Anda di halaman 1dari 8

MODUL 13

KAJIAN MUGHAYYABAH 3; RUKUN IMAN KE 6: IMAN KEPADA QADLA, QADAR


DAN SUNNATULLAH.

I. Kompetensi Dasar
1. Menjelaskan Pengertian Qadla dan Qadar
2. Menjelaskan Takdir Muallaq dan Takdir Mubram
3. Menjelaskan hikman iman kepada qadla dan qadar
4. Menjelaskan Implikasi Iman kepada Qadla dan Qadar dalam kehidupan

II. Uraian Materi

C. Iman Kepada Qadla Dan Qadar


1. Pengertian Qadla dan Qadar
Qadar menurut bahasa yaitu rencana, ketetapan, dan kehendak Allah. Sedangkan
menurut istilah adalah rencana atau ketetapan Allah sesuai dengan iradah-Nya tentang
segala sesuatu yang berkenaan dengan mahluk.

Adapun qadhâ` berasal dari qadha - yaqdhi – qadhâ`an - wa taqdhiyatan (‫قىض – يقىض‬
‫ تقضية‬- ‫– قضاء‬ ) yang berarti:

a. Eksekusi. (QS. Al-Baqarah (2): 118).


b. Jatuhnya hukuman (QS. Al-Ahzab (33): 36)
c. Perintah (QS. Yunus (10): 71)
d. Pelaksanaan ketetapan (QS. Al-Ahzab (33): 37)
Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua unsur yang saling berkaitan. Kedua-
duanya berkait berkelindan, tidak bisa dipisahkan atau berselisih. Sebab salah satu di
antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain.
2. Iman kepada Qadha dan Qadar
Iman kepada Qadha dan Qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa
Allah Swt telah menentukan segala sesuatu untuk makhluknya. Dapat disimpulkan
bahwa qada dan qadar berhubungan erat satu sama lain, qadar adalah rencana dan
ketentuan sementara itu qadha adalah eksekusi dan pelaksanaan dari rencana dan
ketetapan.
Orang kadang menggunakan istilah qada dan qadar dengan satu istilah yaitu takdir. Jika
ada orang terkena musibah lalu orang itu mengatakan “sudah takdir” maksudnya adalah
qadar dan qadha.
3. Pembagian Takdir
a. Takdir Mu’allaq
Takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia disebut mu’allaq. Mu’allaq bersal
dari kata ‘allaqa, yang artinya menggantungkan. Jadi ketetapan Allah yang
digantungkan pada usaha dan ikhtiar manusia. Contoh: seorang siswa bercita-cita
jadi apoteker, dokter, ahli hukum, ahli komunikasi, dai, ahli ekonomi, ahli tehnik,
guru untuk mencapai itu maka dia harus belajar dengan giat supaya bisa menjadi
apa yang dicita-citakannya.
”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka
dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ra’d (13):11).
b. Takdir Mubram
Kata mubram diambil dari kata abrama yang artinya sesuatu yang sudah definitif,
sudah tetap. Takdir mubram adalah takdir yang sudah definitif atau tetap sesuai
dengan ketentuan. Contoh: air mengalir ke tempat yang lebih rendah, api
membakar, es bersifat dingin, asap melambung ke udara, benda padat jatuh ke
tanah, dan sebagainya. Jadi hukum alam seperti itu sudah tidak dapat diubah lagi.
Perhatikan firman Allah swt di bawah ini:

         …

 penggantian
“…Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat  bagi
sunnah Allah, dan
sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (QS.
Fathir (35): 43).
4. Kelengkapan Iman Kepada Qadha dan Qadar
Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang akan
disebut kelengkapannya. Keempat kelengkapan itu adalah pengantar untuk memahami
masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus
merealisasikan semua rukun-rukunnya. Sebab, bagian satu akan bertalian dengan
bagian lainnya. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan
dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang
siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah
rusak. Keempat kelengkapan itu adalah:
a. Ilmu
Beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa
yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global
maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya.
Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka
diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta men getahui
siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah
berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
(QS. Al-Talaq (65): 12)
b. Al-Kitabah (Penulisan)
Mengimani bahwa Allah Swt telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa
ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab
yang tidak meninggalkan sedikit pun dari sesuatu di dalamnya, semua yang terjadi,
apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi
Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid (57): 22-23)
c. Masyi`atullah (Kehendak Allah)
Bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan
keinginan dan kehendak (iradah dan masyiah) Allah yang berputar di antara rahmat
dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan
rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia
tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya, karena kesempurnaan
hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya
tentang apa yang terjadi pada kita.
“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di
bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa .” (QS. Fathir (35): 44)
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir, (81): 29)
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (QS. Yâsîn (36): 82)
d. Al-Khalq ( Penciptaan )
Bahwa Allah adalah Pencipta ( Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-
Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az-
Zumar (39): 62)
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak,
dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan
segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.” (QS.
Al-Furqan (25): 2)
5. Hikmah Beriman Kepada Qada Dan Qadar
1) Dapat membangkitkan semangat dalam bekerja dan berusaha, serta memberikan
dorongan untuk memperoleh kehidupan yang layak di dunia ini.
2) Tidak membuat sombong atau takabur, karena ia yakin kemampuan manusia sangat
terbatas, sedang kekuasaan Allah Maha Tinggi.
3) Memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini berjalan sesuai dengan ketentuan dan kehendak Allah Swt.
4) Mempunyai keberanian dan ketabahan dalam setiap usaha serta tidak takut
menghadapi resiko, karena ia yakin bahwa semua itu tidak terlepas dari takdir Allah
Swt.
5) Selalu merasa rela menerima setiap yang terjadi pada dirinya, karena ia mengerti
bahwa semua berasal dari Allah Swt. Dan akan dikembalikan kepadanya, sebagai
firman Allah Swt yang artinya,

      

“(Yaitu) orang orang yang apabila di


timpa 
musibah,
mereka mengucapkan :
bahwasanya kami ini bagi (kepunyaan) Allah, kami semua ini pasti kembali lagi
kepadaNya.” (QS. Al-Baqarah (2): 156)
6. Dampak Beriman kepada Qada dan Qadar dalam Kehidupan Muslim
Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan yang
mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan
menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya.
Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui
dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita
tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang
menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan
menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memeroleh kebahagiaan, kita
tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.
Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti
keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini
bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki
hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak
Allah. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan
usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah
semampunya, kemudian bertawakallah. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

        


“Dan bertawakallah kepada Allah.  
Sesungguhnya 
Dialah  Mendengar lagi
yang Maha
Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal (8): 61)
Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat
Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai
seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa
musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan
cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah Saw, sebagaimana disebutkan dalam hadits
sabdanya,
“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang
menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.” (HR. Ad-Darimi)
1. Implikasi Iman Bagi Kehidupan Manusia
a. Terbebasnya jiwa manusia dari takut mati.
Hal itu karena seorang mukmin yakin bahwa manusia pasti mati, dan kematian itu
ada di tangan Allah. Kalau ajal manusia telah tiba, maka ajal itu tidak bisa ditunda
sesaatpun juga, dan ia tidak bisa lari dari kematian itu walaupun, ia berada di
benteng yang sangat kuat. Firman Allah:

         


“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian)
  seseorang apabila
datang waktu kematiannya.” (QS. Al-Munafiqun, (63) :11)

     


“Di mana saja kamu berada, kematian akan  mendapatkan kamu, kendatipun kamu
 
di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.“ (QS. An-Nisa (4) : 78 )
Apabila keyakinan ini telah melekat pada hati seorang muslim, maka ia tidak akan
pernah merasa takut dan hina dalam memertahankan dan menegakkan agama pada
kondisi bagaimanapun juga, lebih-lebih ia yakin bahwa keberaniannya tidak akan
mengurangi umurnya sedikit pun juga dan bahwa pengecut tidak akan menambah
umurnya sedikitpun juga.
b. Terbebasnya jiwa manusia dari takut tidak mendapatkan rizki.
Seorang mukmim yakin bahwa rezeki ada di tangan Allah. Seseorang betapapun
tinggi jabatannya dan kedudukannya tidak bisa mengurangi rezeki siapapun juga.
Firman Allah :
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi
sangat kokoh“. (QS. Al-Dzariyat, 51:58).
Dalam ayat lain Allah berfirman :
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun (makhluk yang bernyawa) melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya.“ (QS. Hud (11): 6)
c. Terbebasnya jiwa manusia dari sifat egois, kikir dan rakus.
Tabiat manusia sangat mencintai harta, ia kikir dan rakus. Firman Allah:
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan“ (QS. Al-Fajr
(89): 20)

   

