Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ULUMUL HADIST

“ istilah istilah penting dalam perawi hadits dan pengertiannya (sahabat, tabi'in,
tabiuttabi'in, muttafiq, muftariq, mu'talif, mukhtalif, mutasyabih, muhmal dan mubham)”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist

Dosen pengampu :

Al- Fauzi S.Ud., LC., MA., CPSM

Disusun Oleh

Kelompok 9

1. Aditia Fahmi Ajie (4101211068)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2021/ 2022

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
segala limpahan rahmat, bimbingan dan petunjuk serta hidayah-Nya, sehingga kami mampu
menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “ ISTILAH ISTILAH PENTING DALAM
PERAWI HADITS DAN PENGERTIANNYA (SAHABAT, TABI'IN, TABIUTTABI'IN, MUTTAFIQ,
MUFTARIQ, MU'TALIF, MUKHTALIF, MUTASYABIH, MUHMAL DAN MUBHAM)”. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah ULUMUL HADIST.
Mohon maaf atas kesalahan serta kekhilafan yang kami perbuat baik sengaja maupun tidak
sengaja dan kami mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan makalah kami
agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal mungkin. Kami menyadari sepenuhnya
bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik
tanpa bantuan dan dukungan dari Bapak Al- Fauzi S.Ud., LC., MA., CPSM Selaku dosen
pengampu mata kuliah ini serta semua pihak yang membantu.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih dan berharap semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi semua yang membacanya. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk serta
rahmat-Nya kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bogor, 30 November 2021

(Fahmi Ajie)

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG............................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................4
C. TUJUAN............................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
A. Pengertian Hadits Muhmal (ُ‫ْث ْال ُم ْه َمل‬ ْ
ُ ‫)ال َح ِدي‬.......................................................................5

B. Hadits Mubham...............................................................................................................6
C. HADITS MU'TALIF DAN HADITS MUKHTALIF...................................................................9
D. HADIITS MUTASYABIH...................................................................................................10
E. SAHABAT NABI..............................................................................................................11
F. TABIIN............................................................................................................................16
G. Tabi'ut Tabi'in................................................................................................................18
BAB III PENUTUP...............................................................................................................20
A. Kesimpulan....................................................................................................................20
B. Saran..............................................................................................................................20

BAB I

3
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam penyampaian sebuah hadits tidak hanya asal diucapkan saja, tetapi harus benar-
benar diperhatikan dari isi sampai yang meriwayatkannya. Menjadi seorang perawi mempunyai
syarat-syarat tertentu agar riwayat haditsnya diterima. Kemudian untuk mengetahui kualitas
para perawi hadist maka diperlukan ilmu khusus dalam menilai kualitas para perawi hadits, dan
ilmu tersebut adalah ilmu jarh wa ta'dil.

Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah timbangan bagi para Rawi Hadits. Rawi yang berat timbangannya
diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatannya. Dengan ilmu ini
kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima Hadistnya, serta dapat membedakannya
dengan periwayat yang tidak dapat diterima Haditsnya. Oleh karena itulah para ulama Hadits
memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya untuk
menguasainya. Mereka pun berijma akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan
yang mendesak akan ilmu ini. Apabila para tokoh kritikus Rawi tidak mencurahkan segala
perhatiannya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para Rawi, menguji hapalan dan
kekuatan ingatannya, hingga untuk itu mereka tempuh rihlah yang panjang, menanggung
kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap para Rawi, yang
pendusta, yang lemah dan kacau hapalannya, seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan
menjadi kacaulah urusan Islam, orang-orang Zindiq akan berkuasa, dan para Dajjal akan
bermunculan.

Tidak semua Hadits itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua Hadits-hadits itu bersifat
dhaif perawinya, oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan
generasi Mukhrajul Hadits tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal
dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam
periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang di tulis oleh ulama ahli kritik
para periwayat Hadits.

Kritikan para periwayat Hadits itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja
tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan untuk dijadikan
pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat Hadits yang
mereka riwayatkan.

4
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian seorang rawi?

2. Apa saja syarat diterimanya seorang rawi?

3. Apa pengertian jarh dan ta’dil?

4. Mengetahui landasan ilmu Jarh dan ta'dil?

5. Mengetahui fungsi jarh dan ta'dil?

6. Apa saja tingkatan-tingkatan jarh dan ta’dil?

7. Bagaimana contoh redaksi jarh dan ta’dil?

C. TUJUAN

1. Mengetahui pengertian seorang rawi

2. Mengetahui syarat-syarat diterimanya seorang rawi

3. Mengetahui pengertian jarh dan ta’dil

4. Mengetahui landasan ilmu jarh dan ta’dil

5. Mengetahui fungsi jarh dan ta’dil

6. Mengetahui tingkatan-tingkatan jarh dan ta’dil

7. Mengetahui contoh redaksi jarh dan ta’dil

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Muhmal (‫ث ا ْل ُم ْه َم ُل‬


ُ ‫)ا ْل َح ِد ْي‬

Menurut bahasa, muhmal merupakan isim maf'ul dari lafadz "ahmala" ( ‫ )اَ ْه َم َل‬yang artinya
membiarkan, sedangkan muhmal berarti sesuatu yang dibiarkan.

