Setiap muslim seharusnya mengenal tuhannya dengan baik, yaitu: Allah ; satu-satunya Dzat yang berhak
untuk disembah dan ditaati. Ma'rifatullah adalah puncak aqidah dan tauhid seorang muslim.
Ma'rifatullah merupakan tolak ukur kualitas keislaman dan keimanan seseorang, karena untuk mencapai
ketinggian iman seorang muslim harus tahu dan mengenal dengan baik siapa tuhannya.
Makna Ma'rifatullah
Ma'rifatullah bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal itu tidak mungkin terjangkau oleh akal manusia
yang terbatas. Ma'rifatullah menurut Ibnul Qoyyim, sebagaimana di definisikan oleh ahli ma'rifah adalah
: "ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi
pengenalannya”.
Ma'rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun dimaknai dengan pengenalan terhadap
jalan yang mengantarkan manusia semakin dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan tantangan
yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah.
Figur teladan dalam ma'rifatullah adalah Rasulullah, Dialah sosok yang paling mengenal Allah, paling
dekat denganNya, dan paling taat kepada perintah-perintahNya.
Rasulullah SAW bersabda : "Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan paling takut kepadaNya".(HR.
Bukhari dan Muslim). Tingkatan berikutnya yang paling mengenal Allah adalah :
َ ) اَ ْل ُعلَ َما ُء. Ulama' yang mengamalkan ilmunya.
َ ُالعا ِمل
( ون
إِ َّن َما َي ْخ َشى هّللا َ مِنْ عِ َبا ِد ِه ال ُعلَ َما ُء....: قال تعالى
"Sesungguhnya yang takut pada Allah di antara hamba-hambanya hanyalah 'ulama'”. (QS,35:28 )
Orang yang mengenali Allah, dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala
macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin sholat, pada saat yang lain kita
dapati ia senantiasa berzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarakat, dermawan, dll. Tidak ada
ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu yang di
benci Allah, melainkan ia menjauhinya.
Urgensi Ma'rifatullah
Ma'rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup selanjutnya. Dengan
ma'rifatullah manusia bisa mengetahui tujuan hidup yang sesungguhnya. Ketiadaan ma'rifatullah
membuat orang hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas, bahkan orang yang tidak mengenal Allah
dengan benar akan menjalani hidupnya seperti binatang. (QS,47:12).
Ma'rifatullah adalah asas perjalanan ruhiyah manusia secara keseluruhan. Orang yang mengenal Allah
akan merasakan hidupnya tenang, lapang, dan dia hidup dalam rentangan panjang antara sabar dan
syukur.
Dari ma'rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti malaikat, jin dan
ruh.
Dengan ma'rifatullah seorang muslim akan senantiasa menjaga dirinya dari melanggar aturan-aturan
Allah SWT sehingga hidupnya di penuhi dengan rahmat dan ridho Allah.
Buah Ma'rifatullah
Puncak ilmu adalah mengenal Allah. seseorang dikatakan sukses dalam belajar atau menuntut ilmu
apabila dia semakin mengenal Allah dan semakin Dekat pada Allah. Jadi, percuma sekolah tinggi, gelar
prestisius segudang, harta melimpah dan jabatan melangit bila itu semua tidak menjadikannya semakin
dekat, semakin kenal dan semakin taat pada Allah.
Ma'rifatullah adalah ni'mat yang sangat besar. Mengenal Allah akan membuahkan ahklaq mulia. Betapa
tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa di tatap, di dengar dan di perhatikan oleh Allah, sehingga
langkah dan gerak kita terarah pada jalan yang dikehendaki Allah. inilah keni'matan hidup yang
sebenarnya.
Dengan ma'rifatullah hidup menjadi tenang, terarah, ringan dan bahagia. Sebaliknya jika kita jauh dari
Allah, hidup akan terasa berat, sempit, sengsara, tenggelam dalam lumpur dosa, dan terus menerus
hidup dalam rentang waktu dan ruang kehinaan.
