Anda di halaman 1dari 8

1.

Pengertian Takdir
Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara yang berasal dari akar kata
qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, kekuatan,
daya, potensi dan ketetapan yang sesuai. Semua makna ini merupakan realitas-
realitas yang tidak bisa diabaikan, dan ada didalam kata “takdir”. Realitas-realitas
ini saling berelasi membentuk jaringan dan merupakan unsure-unsur yang
membangun makna takdir tersebut.
Jadi “takdir” adalah “hukum Allah”. Hukum yang ditetapkan berdasarkan
pada kekuatan, daya, potensi, ukuran dan batasannya sendiri yang ada pada
sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya sehingga apabila kita berkata “Allah
telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti “Allah telah memberi
kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal
makhluk-Nya”.
Jika takdir Allah dikaitkan dengan segala sesuatu di alam semesta ini, maka
sesungguhnya setiap unsur terkecil di alam semesta itu telah ditetapkan
hukumnya oleh Allah, berdasarkan daya dan kekuatan, ukuran dan batasannya
sendiri, yang hal ini berarti memiliki sebuah potensi, sifat dan karakteristiknya
masing-masing. Dan perlu kita ketahui bahwasanya setiap unsur di alam semesta
ini tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan
lainnya dan membentuk bangunan unsur yang lain, yang berarti membentuk
hukum yang lain pula. Dari penjelasan diatas dapat diketahu dalam tiga hal, yaitu
pertama, takdir Allah itu begitu rinci dan detail bukan secara global, dan melekat
pada setiap unsur terkecil di alam semesta, kedua, takdir yang dijelaskan diatas
tersebut dipahami oleh para ulama sebagai qadla, sebenarnya adalah takdir, dan
keduanya tidak berbeda karena memiliki arti yang sama, dan ketiga, takdir Allah
selalu ada pada setiap saat dan setiap tempat, terus berlanjut dan berjalan sejak
awal penciptaan sampai hari kiamat.
Dari sekian banyaknya ayat dalam Al-Qur’an dapat dipahami bahwa semua
makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampui
batas ketetapan itu serta manusia tidak bisa berlari dari takdirnya itu, sementara
Allah SWT telah menuntun dan menunjukkan mereka yang seharusnya mereka
tuju.
Sedangkan percaya terhadap “takdir” Tuhan mengandaikan adanya sebuah
proses yang menyangkut dua hal yang penting, yaitu pertama, adanya sebuah
aktivitas manusia yang dinamakan “percaya” atau “iman”, kedua, pemahaman
mengenai “takdir” itu sendiri sebagai sesuatu yang harus dipahami dan
dipercayai. Jadi adanya aktivitas “percaya” mengandaikan adanya aktivitas yang
mendahuluinya yaitu “memahami” takdir tersebut.
2. Konsep Takdir
Islam mengenal takdir dengan sebutan qadha dan qadar. Sebagian ulama
menafsirkan qadha sebagai hubungan sebab akibat dan qadar sebagai ketentuan
Allah sejak zaman ajali, dalam arti “qadim” (dahulu) dan “tidak memiliki
permulaan”. Inilah yang dipahami oleh sebagian besar ualama salaf dan Ahlu
Sunnah wal Jama’ah. Jadi lebih singkatnya qadha adalah pelaksanaan dalam
operasional yang dipilih oleh manusia untuk selanjutnya menemui qadarnya dan
akhirnya menentukan nilai dari mala perbuatannya itu.
Takdir adalah suatu yang sangat ghoib dan abstrak, sehingga manusia tak
mampu mengetahui takdirnya sedikitpun dan bahkan takdir Allah itu hanya bisa
diketahui oleh manusia setelah mereka masuk surga. Akan tetapi banyak takdir
Allah yang dapat diketahui oleh manusia melalui berbagai macam penelitian dan
penemuan-penemuan ilmiahnya tentang alam semesta, baik dalam bidang fisika,
kimia, biologi, astronomi dan lainnya, yang ternyata setiap unsur di alam semesta
ini memiliki hukumnya masing-masing dan kesemuanya berjalan sesuai dengan
hukum atau takdir Allah misalnya air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat
yang rendah. Oleh karena itu yang dapat kita lakukan hanya berusaha, dan seperti
kalimat yang sering kita dengar yaitu “Tugas kita sebagai manusia hanyalah
senantiasa berusaha dan hasilnya tersebut biarlah Allah yang menentukan”, yang
menegaskan pentingnya mengusahakan qadha untuk selanjutnya menemui
qadarnya. Dan ada tiga hal yang sering-sering disebut sebagai takdir, yaitu
