
melahirkan pemahaman, bahwa Nabi tidak sempat duduk untuk minum air zam-zam,
karena situasi dimana para jama'ah haji sedang berdesakan.

Dari penjelasan tersebut di atas, penulis cenderung dengan pendekatan al- jam'u,
sebab pendekatan ini terasa lebih adil. Disamping itu tidak ditemukan alasan yang kuat
untuk menolak pendekatan ini. Sedang pemahamannya bisa memilih dari berbagai
pemahaman yang telah dikemukakan di atas. Bagi penulis pemahaman itu bisa
mengikuti perkembangan sesuai dengan konteks dan semangat moral yang ada dalam
petunjuk kandungan hadits.

Dalam konteks ikhtilaf tersebut di atas, penulis cenderung kepada pemahaman


jumhur ulama, al -Khatthabiy, Ibnu Batthal dan al-Thabariy. Hanya saja ada sedikit
catatan tambahan. Sebagaimana disebut di atas bahwa jumhur ulama' berpendapat :
"minum sambil berdiri itu tidak apa-apa (ibahah) tetapi kurang disukai (makruh tanzi
atau khilaf al-awla). Hadits yang sifatnya melarang fungsinya hanya sebagai ta'dib dan
irsyad.

Dalam hal ini penulis memberikan tambahan dengan menggunakan pendekatan


konteks. Bahwa minum sambil berdiri yang dikategorikan khilaf al-awla atau makruh
tanzih (kurang disukai) itu sifatnya tidak mutlaq, tetapi hanya berlaku di tempat-
tempat dimana akan menjadi penyebab menurunnya (jatuhnya) muru'ah dan derajat
seseorang, seperti minum di pinggir jalan dan sebagainya. Oleh karena itu apabila
minum sambil berdiri itu dilakukan di dalam rumah sendiri, atau dilakukan karena
hajat (kebutuhan yang tidak mengurangi muru'ah), maka hal itu diperbolehkan secara
mutlaq. Dasar pertimbangan ini adalah pemahaman atas hadits-hadits berikut:

1. Hadits riwayat Muslim dari Ibnu Abbas

‫ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﻴﺪ ﻪﻠﻟا ﺑﻦ ﻣﻌﺎد ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﺳﻤﻊ اﻟﺸﻌﺒﻲ ﺳﻤﻊ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗال ﺳﻘﻴﺖ رﺳﻮل ﻪﻠﻟا ﺻﻠﻰ‬
‫ﻪﻠﻟا ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻣﻦ زﻣﺰم ﻓﺸﺮب ﻗﺎﺋﻤﺎ واﺳﺘﺴﻘﻰ وﻫﻮ ﻋﻨﺪ اﻟﺒﻴﺖ‬

2.Hadits Riwayat Imam Ahmad dari Ummu Sulaim/Umi Anas bin malik

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﺠﺎٌج ﻋﻦ اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ وروح ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻗال أﺧﺒﺮﻧﻲ ﻋﺒﺪ اﻟﻜﺮﻳﻢ أن اﻟﺒﺮاء ﺑﻦ زﻳﺪ اﺑﻦ ﺑﺌﺖ أﻧﺲ ﺑﻦ‬
‫ ﻣاﻟﻚ‬Malik ‫أﺧﺒﺮه أن أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣاﻟﻚ ﻳﺤﺪث ﻋﻦ أم أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣاﻟﻚ ﻗاﻟﺖ دﺧﻞ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﻪﻠﻟا ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻨﺎ‬
‫وﻗﺮﺑﺔ ﻣﻌﻠﻘﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺎء ﻓﺸﺮب اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﻣﻦ ﻓﻲ اﻟﻘﺮﻳﺔ ﻓﻘﺎﻣﺖ ﺳﻠﻴﻢ إﻟﻰ ﻓﻲ اﻟﻘﺮﺑﺔ ﻓﻘﻄﻌﺘﻪ‬

Dari kedua hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa peristiwa minum Nabi dengan
berdiri itu dilakukan ketika beliau sedang di dalam rumah, sehingga tidak akan sampai
menurunkan muru'ah (kepribadian). Atau dilakukan karena keadaan dimana tidak
dimungkinkan duduk. Dari hadits Ummu Sulaim di atas jelas tergambar bahwa tempat
air minumnya tergantung di dinding, maka tidak mungkin dilakukan minum dengan
duduk. Demikian pula peristiwa minumnya Nabi SAW, pada saat sedang menjalankan
ibadah haji. Hal ini sangat dimungkinkan karena tempat sekitar sumur zam-zam itu
sangat berdesakan, sehingga tidak memungkinkan minum dengan duduk.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
a. Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan
dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh.

b. Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis) adalah susunan dua kata benda (isim) yakni
Mukhtalaf dan Al-Hadis. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan
dibaca kasroh lam') adalah hadis yang secara dhohir - tampak saling bertentangan
dengan hadis lain.

