Anda di halaman 1dari 23

A.

Pengertian Takdir
Takdir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti ketetapan
Tuhan; ketentuan Tuhan; nasib.1 Kata takdir berasal dari bahasa Arab (‫ ردق‬Al-
qodr) yang memiliki beberapa makna diantaranya adalah hukum, ketetapan,
kekuatan, daya, potensi, ukuran, dan batasan. Adapun makna kata takdir
menurut istilah agama (syari’at) adalah, segala sesuatu yang telah ditetapkan
oleh Allah swt. menurut ilmu dan kehendak-Nya.2
Adapun dalil – dalil dari Al-Qur’an yang menguatkan pendapat yang
dimaksud adalah sejumlah firman Allah Swt. berikut ini,
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang di daratan
maupun di lautan. Serta tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia
mengetahuinya. Demikian pula tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan
bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis
dalam kitab yang nyata (Lauh al-Mahfuzh)," (QS Al-An’âm [6]: 59).
Allah Swt. juga berfirman,
"Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan, dan tidak
pula kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki oleh
Allah.’ Tiap-tiap umat mempunyai ajal. [1] Apabila telah datang ajal mereka,
maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak
pula mendahulukannya," (QS Yûnus [10]: 49).
Allah Swt. juga berfirman,
"Tiada sesuatu pun yang ghaib di Langat Maupin di bum, melanin terawatt
dale kitbag yang neat (Laugh al-Mahfouz)" (QS Al- Name [27]: 75).
Allah Swt. juga berfirman,
"Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati, dan Kami menuliskan
apa yang telah mereka kerjakan, serta bekas-bekas yang mereka tinggalkan.
1
Takdir (def. 1) (n.d). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (KBBI V). Diakses melalui
applikasi KBBI V, 30 November 2019.
2
Fethullah Gulen, “Makna Takdir Menurut Bahasa dan Istilah”, diakses dari
https://fgulen.com/id/karya-karya/qadar/49460-makna-takdir-menurut-bahasa-dan-istilah, pada
tanggal 1 Desember 2019 pukul 21.38 WIB
Dan, segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh al-
Mahfuzh)," (QS Yâsîn [36]: 12).
Allah Swt. juga berfirman,
"Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang
tersimpan dalam Lauh al-Mahfuzh," (QS Al-Burûj [85]: 21- 22).
Allah Swt. juga berfirman,
"Dan mereka berkata, ‘Kapankah datangnya ancaman itu jika kalian adalah
orang-orang yang benar?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya ilmu tentang Hari
Kiamat itu hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang
pemberi peringatan yang menjelaskan,’" (QS Al-Mulk [67]: 25-26).

B. Qada, Qadar dan Takdir

Di dalam Islam, takdir termasuk dalam ranah akidah, karena merupakan


bagian dari iman dan keyakinan terhadap qadha dan qadar. Qada yang
merupakan kehendak Allah yang belum terjadi, dan qadar adalah kehendak
Allah yang telah terjadi.3

Allah sudah memerintahkan hambanya yang beriman untuk percaya pada


Qada seperti pada firman – firman Allah yang ada di Al Qur’an. Allah SWT
berfirman:

“Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu kecuali datangnya (azab) Allah


bersama malaikat dale naungan awan, sedangkan perkara (mereka) telah
diputuskan. Dan kepada Allah-lah segala perkara dikembalikan.” (QS. Al-
Baqarah 2: Ayat 210)

Allah SWT berfirman:

3
Ahmad Su’udi, Bersama Allah Meraih Takdir Baik (Jakarta: QultumMedia, 2009), hlm. 3.
“Dia (Jibril) berkata, Demikianlah. Tuhanmu berfirman, Hal itu mudah
bagi-Ku, dan agar Kami menjadikannya suatu tanda (kebesaran Allah) bagi
manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu urusan yang
(sudah) diputuskan.” (QS. Maryam 19: Ayat 21).