ش ُرهُ َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة أَعْ َمى َ ض َعنْ ذ ِْك ِريْ َفإِنَّ لَ ُه َم ِع ْي َش ًة
ُ ْض ْن ًكا َو َنح َ و َمنْ اَعْ َر:َ قال تعالى
"Barang siapa yang berpaling dari peringatanku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan
akan kami bangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaahaa,124 ).
Sarana Ma'rifatullah
Diantara sarana yang dapat mengantarkan kita pada ma'rifatullah adalah :
• Ma’rifatullah berasal dari kala ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal
Allah bukan melalui zat Allah tetapi mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaranNya (ayat-ayatNya).
• Seseorang yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya (QS 51:56) dan tidak tertipu oleh
dunia .
• Ma’rifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS 6:122). Hakikat ilmu
adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma’rifatullah adalah ilmu yang tertinggi
sebab jika difahami memberikan keyakinan mendalam. Memahami Ma’rifatullah juga akan
mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya hidayah yang terang [6:122] .
• Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena:
Semua sifat diatas merupakan bibit-bibit kekafiran kepada Allah yang harus dibersihkan dari hati. Sebab
kekafiranlah yang menyebabkan Allah mengunci mati, menutup mata dan telinga manusia serta
menyiksa mereka di neraka. (QS 2:6-7)
Referensi
Said Hawwa, Allah Jalla Jalaluhu
Aqidah Seorang Muslim 1, Al-Ummah
MA’RIFATULLAH (MENGENAL ALLAH)
A. Muqaddimah
Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa – ya’rifu – ma’rifah yang berarti mengenal. Dengan demikian
ma’rifatullah berarti usaha manusia untuk mengenal Allah baik wujud maupun sifat-sifat-Nya. Manusia
sangat berkepentingan untuk mengetahui siapa penciptanya dan untuk apa ia diciptakan. Karena itu,
manusia pun mulai melakukan penelitian dan mencari-cari siapa gerangan Tuhannya. Allah yang Maha
Rahman dan Maha Rahim tentu tidak akan membiarkan kita terkatung-katung tanpa adanya
pembimbing yaitu utusan-utusan-Nya para nabi dan rasul yang akan menunjukkan kita ke jalan yang
benar. Maka di antara manusia ada yang berhasil mengetahui Allah dan banyak pula yang tersesat,
berjalan dengan angan-angannya sendiri.
“Maka berpalinglah kamu dari orang yang telah berpaling dari peringatan Kami dan dia tidak
menghendaki, kecuali kehidupan dunia. Itulah kesudahan pengetahuan mereka. Sungguh Tuhanmu
lebih mengetahui orang yang telah sesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui orang yang dapat
petunjuk”. (QS. An Najm: 29-30).
B. Urgensi Ma’rifatullah
Secara umum, manusia mengetahui bahwa suatu ilmu dikatakan penting dan dirasakan mulia
sebetulnya tergantung kepada dua hal yaitu apakah yang menjadi obyek ilmu itu dan seberapa besar
manfaat yang dihasilkan darinya.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ma’rifatullah merupakan
ilmu yang paling mulia dan penting karena materi yang dipelajarinya adalah Allah. Manfaat yang
dihasilkannya pun tidak saja untuk kepentingan dunia tapi juga untuk kebahagiaan akhirat.
Orang yang mempelajari ma’rifatullah akan menjadi insan yang beriman dan bertaqwa bila Allah
memberi hidayah kepadanya. Dan bagi muslim yang mempelajarinya, insya Allah akan menaikkan
keimanan dan ketaqwaannya (raf’ul iman wat taqwa). Sebagai balasan atas keimanan dan ketaqwaan
mereka, Allah SWT menjanjikan kebaikan-kebaikan bagi mereka, di antaranya:
Pertama, Al Khalifah. Bahwa Allah SWT menjanjikan kepada mereka untuk menjadi penguasa di muka
bumi ini.
“Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman di antaramu dan mengerjakan amal
shaleh, bahwa Allah sungguh-sungguh akan mengangkat mereka menjadi khalifah di muka bumi,
sebagaimana orang-orang dahulu menjadi khalifah…” (QS. An Nur: 55).
Melalui beberapa tahap pembinaan secara berkesinambungan, insya Allah kekhalifahan Islam akan
muncul kembali sebagaimana yang dinubuahkan rasulullah saw. Rasulullah saw mengungkapkan bahwa
umat Islam setidaknya akan melalui lima periode dalam perjalanannya hingga hari kiamat nanti, yaitu
periode kenabian, periode kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, periode mulkan adhan
(penguasa yang menggigit), periode mulkan jabbariyan (penguasa yang menindas), dan terakhir sebelum
datangnya kiamat, umat ini sekali lagi akan berjaya dengan kembali ke periode kekhalifahan yang tegak
di atas nilai-nilai kenabian. (disarikan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi).
“…dan Allah sungguh-sungguh akan meneguhkan agama mereka yang diridhai-Nya…” (QS. An Nur: 55).
“Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang
benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. (QS.
At Taubah: 33 dan QS. Ash Shaf: 9).
“Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, agar dimenangkan-
Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (QS. Al Fath: 28).
Ketiga, Al Amnu. Bahwa Allah SWT akan mengkondisikan orang-orang yang beriman rasa aman dan
tentram setelah sebelumnya mereka selalu ditimpa keresahan dan ketakutan.
“Dan Allah sungguh-sungguh akan menggantikan ketakutan mereka dengan keamanan…” (QS. An Nur:
55).
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan
berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah
dan hari kemudian”. (QS. Al Baqarah: 126).
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata
air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi
aman”. (QS Al Hijr: 45-46).
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (QS. Al An’am: 82).
“Kalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya Kami tumpahkan kepada mereka
keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka itu mendustakan, sebab itu Kami siksa mereka
disebabkan usahanya itu”. (QS. Al A’raf: 96).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, bagi mereka surga Firdaus-lah
tempatnya, mereka kekal di dalamnya tak hendak berpindah darinya”. (QS. Al Kahfi: 107-108).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, untuk mereka itu surga na’im. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah janji Allah yang sebenarnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.
Lukman: 8-9).
Kesemua ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa ma’rifatullah bila dipelajari dengan benar akan
menambah keimanan dan ketaqwaan. Orang-orang yang bijak dan memiliki akal sehat tentu akan
memilih beriman dan bertaqwa kepada Allah daripada mengingkari atau mempersekutukan-Nya dengan
ilah-ilah yang lain.
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah kecuali Allah, dan minta ampunlah untuk dosa-
dosamu dan untuk dosa-dosa orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui
tempat bolak-balikmu dan tempat diammu”. (QS. Muhammad: 19).
“Tiada Kami utus seorang rasulpun sebelum engkau, melainkan Kami wahyukan bahwa sesungguhnya
tidak ada Ilah kecuali Aku, sebab itu beribadahlah kepadaku”. (QS. Al Anbiya: 25).
Dari Abbas ra bahwa Nabi saw ketika mengutus Muadz bin Jabal ra ke Yaman, bersabda, “Sesungguhnya
kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka kepada kesaksian bahwa tidak ada Ilah
kecuali Allah, dan sesungguhnya saya Rasulullah. Kalau mereka telah mentaati yang demikian itu, maka
ajarkanlah mereka bahwa Allah azza wa jalla mewajibkan mereka shalat lima waktu sehari semalam”.
(HR. Jamaah).
Barangsiapa yang mengatakan aku ridha Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai dinku, dan Muhammad
saw sebagai nabiku, maka surga wajib baginya. (HR. Bukhari, An Nasa’i dan Abu Daud).