Sedangkan menurut istilah, hadits muhmal adalah hadits diriwayatkan oleh salah satu dari 2
orang rawi, yang memiliki kesamaan nama, laqab (nama julukan), kunyah (nama panggilan),
atau nama nasab, tanpa adanya hal yang membedakan. Dari pengertian di atas, maka kita
bisa mengetahui bahwa yang dimaksud hadits muhmal adalah jika di dalam sanadnya
terdapat nama rawi yang bermakna ganda di kalangan ahli hadits. Hal itu dikarenakan nama
tersebut adalah nama yang sama yang merujuk pada 2 nama rawi yang berbeda, bisa saja
rawi A atau bisa rawi B.Di sini, yang dimaksud dengan nama yang sama, di antaranya adalah:

1. Nama rawi dan nama ayahnya memang sama, tanpa adanya pembeda sepertI
nama kebangsaan atau nama nasabnya

2. Diriwayatkan hanya dengan menggunakan nama rawi saja, tanpa nama nasab,
nama ayah, atau nama kebangsaan.

3. Diriwayatkan hanya dengan menggunakan laqab atau kunyah, dan lain sebagainya

Hukum Mengamalkan Hadits Muhmal

Jika ada kejelasan dari rawi yang meriwayatkan mengenai nama rawi yang sama tersebut,
bahwa ia menerima riwayat dari salah satu nama rawi yang sama, maka kemuhmalannya
bisa hilang. Tetapi, jika tidak ada kejelasan mengenai salah satu rawi nama yang sama tadi,
maka ada 3 versi di sini :

1. Jika kedua rawi merupakan rawi yang tsiqqah (terpercaya) maka hadits tersebut
diamalkan. Contoh seorang rawi meriwayatkan dari Ahmad dari Ibnu Wahab, dan
seterusnya. Nama Ahmad tersebut bisa jadi adalah Ahmad bin Isa dan Ahmad bin Shalih,
kedua rawi tersebut tsiqqah.

6
2. Jika salah satu rawi adalah dhaif dan satunya adalah tsiqqah. Contohnya adalah Sulaiman
bin Dawud, jika dinisbatkan pada "Al-Khulani" maka termasuk riwayat yang tsiqqah, tetapi
jika dinisbatkan pada "Al-Yamani" maka riwayatnya adalah dhaif.

3. Jika kedua rawi termasuk rawi yang dhaif, maka sudah jelas kemuhmalannya juga menjadi
dhaif.

B. Hadits Mubham

Kesamaran dalam matan dan sanad suatu hadis dapat diketahui siapa sebenarnya, dengan
dua cara, yaitu:

Pertama, dengan membandingkan satu riwayat dengan riwayat yang lain. Bisa jadi, di suatu
riwayat, nama sosok perawi atau sosok di matan hadis disamarkan, namun di riwayat
dengan jalur yang lain, disebutkan siapa sosok yang disamarkan itu. Dan hal ini sering
terjadi. Oleh karenanya, dalam meneliti suatu hadis, ketika ditemukan sosok yang mubham
dalam sanad hadis, tidak dapat serta merta hadisnya tersebut dihukumi dhaif. Seorang
peneliti harus terlebih dahulu membandingkan tema hadis yang sama dengan riwayat lain,
sehingga ada kemungkinan sosok yang mubham itu disebutkan namanya di riwayat lain.

Kedua, dengan melihat kepada catatan para sejarawan. Para sejarawan biasanya memiliki
pengetahuan terhadap sosok-sosok dalam sebuat peristiwa sejarah. Karenanya, catatan
sejarawan itu dapat digunakan untuk mencari sosok yang disamarkan di dalam suatu hadis

Definisi mubham adalah hadits yang dalam silsilah mata rantai perawinya ada perawi yang
tidak disebutkan namanya. Misalkan hanya disebutkan: dari seorang laki-laki, atau dari
seorang wanita, dan semisalnya. Mubham pada perawi menyebabkan perawi itu tidak bisa
diketahui apakah terpercaya atau tidak. Hadits mubham tidak mengapa jika pada bagian
perawi yang mubham dipastikan adalah:

1) Sahabat Nabi, atau:

2) dengan isyarat tanpa nama itu sudah diketahui siapa sebenarnya perawi tersebut karena
sudah masyhur dan ia tergolong perawi yang diterima periwayatannya. Contoh: dalam suatu

7
hadits, disebut perawi: Kaatibul Mughiroh (juru tulis al-Mughiroh). Ini sudah dimaklumi
bahwa juru tulis al-Mughiroh adalah Warrood ats-Tsaqofiy yang tsiqoh. Atau,

3) dalam satu jalur riwayat disebutkan secara mubham, namun tidak mubham pada jalur
lain.

Jika tidak memenuhi ke-3 kriteria tersebut, sehingga tidak diketahui siapa orang yang
mubham tersebut, maka ini tergolong lemah karena tidak diketahui siapa dan bagaimana
status perawi tersebut, terpercaya atau tidak. Padahal salah satu kriteria hadits shahih
adalah perawinya adil dan dhobith (tsiqoh).

Contoh Hadits Mubham yang Shahih

Berikut ini akan disebutkan 2 contoh hadits Nabi yang mubham, namun perawi yang
mubham dipastikan adalah Sahabat Nabi. Hal itu tidak mengapa. Karena sudah dipastikan
bahwa seluruh Sahabat Nabi terpercaya.