Dalam ayat-ayat tersebut, Allah berfirman tentang perkara perkara,


ketetapan ketetapan yang sudah di putuskan oleh Allah swt. Sebagai suatu
tanda kebesaran bagi orang orang yang beriman.4

C. Macam – macam Qada ∕´Takdir


Menurut Ibrahim Al – Baijuri dalam kitab Kifayatul Awami, qada dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu qada mubram (kehendak Allah terhadap alam
semesta yang selalu patuh mengikuti perintah Allah) dan qada mu’allaq
(kehendak Allah terhadap manusia dan jin yang dipengaruhi dengan ikhtiar
mereka masing – masing).
Qada mu’allaq ini tetap berada di dalam kendali Allah. Kadar atau
batasnya tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk yang
telah ditetapkan Allah. Allah Maha Berkehendak. Allah bisa interfensi untuk
menentukan hasil akhir ikhtiar manusia, sedangkan manusia diwajibkan untuk
berikhtiar secara maksimal.5
D. Tiga Aliran Tafsir Takdir
Pada masa Nabi Muhammad saw. masalah takdir ini bukanlah hal yang
rumit, para sahabat memahami alquran secara utuh seperti apa yang diajarkan
oleh Nabi. Mereka juga mengimani rukun iman keenam ini dengan sepenuh
hati dan selalu berusaha maksimal untuk mendapatkan apa yang dicita -
citakan.
Berbeda dengan masa tabi´in dan seterusnya dimana banyak perdebatan –
perdebatan dalam penafsiran takdir. Hingga sampai sekarang berkembanglah

4
https://www.romadecade.org/perbedaan-qada-dan-qadar/ dikutip pada tanggal 1 Desember
2019 pukul 23.35 WIB
5
Ahmad Su’ud, op. cit. hlm. 4
beberapa aliran (pemikiran) yang menafsirkan takdir berdasarkan dalil naqli
(dalil alquran dan sunnah Rasulullah saw.) dan realita hidup. Hingga saat ini
ada tiga pemikiran yang menjabarkan tentang takdir, yaitu jabariah, qadariah,
dan pendapat di antara keduanya.
1. Jabariah
Menurut penafsiran jabariah, takdir adalah kehendak
mutlak Tuhan kepada makhluk (termasuk manusia dan jin) dalam
seluruh kehidupannya. Pola pikir jabariah menempatkan makhluk
sebagai objek pasif yang tidak dapat mengembangkan kreativitas
dan kemauannya. Para penganut ini memahami makhluk hanya
pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Apa pun yang terjadi padanya
diterima sebagai ketentuan yang tidak dapat diusahakan untuk
diubah. Amal baik dan buruk sudah ditetapkan Allah. Bahkan,
seseorang menjadi muslim atau kafir sudah kehendak Allah.
2. Qadariah
Penafsiran qadariah mengenai takdir menyatakan bahwa
makhluk (khususnya manusia dan jin) mempunyai peranan aktif
dalam menentukan takdirnya. Manusia bebas melakukan apa saja.
Karena manusia dapat menentukan sendiri pilihannya, ia memiliki
potensi dan kekuasaan yang tak terbatas dalam menentukan
perbuatan yang akan dilakukannya. Para penganut pemikiran ini
bisa menjadi orang yang sombong jika berhasil dan akan merasa
rendah diri jika gagal.
3. Gabungan antara Jabariah dan qadariah (hasil para ulama)
Dalam menengahi kedua pendapat jabariah dan qadariah.
Dimana jabariah terkesan terlampau pasrah dan tidak mempunyai
optimis dalam berikhtiar, sedang qadariah yang terlampau percaya
diri, yang menjerumuskan kepada kemampuan diri sendiri dan
menafikkan ketentuan Tuhan.
Akhirnya para ulama menengahi bahwa manusia mempunyai
kemampuan menentukan apa yang harus dikerjakan, di sisi lain ia
selalu melibatkan Allah dalam setiap proses dan hasil akhirnya.6
E. Konsep Takdir
Takdir adalah sesuatu yang sangat ghoib, jadi kita tidak bisa tahu takdir
kita sedikit pun. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha, dan berusahapun
telah Allah jadikan sebagai sisa. “Tugas kita hanya senantiasa berusaha, biar
hasil Allah yang menentukan”, memang kalimat yang sepertinya sudah tidak
asing lagi di telinga kita, yang membicarakan pentingnya mengusahakan
qadha untuk selanjutnya menghadiri qadarnya. Takdir itu memiliki empat
tingkat yang semuanya wajib diimani, yaitu:
1. Al-`Ilmu
Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu,
baik secara global maupun terperinci, azali (sejak dahulu) dan
abadi, baik hal itu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan-Nya
maupun perbuatan-perbuatan para hamba-Nya, sebab ilmu-Nya
meliputi apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang
tidak terjadi yang seandainya terjadi, bagaimana terjadinya.
Dia mengetahui yang ada, yang tidak ada, yang mungkin,
serta yang mustahil, dan tidak luput dari ilmu-Nya seberat dzarrah
pun di langit dan di bumi.
Dia mengetahui semua ciptaan-Nya sebelum Dia
menciptakan mereka. Dia mengetahui rizki, ajal, ucapan,
perbuatan, maupun semua gerak dan diam mereka, juga siapakah
ahli Surga ataupun ahli Neraka. Tingkatan ini -yaitu ilmu yang
terdahulu- disepakati oleh para Rasul, sejak Rasul yang pertama
hingga yang terakhir, disepakati juga oleh semua Sahabat, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dari umat ini. Tetapi “Majusi”
umat ini menyelisihi mereka, yaitu Qadariyyah yang amat fanatik.

