BAB I
ILMU PENDIDIKAN ISLAM:
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP BAHASAN, DAN URGENSINYA
A. Pendahuluan
Kesadaran akan perlunya pembenahan pendidikan umat Islam semakin
tumbuh dalam beberapa tahun terakhir ini, khususnya sejak pelaksanaan
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam pada tahun 1977 di Makkah, Arab
Saudi. Hal itu terjadi seiring dengan pencanangan abad ke-15 Hijriah sebagai
abad kebangkitan umat Islam. Dari forum ini, para ulama dan tokoh pendidikan
Islam menyerukan pembenahan secara sungguh-sungguh keadaan umat Islam
melalui pendidikan. Dalam beberapa konferensi dan berbagai pertemuan
akademik yang dilaksanakan menyusul konperensi tersebut[1], dibicarakan
beberapa persoalan pendidikan yang dihadapi umat Islam dewasa ini serta
gagasan penyelesaiannya.
Seiring dengan itu, berbagai langkah operasional dan upaya konkrit pun
telah dirintis. Di Indonesia, misalnya, berbagai upaya dilakukan untuk
membenahi pendidikan umat Islam melalui penataan Madrasah Tsanawiyah dan
Madrasah Aliyah serta modernisasi pondok-pondok pesantren. Lembaga-
lembaga ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan lulusannya untuk
melanjutkan studinya ke tingkat yang lebih tinggi dan dengan program-program
spesialisai yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang
dihadapi umat Islam seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
moderen. Para lulusan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah tidak hanya
diharapkan untuk menjadi calon mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam yang
mengkhususkan diri pada kajian ilmu-ilmu keagamaan Islam, melainkan juga
untuk menjadi calon-calon pakar dalam berbagai bidang keahlian, seperti
ekonom, dokter, dan insinyur. Madrasah tidak lagi semata-mata sebagai lembaga
pendidikan keagamaan yang menghasilkan ulama dalam pengertian tradisional.
Program ini dirancang untuk melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang
memiliki kepribadian Muslim yang tangguh dan kemampuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang handal.
Di samping itu, upaya pembenahan tersebut juga terlihat pada penataan
kelembagaan dan kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam. Sejak beberapa
tahun terakhir ini, dibangun jurusan dan program studi seperti Ekonomi Islam,
Pemikiran Politik Islam, Pengembangan Masyarakat Islam, Bimbingan dan
Penyuluhan Islam, IPA, Matematika, IPS, dan Kependidikan Islam. Melalui
lembaga ini, diharapkan terbentuk tenaga-tenaga profesional berkepribadian
Muslim yang menguasai dan ahli dalam bidangnya masing-masing. Seiring
dengan itu, terlihat pula usaha “Islamisasi” kurikulum, yaitu dengan masuknya
mata-mata kuliah yang berlabelkan Islam, seperti mata kuliah Ilmu Pendidikan
Islam[2] atau dengan memberi corak dan warna Islam terhadap bidang-bidang
pengetahuan yang selama ini dikenal sebagai ilmu-ilmu umum. Sehubungan
dengan ini, dikenal suatu upaya yang lebih populer dengan sebutan Islamisasi
Ilmu pengetahuan.
Berkenaan dengan Ilmu Pendidikan Islam yang menjadi bahan kajian
dalam uraian ini, tampaknya, terdapat pandangan yang beragam tentang
pengertian dan ruang lingkup bahasannya sehingga sampai saat ini silabi dari
mata-mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam menunjukkan ketidak-jelasan sosoknya
Ketidak-jelasan itu semakin terlihat dengan adanya tumpang tindih yang cukup
berarti di antara masing-masing mata kuliah yang terkait. Sebagai akibatnya,
penyajian mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam dilakukan oleh para pengampunya
dengan cara dan tujuan yang mungkin juga tidak sama.
Oleh karena itu, penulis melihat bahwa masih diperlukan rumusan yang
jelas tentang sosok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam sehingga ia betul-betul
fungsional sebagai bagian integral dari kurikulum Fakultas Tarbiyah sebagai
lembaga pendidikan tenaga keguruan Islam. Sampai saat ini, belum ada atau
mungkin belum tersosialisasikan rumusan yang jelas tentang sosok dan misi dari
Ilmu Pendidikan Islam.[3] Menyadari bahwa pengetahuan ini merupakan satu
disiplin ilmu yang baru, maka melalui uraian berikut ini, penulis mencoba
menelusuri pengertian Ilmu Pendidikan Islam serta urgensinya bagi mahasiswa
di lembaga-lembaga pendidikan tenaga keguruan, khususnya Fakultas Tarbiyah
atau Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Diharapkan tulisan ini dapat menjadi
pengantar diskusi yang komprehensif sebagai upaya untuk menemukan sosok
yang jelas dari Ilmu Pendidikan Islam
karena jurusan inilah yang bertugas untuk menyiapkan guru-guru bidang studi
Pendidikan Agama Islam.
2. Ilmu Pendidikan Islam dengan pengertian ilmu pendidikan yang Islami atau
ilmu pendidikan dalam perspektif Islam. Dalam pengertian ini, fokus kajiannya
adalah ilmu pendidikan. Pembahasannya bertolak dari kerangka ilmu
pendidikan yang disoroti dari sudut pandang ajaran Islam. Masalahnya ialah
bagaimana konsepsi Islam tentang berbagai aspek dan komponen pendidikan
serta bagaimana teori dan praktik yang dipakai umat Islam dalam
menyelenggarakan pendidikan untuk bermacam-macam bidang pengetahuan
dan keahlian sepanjang sejarahnya. Yang dibahas di sini tidak hanya hal-hal yang
berkaitan dengan teori dan praktik pendidikan agama Islam sebagaimana
dikemukakan pada butir satu di atas. Objek kajian Ilmu Pendidikan Islam dalam
pengertian ini ialah butir-butir ajaran Islam yang mengatur dan berkaitan dengan
aspek-aspek dan komponen-komponen pendidikan serta berbagai persoalan yang
terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di kalangan umat Islam. Ilmu
Pendidikan Islam dalam pengertian ini, tentu tidak hanya diperlukan oleh
mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, melainkan juga diperlukan oleh
para mahasiswa Fakultas Tarbiyah di berbagai jurusannya. Pengetahuan ini
penting bagi orang-orang yang bekerja dan terlibat dalam aktivitas pendidikan.