Contoh pertama:

‫ َأ َّن‬: -‫ص لى هللا علي ه وس لم‬- ‫ب النَّبِ ِّى‬ ِ ‫ص َحا‬ ْ ‫ َأنَّهُ َأ ْخبَ َرهُ َر ُج ٌل ِم ْن َأ‬: ‫ال َأ ْخبَ َرنِى َأبُو ُأ َما َمةَ بْنُ َس ه ٍْل‬ ُّ ‫ع َْن َم ْع َم ٍر َع ِن‬
َ َ‫الز ْه ِرىِّ ق‬
‫ُص لِّى َعلَى‬َ ‫ ثُ َّم ي‬، ‫ب بَ ْع َد التَّ ْكبِ ي َر ِة اُألولَى ِس ًّرا فِى نَ ْف ِس ِه‬
ِ ‫ ثُ َّم يَ ْق َرُأ بِفَاتِ َح ِة ْال ِكتَ ا‬، ‫صالَ ِة َعلَى ْال َجنَا َز ِة َأ ْن يُ َكب َِّر اِإل َما ُم‬
َّ ‫ال ُّسنَّةَ فِى ال‬
‫ ثُ َّم يُ َسلِّ ُم ِس ًّرا فِى نَ ْف ِس ِه‬، ‫ت الَ يَ ْق َرُأ فِى َش ْى ٍء ِم ْنه َُّن‬ َ ِ‫ َوي ُْخلِصُ ال ُّدعَا َء لِ ْل َجنَا َز ِة فِى التَّ ْكب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫النَّبِ ِّى‬
ِ ‫يرا‬

...dari Ma’mar dari az-Zuhriy ia berkata: telah mengkhabarkan kepadaku Abu Umamah bin
Sahl bahwasanya seorang Sahabat Nabi telah mengkhabarkan kepadanya: Sesungguhnya
sunnah dalam sholat jenazah adalah Imam bertakbir kemudian membaca surat al-Fatihah
setelah takbir pertama secara sirr (lirih) dalam dirinya, kemudian bersholawat kepada Nabi
shollallahu alaihi wasallam dan mengikhlaskan doa untuk jenazah dalam takbir-takbir
berikutnya, tidak membaca (surat) apapun. Kemudian mengucapkan salam secara sirr (lirih)
dalam dirinya (H.R al-Baihaqiy)

Syaikh al-Albaniy rahimahullah menilai shahih hadits ini dalam Irwaul Gholiil dengan
penguat dari riwayat al-Imam asy-Syafii dalam al-Umm dan riwayat Ibnu Abi Syaibah secara
mursal.

Contoh kedua:
8
‫اش ِد ب ِْن‬ ِ ‫ص ْف َوانَ ْبنَ َع ْم ٍرو َح َّدثَهُ ع َْن َر‬َ ‫ح َأ َّن‬ ٍ ِ‫صال‬ َ ‫اويَةَ ْب ِن‬
ِ ‫ث ْب ِن َس ْع ٍد ع َْن ُم َع‬ ِ ‫ال َح َّدثَنَا َحجَّا ٌج ع َْن لَ ْي‬ َ َ‫َأ ْخبَ َرنَا ِإ ْب َرا ِهي ُم بْنُ ْال َح َس ِن ق‬
ِ ُ‫ال يَ ا َر ُس و َل هَّللا ِ َم ا بَ ا ُل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ يُ ْفتَنُ ونَ فِي قُب‬
‫ور ِه ْم ِإاَّل‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ َّن َر ُجاًل ق‬ ِ ‫َس ْع ٍد ع َْن َرج ٍُل ِم ْن َأصْ َحا‬
َ ‫ب النَّبِ ِّي‬
)‫ُوف َعلَى َرْأ ِس ِه فِ ْتنَةً (رواه النسائي‬ ِ َ‫ال َّش ِهي َد قَا َل َكفَى بِب‬
ِ ‫ارقَ ِة ال ُّسي‬

(anNasaai menyatakan) Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin al-Hasan ia berkata:
telah menceritakan kepada kami Hajjaj dari Laits bin Sa’ad dari Muawiyah bin Sholih
bahwasanya Shofwan bin ‘Amr menceritakan kepadanya dari Rosyid bin Sa’ad dari seorang
laki-laki yang termasuk Sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya seseorang
berkata: Wahai Rasulullah, mengapa kaum beriman mendapatkan ujian di kuburannya
namun orang mati syahid tidak demikian? Nabi bersabda: Cukup kilatan pedang (sebelum
menebas) kepalanya sebagai (pengganti) ujian (H.R anNasaai)

Hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy. Seorang yang terbunuh di jalan Allah
dalam jihad yang syar’i, itu sudah cukup sebagai pengganti ujian di dalam kubur, pertanyaan
dari 2 Malaikat (disarikan dari syarh Riyadhis Sholihin karya Syaikh Ibn Utsaimin (1/1489)).