6
Ahmad Su’ud, op. cit. hlm. 6 - 7
Dalil-dalil mengenai tingkatan ini banyak sekali, di
antaranya firman Allah Azza wa Jalla:

“Dia-lah Allah Yang tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi
dengan benar) selain Dia, Yang mengetahui yang ghaib dan yang
nyata … .” [Al-Hasyr/59: 22]

Firman-Nya yang lain:

“…Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di


belakang mereka… .” [Al-Baqarah/2 : 255]

Juga firman Allah yang lain:

…(Rabb-ku) Yang mengetahui yang ghaib. Tidak ada yang ter-


sembunyi dari-Nya seberat dzarrah pun yang ada di langit dan yang
ada di bumi, dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang
lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).” [Saba’/34 : 3]

Dan firman Allah:

“… Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas


kerasulan… .” [Al-An’aam/6 : 124]

Juga firman-Nya:
“Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa
yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-Qalam/68 : 7]

Serta firman-Nya:

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa
yang ada di daratan dan di lautan. Tidak sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah
ataupun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh).” [Al-An’aam: 59]

Dan firman Allah yang lain:

“Jika mereka berangkat bersamamu, niscaya mereka tidak


menambah kepadamu selain dari kerusakan belaka…” [At-
Taubah/9: 47]

Juga firman-Nya:

“… Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka


kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya.
Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka.”
[Al-An’am/6: 28]

Serta firman-Nya:
“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka,
tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau
Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti
berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang
mereka dengar itu).” [Al-Anfaal/8: 23]

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu


‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang keadaan anak-anak kaum
musyrikin, maka beliau menjawab:

“Allah lebih mengetahui tentang apa yang mereka kerjakan.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada satu jiwa pun dari kalian melainkan telah diketahui
tempat tinggalnya, baik di Surga maupun Neraka.”
2. Al-Kitabah (penulisan)
Yaitu, mengimani bahwa Allah telah mencatat apa yang
telah diketahui-Nya dari ketentuan-ketentuan para makhluk hingga
hari Kiamat dalam al-Lauhul Mahfuzh.
Para Sahabat, Tabi’in, dan seluruh Ahlus Sunnah wal
Hadits sepakat bahwa segala yang terjadi hingga hari Kiamat telah
dituliskan dalam Ummul Kitab, yang dinamakan juga al-Lauhul
Mahfuzh, adz-Dzikr, al-Imaamul Mubiin, dan al-Kitaabul Mubiin,
semuanya mempunyai makna yang sama.

Dalil-dalil mengenai tingkatan ini banyak, baik dari al-Qur-


an maupun as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya
yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [Al-
Hajj/22: 70]

Firman Allah yang lain:

“…Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang


nyata (Lauh Mahfuzh).” [Yaasiin/36: 12]

Juga firman-Nya:

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa


yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami… .’” [At-Taubah/9: 51]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang do’a Nabi


Musa Alaihissalam:

“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia…” [Al-A’raaf/7:


156]

Dia berfirman tentang bantahan Nabi Musa Alaihissalam


kepada Fir’aun:

“Berkata Fir’aun, ‘Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang


dahulu?’ Musa menjawab, ‘Pengetahuan tentang itu ada di sisi
Rabb-ku, di dalam sebuah kitab, Rabb-ku tidak akan salah dan
tidak (pula) lupa…’” [Thaahaa/20: 51-52]
Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan dalam
Shahiihnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu
‘anhu, dia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