Kedua pengertian Ilmu Pendidikan Islam seperti dikemukakan di atas
punya konsekuensi yang berbeda. Tentu saja, silabi dan masalah-masalah yang
dibahas pada pengertian yang pertama tidak sama dengan yang ada pada
pengertian kedua. Mengingat misi Fakultas Tarbiyah sebagai tempat pembinaan
tenaga kependidikan Muslim dalam berbagai bidangnya, penulis berpendapat
bahwa Ilmu Pendidikan Islam yang perlu diajarkan kepada seluruh mahasiswa
fakultas ini adalah Ilmu Pendidikan Islam dalam pengertian kedua, yaitu Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, bukan ilmu tentang pengajaran Agama Islam
karena tidak semua mahasiswa fakultas ini dipersiapkan untuk menjadi guru
agama. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam mempunyai cakupan yang lebih
luas dan lebih mendasar dari pada ilmu tentang Pendidikan Agama Islam, yaitu
pengajaran bidang studi Pendidikan Agama Islam. Ilmu tentang Pendidikan
Agama Islam merupakan bagian dari pengetahuan yang dikembangkan di atas
landasan Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam.
Untuk memahami pengertian Ilmu Pendidikan Islam dalam pengertian
yang dimaksud, lebih dahulu, ada baiknya dikemukakan pengertian Ilmu
Pendidikan secara umum karena ia akan memberikan kerangka acuan dan
wawasan untuk mengetahui ruang lingkup kajian Ilmu Pendidikan Islam.
H.M. Said, seorang pakar dan guru besar Ilmu Pendidikan di IKIP Negeri
Jakarta, menyatakan bahwa Ilmu Pendidikan adalah suatu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri, yang mengkaji hakikat, persoalan, bentuk-bentuk, dan syarat-
syarat pendidikan. Sementara rumusan lain menyatakan bahwa pedagogik atau
BAB II
FITRAH MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pendahuluan
Manusia, di samping sebagai pelaku atau subjek, juga merupakan objek
atau sasaran dari pendidikan. Manusialah yang menjadi bahan baku yang akan
dibentuk sesuai dengan keinginan pendidiknya. Para pendidik sebagai subjek
yang bertugas mengarahkan dan membimbing anak didiknya dituntut agar
memahami dan memiliki konsep yang jelas dan benar tentang hakikat dan
karakteristik manusia, baik hakikat dan karakteristik manusia yang akan dididik
maupun hakikat dan karakteristik manusia ideal yang dicita-citakan. Hal ini tak
ubahnya seperti pandai besi yang harus mengetahui hakikat dan karakteristik
besi yang akan ditempa dan dibentuk serta produk yang akan dihasilkannya.
Praktek pendidikan akan gagal atau berlangsung tanpa arah yang terkendali bila
diselenggarakan tanpa memperhatikan dan berdasarkan konsep yang jelas dan
benar mengenai manusia. Pelaksanaan pendidikan sangat ditentukan oleh
pandangan pelakunya tentang manusia itu sendiri.
Salah satu persoalan pokok yang perlu diketahui tentang manusia
sebagai peserta didik ialah sifat-sifat dasar (pembawaan) yang dimiliki manusia
ketika ia dilahirkan. Dalam literatur Islam, masalah ini dibahas dengan
topik fithrah. Para ahli pendidikan sepakat menyatakan bahwa teori dalam
pendidikan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh pandangan tentang fitrah
manusia.[1] Pandangan atau konsepsi tentang fitrah manusia ini menjadi pangkal
tolak dari teori dan pelaksanaan pendidikan. Ia menentukan apakah pendidikan
diperlukan atau tidak, apakah pendidikan berguna atau tidak. Jika diperlukan,
aspek apa saja yang perlu ditumbuh-kembangkan dalam pendidikan serta
bagaimana melakukannya. Di dalam ilmu pendidikan dikenal beberapa aliran
mengenai fitrah manusia, seperti Nativisme, Empirisme, Naturalisme, dan
Konvergensi dengan pendapatnya masing-masing.
Di dalam beberapa tulisan tentang konsepsi Islam mengenai manusia,
dikemukakan bahwa kekhususan dan inti pandangan Islam terletak pada
kata fithrah. Pendapat ini seakan-akan menyatakan bahwa kata fitrah sudah
B. Pengertian kata fithrah
Secara etimologis, kata fithrah berarti al-khalq atau al-ibda’, penciptaan,
yaitu suatu penciptaan yang belum ada contohnya. Kata ini dipakai untuk
mengungkapkan penciptaan sesuatu yang sama sekali baru, belum ada contoh
dan model yang dijadikan sebagai acuan. Bentuk fithrah merupakan bentuk
masdar dari kata fathara yang berarti menciptakan. Di dalam al-Quran, terdapat
beberapa ayat yang mema-kai kata fathara atau derivasinya seperti fathir. Di
antaranya:
) 79 ( األنعام... إنى وجهت وجهي للذى فطر السموات واألرض حنيفا
) 1 ( فاطر ... الحمد هلل فاطر السموات واألرض جاعل المالئكة رسال
Kata fathara dan fathir dalam kedua ayat ini, masing-masing
berarti menciptakan dan pencipta. Dari kedua ayat ini dapat dipahami bahwa
pencipta langit dan bumi adalah Allah. Dialah yang menciptakan langit dan bumi
tanpa mencontoh model apapun yang pernah ada sebelumnya.