Contoh Hadits Mubham yang Lemah

‫ب ع َْن َأبِي ُأ َما َم ةَ َأوْ ع َْن‬ َّ ‫ت َح َّدثَنِي َر ُج ٌل ِم ْن َأ ْه ِل‬


ٍ ‫الش ِام ع َْن َش ه ِْر ب ِْن َحوْ َش‬ ٍ ِ‫َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ دَا ُو َد ْال َعتَ ِك ُّي َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ثَاب‬
‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬
َ ‫الص اَل ةُ قَ ا َل النَّبِ ُّي‬
َّ ‫ت‬ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ َّن بِاَل اًل َأ َخ َذ فِي اِإْل قَا َم ِة فَلَ َّما َأ ْن قَ ا َل قَ ْد قَ ا َم‬ ِ ‫ْض َأصْ َحا‬
َ ‫ب النَّبِ ِّي‬ ِ ‫بَع‬
‫َو َسلَّ َم َأقَا َمهَا هَّللا ُ َوَأدَا َمهَا‬

(Abu Dawud menyatakan) Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud al-’Atakiy
(ia berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsabit (ia berkata) telah
menceritakan kepadaku seorang laki-laki penduduk Syam dari Syahr bin Hawsyab dari Abu
Umamah atau dari sebagian sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya Bilal
mengumandangkan iqomat. Ketika sampai kalimat: Qod qoomatis sholaah, Nabi shollallahu
alaihi wasallam mengucapkan: Aqoomahallaahu wa adaamaha (H.R Abu Dawud)

Para Ulama menjelaskan bahwa hadits tersebut lemah, setidaknya karena 2 sebab:

Pertama: Perawi yang bernama Muhammad bin Tsabit (al-Abdiy) dilemahkan oleh Yahya bin
Ma’in an anNasaai (ad-Dhuafaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauzi (3/45)).

9
Kedua: Perawi yang mubham, tidak disebut namanya. Sehingga tidak diketahui siapa dia.
Hanya disebutkan: “seorang laki-laki penduduk Syam”.

Karena itu tidak disyariatkan mengucapkan Aqoomahallaahu wa adaamahaa saat menjawab


iqomat: Qod Qoomatis Sholaah. Namun, kalau kita ingin menjawab seruan orang yang
iqomat, hendaknya mengucapkan seperti yang diucapkan oleh orang yang iqomat itu. Jika
dia mengucapkan Qod Qoomatis Sholaah, kita juga mengucapkan Qod Qoomatis sholaah.
Karena iqomat semakna dengan adzan. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

ُ‫ِإ َذا َس ِم ْعتُ ُم النِّدَا َء فَقُولُوا ِم ْث َل َما يَقُو ُل ْال ُمَؤ ِّذن‬

Jika kalian mendengar kumandang (adzan/iqomat), ucapkanlah semisal dengan yang


diucapkan muadzin (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudriy)(disarikan dari
transkrip pelajaran syarh Sunan Abi Dawud yang disampaikan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad
(3/40)).

Adzan semakna dengan iqomat, berdasarkan hadits:

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل بَ ْينَ ُك ِّل َأ َذانَ ْي ِن‬


‫صاَل ةٌ ثَاَل ثًا لِ َم ْن َشا َء‬ َ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن ُم َغفَّ ٍل ْال ُمزَ نِ ِّي َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬

Dari Abdullah bin Mughoffal al-Muzaniy bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
bersabda: Antara setiap 2 adzan ada sholat (beliau mengucapkan demikian 3 kali). Bagi siapa
saja yang mau melaksanakannya (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Maksud antara 2 adzan itu kata para Ulama adalah antara adzan dan iqomat.

C. HADITS MU'TALIF DAN HADITS MUKHTALIF

Yaitu hadits yang di dalamnya berkesesuaian nama-nama rawi, julukan, atau sebagainya, di
dalam tulisan khatnya, tidak di dalam lafadznya, seperti nama "sallam ‫ " َساَّل ٍم‬karena tulisan
yang datang dari nama itu adalah dengan tasydid dan telah datang dengan takhfif (tanpa
tasydid) pada sebagian para rawi.

Dan seperti "A'tsam bin Ali Al-Kufi ‫" َعثَ ٍام ا ْب ِن َعلِ ّي ْال ُكوْ فِى‬

ٍ ْ‫" َغن َِام ا ْب ِن اَو‬


َّ ‫س ال‬
dan "Ghanam bin Aus As-Shahabi ‫ص َحابِى‬
10
Ibrahnya (poin utama masalah) di dalam persamaan tulisan khatnya dengan huruf adalah
dengan memutus penglihatan dari titik dan syakal (harakat) sebagaimana kami telah
mencontohkan.

Hadits mu'talif dan hadits mukhtalif adalah bagian penting yang merupakan keburukan jika
tidak mengetahuinya bagi ahlul ilmi, apalagi bagi ahlul hadits dan barang siapa yang tidak
mengetahuinya maka banyak salahnya.

Catatan :

Pada zaman Rasulullah SAW, penulisan hadits tidak disertai dengan titik dan harakat, bisa
dibayangkan contoh nama-nama ahli hadits di atas jika tanpa dengan harakat dan titik maka
penulisannya sama, sehingga hal ini cukup membingungkan ahlul hadits, apalagi kita orang
awam jika tidak mengetahuinya.

D. HADIITS MUTASYABIH

Yaitu hadits yang di dalamnya berkesesuaian nama-nama anak dan berbeda nama-nama
ayahnya, atau sebaliknya, seperti "Muhammad bin Aqil ‫ " ُم َح َّم ِد ا ْب ِن َعقِ ْي ٍل‬- dengan fathah huruf
ainnya dan "Muhammad bin Uqail ‫ " ُم َح َّم ِد ا ْب ِن ُعقَي ٍْل‬- dengan didhommah huruf ainnya.