Merasakan nikmatnya iman, barangsiapa yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai din, dan
Muhammad sebagai rasul. (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Berkata Ibnu Umar, “Kami hidup pada suatu masa dan seseorang dari kami diberikan iman sebelum Al
Qur’an dan kemudian turunlah surat-surat dari Al Qur’an, maka dipelajarilah darinya yang halal, haram,
perintah dan larangannya dan apa-apa yang harus dilakukannya. Dan aku lihat orang-orang sekarang ini
diberikan Al Qur’an dahulu sebelum adanya iman. Maka dibacalah surat dari Al Fatihah hingga surat
yang terakhir dan dia tidak tahu apa perintah dan larangannya. Lalu dia campakkan Al Qur’an itu bagai
kurma busuk.” (HR. Imam Thabrani dalam kitab Al Ausath).
Selain dalil-dalil di atas, ada hal lain lagi yang perlu kita camkan yaitu bahwa ma’rifatullah dan iman
kepada-Nya merupakan furqan (pembeda) antaranya dengan mereka yang tidak beriman. Padahal
keimanan inilah yang menjadi titik tolak diterimanya amal seseorang.
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air
oleh orang-orang yang dahaga. Tetapi ketika didatanginya air itu, ia tidak mendapatinya suatu apapun.
Dan didapatinya ketetapan Allah di sisinya, lalu Allah memberitakan kepadanya perhitungan amal-
amalnya dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungannya.” (QS. An Nur: 39).
Dari dahulu hingga sekarang ada orang-orang yang masih beranggapan bahwa Allah tidak ada, hanya
gara-gara mereka tidak dapat melihat-Nya dengan panca inderanya sendiri (al hawas), dengan alasan
mereka tidak mempercayai sesuatu yang ghaib. Padahal panca indera kita sangat terbatas
kemampuannya dalam menganalisa benda-benda yang nampak, apalagi terhadap benda-benda yang
tidak nampak.
Hanya dengan berbekal panca indera, mereka tidak akan dapat mengenal Allah. Manusia hanya dapat
melihat-Nya di surga nanti bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Mereka tidak mampu melihat-Nya, bahkan
karena kesesatannya lalu mereka menjadikan benda-benda lain yang mempunyai kekuatan tertentu
yang mempengaruhi kehidupannya sebagai Tuhan mereka selain Allah (ghairullah). Tersebutlah
kemudian kepercayaan akan adanya dewa-dewa yang menguasai matahari, bintang, langit, air, udara
dan lainnya. Selain itu ada pula yang karena jenuh mencari namun tak juga berhasil, lalu berkesimpulan
bahwa Tuhan tidak ada. Pencarian tak tentu arah ini lalu menimbulkan sikap skeptis. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan diri dan juga gejala-gejala alam yang terjadi dalam lingkungan kehidupannya
dipandangnya dengan nalarnya semata. Inilah yang mereka anggap lebih ilmiah dari pada harus
mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib, mistik, takhayul dan sebagainya. Ilmu filsafat kemudian
muncul memuaskan segala nafsu dan akal manusia.
Akal manusia bisa jadi akan mampu mengenal keberadaan Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya
yang tersebar di pelosok bumi. Namun karena mereka tidak mempunyai keimanan, segala pengetahuan
itu kemudian dijadikan diskursus ilmu semata.
Penggambaran yang salah terhadap metode untuk mengenal Allah ini, dulu maupun sekarang,
merupakan faktor terbesar yang menjauhkan manusia dari metode iman yang benar kepada Allah.
Padahal penggambaran macam ini jelas-jelas salah. Secara aksiomatik, akal mengatakan bahwa Allah
adalah pencipta materi tetapi Dia bukan materi. Sebab materi tidak bisa menciptakan materi. Jika
puncak pencerapan indera di dalam kehiduapan dunia kita hanya terbatas pada materi yang tercerap
secara inderawi saja, maka Allah tidak akan bisa menjadi obyek pengetahuan kita. Yang jelas pada
bangsa atau orang kafir manapun juga pasti akan muncul kekacauan di seputar metode inderawi untuk
mengenal Allah ini. Itulah sebabnya mengapa di zaman sekarang kita mendengar ada orang-orang
tertentu yang menjadikan “tidak bisa dilihat oleh mata” menjadi sebab musabab timbulnya atheisme.