jodoh, rezeki dan kematian.
Taqdir itu memiliki empat tingkatan yang semuanya wajib diimani, yaitu :
a. Al-‘Ilmu,
Bahwa seseorang harus menyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu
baik secara global maupun terperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi
dan apa yang akan terjadi karena segala sesuatudiketahu oleh Allah, baik
yang detail maupun jelas atas setiap gerak-gerik makhluknya dan tidak satu
pun yang luput dari ilmu Allah SWT.
b. Al-Kitabah,
Bahwa Allah mencatat semua itu dalam Lauhil Mahfuz dan tulisan itu tetap
ada sampai hari Kiamat. Walaupun itu telah terjadi pada masa yang lalu,
masa sekarang dan apa yang akan terjadi pada masa yang akan mendatang.
c. Al-Masyi’ah,
Kehendak Allah ini bersifat umum karena Allah mempunyai kehendak
terhadap segala sesuatu yang terjadi di bumi dan di langit dan tidak ada
sesuatu pun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya. Didalam Al-Qur’an
banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan masyiatullah yang mutlak yang
berarti kalau Allah menghendaki sesuatu tidak ada yang bisa menghalangi
kehendank-Nya tersebut dan begitu juga sebaliknya.
d. Al-Khalqu,
Bahwa tidak sesuatu pun di langit dan di bumi melainkan Allah sebagainya
penciptanya, pemiliknya, pengaturnya dan menguasainya.
3. Faidah Dan Manfaat Mengimani Takdir-Nya
a. Iman kepada takdir-Nya adalah penyempurna keimanan seorang hamba
kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak akan benar keimanan seorang hamba
tanpa ini, karena mengimani takdir Allâh Azza wa Jalla termasuk rukun iman.
b. Iman kepada takdir-Nya termasuk penyempurna tauhid Rububiyyah dan
tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
c. Mendatangkan ketenangan dan kelapangan jiwa serta tidak gelisah dalam
menghadapi kesulitan di dunia ini, karena semuanya terjadi dengan ketetapan
Allâh Azza wa Jalla dan tidak mungkin dihindari.
d. Meringankan beban saat tertimpa musibah, sehingga mudah baginya untuk
bersabar dan meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya, “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa
(seseorang) kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh
Maha Mengetahui segala sesuatu” [at-Taghâbun/64:11].
Imam Ibnu Katsir t mengatakan, “Maknanya, seseorang yang ditimpa
musibah dan dia yakin musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir
Allâh, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh
Azza wa Jalla ), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan
Allâh tersebut, maka Allâh akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan
menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan
keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan
apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[32] .
e. Orang yang mengimani takdir akan selalu mengembalikan semua urusannya
kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena jika dia mengetahui bahwa segala
sesuatu terjadi dengan takdir dan ketetapan-Nya maka dia akan selalu kembali
kepada-Nya dalam memohon taufik dan kebaikan baginya dan menolak
keburukan darinya, serta menyandarkan semua kebaikan dan nikmat kepada-
Nya semata. Inilah landasan utama segala kebaikan bagi seorang hamba dan
sebab utama meraih taufik dari Allâh Azza wa Jalla.
f. Menyadarkan seseorang terhadap kekurangan dan kelemahan dirinya,
sehingga dia tidak merasa bangga dan lupa diri ketika melakukan kebaikan.
g. Menjadikan orang yang beriman semakin mengetahui kesempurnaan hikmah
Allâh Azza wa Jalla.
h. Menjadi motivasi bagi orang yang beriman untuk semakin semangat berbuat
kebaikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
i. Berani dan tegar dalam menegakkan agama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan
tidak takut terhadap celaan manusia dalam kebenaran.
j. Merasa kaya/berkecukupan dalam hati. Inilah kekayaan yang hakiki.
Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…Ridhalah
(terimalah) bagian yang Allâh tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi
orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[34] .