Nama pertama adalah seorang tabi'in yang meriwayatkan dari Sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Dan nama kedua adalah termasuk guru dari Imam Bukhari. eperti juga "Syuraikh bin An-
Nu'man ‫ان‬ ِ ‫ْح اب ِْن النُّ ْع َم‬
ِ ‫ " ُش َري‬dengan huruf syin al-mu'jamah dan huruf kha' al-muhmalah, dan
"Suraij bin An-Nu'man ‫ان‬ ِ ‫ْج اب ِْن ال ُّن ْع َم‬
ِ ‫ " ُس َري‬dengan huruf sin dan huruf jim.

Nama pertama berkebangsaan Nasaibur dan nama kedua berkebangsaan Firyab.

Imam Al-Khatib Al-Baghdadi telah menyusun sebuah kitab agung dalam masalah hadits
mutasyabbih yang dinamai "Kitab Talkhis Al-Mutasyabbih" dan kitab itu mempunyai banyak
faidah.

Catatan :

Al-mu'jamah adalah dengan disertai titik dan al-muhmalah adalah tidak disertai titik.

11
Pada zaman Rasulullah SAW, penulisan hadits tidak disertai dengan titik dan harakat, bisa
dibayangkan contoh nama-nama ahli hadits di atas jika tanpa dengan harakat dan titik maka
penulisannya sama, sehingga hal ini cukup membingungkan ahlul hadits, apalagi kita orang
awam jika tidak mengetahuinya

E. SAHABAT NABI

Sahabat Nabi (bahasa Arab: ‫النبي أصحاب‬, translit. aṣḥāb al-nabī) adalah orang-orang yang
mengenal dan melihat langsung Nabi Muhammad, membantu perjuangannya dan
meninggal dalam keadaan Muslim. Secara terminologi, kata ṣahabat (‫ )ص حابة‬merupakan
bentuk jama'/plural dari kata ṣahabi (‫ )صحابي‬yang bermakna membersamai, mendampingi,
dan berinteraksi langsung. Para Sahabat yang utama mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan Nabi Muhammad, sebab mereka merupakan penolongnya dan juga merupakan
murid dan penerusnya. Bagi dunia Islam saat ini, sahabat Nabi berperan amat penting, yaitu
sebagai jembatan penyampaian hadis dan sunnah Nabi Muhammad yang mereka
riwayatkan.

Definisi :

Kebanyakan ulama secara umum mendefinisikan sahabat Nabi sebagai orang-orang yang
mengenal Nabi Muhammad, mempercayai ajarannya, dan meninggal dalam keadaan Islam.
Dalam bukunya “al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah”, Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M)
menyampaikan bahwa:

"Sahabat (‫ص حابي‬, ash-shahabi) adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dalam
keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam."[1][2][3]

Terdapat definisi yang lebih ketat yang menganggap bahwa hanya mereka yang
berhubungan erat dengan Nabi Muhammad saja yang layak disebut sebagai sahabat Nabi.
Dalam kitab “Muqadimmah” karya Ibnu ash-Shalah (w. 643 H/1245 M),

Dikatakan kepada Anas, “Engkau adalah sahabat Rasulullah dan yang paling terakhir yang
masih hidup". Anas menjawab, “Kaum Arab (badui) masih tersisa, adapun dari sahabat
beliau, maka saya adalah orang yang paling akhir yang masih hidup.”[4][5]

12
Demikian pula ulama tabi'in Said bin al-Musayyib (w. 94 H/715 M) berpendapat bahwa:
“Sahabat Nabi adalah mereka yang pernah hidup bersama Nabi setidaknya selama setahun,
dan turut serta dalam beberapa peperangan bersamanya.”[3][4]

Sementara Imam an-Nawawi (w. 676 H /1277 M) juga menyatakan bahwa: “Beberapa ahli
hadis berpendapat kehormatan ini (sebagai Sahabat Nabi) terbatas bagi mereka yang hidup
bersamanya (Nabi Muhammad) dalam waktu yang lama, telah menyumbang (harta untuk
perjuangannya), dan mereka yang berhijrah (ke Madinah) dan aktif menolongnya; dan
bukan mereka yang hanya menjumpainya sewaktu-waktu, misalnya para utusan Arab badui;
serta bukan mereka yang bersama dengannya setelah Pembebasan Mekkah, ketika Islam
telah menjadi kuat.

Jumlah sahabat nabi:

Tidak mungkin bisa dipastikan mengenai jumlah sahabat Nabi secara tepat karena berbagai
faktor seperti perbedaan definisi dan luasnya daerah persebaran mereka selama hidup, jika
kita hanya merujuk pada jumlah sahabat Nabi yang tercatat dalam berbagai buku biografi
karangan Ulama

yang membahas mereka seperti kitab Thabaqat Al-Kabir karya Ibnu Sa'ad, kitab Al-Isti'ab
karya Ibnu Abdil Barr dan Mu'jam as-Shahabah karya Ibnu Qani', maka kita hanya akan
mendapati sekitar 2700-an sahabat laki laki dan 380-an sahabat perempuan, sedangkan
Imam Al-Qasthalani dalam kitab al-Mawahib nya menyatakan bahwa jumlah sahabat Nabi
ketika peristiwa Fathu Makkan adalah berjumlah sekitar 7000 orang, lalu dalam peristiwa
perang Tabuk bertambah menjadi 70.000, dan yang terakhir pada peristiwa Haji Wada'
jumlah mereka mencapai sekitar

124.000 orang, wallahu a'lam.