‘Allah mencatat seluruh takdir para makhluk 50.000 tahun sebelum


Allah menciptakan langit dan bumi.’ Beliau bersabda, ‘Dan adalah
‘Arsy-Nya berada di atas air.’”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada satu jiwa pun yang bernafas melainkan Allah telah
menentukan tempatnya, baik di Surga ataupun di Neraka, dan juga
telah dituliskan celaka atau bahagia(nya).”
3. Al-Masyiah (kehendak)
Tingkatan ini mengharuskan keimanan kepada masyii-ah
Allah yang terlaksana dan kekuasaan-Nya yang sempurna. Apa
yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, dan bahwa tidak ada gerak dan
diam, hidayah dan kesesatan, melainkan dengan masyii-ah-Nya.
“Tingkatan ini ditunjukkan oleh Ijma’ (kesepakatan) para
Rasul, sejak Rasul pertama hingga terakhir, semua kitab yang
diturunkan dari sisi-Nya, fitrah yang padanya Allah menciptakan
makhluk-Nya, serta dalil-dalil akal dan logika.”
Nash-nash yang menunjukkan dasar ini sangat banyak
sekali dari al-Qur-an dan as-Sunnah, di antaranya firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan Rabb-mu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan


memilihnya… .” [Al-Qashash/28: 68]
Firman Allah yang lain:
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwiir/81:
29]
Dan firman Allah:

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu,


‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,’ kecuali
(dengan menyebut), ‘Insya Allah… .’” [Al-Kahfi: 23-24]
Juga firman-Nya:

“Kalau sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan


orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami
kumpulkan (pula) segala sesuatu kehadapan mereka, niscaya
mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah
menghendaki… .” [Al-An’aam/6 : 111]
Serta firman-Nya:
“…Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya) niscaya
disesatkan-Nya, dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk
mendapat petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas
jalan yang lurus.” [Al-An’aam/6 : 39]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya hati manusia semuanya berada di antara dua jari


dari jari-jemari ar-Rahman seperti satu hati, Dia membolak-
balikkannya ke mana saja Ia kehendaki.”
Masyii-ah (kehendak) Allah yang terlaksana dan
kekuasaan-Nya yang sempurna berhimpun dalam apa yang telah
terjadi dan apa yang akan terjadi, serta berpisah dalam apa yang
tidak akan terjadi dan sesuatu yang tidak ada. Apa yang
dikehendaki Allah adanya, maka ia pasti ada dengan kekuasaan-
Nya, dan apa yang tidak di-kehendaki adanya maka ia pasti tidak
ada, karena Dia tidak meng-hendaki hal itu. Bukan karena
ketidakadaan kekuasaan-Nya atas hal itu. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:

“…Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka saling mem-


bunuh. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [Al-
Baqarah/2 : 253]
Maka, tidak berperangnya mereka bukanlah menunjukkan
bahwa kekuasaan Allah tidak ada (untuk mengadakan hal itu), akan
tetapi karena Allah tidak menghendakinya, dan hal serupa bisa
dilihat dalam firman Allah Ta’ala:

“…Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka


semua dalam petunjuk … .” [Al-An’aam/6: 35]
Firman Allah yang lain:

“Dan kalau Allah menghendaki niscaya mereka tidak memper-


sekutukan(-Nya)… .” [Al-An’aam/6: 107]
Juga firman-Nya:

“Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentulah beriman semua


orang yang di muka bumi seluruhnya… .” [Yunus: 99]
4. Al-Khalq (Penciptaan)
Tingkatan ini mengharuskan keimanan bahwa semua
makhluk adalah ciptaan Allah, dengan dzat, sifat, dan gerakannya,
dan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang
diadakan dari ketidakadaan, ada setelah sebelumnya tidak ada.
Tingkatan ini ditunjukkan oleh kitab-kitab samawi,
disepakati para Rasul, disetujui fitrah yang lurus, serta akal yang
sehat. Dalil-dalil mengenai tingkatan ini nyaris tidak terbilang, di
antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Allah Yang menciptakan segala sesuatu… .” [Az-Zumar/39 : 62]


Firman Allah yang lain:

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi,
dan mengadakan gelap dan terang … .” [Al-An’aam/6: 1]
Dan firman-Nya:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia mengujimu, siapa-


kah di antaramu yang terbaik amalnya… .” [Al-Mulk/67: 2]
Serta firman Allah:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah


menciptakanmu dari yang satu, dan daripadanya Allah mencip-
takan isterinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak… .” [An-Nisaa’/4: 1]
Juga firman Allah:

“Dan Dia-lah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari


dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis
edarnya.” [Al-Anbiyaa’/21: 33]