Demikian pula, kita mendengar beberapa negara tertentu menegaskan demikian, seperti yang dilakukan
oleh siaran Uni Soviet ketika meluncurkan satelit industrinya yang pertama ke ruang angkasa.
Kedua jalan tersebut, yaitu al hawas (panca indera) dan aqli (akal pemikiran) karena tidak diikuti dengan
keimanan terhadap hasil pencariannya itu, timbullah sakwasangka dan keragu-raguan (al irtiyab) dan
pada akhirnya membuat mereka menjadi kafir.
Jalan mengenal Allah telah ditunjukkan oleh Islam dengan menggunakan prinsip keimanan dan akal
pemikiran melalui tanda-tanda (al ayat), yaitu melalui ayat-ayat qauliyah (Al Qur’an dan hadits), ayat-
ayat kauniyah (alam semesta), dan melalui mu’jizat.
Dari ayat-ayat qauliyah, Allah mewahyukan firman-Nya kepada para utusan-Nya. Ada yang berupa
shuhuf, al kitab dan juga hadits qudsi. Dalam Al Qur’an kita dapati maklumat Allah mengenai
keberadaan diri-Nya.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku, maka mengabdilah pada-Ku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”. (QS. Thaha: 14).
Dari ayat-ayat kauniyah, kita dapati keyakinan adanya Allah melalui apa-apa yang ada di alam semesta
dan juga pada diri kita sendiri. (lihat QS. Adz Dzariyat : 21-22 dan QS. Fushshilat :53).
Misalnya adalah yang ada pada telapak tangan kita. Ruas-ruas tulang jari (tapak tangan maupun telapak
kaki) kita terkandung jejak-jejak nama Allah, Tuhan yang sebenar pencipta alam semesta ini.
Perhatikan salah satu tapak tangan kita (bisa kanan bisa kiri). Perhatikan lagi dengan seksama:
Jari kelingking = membentuk huruf alif
Jari manis, tengah dan jari telunjuk = membentuk huruf lam (double)
Jari jempol (ibu jari) = membentuk huruf ha
Jadi jika digabung, maka bagi Anda yang mengerti huruf Arab akan mendapati bentuk tapak tangan itu
bisa dibaca sebagai Allah (dalam bahasa Arab).
Garis utama kedua telapak tangan kita, bertuliskan dalam angka Arab yaitu :
IɅ pada telapak tangan kanan, artinya : 18; dan ɅI pada telapak tangan kiri, artinya : 81. Jika kedua angka
ini dijumlahkan, 18+81 = 99, 99 adalah jumlah nama/sifat Allah, Asmaul Husna yang terdapat dalam Al-
Quran !
Mengenai sidik jari, polisi dapat mengidentifikasi kejahatan berdasarkan sidik jari yang ditinggalkan oleh
pelaku di tubuh korban. Hal ini disebabkan struktur sidik jari setiap orang berbeda satu dengan lainnya.
Bila kelak penjahat itu telah ditemukan maka untuk membuktikan kejahatannya sidik jarinya akan
dicocokkan dengan sidik jari yang ada dalam tubuh korban. Maka si penjahat tidak dapat memungkiri
perbuatannya di hadapan polisi.
Keistimewaan pada jari jemari manusia menunjukkan kebenaran firman Allah yang menyatakan bahwa
segala sesuatu ada bekasnya. Allah tidak akan menyia-nyiakan bekas-bekas ini untuk dituntut di yaumil
akhir nanti.
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka
kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab
Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yaasin:12).