Dalam bahasa Arab, bentuk masdar yang berpola fi`lah mengandung arti
keadaan atau jenis perbuatan. Misalnya dalam kalimat seperti: ة جلس ت جلس
زيد Kata jilsat dalam ungkapan ini berarti duduk seperti atau bagaikan sehingga
kalimat itu selengkapnya berarti “Saya duduk seperti duduk Zaid”. Seiring
Pada sisi lain, pemaknaan fitrah dengan Islam sering dirujukkan kepada
ayat 30 surah al-Rum. Dalam pengertian ini, dikatakan bahwa manusia terlahir
dalam keadaan Islam. Namun, perlu diingat bahwa ayat itu, sesuai dengan
konteksnya, tidak berbicara tentang manusia, melainkan tentang Islam sebagai
agama yang diturunkan Allah untuk pedoman hidup manusia.
Sesungguhnya, misi utama ayat ini ialah menjelaskan bahwa Islam
diciptakan oleh Allah sesuai dengan hakikat dan karakteristik manusia yang akan
menggunakannya agar manusia betul-betul dapat melaksanakan tugas hidupnya
sesuai dengan tujuan penciptaannya. Sesungguhnya, ayat ini mempertanyakan
kenapa manusia menolak Islam. Padahal, hanya Islam satu-satunya agama yang
sesuai dengan fitrah manusia.
Hanya dengan Islam, manusia akan dapat merealisasikan makna
eksistensialnya secara benar sesuai dengan kehendak Tuhan yang
menciptakannya. Tanpa Islam, mungkin saja manusia bisa hidup. Bahkan,
mungkin saja, ia merasa senang. Namun, kehidupannya itu tidak berjalan sesuai
dengan kehendak Allah. Tidak ada aturan Islam yang tidak sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan manusia, apalagi, yang mencelakakannya. Sementara itu,
ajaran lain yang dianut oleh banyak orang tidak sesuai, bahkan bertentangan
dengan fitrahnya. Bila ingin bicara tentang fitrah manusia berdasarkan ayat ini,
maka diperlukan pemahaman terhadap keseluruhan sifat dan karakter ajaran
Islam.
Pemakaian kata fitrah tampaknya lebih tepat bila digunakan dalam
ungkapan fitrah manusia menurut ajaran Islam ialah...atau fitrah manusia menurut
ajaran Kristen ialah..., dan lain-lain. Sebaliknya, kurang tepat bila dikatakan
”menurut Islam, manusia lahir dalam keadaan fitrah dan menurut Kristen tidak”.
Dengan demikian, pembicaraan tentang fitrah manusia dapat disoroti
dari berbagai paham agama dan filsafat. Tiap ajaran agama atau filsafat memiliki
pandangan tersendiri tentang fitrah manusia. Dalam hal ini, keistimewaan
pandangan Islam tidak terletak pada pemakaian kata fitrah itu sendiri, melainkan
pada muatan yang terkandung di dalamnya. Islam memberikan gambaran yang
tepat dan benar mengenai berbagai sifat yang dimiliki manusia ketika ia hadir di
dunia ini.
Pembicaraan tentang fitrah manusia melibatkan pembahasan tentang
berbagai aspek yang terkait dengan manusia itu sendiri ketika ia diciptakan, baik
aspek yang terkait dengan fisik maupun dengan psikisnya. Pembahasan tersebut
mencakup keseluruhan hakikat, karakter, dan makna eksistensial manusia.
Kesucian boleh jadi merupakan salah satu aspek penting berkenaan dengan
konsepsi Islam tentang fitrah manusia. Namun, masih banyak aspek lain yang
perlu dijelaskan untuk menggambarkan keadaan manusia ketika diciptakan.
C. Fitrah Manusia Dalam Pandangan Islam
Berdasarkan pemahaman di atas serta merujuk al-Quran dan al-Hadits,
fitrah manusia menurut ajaran Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Manusia adalah makhluk psiko-fisik yang memiliki jiwa dan tubuh. Dari
berbagai ayat al-Quran dapat diketahui bahwa jati diri manusia adalah
makhluk psiko-fisik, yaitu suatu makhluk yang eksistensinya terdiri atas
unsur jiwa (ruh) dan fisik (jasad). Gabungan kedua unsur inilah yang
mewujud menjadi manusia. Di antara ayat yang mendukung pernyataan ini
ialah:
– مث جعل نسله من ساللة من ماء مهني - الذي أحسن كل شيئ خلقه وبدأ خلق اإلنسان من طني
) 9-7 (السجدة - مث سواه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع واألبصار واألفئدة قليال ما تشكرون
Ayat ini menegaskan bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah (thin).
Kemudian generasi selanjutnya berkembang biak dengan unsur sulalat min
ma` mahin, air mani. Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki unsur fisik.
Di samping itu, Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam unsur fisik tersebut.
Setelah bentuk fisik diisi dengan ruh, terbentuklah suatu jenis makhluk yang
khas, yaitu manusia. Keberadaan kedua unsur ini, fisik dan ruh,
meniscayakan keberadaan sifat-sifat keduanya pada manusia di samping
sifat-sifat yang timbul dari gabungan keduanya.
2. Sifat-sifat jasmani (al-fithrat al-jismiah)
Tubuh manusia merupakan alam materi yang memiliki sifat-sifat fisika. Ia
tersusun dari 4 unsur yang membentuk alam materi, yaitu tanah, air, udara,
dan api. Para filosof Muslim, seperti Ikhwan al-Shafa` mengemukakan
bahwa perimbangan komposisi keempat unsur ini ikut mempengaruhi sifat-
sifat manusia.