Dan firman-Nya:
“…Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki
kepadamu dari langit dan dari bumi… .” [Faathir/35: 3]
Imam Al-Bukhari Rahimahullah meriwayatkan dalam kitab
Khalq Af’aalil ‘Ibaad dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, dia
menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah menciptakan semua (makhluk) yang ber-


buat dan juga sekaligus perbuatannya.”7
A. Cara – cara Menyikapi Takdir
Takdir atau dalam bahasa arab yang dikenal dengan qodar adalah
ketentuan suatu peristiwa yang terjadi karena pilihan makhluk itu sendiri yang
kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah di hari akhir. Takdir
ialah bentuk kuasa Allah yang wajib diterima dan diimani. Pandangan orang
secara umum, takdir ialah segala sesuatu yang telah terjadi. Takdir dapat
terjadi dalam bentuk apapun, baik itu dalam hal kehidupan sehari - hari,
kesehatan, takdir jodoh menurut islam, dan sebagainya. Cara menyikapi takdir
Allah:
A. Percaya
Sebagai orang yang beriman, kita harus percaya dengan
sepenuh hati bahwa Allah memiliki rencana yang terperinci dan
terbaik untuk semua hamba - Nya, Allah tidak akan memberikan
takdir, baik itu takdir baik maupun buruk tanpa menyimpan
hikmah dibaliknya.
Percaya adalah kunci utama dari ketenangan hati. Jika
percaya akan rencana Allah yang terbaik maka tidak akan ada
khawatir ataupun rasa sedih dalam cara menyikapi takdir Allah dan
merupakan cara meningkatkan akhlak sebagai umat mukmin.

