Anda di halaman 1dari 10

IMAN KEPADA TAKDIR : HIDUP DALAM KETERATURAN

DAN KETENTUAN

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat dan Teologi Islam
Dosen Pengampu : Dr. Nasihun Amin, M.Ag.

Disusun Oleh :

MUHAMMAD ULUL FAHMI


NIM : 1903018023

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2020
A. Latar Belakang Masalah

Takdir merupakan rukun iman yang ke-6 dan kita umat Islam harus
meyakininya tanpa ada keraguan. Akan tetapi kebanyakan orang salah
mengartikan Takdir. Mereka menganggap apa yang terjadi dengan manusia itu
sudah ditakdirkan dan manusia hanya bisa pasrah tanpa adanya usaha. Ada yang
mengartikan juga bahwa setiap manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan
hidupnya karena setiap manusia akan bertanggungjawab atas apa yang
diperbuatnya. Dari kedua pernyataan tersebut ini merupakan kesalahan dalam
mengartikan Takdir. Yang jelas, Rasul dan para sahabatnya meyakini dengan
sepenuhnya akan ada Takdir yang meliputi semua makhluk bukan hanya manusia.
Tetapi tidak menghalangi mereka untuk terus berusaha semaksimal mungkin,
kalaupun tidak sejalan dengan harapan tidak melampiaskan semua kesalahan
kepada Allah swt.1
Beriman kepada takdir adalah meyakini dan membenarkan secara kuat
bahwa segala kejadian yang terjadi di dunia ini baik yang baik maupun yang
buruk merupakan sesuatu yang sudah ditentukan Allah swt. Iman kepada takdir
meliputi empat perkara : pertama, mengimani bahwa Allah swt mengetahui segala
sesuatu baik secara terperinci maupun secara global. Kedua, mengimani
bahwasannya Allah swt telah menuliskan takdir para makhluknya dalam lauhul
mahfudz. Ketiga, mengimani bahwa segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali
Allah swt berkehendak. Keempat, mengimani bahwa Allah swt telah menciptakan
segala sesuatu. Segala yang terjadi di luar dugaan manusia baik musibah, sakit,
miskin harta itu semata-mata untuk mengujinya. Ada juga takdir yang berkenaan
dengan apa yang dilakukan manusia dengan perantara diberikannya akal pikiran,
kemampuan untuk memilih beriman atau kafir, berbuat baik atau berbuat jahat,
hal ini akan dihisab oleh Allah swt dan akan dipertanggungjawabkan. Dengan kita
meyakini dan beriman pada takdir, kita akan merasa lebih tenang, lebih ridha,
karena itu semua terjadi atas kehendak Allah swt, dan tidak merasa tinggi hati
ketika apa yang kita harapkan tercapai sebaliknya tidak akan merasa gelisah dan
resah ketika kehilangan sesuatu yang dicintainya.2

1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung : Mizan,1996), hlm. 60

2
Hidup ini memang penuh dengan warna. Dan ingatlah bahwa hakikat
warna-warni kehidupan yang sedang kita jalani di dunia ini telah Allah tuliskan
(tetapkan) dalam kitab “Lauhul Mahfudz” yang terjaga rahasianya dan tidak
satupun makhluk Allah yang mengetahui isinya. Semua kejadian yang telah
terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah. Begitu pula dengan bencana-bencana
yang akhir-akhir ini sering menimpa bangsa kita. Gempa, tsunami, tanah longsor,
banjir, angin ribut dan bencana-bancana lain yang telah melanda bangsa kita
adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah.Dengan bekal keyakinan terhadap
takdir yang telah ditentukan oleh Allah, seorang mukmin tidak pernah mengenal
kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang
telah diberikan Allah. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan
celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan Ilahiah yang tidak pernah
diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan tentang ketetapan dan
ketentuan Allah ini, maka kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-
muslih, dan berusaha keras untuk menggapai cita-cita tertinggi yang diinginkan
setiap muslim yaitu melihat Rabbul’alamin dan menjadi penghuni Surga.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apakah yang dinamakan dengan Taqdir dan macamnya ?
2. Bagaimana cara beriman kepada Takdir Allah ?
3. Bagaimana peringatan dan pengaruh terhadap Iman kepada Takdir Allah ?