Tubuh manusia terdiri atas bagian-bagian dan anggota-anggota yang
masing-masing mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Penataan
memilih apakah ia akan menjadi beriman atau kafir. Perhatikan ayat al-
Quran seperti: ... ) 29 الكهف ( ... فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر
f. Bersifat netral dalam arti berpotensi untuk menjadi baik dan jahat karena
ke dalam diri manusia telah diilhamkan potensi kejahatan (fujur) dan
potensi ketakwaan. Dalam hal ini, al-Quran menyatakan: + ونفس وما سواها
) 8 - 7 الشمس ( + فأهلمهافجورها وتقواها
Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah-Nya. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia pasti berpotensi untuk menjadi baik. Akan tetapi, perlu pula
diingat bahwa di balik itu, manusia juga berpotensi untuk menjadi jahat. Unsur
fisik yang senantiasa berada dalam keadaan al-kawn wa al-fasad berpotensi untuk
mendominasi unsur jiwa yang bersifat ilahi. Bila unsur fisik dominan, niscaya
kejahatan menjadi aktual. Idealnya, unsur jiwa mesti dominan atas unsur fisik.
Seiring dengan keterangan ini, pemaknaan fitrah
dengan potensi apalagi potensi baik, lagi-lagi, kurang tepat. Fitrah berarti bersifat
potensial, yaitu potensial untuk menjadi baik maupun menjadi tidak baik.
BAB III
TUJUAN PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar yang sengaja dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. Dilihat dari sisi pelakunya, pendidikan merupakan suatu
upaya untuk mengubah manusia dari suatu kondisi tertentu menjadi manusia
yang memiliki suatu bentuk kepribadian tertentu. Sementara itu, dilihat dari sisi
anak didiknya, pendidikan merupakan suatu usaha untuk membantu manusia
dalam mencapai tujuan hidupnya.
Perumusan tujuan menjadi salah satu masalah pokok dalam pendidikan.
Rumusan tujuan menjadi pembimbing dan pemberi arah bagi aktivitas
pendidikan. Tanpa rumusan yang jelas tentang tujuannya, perbuatan mendidik
menjadi tidak terarah. Di samping itu, rumusan tujuan tersebut juga akan
menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi hasil pelaksanaan pendidikan yang telah
diselenggarakan. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh seberapa jauh aspek-
aspek dan indikator yang ada dalam rumusan tujuan telah tercapai.
Tujuan pendidikan merupakan suatu keadaan ideal (das sollen) yang
hendak diwujudkan pada anak didik melalui aktivitas pendidikan. Rumusan
tujuan pendidikan berkaitan langsung dengan masalah norma atau pandangan
hidup yang merupakan masalah filsafat, khususnya filsafat tentang manusia.
Bentuk kepribadian yang diidealkan tersebut bergantung pada filsafat hidup
masyarakat atau pribadi yang bersangkutan. Ia identik dengan tujuan hidup
manusia menurut pandangan paham tertentu. Perbedaan pandangan tentang
manusia ideal yang dicita-citakan meniscayakan perbedaan rumusan tentang
tujuan pendidikan.
Masing-masing masyarakat, bahkan masing-masing individu, memiliki
pandangan tersendiri tentang manusia ideal yang diinginkannya. Mereka
memiliki kriteria yang berbeda tentang manusia yang baik. Mungkin saja, suatu
masyarakat memandang bahwa manusia yang baik adalah mereka yang
mempunyai fisik yang kuat atau memiliki kemampuan intelektual yang tinggi.
Sementara yang lain mungkin ada yang berpendapat bahwa manusia yang baik
adalah mereka yang dapat menciptakan lapangan kerja atau menghasilkan uang
yang banyak. Dengan demikian, tujuan pendidikan sudah pasti akan berbeda
pada setiap kelompok masyarakat sesuai dengan filsafat dan pandangan hidup
yang mereka anut.
Berkenaan dengan masalah tersebut, menarik untuk diperhatikan bahwa
meskipun sumber ajaran Islam hanya satu, namun berbagai literatur mengenai
pendidikan Islam mengemukakan bermacam-mcam rumusan tentang tujuan
pendidikan dalam perspektif Islam seperti membentuk manusia yang baik, bertakwa,
berakhlak mulia, berkepribadian Muslim, insan kamil, dan lain-lain. Jika dicermati
lebih jauh, semua ungkapan ini bersifat terlalu umum karena belum
menggambarkan indikator dan kriteria yang jelas sehingga tidak mudah untuk
dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pendidikan. Di samping
itu, rumusan ini juga dapat disorot dari kerangka berpikir yang dijadikan acuan
pengambilannya karena al-Quran dan al-Hadits tidak memuat pernyataan
eksplisit mengenai tujuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan didasarkan
atas tujuan hidup manusia.
Berdasarkan kerangka berpikir seperti dikemukakan di atas, perlu dikaji
kembali rumusan yang tepat mengenai tujuan pendidik-an dalam perspekti
Islam, yaitu suatu rumusan yang mengacu pada al-Quran dan al-Sunnah. Untuk
itu, dalam tulisan ini akan dikemukakan secara berturut-turut uraian tentang
konsepsi Islam tentang manusia, tujuan hidup dan makna eksistensial manusia,
rumusan tujuan akhir pendidikan, serta spesifikasi dari rumusan tujuan akhir
tersebut.
dari unsur-unsur api, air, tanah, dan udara, yang senantiasa berada dalam proses
tumbuh, berkembang, dan hancur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum fisika.
Al-Quran menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah (turab, thin, ardh,
dst.) atau dari air yang hina (ma` mahin) dan dari segumpal darah (‘alaq). Tubuh
manusia terdiri atas bagian-bagian yang memiliki fungsi dan tugas masing-
masing.
Sementara itu, unsur jiwa bukanlah alam materi. Padanya tidak berlaku
hukum-hukum fisika seperti yang berlaku pada unsur fisiknya. Unsur inilah yang
membuat badan menjadi hidup, bergerak, dan melakukan berbagai aktivitas. Jiwa
manusia tidak akan hancur seperti halnya badan. Unsur jiwa ini pulalah yang
akan mempertanggung-jawabkan segala tingkah laku dan perbuatan manusia
kelak di akhirat.