7
Sabiq, Sayid. 1996. Akidah Islam.Surabaya:Al Ikhlas
B. Mengimani
Keutamaan iman dalam islam diantaranya iman pada qodar
(takdir) termasuk rukun iman, tidak sah keiman seseorang jika
tidak menerima takdir.
“Tidaklah seorang hamba itu beriman kepada takdir yang
baik dan buruk dari Allah, hingga ia mengetahui bahwa apa yang
menimpanya bukan karena kesalahnnya dan kesalahannya itu
tidaklah akan menimpanya”. (HR Tirmidzi)
C. Membenarkan
Manusia tidak boleh ragu akan takdir Allah, wajib untuk
membenarkan bahwa Allah tidak pernah merencanakan sesuatu
tanpa hikmah yang mulia dan tanpa rencana yang lebih indah
kedepannya. Manusia harus membenarkan bahwa hidup selalu
berputar, sikapi takdir Allah dengan cara membenarkannya baik itu
takdir baik atau pun takdir buruk sebab hal demikian termasuk
keutamaan berbaik sangka kepada Allah.
D. Tawakal
“Sekali kali tidak akan menimpa apa yang telah ditetapkan
Allah untuk kami, Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah
orang – orang yang beriman akan bertawakal”. (QS At Taubah:
51).
Yaitu dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam
menghadapi atau menunggu harapan di waktu terbaik yang
ditentukan oleh - Nya. Tawakal dalam islam akan senantiasa
mendekatkan dan menjadi jalan ridho Allah. Tawakal bukan hanya
menyerah dan berdiam diri, tetapi wajib disertai dengan usaha yang
sungguh – sunguh untuk mengubah keadaan atau takdir yang
dialaminya. Wajib selalu percaya bahwa Allah akan memberikan
segalanya yang terbaik sesuai usaha yang dilakukan hamba - Nya.
Jika berusaha baik, maka akan menerima hasil yang baik, jika
belum mendapatkan hasil yang diinginkan, tetap wajib terus
berusaha dan berdoa.
E. Tidak Menyerah
Rasulullah selalu memerintahkan umatnya untuk berusaha
semaksimal mungkin sesuai kemampuannya, cara menyikapi takdir
Allah ialah dengan berusaha dan tidak boleh menyerah, putus asa
adalah tanda bahwa orang tersebut tidak percaya pada kebesaran
Allah.
“Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat
bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan sekali
– kali kamu merasa tidak berdaya”. (HR Abu Hurairah).
F. Jauhi Berandai – andai
Takdir, apapun itu ialah yang terbaik, cara menyikapi takdir
Allah tidak boleh diterima dengan penyesalan atau harapan untuk
bisa mengubah takdir yang telah terjadi. Maksudnya ialah dengan
berandai andai untuk dapat kembali kemasa lalu dan mengubah
peristiwanya agar menerima hasil sesuai yang diinginkan, hal
demikian tidak diperbolehkan dalam agama.
“Janganlah engkau berkata seandainya aku berbuat begini
tentu begini dan begitu tentu akan seperti ini dan seperti itu”. (HR
Muslim).
G. Mohon Pertolongan Allah
Takdir ialah bagain dari kuasa Allah, untuk menghadapinya
sebagai makhluk yang lemah wajib untuk memohon pertolongan
Allah agar dapat menjalani dan mengambil keputusan sesuai
petunjuk Nya.
“Dan sekali kali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba –
hamba Nya”. (QS Fushshilat: 46).
H. Instropeksi Diri
“Musibah yang menimpa kalian adalah hasil dari perbuatan
tangan kalian sendiri”. (QS As Syuuraa: 30).
Sebagai manusia tentu pernah berbuat kesalahan secara
sadar, contohnya ialah sudah mengetahui tentang perbuatan yang
termasuk dosa tetapi tetap melakukan perbuatan tersebut, akibatnya
takdir Allah akan mengikuti sesuai perbuatan yang dilakukan.
I. Mohon Rahmat Allah
Cara menyikapi takdir ialah dengan memohon rahmat Allah
agar mendapat hikmah yang terbaik dan diberi takdir yang lebih
baik pula kedepannya. Allah Maha Pemurah, setiap manusia yang
memohon dengan kesungguhan pasti akan dikabulkan.
“Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu”. (QS. Al A’raf:
156).
Jelas dari firman tersebut bahwa Allah memberikan rahmat
untuk hambaNya dalam setiap urusan.
J. Allah Tempat Kembali
“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main – main dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami?”. (QS. Al Mu’minum: 115).
Ingat bahwa Allah menciptakan manusia di dunia ini
hanyalah sebagai ujian untuk bekal kehidupan di akherat, begitu
pula dengan takdir, apapun yang dikehendaki Allah akan menjadi
jalan untuk manusia sebagai jalannya untuk beribadah dan
mendekat padaNya.
K. Ingat Kehidupan di Akherat
Bagaimana cara kita menyikapi takdir Allah, itulah yang
akan menentukan kehidupan di akherat kelak, jika selalu percaya
dan berprasangka baik pada takdir yang Allah berikan, maka pada
masa kedepannya orang tersebut akan mendapat petunjuk dan
takdir yang lebih baik untuknya, baik takdir yang akan diterima di
dunia maupun di akherat. “Apakah manusia mengira akan
dibiarkan begitu saja tanpa pertanggung jawaban?”. (QS. Al
Qiyamah: 36).
L. Ujian dari Allah
Setiap umat mukmin tentu paham bahwa hidup di dunia
adalah sementara, kehidupan di dunia hanya perhiasan dan ujian
belaka, begitu pula takdir yang diberikan Allah, merupakan ujian
untuk tingkat keimanan dan kesabarannya. Ketika menghadapi
ujian berupa hal yang menyenangkan ataupun kurang
menyenangkan tentunya tetap wajib diterima dengan sabar dan
berusaha melakukan yang terbaik sesuai kemampuannya.
M. Mohon Perlindungan Allah
Cara menyikapi takdir Allah adalah dengan memohon
perlindungan dari Nya dari hal – hal yang berbahaya atau hal yang
tidak baik untuk kita menurutNya, mohon perlindungan dari
godaan syetan dan hawa nafsu yang dapat melemahkan iman dan
mengarahkan ke hal yang maksiat. Sebagai makhluk Allah yang
lemah, wajib selalu mohon perlindungan agar tidak memiliki hati
yang mudah terombang ambing. “Tidak ada seorangpun di langit
dan bumi kecuali akan datang kepada Tuhan yang maha pemurah
selaku seorang hamba”. (QS. Maryam: 93).
N. Mohon Keselamatan
Jangan lupa memohon keselamatan disetiap shalat sebagai
wujud pasrah dan memohon perlindungan dari segala marabahaya
dari takdir yang telah terjadi tersebut. Hal tersebut telah dilakukan
oleh orang - orang sholeh terdahulu, ketika menerima suatu takdir
baik ataupun buruk mereka akan memohon keselamatan dari segala
sesuatu yang buruk.
“Mereka mengucapkan kata – kata yang mengandung
keselamatan”. (QS. Al Furqon: 63).
O. Berfikir Positif
Berfikir positif dapat menjadi cara menyikapi takdir Allah
yang akan memberikan ketenangan pada hati orang yang
melakukannya. Berfikir positif membuat hati menjadi lebih
semangat dan lebih mampu mengambil keputusan yang tepat
dalam setiap urusan yang dihadapi. Sedangkan Allah memberikan
sesuatu sesuai prasangka hambaNya, jika berfikir positif pada
Allah, maka Allah juga memberikan hal yang positif pula.
P. Ikhlas
Ikhlas adalah sikap menerima dan pasrah akan ketentuan
Allah. Ikhlas dilakukan semata karena Allah, bukan karena urusan
duniawi atau karena orang lain. Ikhlas menjadi jalan untuk
mendapat kebaikan dan ridho Allah. Ikhlas dalam menyikapi takdir
Allah dilakukan dengan cara menyadari bahwa setiap takdir ialah
hakNya sebagai pencipta. Dan setiap manusia wajib menerima dan
menjalani takdir yang ditetapkanNya dengan ikhlas.
Q. Mohon Ampunan Allah
Sebagaimana firman Allah, takdir yang terjadi atau yang
menimpa manusia adalah sesuai perbuatan manusia itu sendiri. Jika
mendapatkan takdir yang baik, wajib bersyukur dan memperbaiki
diri lebih baik lagi. Begitu pula jika menerima takdir yang menurut
kita kurang membahagiakan, mohon ampun pada Allah jika hal
tersebut mungkin adalah kesalahan dari kita sendiri.
“Dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan
kesalahan kalian”. (QS. As Syuura: 30).
Allah menyukai hambaNya yang senantiasa memperbaiki
diri dan memohon ampunan kepadaNya, ampunan Allah akan
membawa manusia dalam urusan dunia dan akherat yang lebih
berkah sehingga akan mendapat takdir dan jalan hidup yang terbaik
pula.8