Sumber: https://almanhaj.or.id/3551-memahami-takdir-allah-subhanahu-wa-
taala-menurut-perspektif-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
4. Hakikat Takdir Allah SWT.
a. Takdir Allah hendaknya didasari dengan pandangan “Husnu Azh-Zhon”
(berbaik sangka) kepada Allah swt. Maksudnya, bahwa iman kepada takdir
Allah didasari dengan keyakinan terhadap ke-Mahabijaksanaan Allah swt dan
ke-MahatahuanNya atas segala yang menimpa hambaNya. Seringkali suatu
kejadian nampaknya buruk dalam pandangan manusia, tetapi dalam
pandangan Allah swt suatu kebaikan, sebab segala perbuatan Allah adalah
kebaikan mutlak ( Lihat: Abdur-Rahmnan Habannakah, Pokok-pokok Akidah
Islam, 674, th. 1998, GIP ).
b. Keimanan kepada Takdir Allah bukan berarti meniadakan tanggung jawab
mukmin atas perbuatannya dan pilihannya dalam kehidupan. Sebagaimana
firman Allah swt (Q.S. al-Anbiya: 23) yang artinya: Allah tidak ditanya atas
perbuatanNya, tetapi manusia akan ditanya dan bertanggung jawab atas
perbuatannya. Segala sesuatu yang terjadi sebagai ketentuan qadho dan qodar
mesti diterima dengan ridha dan pasrah, dan diyakininya bahwa hal itu adalah
ke-Mahabijaksanaan Allah swt. Sedangkan dalam ruang lingkup tanggung
jawab manusia, ia berusaha menguasai sebab musabab yang merupakan
sunnatullah pada alam ciptaanNya (Lihat : Abdur-Rahman H, hal: 678 ).
c. Iman kepada Takdir Allah merupakan sikap Tawakkal dan I’timad ( bersandar
) kepada allah swt. Tawakkal berarti berupaya melakukan sesuatu sesuai
ketentuan yang berlaku pada sunnatullah, dengan menggunakan bekal-bekal
dan potensi-potensi yang diberikan Allah untuk manusia, kemudian berdo’a,
memohon kemudahan kepadaNya. Hasil usaha dan do’a tersebut diserahkan
kepada Allah yang memiliki masyi’ah ilahiah.
5. Hikmah Iman Kepada Takdir
a. Ibtila ( Ujian). Diantara hikmah Iman kepada Takdir Allah adalah ujian
kepada manusia, bahwa kejadian-kejadian yang menimpa manusia, baik atau
buruk, semuanya merupakan ujian Allah. Firman-Nya :( ……..Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan …..) Q.S. Al-
Anbiya: 35.
b. Sarana Pendidikan dan Pengajaran. Allah swt dalam mendidik dan mengajari
hamba-hambaNya kadang-kadang menimpakan musibah dan kadang-kadang
memberikan kesenangan dan kenikmatan hidup. Suatu saat Allah
memberikan hadiah penghargaan, pada saat lain memberikan teguran-teguran
berupa sangsi-sangsi, baik bersifat fisik maupun moril.
c. Pembalasan yang disegerakan. Allah swt kadangkala menyegerakan balasan
orang yang melakukan kemaksiatan, sebagaimana menyegerakan ganjaran
bagi yang berbuat baik. Semua itu dilakukan dalam rangka dapat dijadikan
pelajaran bagi orang lain yang menyaksikan balasan atau ganjaran tersebut.
6. Pengaruh Iman kepada Takdir Allah SWT.
Iman kepada Takdir Allah yang benar dan tepat tidak melahirkan sifat dan
sikap yang kontra produktif apalagi anarkis dan destruktif. Sebaliknya, bahwa
keimanan tersebut memberikan pencerahan hidup dan kehidupan.
Diantara buah dan pengaruh positif keimanan seseorang kepada Takdir Allah
sebagai berikut :
a. Ketenangan Jiwa . Setiap mukmin akan senantiasa merasa tenang dan
tentram, karena keimanan kepada ketentuan Allah swt. Sebab ia
berkeyakinan, bahwa apapun yang terjadi setelah upaya-upaya dilakukan,
tidak terlepas dari kebijaksanaanNya. Ia pun berkeyakinan bahwa Allah tidak
mungkin menyia-nyiakan hambaNya yang patuh kepada ketentuan-
ketentuanNya.
b. Al-Jiddiyah ( Serius dan Semangat Bekerja ). Setiap mukmin merasa
bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Pilihannya berdasarkan karunia
Allah; Dia memberikan akal pikiran, potensi baik dan kemampuan dalam
rangka bekerja keras dan berupaya meraih ketentraman dan kenyaman hidup.
Persepsi ini memberikan pemahaman lain, bahwa kesalahan atau kekalahan
tidak boleh semata-mata diarahkan kepada orang lain, atau
mengkambinghitamkan Takdir.
Sebagaimana penjelasan Allah swt dalam peristiwa Perang Uhud (
Lihat Q.S. Ali Imron: 165 ). Ayat ini memberikan landasan analisis kepada
manusia muslim dalam seluruh rangkaian struktur problematika yang
dihadapinya.
Kefaktoran manusia sebagai sumber musibah adalah sunnatullah,
seperti penegasan Allah dalam ayat lain Q.S. 3: 137 ( Sesungguhnya telah
berlalu sebelummu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang
mendustakan ( Rasul-Rasul )
c. Sikap Tawakkal dan Berserah Diri Kepada Allah. Seseorang yang beriman
kepada Takdir Allah berkeyakinan, bahwa kehendaknya dalam berupaya
tidak bisa dipisahkan dari kehendak Allah, artinya Allah swt tidak akan
menyia-nyiakan hasil usahanya dalam bekerja. Karenanya, ia senantiasa
berharap rahmat dari Allah dengan lantunan doa’-do’a menyertai usaha-
usaha yang dilakukannya.
7. Hikmah Orang Yang Beriman Kepada Qada’ Dan Qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat
berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri
untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
a. Banyak Bersyukur dan Bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat
keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu
merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena
musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian. Firman
Allah:

Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah(
datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nyalah
kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).

b. Menjauhkan Diri dari Sifat Sombong dan Putus Asa


Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh
keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena
hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami
kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari
bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah. Firman Allah SWT:

Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf
dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir. (QS.Yusuf ayat 87)

c. Bersifat Optimis dan Giat Bekerja


Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang
tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak
datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang
beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk
meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu. Firman Allah:

Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan )duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka )bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)

d. Jiwanya Tenang
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa mengalami
ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa
yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur.
Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.

Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-
hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku. ( QS. Al-Fajr ayat 27-30)

Sumber : Iman ( Rukun, Hakikat dan yang membatalkannya )

Oleh : Dr. Muhammad Nu’aim Yasin

Anda mungkin juga menyukai