Identifikasi terhadap sahabat nabi:

13
Identifikasi terhadap Sahabat Nabi, termasuk tingkatan dan statusnya, merupakan hal yang
penting dalam Dunia Islam karena digunakan untuk mengevaluasi keabsahan suatu hadis
maupun perbuatan Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh mereka.[6]

Menurut Al-Hakim an-Naisaburi dalam karyanya Al-Mustadrak, tingkatan Sahabat terbagi


dalam dua belas tingkatan,[7][8] yaitu:

Para Khulafa'ur Rasyidin dan selebihnya dari Sepuluh yang Dijanjikan Surga ketika masih
hidup Para sahabat yang masuk Islam di Makkah sebelum Umar dan mengikuti majelis
Daarul Arqam Para sahabat yang ikut serta berhijrah ke negeri Habasyah

Para sahabat Kaum Anshar yang ikut serta dalam Bai'at Aqabah Pertama Para sahabat Kaum
Anshar yang ikut serta dalam Bai'at Aqabah Kedua

Para sahabat Kaum Muhajirin yang berhijrah sebelum sampainya Nabi Muhammad di
Madinah dari Quba

Para sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar

Para sahabat yang berhijrah antara Perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah

Para sahabat yang ikut serta dalam Baiat Ridwan pada saat ekspedisi Hudaibiyyah

Para sahabat yang masuk Islam dan berhijrah ke Madinah setelah Perjanjian Hudaibiyyah
Para sahabat yang masuk Islam setelah Fathu Makkah

Para sahabat anak-anak yang melihat Nabi Muhammad di waktu atau tempat apapun
setelah Fathu Makkah

Terdapat sekelompok Sahabat Nabi yang dipandang lebih tinggi statusnya di antara
kalangan mereka sendiri, yaitu sebagai ulama yang dimintakan fatwanya untuk berbagai
permasalahan yang mereka hadapi. Sahabat Nabi yang memberikan fatwa diperkirakan ada
sekitar 130 orang, laki- laki dan perempuan.[9] Menurut Ibnu Qayyim, para ulama Sahabat
Nabi terbagi sbb.:[9][10]

14
Para sahabat yang banyak berfatwa, yaitu tujuh orang: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Mas'ud, Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan
Abdullah bin Abbas

Para sahabat yang pertengahan dalam berfatwa, antara lain: Abu Bakar, Ummu Salamah,
Anas bin Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, Utsman bin Affan, Abdullah bin Amr bin
al-Ash, Abdullah bin Zubair, dll.

Para sahabat yang sedikit berfatwa, hanya satu-dua masalah, yaitu: Abu Darda, Abu al-
Yasar, Abu Salamah al-Makhzumi, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Hasan bin Ali, Husain bin Ali,
Nu'man bin Basyir, Ubay bin Ka'ab, Abu Ayyub, Abu Thalhah, Abu Dzar, Ummu Athiyyah,
Shafiyah Ummul Mukminin, Hafshah, dan Ummu Habibah.

Banyak sekali ayat al-Qur'an dan hadist Nabi yang mencatat mengenai keutamaan para
sahabat karena mereka merupakan orang-orang yang membela Nabi Muhammad baik
dalam keadaan senang maupun susah, bahkan diantara mereka sudah ada yang dijaminkan
surga melalui lisan Nabi sendiri sewaktu beliau masih hidup yang dikenal sebagai "Asyarah
al-Mubassyarin bi-l- jannah" (sepuluh orang yang dijanjikan surga), diantara ayat al-qur'an
yang menjelaskan tentang keutamaan mereka yaitu:

"Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka
rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak
tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat
dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang
mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak
lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena
Allah hendak menjengkelkan hati orang- orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan
di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar". (Q.S. Al- Fath: 29).

kemudian ayat lainnya yang menjelaskan ridha Allah atas mereka:

15
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar". (Q.S. At-Taubah: 100).

Sedangkan Nabi Muhammad sendiri mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berhati-hati
dalam berucap dan bersikap terhadap para Sahabat Beliau yang tertuang dalam hadits-nya
sebagai berikut:

،‫ ومن آذاهم‬،‫ ومن أبغضهم فببغض ي أبغض هم‬،‫ فمن أحبهم فبحبي أحبهم‬،‫ ال تتخذوهم غرضا بعدي‬،‫هلال هلال في أصحابي‬
‫ ومن آذى هلال فيوشك أن يأخذه‬،‫ومن أذاني فقد أذى هلال‬." "‫فقد أذاني‬

Ingatlah Allah! Ingatlah Allah dalam memperlakukan para sahabat-ku! Jangan menjadikan
mereka sebagai sasaran (atas berbagai tuduhan) setelah-ku, maka barangsiapa yang
mencintai mereka, niscaya aku juga mencintainya, dan barangsiapa yang membenci mereka,
niscaya aku juga akan membencinya, dan barangsiapa menyakiti mereka, sungguh ia telah
menyakitiku juga, dan barangsiapa menyakitiku maka ia telah menyakiti Allah, dan
barangsiapa menyakiti Allah, maka ditakutkan jikalau ia akan mendapat siksa.[11]

Dan masih banyak dalil dalam al-Qur'an dan as-Sunnah yang menunjukkan keutamaan
mereka baik secara umum maupun secara individu dan kelompok, atas dasar inilah kalangan
Ahlu Sunnah menyimpulkan beberapa kesepakatan mengenai sahabat Nabi sebagai berikut:

Seluruh sahabat Nabi adalah bersifat 'udul (adil dan jujur) dimana tidak boleh kita
membenarkan sebagian perkataan mereka dan mengingkari perkataan sahabat lainnya, hal
ini berimplikasi besar dalam ilmu al-jarh wa at-ta'dil dalam periwayatan hadits.