Adapun mengenai mu’jizat yang Allah berikan kepada para rasul dan nabi-Nya, telah cukup memperkuat
eksistensi Allah. Mu’jizat terbesar yang hingga kini masih ada adalah Al Qur’an. Berikut adalah beberapa
contoh mu’jizat yang terdapat dalam Al Qur’an.
Tak seorangpun ahli saint mengira bahwa langit, bintang dan planet-planet itu dasarnya adalah kabut
(dukhan) setelah alat-alat ilmiah berkembang pesat. Para peneliti menyaksikan sisa-sisa kabut yang
hingga kini selalu membentuk bintang-gemintang.
“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang Dia juga menjadikan padanya
matahari dan bulan yang bercahaya.” (QS.Al Furqan: 61).
Di sini Allah menyatakan bahwa matahari bersinar, sehingga dikatakannya “pelita/lampu”. Jika bulan
bersinar pula, tentu Allah akan berkata ‘dua lampu” (as sirajain).
Dahulu orang-orang beranggapan bahwa orang yang naik ke atas merasa sesak napas karena udara
buruk yang tidak sehat. Tetapi manakala manusia berhasil membuat pesawat ruang angkasa super
canggih dan ia mampu naik ke langit, diketahuilah bahwa orang yang naik ke langit dadanya terasa
sesak, bahkan amat sesak, dikarenakan udara (oksigen) berkurang dan bahkan hampa. Karena itu para
astronot harus memakai tabung oksigen ketika mengangkasa.
Setelah mengkaji beberapa contoh hubungan kitabullah dengan sains modern, pahamlah kita bahwa Al
Qur’an benar-benar suatu mukjizat yang tiada bandingnya. Mereka yang memiliki hati nurani akan
merasa takjub dengan keangungan-Nya. Sungguh benar firman Allah :
“Sesungguhnya telah Kami datangkan kepada kamu suatu kitab yang telah Kami jelaskan berdasarkan
ilmu (dari kami), sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Al A’raf: 52).
Manusia yang beriman dan berakal lurus akan merasakan keberadaan Allah dan membenarkan
keimanannya kepada Allah (tashdiqul mu’min ilallah) . Sehingga rukun iman yang enam perkara yang
selalu kita hapalkan itu, bukan hanya keimanan dalam lafadz semata, tapi juga telah tertashdiq
(dibenarkan) dalam hati dan pola tingkah kita sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat 53:11 ,”Hatinya tidak mendustai apa yang telah dilihatnya”.
1. Al Kubru (sombong)
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, ”Mengapakah tidak
diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat tuhan kita ?” Sesungguhnya mereka
menyombongkan diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan)
kezaliman. (Al Furqan, 25: 21).
2. Azh Zhulmu (zalim)
Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah”,
maka orang itu Kami beri balasan dengan jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada
orang-orang zalim. (Al Anbiya, 21: 29).
3. Al Kadzibu (dusta)
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syrik). Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak mnyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az Zumar,39: 3).
4. Al Fusuqu (fasik)
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, mengapa kalian menyakitiku
padahal kalian tahu bahwa aku adalah utusan Allah untuk kalian”. Maka tatkala mereka berpaling (dari
kebenaran), Allah palingkan hati mereka dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS.
Ash Shaf, 61: 5).
5. Al Kufru (ingkar)
Wahai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan)
kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka , “Kami telah
beriman”, padahal hati mereka belum beriman…(QS. Al Maidah, 5: 41).
6. Al Fasadu (fasad)
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan
sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kemudian jika mereka berpaling
(dari kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS. Ali Imran, 3: 62-63).
7. Al Ghaflah (lengah)
Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dai jin dan manusia, mereka
mempunyai hati tapi tak digunakan untuk memahami, mempunyai mata tapi tak digunakan untuk
melihat, dan mempunyai telinga tapi tak digunakan untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raf, 7: 179).