“Dan adalah manusia itu sangat kikir.“ (QS. Al-Isra’ (17): 100)
Tabiat manusia semacam ini adalah tabiat manusia yang tidak tersentuh aqidah. Jika
aqidah Islam telah merasuk ke dalam lubuk hati seorang manusia, maka ia akan
terbebas dari sifat cinta harta, egois, kikir, dan semacamnya, bahkan ia akan
mengutamakan orang lain dalam kesenangan, dan mau berkorban untuk membela
orang lain. Seorang mukmin yakin bahwa harta yang ada di tangannya, pada
dasarnya milik Allah, ia akan senang hati melaksanakan perintah Allah pada
hartanya seperti zakat, infak dan sedekah. Seorang mukmin yakin bahwa
mengeluarkan zakat, infak dan sedekah merupakan sebab mendapatkan ridho Allah.
Pada waktu yang bersamaan ia yakin bahwa zakat, infaq, sedekah tidak akan
mengurangi harta, bahkan akan menyebabkan harta itu menjadi berkah dan
berkembang.
Firman Allah :

     

     

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya


 dan 
  nafkahkanlah
 sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid (57) : 7)

        

        


“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan
Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. ” (QS.
   Saba’ (34) : 39)

Sabda Rasulullah saw. :

‫ َو َم ا َتَو اَض َع‬، ‫ َو َم ا َز اَد َر ُج اًل ِبَع ْفٍو اَّل ِع ًّز ا‬، ‫َم ا َنَقَص ْت َص َد َقٌة ِم ْن َم اٍل‬
‫ِإ‬
) ٌ‫ (رواه الرتمذي‬. ‫َأَح ٌد ِهَّلِل اَّل َر َفَع ُه اُهَّلل‬
“Sedekah tidak akan mengurangi harta, Allah tidak akan menambah seorang hamba
‫ِإ‬
lantaran memaafkan kecuali kemuliaan, dan seseorang tidaklah tawadhu’ karena
Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Tirmidzi).
d. Hati yang selalu ingat kepada Allah.
Seorang muslim yakin bahwa Allah selalu mengetahui dan mengawasi tingkah laku
hamba-Nya, baik yang dilakukan terang-terangan ataupun secara sembunyi. Orang
yang hatinya selalu ingat kepada Allah yang selalu mengawasinya akan
meninggalkan larangan-larangan Allah; ia tidak mencuri, menipu, berkhianat dan
sebagainya. Ia tidak akan mengambil sedikitpun harta yang bukan miliknya
sekalipun harta itu melimpah ruah, dan sekalipun ia seorang fakir miskin.
Jadi, orang yang kuat imannya akan selalu meninggalkan maksiat, karena ia yakin
bahwa Allah selalu melihatnya walaupun tidak seorangpun yang melihatnya. Orang
yang melakukan maksiat menunjukan bahwa hatinya sedang lemah. Firman Allah :
“Tidaklah kamu perhatikan bahwa sesungguhanya Allah mengetahui apa yang ada
di di langit dan apa yang ada di bumi ? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara ) lima
orang, melainkan Dialah yang keenamnya dan tiada (pula) pembicaraan antara
(jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka
di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada
hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
segala sesuatu.“ (QS. Al-Mujadalah (58): 7 )
Jika seandainya pada suatu waktu melakukan maksiat karena lalai, seorang muslim
yang hatinya selalu ingat kepada Allah akan segera menghindari kelalaiannya, dia
akan segera taubat dan mohon ampun kepada Allah.

      

     

        