Kedua unsur, fisik dan jiwa, ini mempunyai peran yang sama-sama
penting bagi manusia dalam melaksanakan tugas hidupnya. Tanpa ruh, tubuh
manusia hanya tumpukan tulang dan daging yang tidak berarti. Begitu pula,
tanpa tubuh, jiwa tidak akan dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
ditugaskan kepadanya. Tingkah laku dan perbuatan manusia adalah hasil dari
interaksi kedua unsur tersebut. Keduanya merupakan dwi tunggal yang
mewujudkan suatu pribadi yang utuh selama manusia menjalani kehidupannya.
Keberhasilan manusia dalam menjalankan tugas hidupnya sangat bergantung
pada kemampuan kedua unsur ini dalam memainkan peran dan fungsinya.
Ayat ini menyatakan bahwa Allah swt. telah membebani manusia dengan
suatu amanah yang mesti dipertanggung jawabkan pelaksa-naannya, yaitu
suatu amanah yang tidak dapat diemban oleh makhluk lain seperti langit,
bumi, dan gunung.
b. Surah al-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi:
) 56 ( الذا ريات إال ليعبدون وما خلقت اجلن واإلنس
Artinya: Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi
kepada-Ku.
Seiring dengan ayat di atas, ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa tujuan
Allah menciptakan dua jenis makhluk-Nya, jin dan manusia, adalah untuk
melaksanakan tugas-tugas pengabdian kepada-Nya. Dengan demikian, tujuan
hidup manusia adalah mengabdi kepada Allah yang telah menciptakannya.
Adalah wajar bila Allah sebagai pencipta menetapkan apa yang diinginkan-
Nya dengan penciptaan manusia. Bukanlah hak manusia sebagai makhluk
untuk menentukan tujuan hidupnya.
c. Surah al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
) 30 ( البقرة... وإذ قال ربك للمال ئكة إنى جاعل فى األرض خليفة
Dari ayat ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan dan tugas manusia adalah
sebagai khalifah atau wakil Allah di bumi. Khalifah berarti berarti pengganti,
wakil, atau perpanjangan tangan Allah yang dituntut untuk melaksanakan
tugas-tugas ilahiah di bumi. Sebagai khalifah Allah, tentu saja, manusia
dituntut agar mengetahui dan memiliki sifat-sifat positif yang dimiliki Allah.
Dalam pengertian inilah, Ikhwan al-Shafa`, kelompok pemikir Muslim zaman
Klasik, menyatakan bahwa manusia sebagai wakil Allah dituntut untuk
mengidentifikasi dirinya dengan Allah (tasyabbuh bil-ilah), yaitu dengan
memiliki sifat-sifat mulia yang dipunyai Allah serta melakukan berbagai
perbuatan dan pekerjaan ilahiah.
Ayat ini mengatakan bahwa Allah sebagai pencipta berharap agar manusia
dapat mewujudkan dan memelihara kemakmuran di bumi. Tugas utama dari
keberadaan manusia adalah bekerja secara sungguh-sungguh dengan
memanfaatkan segala pemberian Allah swt. untuk menunaikan amanah yang
dibebankan oleh Allah swt. kepadanya, yaitu dengan melakukan berbagai bentuk
perbuatan baik (‘amal shalih) yang dapat menciptakan dan memelihara
kemakmuran alam semesta selama ia hidup di bumi ini.[10] Inilah makna
kehidupan manusia. Justru itu, keberhasilan manusia dalam menjalankan
tugasnya bergantung pada sejauh mana ia berhasil menciptakan karya-karya
positif (‘amal shalih ).
Pelaksanaan tugas inilah yang membedakan manusia dari makhluk
lainnya serta memberikan tempat yang sangat terhormat di sisi Allah
sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran:
ولقد كرمنابىن ادم ومحلناهم فىالرب والبحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثري ممن خلقنا
( 70 اإلسراء ) تفضيال
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam (manusia).
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk hidup dan mencari rezki). Kami beri
mereka rezki yang baik-baik, dan berikan kedudukan yang lebih utama kepada mereka
dibanding makhluk lainnya.
khusus dalam pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam sesuai dengan tuntutan
dan tuntunan ajaran Islam. Tentu saja, semua rumusan tersebut mesti disusun
secara hirarkis, integral, dan berkesinambungan. Di antara tahap dan aspek yang
perlu dipertimbangkan misalnya pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, serta
aspek jasmani, intelektual, emosional, dan keterampilan dalam bermacam-macam
bidangnya.
Dengan demikian, berbagai rumusan tujuan pendidikan dapat disusun
seperti tujuan institusional (kelembagaan), kurikuler (bidang ilmu tertentu), dan
instruksional (pokok-pokok bahasan). Misalnya, untuk mendidik seorang ahli
pertanian yang berkepribadian Muslim diperlukan lembaga yang biasa disebut
Fakultas Pertanian. Untuk itu diperlukan bermacam-macam bidang studi yang
terkait. Masing-masing bidang studi tersebut terdiri atas beberapa pokok
bahasan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pilihan bidang studi dan pokok
bahasan perlu dilakukan dengan memperhitungkan fungsi dan urgensi masing-
masing dalam pembentukan ahli pertanian Muslim yang profesional. Begitu pula
untuk bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan manusia dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah.
Dalam rangka spesifikasi tujuan pendidikan, perlu diperhatikan bahwa
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seperti yang telah
dikemukakan di atas, manusia dibekali oleh Allah dengan berbagai daya
(potensi) serta perlengkapan. Daya-daya tersebut terdapat pada unsur jiwa yang
memberi kehidupan pada unsur fisik. Sementara itu, perlengkapan yang dimiliki
manusia terdiri atas bagian-bagian dan anggota-anggota fisik yang mempunyai
fungsi masing-masing.
Daya-daya jiwa manusia meliputi daya berpikir dan merasa serta daya
untuk berbuat. Daya-daya inilah yang membuat manusia dapat bergerak dan
melakukan berbagai jenis perbuatan. Unsur ini pula yang menjadi penentu
(decision maker) dari perbuatan dan tindakan manusia, yang pada akhirnya
menentukan nilai kemanusiaan pada individu yang bersangkutan.