Para sahabat Nabi tidak pernah disebutkan dalam ayat al-Qur'an, kecuali Allah telah memuji
mereka atas perbuatan dan sikap mereka, atau mengampuni atas seluruh kesalahan dan
kekhilafan mereka tanpa terkecuali.

Orang yang didapati mencaci dan menghina salah satu sahabat Nabi, maka mereka dianggap
sebagai seorang zindiq (bahasa arab: ‫)زنديق‬, karena mereka telah mengingkari apa yang
termaktub dalam al-Qur'an dan hadits sebagaimana yang tertulis di atas, bahkan madzhab
16
Hanabilah (Imam Hambali) menyatakan bahwa mereka yang "hanya" mengingkari sifat
shuhbah (pelabelan sahabat) terhadap salah satu sahabat yang jelas termaktub dalam al-
Qur'an seperti Abu Bakar (dalam kisah hijrah dan singgah dalam gua) sebagai kafir, karena
secara tidak langsung telah mengingkari keabsahan ayat dalam al-Qur'an itu sendiri.

Imam Malik bin Anas juga berpendapat sama mengenai takfir atas orang yang mengingkari
atau bahkan mencaci para sahabat Nabi, karena tertulis dalam surat al-Fath di atas :
"tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir", sembari beliau berkata : "Maka barangsiapa yang
diresahkan hatinya oleh para Sahabat Nabi maka ia telah kafir".

F. TABIIN

Definisi:

Tabiin atau Tabi'in (bahasa Arab: ‫التابعون‬, har. 'pengikut'), adalah orang Islam awal
yang masa hidupnya ketika atau setelah masa hidup Nabi Muhammad namun tidak
mengalami bertemu dengan Nabi Muhammad. Usia mereka rata-rata lebih muda dari
sahabat nabi, bahkan ada yang

masih anak-anak atau remaja pada masa sahabat masih hidup. Tabiin merupakan murid
sahabat nabi.

Rentang masa:

Masa tabiin dimulai sejak wafatnya sahabat nabi terakhir, Abu Thufail al-Laitsi, pada tahun
100 H (735 M) di kota Makkah; dan berakhir dengan wafatnya Tabiin terakhir, Khalaf bin
Khulaifat, pada tahun 181 H (812 M).[1]

Setelah masa tabiin berakhir, maka diteruskan dengan masa tabiut tabiin atau generasi
ketiga umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat.

Tingkatan:
17
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam karyanya Taqrib at-Tahdzib membagi para tabiin menjadi
empat tingkatan berdasarkan usia dan sumber periwayatannya, yaitu:[2]

Para tabiin kelompok utama/senior (kibar at-tabi'in), yang telah wafat sekitar tahun 95
H/713 M. Mereka seangkatan dengan Said bin al-Musayyab (lahir 13 H - wafat 94 H),

Para tabiin kelompok pertengahan (al-wustha min at-tabi'in), yang telah wafat sekitar tahun
110 H/728 M. Mereka seangkatan dengan Al-Hasan al-Bashri (lahir 21 H - wafat 110 H) dan
Muhammad bin Sirin (lahir 33 H - wafat 110 H),

Para tabiin kelompok muda (shighar at-tabi'in) yang kebanyakan meriwayatkan hadis dari
para tabiin tertua, yang telah wafat sekitar tahun 125 H/742 M. Mereka seangkatan dengan
Qatadah bin Da'amah (lahir 61 H - wafat 118 H) dan Ibnu Syihab az-Zuhri (lahir 58 H - wafat
124 H),

Para tabiin kelompok termuda yang kemungkinan masih berjumpa dengan para sahabat
nabi dan para tabiin tertua walau tidak meriwayatkan hadis dari sahabat nabi, yang telah
wafat sekitar tahun 150 H/767 M. Mereka seangkatan dengan Sulaiman bin Mihran al-
A'masy (lahir 61 H - wafat 148 H).

Mayoritas ulama penulis biografi para periwayat hadis (asma ar-rijal) juga membagi para
tabiin menjadi tiga tingkatan berdasarkan Sahabat Nabi yang menjadi guru mereka, yaitu:[3]

Para tabiin yang menjadi murid para sahabat yang masuk Islam sebelum peristiwa Fathu
Makkah, Para tabiin yang menjadi murid para Sahabat yang masuk Islam setelah peristiwa
Fathu Makkah,

Para tabiin yang menjadi murid para Sahabat yang belum berusia dewasa ketika Nabi
Muhammad saw. wafat.