8
https://www.google.co.id/amp/s/dalamislam.com/akhlaq/amalan-shaleh/cara-menyikapi-
takdir-allah/amp dikutip pada tanggal 30 November 2019, pukul 08.00 WIB.
B. Pengertian Ikhtiar
Ikhtiar secara etimologis berasal dari kata kerja dalam bahasa Arab yang
berarti memilih. Ikhtiar diartikan memilih mana yang lebih baik diantara yang
ada, atau mencari hasil yang lebih baik.9
Al-Allamah Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan
bahwa ikhtiar memiliki arti pilihan, yaitu pilihan dari yang terbaik. Murtadha
Muthahari juga berpandangan sama, bahwa ikhtiar diartikan memilih, yakni
memilih perilaku atau perbuatan yang dikehendaki.
Ikhtiar adalah wujud pengejawantah dari takdir Tuhan yang berkaitan
dengan akal fikiran, kemauan, kemampuan, dan kebebasan manusia dalam
berbuat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ikhtiar diartikan pilihan
(pertimbangan, kehendak, pendapat, dan lainya) bebas. Ikhtiar dimaknai
sebagai usaha atau suatu yang dikerjakan seseorang.10
Secara terminologis ikhtiar adalah upaya yang dilakukan agar segala
sesuatu yang berkenaan dengan hajat hidup bisa tercapai. Ikhtiar merupakan
usaha yang ditentukan sendiri, dimana manusia berbuat sebagai pribadi dan
tidak diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginan sendiri dan
kecintaannya pada kebaikan. Atau, ikhtiar adalah usaha yang sungguh-
sungguh dan sepenuh hati untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik
material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya
selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi.
Dapat juga dikatakan bahwa ikhtiar adalah berusaha dengan mengerahkan
segala kemampuan untuk mendapatkan hasil dan menggapai cita-cita yang
diinginkan sesuai dengan tuntunan Islam.