Sementara itu, perlengkapan fisik yang dimiliki manusia meliputi organ-
organ tubuh, baik yang berfungsi untuk memelihara kehidupan dirinya sendiri
maupun yang berfungsi untuk melahirkan karya-karya lainnya. Organ yang
memelihara kehidupan mencakup semua organ fisik yang menjamin
terpeliharanya kehidupan. Termasuk ke dalam unsur ini adalah organ-organ
2. Tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi adalah untuk mengolah dan
mengelola alam dengan memanfaatkan berbagai fasilitas (sumber daya alam)
yang telah disediakan Allah. Justru itu, penguasaan ayat-ayat kauniyah
(berba-gai jenis pengetahuan alam) merupakan sesuatu yang mutlak
diperlukan manusia Muslim sebagai khalifah Allah. Penguasaan ilmu-ilmu
pengetahuan alam bukanlah sesuatu yang dilarang atau tidak sesuai dengan
ajaran Islam, tetapi sesuatu yang diharuskan. Kemunduran umat Islam di
zaman pertengahan sampai ke zaman moderen ini tidak dapat dilepaskan dari
kesalah pahaman tentang hal.
3. Ajaran agama sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam menjalani
kehidupannya. Sebagai pencipta, Allah mengetahui bahwa manusia memiliki
keterbatasan untuk menemukan jalan hidup yang benar. Untuk itu, Ia
sesuai dengan tahap dan bidang yang digarap. Ini merupakan tugas setiap
pemikir dan pengelola pendidikan umat Islam.
BAB IV
MATERI PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pendahuluan
Materi pendidikan biasa juga disebut isi atau kandungan pendidikan dan
kurikulum. Materi pendidikan ialah segala sesuatu yang diberikan kepada anak
didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, tujuan pendidikan tidak akan tercapai sebagaimana mestinya tanpa
pembekalan anak didik dengan materi pendidikan. Bila rumusan tujuan
pendidikan berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, tentu
saja, materi yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu juga berbeda. Materi
pendidikan dalam masyarakat sekuler mesti berbeda dari materi pendidikan
dalam masyarakat yang religius. Begitu pula, materi pendidikan masyarakat
industri harus berbeda dari materi pendidikan dalam masyarakat agraris.
Pembicaraan tentang materi pendidikan ditempatkan setelah pembahasan
mengenai fitrah manusia dan tujuan pendidikan karena pada hakikatnya, materi
pendidikan merupakan alat yang akan dipakai untuk mengubah anak dari
kondisi awal (fithrah) menjadi manusia ideal yang dicita-citakan. Setelah
dipahami kondisi awal serta tujuan akhir yang diharapkan, perlu diketahui dan
dipahami lebih lanjut bahan-bahan yang perlu diberikan kepada anak didik
untuk membawa perubahan dimaksud.
Sehubungan dengan itu, perlu ditegaskan bahwa materi pendidikan bukan
hanya pengetahuan atau bidang-bidang ilmu tertentu yang ditransfer kepada
anak didik. Di sinilah terletak perbedaan utama antara pendidikan dengan
pengajaran. Dalam pengajaran, yang ditransfer kepada anak didik terfokus hanya
pada unsur pengetahuan (ranah kognitif) saja. Sedangkan dalam pendidikan,
pengetahuan hanya sebagian dari materi yang mesti diberikan kepada anak
didik.
Menurut Brubacher, kurikulum atau materi pendidikan secara garis besar
terdiri atas the true, the good, dan the beautiful. Inilah tiga serangkai materi pen-
didikan atau kurikulum menurut Brubacher. Dalam uraian lebih lanjut, dijelaskan
bahwa pembicaraan tentang the true menuntut bahasan tentang hakikat
1. Pengertian Pengetahuan
yang diperoleh para ahli dengan metodologi ilmiah untuk menafsirkan dan
menjelaskan berbagai peristiwa di alam. Pengertian ilmiah bersifat empirik
karena yang menjadi objeknya adalah segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh
pancaindera manusia.
Berdasarkan penelitian terhadap ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits, para
ulama merumuskan macam-macam pengetahuan yang mungkin dan perlu
dimiliki oleh manusia. Klasifikasi pengetahuan yang dirumuskan para pemikir
Muslim ternyata berbeda-beda. Perbedaan itu timbul karena perbedaan sudut
pandang dan latar belakang tinjauan masing-masing. Tentu saja, sebagai hasil
ijtihad, rumusan yang mereka hasilkan tidak selamanya sama.
Dilihat dari sumber perolehannya, pengetahuan dapat diklasifikasi ke
dalam dua golongan, yaitu pengetahuan naqliyah dan pengetahuan ‘aqliyah. Yang
pertama adalah pengetahuan yang berasal dari dzat ghaib (Allah) melalui
mekanisme yang disebut wahyu. Yang kedua adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui usaha dan fungsionalisasi pancaindera dan daya akal manusia.
Di sini, pengalaman dan imaginasi manusia menjadi sumber pengetahuan.
Dilihat dari urgensinya bagi manusia, pengetahuan dapat dkelompokkan
menjadi ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Kelompok pertama adalah
pengetahuan yang mesti dimiliki oleh setiap individu. Manusia tidak mungkin
melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia tanpa memiliki pengetahuan
yang masuk kategori ini. Kelompok kedua adalah kelompok pengetahuan yang
tidak mesti dimiliki oleh setiap orang. Pengetahuan ini hanya perlu dimiliki oleh
sebagian manusia. Tanpa pengetahuan kelompok ini, manusia tidak mungkin
menjalani kehidupannya dengan baik sebagai makhluk sosial.