C. Pengertian Taqdir
Kata taqdir berasal dari proses : ‫ ﻣﻘﺪرة‬-‫ ﻗﺪرة‬-‫ ﻗﺪرا‬-‫ ﯾﻘﺪر‬-‫ ﻗﺪر‬yang berarti kuasa
mengerjakan sesuatu. Dalam kamus Lisan Al-‘Arab3, kata taqdir merupakan
masdar dari ‫ ﻗﺪر‬yang berarti kemampuan dalam melakukan sesuatu, maka taqdir
salah satu sifat Allah yang mampu melakukan apa saja yang ia kehendaki.4

2
Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Jakarta:
Darus-Sunnah Pres, 2011 ), hlm. 281.
3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1991),
h. 332
4
Ibn Manzurun, Lisanul ‘Arab, (Al-Qahirah: Darul Ma’arif, 1119 H), h. 3545

3
Sedangkan secara terminologis pengertian taqdir masih menjadi perdebatan.
Secara umum pandangan terhadap taqdir terpecah kepada dua kutub besar dimana
satu sisi berarti ketetapan perbuatan manusia telah ditentukan sejak zaman azali,
sebelum ia lahir ke dunia. Di sisi lain manusia mempunyai kebebasan dalam
menentukan kemauan dan perbuatan yang hendak dilakukannya, walaupun tetap
ada keterbatasan sesuai kodratnya sebagai manusia, dalam istilah barat, problem
ini dikenal dengan istilah Free Will and Predestination.5
Menurut Quraish Shihab, kata taqdir terambil; dari kata qaddara berasal dari
akar kata qadara berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika
disebutkan, “Allah telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti, “Allah telah
memberi kadar, ukuran, batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan
maksimal makhluk-Nya.” 6
Dapat dilihat ada tiga pengertian taqdir dari segi
etimologi: pertama, taqdir merupakan ilmu yang amat luas meliputi segala apa
yang ada terjadi pasti telah diketahui dan ditentukan sejak semula. Kedua, berarti
sesuatu yang sudah di pastikan. Kepastian itu lahir dari penciptaannya di mana
eksistensinya sesuai dengan apa yang telah diketahui sebelumnya. Ketiga, taqdir
berarti menerbitkan, mengatur, dan menentukan sesuatu menurut batasbatasnya di
mana akan sampai sesuatu kepadanya,7 sebagaimana tercermin dalam Alquran
surat Fusilat ayat 10:
“dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya.
Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-
orang yang bertanya”.

Jadi pengertian taqdir di sini berbeda dengan pemahaman umat Islam pada
umumnya yang cendrung mengartikan taqdir dari aspek negatif, yang berupa
musibah musibah atau bencana. Istilah lain tentang taqdir ini ialah qada dan
qadar.8 Dalam pengertian sehari-hari, qada dan qadar disebut juga taqdir, yang
biasanya diartikan sebagai ketentuan Tuhan. Dari segi bahasa, qadha berarti

5
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cetakan ketiga,
169.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I Atas Berbagi Persoalan Umat,
6

(Bandung: Mizan, 1996), h. 59


7
Arifin Jami’an, Memahami Taqdir, (Gresik: CV Bintang Pelajar, 1996), h. 32-33
8
Triyana Harsa, Taqdir Manusia Dalam Pandangan Hamka: Kajian Pemikiran Tafsir Al
Azhar, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008), 42