C . Memahami hadis Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta
dalam dan juga melakukan istinbat hukum dari hadis tersebut secara benar dan sah
tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan
tentang Mukhtalaf Al Hadis, sehingga mau tidak mau bagi seorang ilmuan ('ulama) yang
berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalif Al-Hadis merupakan
sebuah keniscayaan.

d. Sebab-sebab Mukhtalif al-Hadits

1. Faktor Internal Hadits (Al 'Amil Al Dakhily)

2. Faktor Eksternal (al' Amil al Kharijy)

3. Faktor Metodologi (al Budu' al Manhajy)

4. Faktor Ideologi

e.Penyelesaian Mukhtalif al-Hadits

1. Pendekatan at-Taufiq atau al-Jam'u

2. Pendekatan Nasakh
3.pendekatan tarjih

f. Dan jika ketiga metode penyelesaian tersebut tidak berhasil dilakukan, maka yang
mukhtalif tersebut terpaksa dinyatakan tidak diamalkan (tawaqquf).

B. SARAN

Demikianlah makalah yang telah penulis buat, penulis sadar makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kebaikan makalah
selanjutnya. Namun, penulis tetap berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA

DR. Mahmud Thahan,IlmuHadisPraktis,(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010),64

saifudin Nur, M.Ag dan Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag,Ulumul Hadis,(Bandung:


Tafakur,2011), 136.

Dr. Edi Safri Metode PenyelesaianHadis-hadis Mukhtalif,(Padang: IAIN Imam


Bonjol,1999), 92

lmu Talfiq al-Hadis ialah ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan
antarahadis-hadis yang berlawanan zhahirny

bdirrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi,Tadrib al-Rawifi Syarhi Taqrib al-Nawawi,(Beirut:


Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1992), jilid 1, 310

Dr. Edi Safri,Metode Penyelesaian Hadis-hadisMukhtalif,(Padang: IAIN Imam


Bonjol,1999),6

DR. Mahmud Thahan,Ilmu Ha Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib,Ushul al-Hadis-Pokok-


pokok IlmuHadis,(Jakarta Gaya Media Pratama, 1998), 254

DR. Mahmud Thahan,Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010),67

Asifah,Skripi (Pekanbaru:UIN Suska Riau,2014), 22dis Praktis,(Bogor: Pustaka Thariqul


Izzah,2010),67

Dr. Zikri Darussamin, M.A,IlmuHadis,(Pekanbaru: Suska Press, 2010), 152

http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html 01/04/2015 08:45

Abdul Mustaqim,Ilmu Ma’anil Hadîts,(Yogyakarta : Idea Press, 2008),87

Zikri Darussamin, Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Suska Press, 2010), 153..

Ibid, 154

Edi Safri, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol,
1999), 98.

B. Ibid, 103, Ibid, 111, Ibid, 118

T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang,


1992), 277

24
Zikri Darussamin, Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Suska Press, 2010), 158.

Izzuddin Husain, Menyikapi Hadis-Hadis yang saling bertentangan, (Jakarta: Pustaka


Firdaus, 2007), 34

Saifudin Nur dan Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011),
140.

Zikri Darussamin, Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Suska Press, 2010), 164-165

Ibid, hal. 149

*Dr. Muhammad Thahir al-Jawably, Juhud al-Muhadditsin... hal. 372

* Dr. Edi Safri, al-Imam al-Syafi'i... hal. 152, 160, 171, 180, 205 10 Muhammad Utsman
al-Kasyit ibid, hal. 128

Muhammad Zakariya al-Kandahlawi (selanjutnya disebut al-Kandahlawi), Awjazu al-


Masalik lla Muwatha' Malik, juz XIV (Bairut: Dar al-Fikr, tth) hal 270

25

Anda mungkin juga menyukai