Selanjutnya, dilihat dari sisi objek yang menjadi sasaran kajiannya,
Abdullah mengelompokkan pengetahuan menjadi pengetahuan esensial Islam
(al-‘ulum al-syari’iyyat), pengetahuan kemanusiaan (al-’ulum al-insaniyyat), dan
pengetahuan kealaman (al-’ulum al-kawniyyat). Pengetahuan esensial Islam adalah
pengetahuan yang timbul dan berkaitan dengan al-Quran dan al-Sunnah. Fokus
utama dalam kelompok ini adalah segala aturan dan rambu-rambu kehidupan
yang diberikan oleh Allah swt. sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalani
aktivitas kehidupannya. Kelompok ini sering disebut dengan pengetahuan
agama, yang secara keliru, biasa diidentikkan dengan fikih.
Pengetahuan ini merupakan syarat utama bagi manusia untuk mengelola dan
memakmurkan alam seperti yang dituntut al-Quran:
1. Daya-daya psikis dan fisik yang ada pada dirinya masing-masing sehingga ia
dapat melakukan berbagai perbuatan dan menghasilkan beragam karya.
2. Alam semesta dengan segala isinya yang perlu dan harus dimanfaatkan untuk
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup bersama.
3. Ajaran agama sebagai pedoman untuk bertindak agar tidak menyimpang dari
kehendak dan ketentuan-Nya.
Oleh karena itu, setiap orang harus memiliki pengetahuan agama yang
cukup dan fungsional. Masing-masing dari ketiga kelompok pengetahuan ini, ada
yang wajib dimiliki oleh setiap individu (kewajiban yang bersifat fardhu ‘ain) dan
ada pula yang hanya perlu dimiliki oleh sebagian orang dalam kelompok
masyarakat yang bersangkutan (kewajiban yang bersifat fardhu kifayah).
Misalnya, pengetahuan tentang shalat, puasa, akhlak yang baik, makanan yang
bergizi, sumber-sumber penyakit yang dapat mengancam manusia, merupakan
sebagian pengetahuan yang harus dipunyai oleh setiap individu, apa pun jabatan
dan profesinya. Sebaliknya, pengetahuan tentang pertanian, kedokteran, dan lain-
lain cukup dimiliki oleh beberapa orang anggota masyarakat.
1. Pengertian Keterampilan
Kata keterampilan berasal dari kata terampil yang berarti cakap dalam
menyelesaikan tugas; mampu dan cekatan. Keterampilan berarti kecakapan
untuk menyelesaikan tugas.[10] Keterampilan adalah kemampuan teknis untuk
melakukan suatu perbuatan. Ia merupakan aplikasi atau penerapan dari
pengetahuan teoritis yang dimilik seseorang, seperti keterampilan bercocok
tanam bagi petani, mengajar bagi guru, membuat kursi bagi tukang kayu,
memotong dan menjahit baju bagi penjahit, dan lain-lain. Dengan keterampilan,
seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan secara efektif dan efisien.
Keterampilan ada yang bersifat fisik seperti membuat sepatu, memasak
makanan tertentu, mengetik surat, membangun rumah, dan lain-lain. Selain itu,
ada pula keterampilan yang bersifat non fisik seperti mengajar, memimpin rapat,
menyusun karya ilmiah, dan lain-lain. Keterampilan untuk mengerjakan suatu
pekerjaan, di samping dipengaruhi oleh bakat juga ditentukan oleh latihan dan
pembiasaan. Seseorang akan terampil mengerjakan sesuatu, apakah yang bersifat
fisik atau psikis, jika ia terlatih dan terbiasa dalam melakukan pekerjaan itu.
Seorang yang terlatih memetik gitar akan terampil dalam bermain gitar atau
seorang yang terlatih dan biasa mengendari mobil akan menjadi sopir yang
terampil. Demikian pula untuk berbagai macam pekerjaan lain yang dapat
dikerjakan oleh manusia.
2. Urgensi Keterampilan
Di atas, telah dijelaskan bahwa tugas yang dibebankan kepada manusia
ialah menciptakan kehidupan yang sejahtera sebagai wujud pengabdian kepada
Allah swt. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk membina kehidupan
bersama. Begitu pula, manusia dituntut untuk mengolah dan memanfaatkan
alam. Dengan begitu, banyak pekerjaan yang dapat dan perlu dilakukan manusia.
Masing-masing bidang tugas ini menuntut pembinaan dan pengembangan
keterampilan, baik keterampilan fisik maupun yang non fisik.
Manusia sebagai makhluk sosial dituntut agar mempunyai keahlian yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain. Manusia hidup bukan hanya
untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menjadi bagian yang berarti dalam sebuah
sistem sosial yang terdiri atas banyak orang. Masing-masing orang sebagai warga
masyarakat dituntut agar mengambil bagian atau pean sendiri untuk
kepentingan bersama. Dalam hal ini, menarik untuk mengamati pernyataan Nabi
sebagaimana diungkapkan hadis yang berbunyi: للناس خري الناس أنفعهم
Artinya: Manusia terbaik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Agar dapat bermanfaat bagi manusia lain dalam kehidupan
bermasyarakat, seseorang perlu memiliki keterampilan tertentu, baik
keterampilan fisik maupun non fisik. Seseorang perlu memiliki keterampilan
profesional seperti petani, dokter, guru, ahli bangunan, dan lain-lain karena
semua ini sangat dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Makna kehidupan
seseorang ditentukan oleh seberapa besar partisipasinya dalam membina
kehidupan masyarakat tempat ia hidup.
Seiring dengan itu, di dalam al-Quran dinyatakan:
terkait dengan ilmu-ilmu keagamaan saja, seperti yang terjadi pada Masa
Pertengahan. Kelalaian umat Islam dalam mengembangkan teknologi militer,
pertanian, perhubungan, dan lain-lain pada masa ini adalah sebab utama bagi
kemunduran umat Islam.
Untuk mewujudkan masyarakat utama yang memiliki keunggulan dalam
berbagai bidang kehidupan, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu
memberikan perhatian yang cukup untuk pembinaan dan pengembangan
berbagai keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan moderen ini.