4
keputusan, atau ketetapan. Sedangkan qadar berarti ketentuan atau ukuran.9
Dengan demikian, makna taqdir adalah iradah Allah mewujudkan sesuatu dalam
bentuk tertentu, kemudian menjadikan bentuk perwujudan itu suatu amalan sesuai
dengan maksud tujuan dan hikmahnya.10
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam
kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang
disebut taqdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa taqdir, termasuk manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan,
yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah
sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut “hukum-hukum alam.” 11
Dengan demikian kesan yang ditimbulkan setiap benda bukan lagi perbuatan
Tuhan, akan tetapi perbuatan Tuhan dalam hal ini adalah menciptakan benda-
benda yang mempunyai sifat tertentu. Sunnatullah, yang secara garis besar ialah
bahwa segala sesuatu di alam ini berjalan menurut sunnatullah, dan sunnatullah
itu diciptakan sedemikian rupa, sehingga sebab dan musabab di dalamnya
mempunyai hubungan yang erat. Perlu diketahui bahwa sunnatullah itu tidak
mengenal pengecualian dan tidak akan mengalami perubahan.12
Mencermati berbagai pendapat tentang pengertian taqdir, agaknya semuanya
memberikan pengertian yang hampir sama, bahwa taqdir merupakan ketentuan
Allah swt yang harus kita terima dan pengukuhan ilmu-Nya mengetahui tentang
apa yang terjadi berupa perbuatan para hamba. Apalagi dalam kenyataannya
memang dalam hidup ini adalah hal-hal yang sama sekali diluar kemampuan
manusia untuk menolak atau melawannya. Hanya saja, jika sikap percaya kepada
taqdir itu diterapkan secara salah atau tidak pada tempatnya, maka dia akan
melahirkan sikap mental yang negatif, yaitu dikenal dengan nama “fatalisme”.
Disebut demikian karena bersikap pasrah menyerah kalah terhadap nasn (fate),
tanpa usaha dan tanpa kegiatan kreatif (inactivity).13

9
Sayyid Sabiq, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid),(Bandung: Diponegoro, 1989), h. 150
10
‘Abdurrahman Hasan Habanakah Al-Maidani, Pokok-Pokok Aqidah Islam, terj; A.M.
Basalamah, judul asli, Al-Aq³dah Al-Islamiyah Wa Us-suha, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 617
11
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I Atas Berbagi Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 63
12
Syahrin Harahap, Islam Agama Syumul Membangun Muslim Komprehensif, (Selangor,
Mihas Grafik Sdn, 2016), h. 209
13
Triyana Harsa, Taqdir Manusia Dalam Pandangan Hamka: Kajian Pemikiran Tafsir Al

5
D. Iman Kepada Qadha dan Qadar
Beriman kepada qada dan qadar yang selanjutnya dinamakan takdir
merupakan bagian dari rukun iman. Beriman kepada qada dan qadar adalah
manusia percaya dengan sepenuh hati bahwa semua yang terjadi pada dirinya baik
yang disengaja ataupun tidak disengaja merupakan ketetapan Allah SWT sejak
zaman azali dan sudah tertulis dalam Lauhul Mahfud. Jadi, semua yang terjadi
didunia ini sudah diketahui Allah SWT jauh sebelum hal itu terjadi.
Iman kepada qada dan qadar artinya percaya serta yakin dengan sepenuh hati
bahwa Allah SWT telah menetapkan segala sesuatu bagi makhluk-Nya. Iman
kepada Qada dan Qadar meliputi empat prinsip, yaitu: Pertama, iman kepada ilmu
Allah SWT yang qadim, iman bahwa semua qadar Allah SWT tertulis dalam
Lauhul Mahfud, iman kepada segala ketetapan Allah yang bersifat menyeluruh,
iman bahwa Allah SWT adalah Zat yang mewujudkan makhluk. Kaya, miskin,
pandai, bodoh, dan sebagaianya sudah menjadi ketetapan Allah SWT sesuai
dengan takdir dari Allah. Sebagaimana seorang anak yang tidak bisa memilih
kedua orangtuanya, dimana dia dilahirkan, dan seperti apa jodohnya karena itu
semua diluar kekuasaan kita sebagai makhluk Allah SWT.16
Berdasarkan Al Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, kejadian
manusia di dalam rahim ibunya melalui beberapa proses yang harus dilewati,
empat puluh hari pertama dinamakan nutfah atau berkumpulnya mani. Dan empat
puluh hari yang kedua dinamakan ‘alaqah atau disut dengan segumpal darah.
Selanjutnya empat puluh hari ketiga disebut mudhghah atau biasa disebut dengan
segumpal daging. Dan pada seratus dua puluh hari ditiupkannya nyawa pada
rahim tersebut oleh malaikat dengan perintah Allah SWT dan dituliskannya empat
macam keketapan, yaitu: ilmunya, ilmu disisni bukan hanya ilmu pengetahuan
namun jika penerapan dari ilmu yang telah didapatkannya.
Banyaknya rezeki yang akan dia dapatkan. Selanjutnya lama dia akan hidup
di dunia. Dan yang terakhir adalah nasibnya, apakah dia akan masuk surga atau
dia akan ke neraka. Keempat hal tersebut sudah ditetapkan sejak zaman azali.14

Azhar, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008), 44


14
Abdullah Zakiy dan Maman Abdul Dajliel, “Mutiara Ilmu Tauhid, h. 290-291,” in
Aqidah Akhlak, oleh Rosihon Anwar (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), h. 194.