Di bawah ini adalah daftar beberapa tokoh tabiin yang ternama:

Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyah Abubakar bin Abdurrahman

Abu Muslim al-Khaulani Abu Hanifah

Abu Ja'far al-Madani Ahnaf bin Qais


18
Ali bin Abdullah Ali bin Husain 'Alqamah bin Qais

Al-Qasim bin Muhammad Atha bin Abi Rabah Hammam bin Munabbih

Hasan bin Muhammad bin al-Hanafiyah Hasan al-Bashri

Ibnu Abi Mulaikah Ibnu Juraij

Ibnu Katsir al-Makki Ibnu Syihab az-Zuhri Ibnu Sirin

Ja'far ash-Shadiq Ka'ab al-Ahbar Kharijah bin Zaid Malik bin Dinar Masruq bin al-Ajda'

Muhammad al-Baqir Muhammad bin Abu Bakar Muhammad bin al-Hanafiyah Muhammad
bin Sa'ad Mujahid bin Jabir

Munzir bin Sawa at-Tamimi Nafi Maula Ibnu Umar Salim bin Abdullah

Said bin al-Musayyib Sa'id bin Jubair Sulaiman bin Yasar Syuraih al-Qadhi Rabi'ah bin Farrukh
Thawus bin Kaisan Ubaidillah bin Abdullah Umar bin Abdul Aziz Urwah bin az-Zubair Uwais
al-Qarny

Wahb bin Munabbih

G. Tabi'ut Tabi'in

Definisi:

Tabi'ut Tabi'in atau Atbaut Tabi'in (bahasa Arab: ‫ )التابعين تابع‬adalah generasi setelah Tabi'in,
artinya pengikut Tabi'in, adalah orang Islam teman sepergaulan dengan para Tabi'in dan
tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi. Tabi'ut Tabi'in adalah di antara tiga kurun
generasi terbaik dalam sejarah manusia, setelah Tabi'in dan Shahabat. Tabi'ut Tabi'in
disebut juga murid Tabi'in.

Menurut banyak literatur Hadis: Tabi'ut Tabi'in adalah orang Islam dewasa yang pernah
bertemu atau berguru pada Tabi'in dan sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada juga
yang menulis bahwa

Tabi'in yang ditemui harus masih dalam keadaan sehat ingatannya. Karena Tabi'in yang
terakhir wafat sekitar 110-120 Hijriah.[1]
19
Tabi'in sendiri serupa seperti definisi di atas hanya saja mereka bertemu dengan Sahabat.
Sahabat yang terakhir wafat sekitar 80-90 Hijriah.

Daftar ulama Tabi'ut Tabi'in

Imam-Imam Madzhab yang Mashyur:

Abu Hanifah namun dianggap oleh sebagian ulama sebagai Tabi'in, karena dia bertemu
dengan Sahabat Anas bin Malik (jangan bingung dengan Imam Malik bin Anas) dan
meriwayatkan hadis darinya juga dari beberapa shahabat yang lain.

Malik bin Anas

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa
yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang. Seorang perawi hadits
mempunyai syarat-syarat tertentu diantaranya Islam, Baligh, Adil, dan dhabit. Tidak boleh
seorang perawi hadits seorang yang kafir. Selain itu untuk mengetahui kualitas para perawi
hadits maka diperlukan ilmu yang membahas tentang kualitas diri para perawi hadits, ilmu
tersebut adalah ilmu jarh dan ta'dil. ilmu Al-Jarh wa At-Ta‟dil adalah ilmu yang
menerangkan tentang cacatcacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang
penta‟dilannya (memandang lurus para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus
dan untukmenerima atau menolak riwayat mereka.

Ilmu jarh wa ta‟dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ilmu hadits.
karena ilmu ini merupakan timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya
diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatannya. Dengan ilmu
ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima hadistnya, serta dapat
membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya. Oleh karena itulah
para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan
segala pikirannya untuk menguasainya.

B. Saran

Demikian pembahasan makalah yang kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca
dan pemakalah sendiri. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
dan kekuarangan. Untuk kedepannya kami sebagai penulis akan berusaha untuk menulis
makalah yang lebih baik lagi, lebih fokus dan lebih detail dalam menjelaskan makalah yang kami
buat lalu sumbernya pun dapat kami pertanggungjawabkan. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan bimbingan dari bapak/ibu dosen dan juga kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari teman-teman sekalian guna kedepannya penulis dapat membuat
makalah yang lebih baik dan lebih ilmiah.

21
DAFTAR PUSTAKA

Juragan desa. (2019). Pengertian Jarh Wa Al- Ta’dil. Www.Juraganberdesa.Com.

22
https://juraganberdesa.blogspot.com/2019/12/pengertian-jarh-wa-al-tadil.html

Tingkatan-tingkatan Al Jarh wa At Ta’dil. (2012). HASANALBANNA.ID.


https://hasanalbanna.id/tingkatan-tingkatan-al-jarh-wa-at-tadil/

Tngkatan Jarh dan Ta’dil. (2013). Alquranmulia.Wordpress.Com.


https://alquranmulia.wordpress.com/2013/09/05/tingkatan-jarh-dan-tadil/

Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh Wat-Ta’dil. (2007). Ahlulhadist.Wordpress.Com.


https://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/tingkatan-tingkatan-al-jarh-wat-ta’dil/

Taisir Musthalah Hadits 8 (Jarh dan Ta’dil). (n.d.). Muslimah.or.Id. Retrieved November 30,
2021, from https://muslimah.or.id/1392-taisir-musthalah-hadits-8-jarh-dan-tadil.html

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL. (2019). Iainpspblog.Blogspot.Com.


https://iainpspblog.blogspot.com/2019/05/makalah-ilmu-al-jarh-wa-at-tadil.html?m=1

SYARAT-SYARAT SEORANG PERAWI. (2015). Jejakpendidikan.Com.


http://www.jejakpendidikan.com/2015/08/syarat-syarat-seorang-perawi.html?m=1

Zubaidillah, M. H. (2018). Ilmu Jarh Wa Ta’Dil. 1–14. https://doi.org/10.31219/osf.io/y8wt6

23

Anda mungkin juga menyukai