9
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-ikhtiar/66750/4 dikuti pada tanggal 2
Desember 2019, pukul 06.00 WIB.
10
Ikhtiar (def. 1) (n.d). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (KBBI V). Diakses
melalui applikasi KBBI V, 30 November 2019.
A. Perintah Berikhtiar
Menjalankan ikhtiar bagi seorang muslim adalah ibadah. Sebaliknya,
meniadakan ikhtiar sama halnya dengan meniadakan syariat yang notabenenya
sunnatullah. Banyak ditemuka ayat Al-quran maupun hadits yang menyuruh
kita untuk berikhtiar, baik itu berupa perintah secara tegas atau pun hanya
bersifat motivasi. Mengenai ikhtiar, Allah swt. telah memotivasi kita untuk
senantiasa selalu berusaha jika kita ingin mengubah keadaan. Sebagaimana
firman-Nya dalam Al-qur'an.
‫ان هللا اليغير مابقوم حتى يغيروا ما بانفسهم‬
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib) suatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan (perilaku) yang ada pada diri mereka
sendiri" (Qs. Al-Ra'd: 11).
Dalam ayat ini Allah swt. berusaha memotivasi manusia agar senantiasa
mau untuk berusaha dan berikhtiar jika manusianya itu sendiri menginginkan
suatu perubahan yang ada pada dirinya baik berupa nasibnya ataupun
keadaanya. Kita dituntut untuk senantiasa berusaha dan berupaya semaksimal
mungkin dalam meraih apapun yang kita inginkan atau impikan. Tidak
dianjurkan bagi kita untuk menggantungkan nasib atau menjadi benalu bagi
orang lain, karena hal tersebut akan menyusahkan dan merugikan bagi orang
lain. Pada intinya kita dituntut untuk selalu berusaha dalam meraih apapun dan
tidak bersikap malas-masalan.
Dalil Al-Qur'an lainnya yang menyuruh kita untuk berikhtiar adalah
sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt.
‫فاذا قضيت الصلوة فانتشروا في االرض وابتغوا من فضل هللا واذكروا هللا كثيرا لعلكم تفلهون‬
"Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar
kamu beruntung" (Qs. Al-Jumuah: 10).
Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa apabila kita telah selesai dalam
menjalankan suatu ibadah (shalat). Maka kita diperintah untuk segera
bertebaran di muka bumi, maksudnya kembali berusaha dan bekerja seperti
biasa dalam upaya mencari karunia Allah. Disini kita juga diperintah agar
selalu mengingat Allah sebanyak-banyaknya agar kita memperoleh
keberuntungan. Disamping berusaha dan bekerja dalam memperoleh karunia
dari Allah swt. Tidak lupa kita juga dituntut untuk senantiasa mengingat Allah
dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Hal tersebut bertujuan agar kita
memperoleh keberuntungan dari Allah swt.
Terdapat juga beberapa keterangan atau hadits nabi yang memerintahkan
kita untuk senantiasa berikhtiar. Berikut adalah salah satu contoh hadits yang
memerintahkan kita untuk berikhtiar.

‫احرس على ما ينك واسعن باهللا وال تعجز فان اصابك شيء فال تقل لو اني فعلت كذا و كذا ولكن قل‬
‫قدر هللا وما شاء فعل‬
Artinya :"bersemangatlah kamu dalam menempuh apa yang bermanfaat
bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah danjangamlah sekali-kali kamu
malas. Jika sesuatu menimpamu, janganlah kamu katakan "seandainya dahulu
aku lakukan ini dan itu niscaya akan demikian dan demikian". Namun
katakanlah, "inilah takdir Allah, apa yang ia khehendaki pasti terjadi".
Dari beberapa dalil Al-quran maupun hadits di atas menunjukan kepada
kita bahwa betapa pentingnya bagi kita untuk berikhtiar, bekerja keras demi
untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan tanpa mengharap belas kasihan dari
orang lain.11
B. Manfaat Berikhtiar
1. Menguatkan hati dan mengokohkan jiwa
Berusaha atau berikhtiar merupakan salah satu karunia
yang diberikan oleh Allah saw. kepada manusia karena manusia
memiliki hati yang lemah, ia tidak mampu melihat pembagian –
Nya, dan kurang yakin kepada – Nya.
2. Menjaga kehormatan dan memelihara iman
Usaha yang dilakukan seseorang dapat menjaga
kehormatannya sehingga ia tidak merendahkan dirinya dengan

11
https://www.ilmusaudara.com/2017/03/pengertian-ikhtiar-perintah-ikhtiar.html?m=1 dikutip
pada tanggal 1 Desember 2019, pada pukul 14.00 WIB.
perbuatan meminta – minta dan menjaga keimanannya sehingga ia
tidak mengemis kepada selain – Nya. Karena sesungguhnya tidak
ada jasa manusia pada setiap apa yang Allah berikan atas usahamu.
Sekalipun orang itu membeli atau memberimu upah itu karena
mereka juga mendapatkan keuntungan darimu.
3. Menghindarkan dari maksiat dan dosa
Kesibukan merupakan rahmat Allah swt. untuk manusia.
Ketika tidak bekerja pada hari raya atau di hari libur, banyak dari
kita yang lalai melakukan perbuatan dosa dan tenggelam dalam
maksiat kepada Allah swt.
4. Sarana untuk mengenal dan saling cinta diantara makhluk
Allah swt. ingin agar orang beriman bersatu sesuai dengan
firman – Nya, “Sesungguhnya orang beriman itu bersaudara.”
Usaha dan kerja merupakan sarana untuk saling mengenal dan
untuk memunculkan cinta diantara mereka. Tidak ada yang
menentang kerja kecuali orang yang bodoh atau hamba yang lalai
dari Allah swt.12
R. Kesimpulan

S. Saran

12
Athaillah Ibn, Mengapa Harus Berserah, Terj. Fauzi Faisal, (Jakarta: Serambi, 2007), hlm. 219

Anda mungkin juga menyukai