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan


perbuatan
keji atau menganiaya
diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. ” (QS.
Ali Imran (3):135)
e. Terbebasnya manusia dari penghambaan terhadap nilai–nilai jahiliyah.
Islam membagi masyarakat kepada dua bagian : masyarakat Islam dan masyarakat
jahiliyah. Masing-masing masyarakat ini mempunyai standar nilai dan ciri yang
berbeda-beda. Di antara ciri masyarakat jahiliyah adalah punya sangkaan atau
pandangan yang tidak benar terhadap Allah (QS. Ali-Imran (3) : 154), seperti
keyakinan orang-orang musyrikin jahiliyah bahwa malaikat anak Allah. Dalam
urusan kehidupan manusia, masyarakat jahiliyah tidak berhukum kepada hukum
Allah, tetapi berhukum kepada hukum manusia (QS. Al-Maidah (5):50). Di antara
ciri masyarakat jahilyah juga adalah berprilaku jahiliyah, seperti prilaku kaum
wanitanya yang memamerkan aurat dan dandanannya (QS. Al-Ahzab (33):33).
Begitu juga di antara ciri masyarakat jahiliyah adalah menjadikan ikatan kesukuan
(hubungan darah), nasionalisme (hubungan tanah air) atau hubungan kepentingan
bersama sebagai dasar ikatan berkumpul dan berserikat, bukan atas dasar
kebenaran (QS. Al-Fath (48):26).
Islam membangun masyarakat atas dasar pandangan atau keyakinan yang benar,
Allah-lah yang menciptakan dan mengatur alam ini. Allah-lah satu-satunya ilah yang
berhak diibadahi dan ditaati, dan hanya Allah-lah yang memiliki segala
sifat keagungan dan kesempurnaan. Islam menetapkan hanya Allah yang berhak
memutuskan aturan dan hukum, orang yang membuat aturan yang bertentangan
dengan aturan Allah berarti ia telah merampas hak Allah. Dan orang yang mentaati
aturan yang bertentangan dengan aturan Allah tersebut berarti telah memberikan
salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah. Islam menghendaki tingkah laku yang
baik dan akhlak yang lurus mendominasi masyarakat. Untuk itu Islam melarang
wanita memamerkan aurat dan dandanannya, lemah lembut dalam berbicara
sehingga mendorong laki-laki untuk berbuat jahat terhadap mereka. Islam melarang
pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita yang akan membawa menyebarnya
perbuatan yang tercela. Islam menjadikan ikatan aqidah dan agama sebagai dasar
dalam bermasyarakat, berkumpul dan bersatu, bukan ikatan hubungan darah, tanah
air atau kepentingan bersama.
f. Sabar dalam menghadapi kesulitan dan cobaan.
Seorang mukmin ketika meyakini bahwa segala urusan ada di tangan Allah, dan
tidak seorangpun yang mampu memberikan manfaat dan bahaya, ia akan
menghadapi segala kesulitan dengan lapang dada, penuh kerelaan dan pasrah diri,
sehingga ia bersikap sabar serta mengharapkan pahala dari Allah. Pada waktu yang
sama keimanan dapat meringankan rasa sakit dan kesedihan.
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah;
Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun
(64):11)
Sabda Rasulullah saw. :
“Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin itu. Perkaranya semua baik, dan itu
tidak ada pada seorangpun selain orang mukmin. Jika mendapatkan kegembiraan
bersyukur, itu baik baginya. Dan jika ditimpa kesusahan bersabar, itupun baik
baginya.“ (HR. Muslim ).
g. Terbebasnya jiwa manusia dari sikap zalim.
Islam mewajibkan umatnya bersikap adil dan sekaligus melarang mereka bersikap
zalim, serta memerintahkan mereka untuk mencegah kezaliman dari orang lain. Misi
umat Islam dalam setiap ekspansi (futuhat) adalah mengeluarkan umat manusia dari
sempitnya dunia kepada luasnya akhirat dan dari zalimnya agama-agama kepada
adilnya Islam. Dalam menegakkan keadilan, Islam tidak membeda-bedakan kerabat
atau keturunan seperti tekad Rasulullah yang akan memotong tangan putrinya
Fatimah jika mencuri.
h. Terbebasnya akal manusia dari segala bentuk khurafat.
Jika seorang mukmin meyakini dengan sepenuh hati bahwa hanya Allah yang
mengetahui hal-hal yang ghaib, memiliki manfaat dan bahaya, maka sudah barang
tentu ia akan terbebas dari anggapan-anggapan bahwa ada kekuatan selain Allah
yang dapat mengetahui hal-hal yang ghaib serta dapat memberikan manfaat kepada
seseorang dan dapat menghindarkannya dari bahaya. Dengan demikian ia tidak
akan meminta pertolongan kepada tukang sihir, dukun, paranormal atau
siapapun juga, karena mereka tidak mengetahui hal-hal yang ghaib dan
tidak memiliki manfaat dan bahaya untuk dirinya dan orang lain. Meminta
pertolongan kepada mereka untuk mendapatkan manfaat seperti mendapatkan
pekerjaan, naik jabatan, mendapatkan jodoh dan sebagainya; atau agar terhindar
dari bahaya seperti sembuh dari penyakit, aman dari orang yang memburunya dan
semacamnya, dengan keyakinan mereka itu bisa memberikan manfaat dan
menghindarkan dari bahaya yang mengancamnya adalah merupakan perbuatan
syirik yang dapat mengeluarkannya dari keimanan.

Anda mungkin juga menyukai