9. Al Irtiyab (ragu-ragu)
Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu, dan mereka menduga-duga tentang
yang ghaib dari tempat yang jauh. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini
sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu.
Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam. (QS. Saba’, 34: 53-54).
Secara umum, ilmu ada dua katagori, yaitu ilmu dharuri (aksiomatis) dan ilmu nazhari (teoritis). Ilmu
dharuri adalah pengetahuan akan sesuatu yang tidak membutuhkan dalil, karena keberadaannya dapat
disentuh dengan indra. Ketika kita berada di dpn suatu masjid, kita tidak memerlukan dalil untuk
mengatakan bahwa masjid itu ada. Sedangkan ilmu yang hanya dapat diperoleh dengan dalil disebut
ilmu nazhari. Misalnya luas segitiga adalah setengah kali alas kali tinggi (1/2 X a X t).
Dan sesungguhnya, fenomena alam dan perangkat kehidupan yang dianugerahkan Allah SWT dapat
menuntun kita pada ma’rifat kepada-Nya dengan ma’rifat yang sangat dekat, sebagaimana ilmu dharuri
yang dapat dilihat dengan mata kepala.
Berikut ini kita bahas dalil-dalil yang dapat menguatkan keyakinan kita akan keberadaan Allah SWT.
Dikatakan kepada Rabi’ah al Adawiyah, seorang tokoh muslimah ahli ibadah, bahwa seseorang dapat
menunjukkan seribu dalil akan adanya tuhan. Ia tertawa dan berkata, “Satu dalil sudahlah cukup.” “Apa
itu ?” tanya orang itu. “Kalau kamu berjalan di tengah padang pasir, lalu kakimu tergelincir dan jatuh ke
lubang sebuah sumur hingga tidak bisa keluar darinya, apa yang akan kamu perbuat ?” tanya Rabi’ah.
“Kami akan berkata, ya Allah,” jawabnya. “Nah, itulah dalil…,” tegas Rabi’ah.
Demikianlah fitrah manusia. Dia memang diciptakan Allah SWT di atas fitrah agama Allah, sehingga
keimanan kepada Allah sesungguhnya telah bersemayam dalam hati setiap insan, siapapun orangnya
dan yang lahir dari siapapun.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar Rum, 30: 30).
2. Ad dalil al hassiy (dalil panca indera)
Panca indra manusia diciptakan sebagai alat untuk mengenal alam benda di sekitar kita. Namun apa
yang ada pada diri kita itu memiliki banyak sekali keterbatasan. Mata kita misalnya. Ada hal-hal yang
sebenarnya ada di dunia ini, tetapi mata tidak mampu melihatnya. Misalnya arus listrik, udara, aroma
dan sebagainya. Apa yang kita lihat juga kadang tidak menunjukkan fakta yang sebenarnya. Misalnya
pensil yang dimasukkan dalam segelas air terlihat patah padahal sebenarnya tidak. Rel kereta api bila
kita lihat semakin jauh terlihat bertemu pada satu ujung, padahal tidak demikian faktanya. Lautan
terjauh yang kita lihat seolah-olah bertemu dengan ujung dunia, padahal realitanya tidaklah demikian.
Keterbatasan indra inilah yang justru menjadi dalil bahwa sesungguhnya di balik dunia yang kita tangkap
dengan indra masih terdapat dunia lain. Termasuk di dalamnya adalah dunia ghaib, di mana Allah SWT
termasuk bagian darinya. Dengan demikian, barangsiapa mengingkari wujud Allah SWT hanya karena
indra tidak menangkapnya, maka ia harus juga mengingkari banyak sekali realita yang ada di dunia ini,
yang tidak bisa ditangkap oleh indra manusia.
Seorang Arab badui suatu ketika ditanya tentang keberadaan Allah, lalu dia menunjuk seonggok kotoran
onta sambil balik bertanya, ‘Tahukah Anda, kotoran apakah itu ?’ ‘Kotoran onta jawabnya,’ jawabnya.