Manusia yang ideal adalah pribadi yang setia dan menjunjung tinggi
nilai-nilai yang berlaku. Sebaliknya, manusia yang tidak baik yaitu mereka yang
mengingkari nilai-nilai, atau sedikitnya kurang loyal dan kurang aktif dalam
melaksanakan yang dikehendaki nilai-nilai. Manusia yang baik tidak akan ragu-
ragu untuk mengorbankan waktu, dana, tenaga, bahkan nyawa sekali pun dalam
rangka memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya.
Manusia demikian tidak akan ada dengan sendirinya, tetapi melalui proses yang
disebut pendidikan.
Tugas utama pendidikan adalah membentuk pribadi yang bermoral, yang
memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai dengan nilai-nilai luhur
kemanusiaan. Kemampuan seperti ini ada pada hati nurani. Dengan demikian,
pendidikan bertujuan untuk membina hati nurani peserta didik agar mempunyai
kepekaan dan penghayatan nilai-nilai yang luhur. Pembinaan hati nurani seperti
inilah yang disebut pendidikan nilai atau pendidikan budi pekerti.[12] Al-Attas
menegaskan bahwa ungkapan bahasa Arab yang paling tepat untuk merumuskan
arti kata pendidikan adalah ta`dib karena yang menjadi pusat masalah pendidikan
adalah adab.[13] Untuk membentuk pribadi yang bermoral atau yang beradab,
anak didik harus dibantu untuk menghayati dan mengalami nilai-nilai luhur
yang diidealkan. Justru itu, nilai menjadi materi pendidikan yang sangat penting.
1. Pengertian Nilai
Nilai adalah kualitas atau mutu dari sesuatu. Masing-masing benda atau
peristiwa di jagat raya ini mempunyai kualitas tertentu. Segala sesuatu yang ada
mengandung nilai-nilai tertentu. Nilai masing-masing benda atau peristiwa itu
berbeda-beda antara satu dengan lainnya sehingga setiap sesuatu menempati
tingkatan nilai tertentu. Menurut Max Scheler, nilai-nilai yang ada tidaklah sama
luhur dan tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya, ada yang lebih tinggi dan
ada yang lebih rendah dibanding nilai lainnya. Hirarki nilai ini bukan diciptakan
oleh dan tidak bergantung pada kemauan manusia. Baik atau tidaknya manusia
ditentukan oleh kebenaran prilakunya sesuai dengan hirarki nilai itu sendiri.
Seseorang memilih suatu benda atau melakukan suatu tindakan karena
benda dan tindakan itu diyakininya punya nilai. Oleh karena itu, ia akan merasa
puas dan senang bila memperoleh benda atau dapat melakukan sesuatu yang
dianggapnya bernilai. Ada orang yang merasa puas bila memperoleh kedudukan
dan peran politik tertentu. Ada pula yang akan senang jika mendapat
keuntungan ekonomis tertentu. Masing-masing akan berusaha untuk
mendapatkan hal-hal yang diyakininya bernilai. Seiring dengan itu, nilai
dipahami sebagai suatu tenaga pendorong bagi seseorang untuk bertindak,
sesuatu yang dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, serta membuat orang
puas, gembira, dan bersyukur, sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari,
sesuatu yang menyenangkan dan yang disukai.
Dalam menjalani kehidupannya, manusia selalu dihadapkan pada pilihan
yang sangat beragam. Manusia tidak mungkin bersikap apatis. Misalnya, ketika
seseorang memiliki sejumlah uang ia akan dihadapkan pada pilihan tentang
benda apa yang akan dibelinya dengan uang itu. Begitu pula, ketika ia melihat
ada orang yang terjatuh di jalanan, ia juga dituntut untuk memilih apakah akan
menolong orang tersebut atau berlalu begitu saja. Demikian seterusnya,
seseorang selalu dituntut untuk mengambil sikap terhadap berbagai hal yang
dihadapinya. Pilihan tentang benda yang akan dibelinya atau tindakan yang akan
dilakukannya ditentukan oleh tingkatan nilai yang diyakininya ada pada pilihan
itu. Mungkin ia akan membeli barang-barang antik, buku-buku pengetahuan,
baju baru, atau makanan yang enak, bahkan mungkin ia memilih terjun ke dalam
kancah peperangan, karena itulah yang bernilai bagi yang bersangkutan.
Seseorang akan siap mengorbankan apa pun untuk mencapai sesuatu yang
diyakininya bernilai bagi dirinya.
Penilaian seseorang terhadap suatu benda atau tindakan mungkin sesuai
dengan realitas sesungguhnya, tetapi mungkin juga tidak. Oleh karena itu, suatu
benda atau tindakan ada yang bernilai dan ada pula yang diberi nilai. Pendidikan
nilai bertujuan untuk membina anak didik agar mampu dan mau memilih suatu
benda atau tindakan sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat
tempat ia hidup. Dengan kata lain, agar ia dapat bersikap dan berprilaku secara
tepat sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakatnya.
Nilai merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Untuk mengetahui nilai
yang dianut oleh seseorang dapat dilihat dengan memperhatikan usahanya untuk
mencapai suatu yang mengandung nilai tertentu. Seberapa besar daya, dana,
waktu, dan perhatian yang digunakan dan dikorbankannya untuk itu. Semakin
besar daya, dana, waktu, dan perhatian yang dugunakannya berarti semakin
tinggi nilai yang ada di balik sesuatu itu baginya. Orang yang meyakini bahwa
berhaji itu adalah sesuatu yang bernilai tinggi akan senantiasa berusaha dengan
segala cara yang mungkin untuk menunaikannya.
2. Macam-macam Nilai
Dalam ajaran Islam yang menjadi tolok ukur nilai adalah kehendak Allah
swt., bukan kehendak atau selera manusia. Yang baik dan bernilai dalam
pandangan Islam adalah segala yang dinyatakan baik oleh Allah swt. Oleh karena
itu, patokan baik-buruk atau bernilai-tidaknya sesuatu adalah ketentuan yang
terdapat di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
DAFTAR BACAAN