6
E. Macam-macam Takdir
Hubungan antara qada dan qadar dengan ikhtiar, para ulama berpendapat
bahwa takdir ada dua macam, yaitu: takdir mu’allaq dan takdir mubram.
Takdir mu’allaq, yaitu takdir yang masih tergantung pada usaha yang
dilakukan manusia, maksudnya takdir tersebut masih dapat diubah sesuai dengan
usaha yang telah dilakukan manusia itu sendiri. Sesuai dengan Q.S Ar Ra’d:11
yang artinya”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keaddaan suatu kaum
sehingga mereka mau mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.”Misalnya, seseorang ingin menjadi dokter maka orang tersebut harus
belajar dengan tekun sesuai dengan jurusannya. Contoh lainnya, Husen dilahirkan
dalam keluarga yang sederhana, ia ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun, ia menyadari bahwa penghasilan orang tuanya terbatas sehingga ia
mencari cara untuk mencapai cita-citanya. Ia belajar dengan tekun sehingga
meraih prestasi tinggi dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan
tinggi. Dan saat kuliah pun ia belajar dengan giat sehingga meraih nilai terbaik
dan mendapat pekerjaan yang layak sehingga membuat kedua orang tuanya
bangga.
Takdir mubram, merupakan takdir seseorang yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi dan tidak dapat diusahakan lagi. Misalnya, kelahiran, kematian, jenis kelamin.
Sebagaimana dalam Q.S. Yunus (10): 49.15 Contoh-contoh dari takdir mubram
antara lain: setiap makhluk akan mati dan seseorang hanya memiliki satu ibu
kandung, manusia pasti memiliki akal, pikiran, serta perasaan, di alam semesta ini
setiap benda bergerak menurut sunnatullah.

F. Peringatan tentang Qadha dan Qadar


Masalah takdir ini merupakan masalah yang rumit, apabila kita salah
pemahaman kita akan terjerumus kedalam kesalahan Akidah yang dalam.
Umumnya, masalah takdir ini terdapat kekeliruan pemahaman bahwa bahagia,

15
Rosihon Anwar, Aqidah Akhlak, 1 ed. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), h. 196–97.

7
sengsara, baik, buruk, hidup, mati, semua berasal dari Allah sehingga manusia
hanya bertindak seperti robot atau wayang yang bertindak sesuai dengan takdir
Allah yang harus diterima dengan ikhlas. Maka dari itu perlu untuk manusia
dilandasi ilmu dan iman. Apabila masalah takdir hanya ditinjau dari satu sisi maka
akan memunculkan masalah dimana letak keadilan Allah. Masalah ini yang
menjadi polemik kaum mutakallimin yaitu kaum jabariyah, murji’ah, mu’tazilah,
dan asy’ariyah. Begitu sulit membahas masalah keadilan jika berdasarkan sudut
pandang manusia karena manusia lebih bersifat subjektif dalam pemikirannya.
Maka dari itu, sudah sunnatullah jika setiap kejadian yang terjadi
mengandung hikmah serta tujuan, dan pasti ada sebab dan akibat yang
ditimbulkannya. Misalnya, seseorang yang ingin kaya maka harus bekerja, jika
ingin pintar maka harus belajar, dan sebagainya. Mustahil jika seseorang bisa
pintar tanpa belajar dan mustahil jika cita-cita akan tercapai jika orang yang
bersangkutan hanya duduk melamun diatas kursi saja. Setelah seseorang itu
berikhtiar hendaklah mereka tawakkal yaitu berserah diri kepada Allah atas
seluruh usaha yang dilakukan secara maksimal tersebut. Maksudnya,
menyerahkan seluruh yang terjadi pada diri kita kepada Allah dengan tetap
berusaha semaksimal mungkin.16