Sang badui kemudian bertanya lagi, ‘Apakah Anda melihat ontanya ?” “Tidak”, jawabnya. Sang badui
bertanya lagi, ‘Lalu, bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa kotoran itu adalah kotoran onta, tanpa
Anda tahu ontanya ?” ‘Dengan melihat ciri-cirinya,” jawabnya lagi.
Sang badui kemudian berkata, “Lihatlah ke atas dan lihatlah alam semesta. Jika kotoran onta
menunjukkan adanya onta tanpa harus terlihat ontanya, apakah tidak cukup bahwa alam semesta ini
menunjukkan adanya pencipta tanpa harus terlihat sang pencipta ? Dialah Allah.”
Sesungguhnya tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu
Dia sengaja menciptakan Arsy. Dia tutup malam dengan siang yang mengikutinya dengan cepat.
Matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah, mencipta dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Berkat Allah, tuhan semesta alam. (QS. Al Araf, 7: 54).
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah
shalat untuk mengingat-Ku. (QS. Thaha, 20: 14)
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia. Raja yang Mahas Suci, yang
Maha Sejahtera, yang mengkaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang
Maha Esa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah
Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk rupa, yang Mempunyai nama-nama yang
paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan apa yang di bumi. Dan Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Hasyr: 22-24).
Peninggalan situs-situs sejarah yang masih dapat kita saksikan hingga kini, menunjukkan adanya
kepercayaan umat manusia akan keberadaan Tuhannya. Ritual haji di depan Ka’bah oleh musyrikin
Arab, candi Borobudur di Indonesia, Pagoda Songkla dan lainnya menunjukkan pengakuan manusia akan
adanya Sang Pencipta.
Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka dapat
memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah menimpakan
kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (QS.
Muhammad,47: 10).
F. KHATIMAH
Ma’rifatullah merupakan jalan pembuka mengapa kita perlu beribadah kepada-Nya dan mengapa jalan-
Nya yang kita ambil dalam menapaki kehidupan kita sehari-hari di alam fana ini.
Kita harus memahami dan mengenal Allah dengan benar (shahih) melalui sandaran yang benar pula.
Dalam pandangan Islam, faktor iman kepada yang ghaib, yang tak dapat kita lihat dengan mata kepala,
merupakan faktor yang dominan dalam upaya mengenal Allah, di samping faktor akal dan ayat-ayat
Allah yang Allah turunkan melalui utusan-Nya dan juga yang terhampar di seluruh alam mayapada ini.
Pengenalan Allah yang benar akan menghasilkan peningkatan iman dan taqwa (raf’ul iman wat taqwa),
juga pribadi merdeka dan bebas yang membebaskan kita dari penghambaan kepada makhluk menuju
penghambaan kepada pencipta makhluk. Dengan mengenal Allah, akan tumbuh ketenangan,
keberkatan dan kehidupan yang baik, serta di akhirat dibalas dengan surga-Nya.
Ada banyak hal yang menyebabkan manusia tak mengenal Allah dan tak mau mengakui keberadaan-
Nya. Ada yang karena kesombongannya, lalai, bodoh, ragu-ragu dan lainnya. Padahal banyak sekali dalil
yang menguatkan keberadaan Allah dan menyakinkan kita untuk beriman kepada-Nya. Tanda-tanda
kekuasaan-Nya bukan saja terdapat di alam semesta ini, bahkan dalam diri kita pun, hal itu tampak
dengan jelas.
Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri
mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Dan apakah Rabb-mu
tidak cukup, bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ? (QS. Fushilat, 41: 53).
Pada akhirnya, pemahaman pada ma’rifatullah, akan menjadi furqan (pembeda) antara orang-orang
yang beriman dan yang mengingkarinya. Moga kita dirahmati Allah SWT bukan saja untuk lebih kenal
kepada-Nya, tapi juga dapat lebih meningkat iman dan taqwa kita.