G. Pengaruh Keimanan terhadap Takdir dalam Kehidupan Manusia


Dengan beriman kepada takdir dengan benar, seseorang akan giat berusaha
dan berjuang. Sebab tanpa adanya usaha dan perjuangan sesuai tujuan yang kita
inginkan tidak akan tercapai. Selain itu kita juga harus berpijak dengan
Sunnatullah. Dengan memahami takdir dalam bentuk yang tepat manusia akan
terhindar dari kejerumusan berupa bencana ataupun kesengsaraan. Maka dari itu,
seseorang harus beribadah, berusaha, serta berjuang dengan bertumpu pada
Sunnah yang telah ditetapkan oleh Allah agar cita-cita kita dapat tercapai sesuai
dengan rencana kita tanpa keluar dari ajaran agama.17

H. Simpulan
Dari pembahasan makalah yg berjudul Iman kepada Takdir : Hidup
16
Rosihon Anwar, Aqidah Akhlak,..., h. 198–199.
17
Rosihon Anwar, Aqidah Akhlak,..., h. 199-200.

8
dalam keteraturan dan ketentuan dapat disimpulkan bahwa :
1. Sedangkan secara terminologis pengertian taqdir masih menjadi
perdebatan. Secara umum pandangan terhadap taqdir terpecah kepada dua
kutub besar dimana satu sisi berarti ketetapan perbuatan manusia telah
ditentukan sejak zaman azali, sebelum ia lahir ke dunia.
2. Beriman kepada qada dan qadar adalah manusia percaya dengan sepenuh
hati bahwa semua yang terjadi pada dirinya baik yang disengaja ataupun
tidak disengaja merupakan ketetapan Allah SWT sejak zaman azali dan
sudah tertulis dalam Lauhul Mahfud. Jadi, semua yang terjadi didunia ini
sudah diketahui Allah SWT jauh sebelum hal itu terjadi.
3. Para ulama berpendapat bahwa takdir ada dua macam, yaitu: takdir
mu’allaq dan takdir mubram.
4. Apabila masalah takdir hanya ditinjau dari satu sisi maka akan
memunculkan masalah dimana letak keadilan Allah. Masalah ini yang
menjadi polemik kaum mutakallimin yaitu kaum jabariyah, murji’ah,
mu’tazilah, dan asy’ariyah.
5. Dengan beriman kepada takdir dengan benar, seseorang akan giat berusaha
dan berjuang. Sebab tanpa adanya usaha dan perjuangan sesuai tujuan
yang kita inginkan tidak akan tercapai. Selain itu kita juga harus berpijak
dengan Sunnatullah. Dengan memahami takdir dalam bentuk yang tepat
manusia akan terhindar dari kejerumusan berupa bencana ataupun
kesengsaraan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.

At-Tuwaijiri, Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdullah, Ensiklopedi Islam Al


Kamil, Jakarta: Darus-Sunnah Pres, 2011.

9
Harsa, Triyana, Taqdir Manusia Dalam Pandangan Hamka, Yayasan Pena: Banda
Aceh, 2008.

Harahap, Syahrin, Islam Agama Syumul Membangun Muslim Komprehensif,


Selangor, Mihas Grafik Sdn, 2016.

Habanakah Al-Maidani, Abdurrahman Hasan, Pokok-Pokok Aqidah Islam, terj;


A.M. Basalamah, judul asli, Al-Aq³dah Al-Islam³yah Wa Us-suha, Jakarta:
Gema Insani, 2004.

Jami’an, Arifin, Memahami Taqdir, Gresik: CV Bintang Pelajar, 1996.

Manzurun, Ibn, Lisanul ‘Arab, Al-Qahirah: Darul Ma’arif, 1119 H.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’i Atas Berbagi


Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.

Sabiq, Sayyid, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), Bandung: Diponegoro, 1989.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran, Bandung : Mizan,1996.


Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus
Wadzuryah, 1991.

Zakiy, Abdullah, dan Maman Abdul Dajliel. “Mutiara Ilmu Tauhid, h. 290-291.”
In Akidah Akhlak, oleh Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

10

Anda mungkin juga menyukai