Anda di halaman 1dari 17

PERAN DAN KONTRIBUSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNTUK KEMANUSIAAN DAN PERADABAN


Muh. Aseffudin

Magister Pendidikan Agama Islam


FITK Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Email: muhammadaseffudin@gmail.com

Abstract:

Islamic Religious Education, with its long history to the present, can be seen as one of
the greatest contributions to humanity and civilization. We can see that from the
beginning until now, there have been many technological discoveries that started from
the thinking of Muslim figures. On the other hand, the thoughts of Muslim scientists
are able to contribute to world civilization that upholds the value of civilized humanity.
This fact shows that Islam helped guard the development of human life and played an
active role in human civilization.

Keywords: Islamic Religious Education, Humanity, Civilization

Abstrak:
Pendidikan Agama Islam, dengan sejarahnya yang begitu Panjang hingga sekarang,
bias dilihat sebagai salah satu sumbangsih terbesar untuk kemanusiaan dan peradaban.
Hal itu bisa kita lihat dari dulu hingga sekarang, banyak penemuan-penemuan bidang
teknologi yang berawal dari pemikran tokoh muslim. Di sisi lain, pemikiran-pemikiran
para ilmuwan muslim mampu memberikan sumbangsih untuk peradaban dunia yang
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang berperadaban. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa Islam ikut mengawal perkembangan kehidupan manusia dan berperan aktif
terhadap peradaban manusia.

Kata kunci: Pendidikan Agama Islam, Kemanusiaan, Peradaban


A. Pendahuluan

Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya adalah ingin mewujudkan apa yang
disebut sebagai manusia seutuhnya atau dalam bahasa tasawuf disebut dengan
insan kamil atau manusia paripurna. Manusia seutuhnya (insan kamil) tidak hanya
berdimensi vertical, tetapi juga horizontal, tidak hanya beraspek material tetapi
juga immaterial. Keduanya harus diwujudkan dalam hidup tanpa memandang mana
yang lebih penting dan berarti. Pendidikan dalam kerangka ini merupakan proses
dari upaya manusia untuk mengembangkan segenap potensi baik jasmani
(hominisasi) maupun rohaninya (humanisasi) agar menjadi pribadi yang serba
seimbang, sebagai warga Negara yang baik dan siap menerima dan melestarikan
serta mengembangkan budaya bangsa (sosialisasi).
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, tentunya dibutuhkan pendidikan
yang baik, yaitu upaya pendidikan yang tidak saja memperhatikan aspek batiniah
tetapi juga lahiriah, tidak hanya bersifat theistic tetapi juga humanistic dan
scientific. Dengan kata lain, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
meletakkan asas keseimbagan dan keserasian dari keseluruhan aspek kehidupan
manusia.1
Sudah seyogyanya, pendidik hendaknya senantiasa berupaya untuk
mengantarkan peserta didik mengaktualisasikan diri seoptimal mungkin, sehingga
dapat menjadi individu yang bertanggung jawab sesuai dengan kodratnya, dapat
menjalani dan menjalankan hiduo dan kehidupannya secara selaras, serasi dan
seimbang dalam hubungan dengan dirinya, sesamanya, alam, dan Tuhan. Tujuan
akhir pendidikan Muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepda Allah, pada
tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.2

Peranan pendidikan sangat penting bagi manusia, karena pendidikan


adalah sarana untuk menjadikan manusia lebih maju ke arah yang lebih baik serta

1
Mahfud junaedi, Paradigma baru filsafat pendidkan islam, (Jakarta:Prenadamedia
Group,2019) hlm. 109
2
Ali Ashraf, “Horison Baru Pendidikan Islam” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)
mampu memahami hakikat dirinya. Begitulah peranan pentingnya pendidikan bagi
kehidupan manusia, karena pendidikan akan menumbuhkan segala aspek dalam
kehidupan manusia, sehingga pembinaan terhadap potensi-potensi tersebut akan
memunculkan sebuah inovasi dan kreativitas serta mempermudah dirinya dalam
menjalani kehidupan. Di lingkungan sekitar, tentunya dapat diamati betapa
bedanya orang yang mendapat pendidikan secara baik (humanism) dengan mereka
yang tidak mendapat pendidikan. Jadi, ketika berbicara tentang kehidupan manusia,
maka pada dasarnya pendidikan tidak akan bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia, karena pendidikan merupakan barometer tinggi-rendahnya kualitas
kehidupan manusia itu sendiri.
Islam diakui secara jamak sebagai agama sekaligus peradaban (Islam is both a
religion and a civilization),3 karena Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan
creator dan spirit yang hidup bagi sebuah peradaban besar dunia yang sejarahnya
terbentang luas lebih dari 14 abad.
Dalam bahasa Nasr dan Smith, “Islam is not only a religion; it is also the
creator and living spirit of major world civilization with a long history stretching
over fourteen centuries.” Fakta ini diakui juga, misalnya, oleh orientalis
kontemporer sekelas Bernard Lewis. Ia mencatat bahwa: “Islam –the offspring of
Arabia and the Arabian Prophet—was not only a system of belief and cult. It was
also a system of state, society, law, thought and art, a civilization with religion as
its unifying eventually dominating, factor.”4
Artinya, Islam dan peradaban merupakan satu kesatuan yang tak mungkin
dipisahkan. Sejak kehadirannya, Islam memang telah membawa konsep dan misi
peradaban yang inheren dalam dirinya. Karena Islam hadir membawa satu sistem
yang menaungi kebahagiaan individu dan masyarakat (al- fard wa al-mujtama‘),
maka tak heran jika peradaban Islam tidak bisa lepas dari spiritnya, yaitu Islam.
Dengan Islam sebagai dîn dan madaniyyah atau hadârah (peradaban) itu, peradaban

3
Seyyed Hossein Nasr & Huston Smith, Islam: Religion, History, and Civilization, (Lahore-
Pakistan: Suhail Academy, 2005), xi.
4
Bernard Lewis, The Arab in History, (New York: Harper & Row, Publisher, 1967), 113.
umat Islam menjadi jelas maknanya, konsepnya, karakteristiknya, dan
kontribusinya terhadap manusia dan kemanusiaan.

B. Makna Peradaban

Dalam bahasa Arab, peradaban biasa diderivasi dari kata hadârah. Dan hadârah
ini diartikan dengan:
“Peradaban, dalam pengertian yang umum, adalah buah dari setiap usaha yang
dilakukan oleh manusia untuk memperbaiki kondisi hidupnya. Sama saja, apakah
usaha yang dilakukan untuk mencapai buah tersebut benar-benar yang dituju, atau
tidak. Baik buah tersebut dalam bentuk materi (mâddiyyah) atau imateri
(ma‘nawiyyah).”5
Nasih ‘Ulwan memberikan definisi yang agak berbeda. Menurutnya, mengutip
para pakar, peradaban adalah:
“Produk manusia berupa peradaban (madani) dan sosial dengan berbagai
karakteristik pemikiran ( al-fikriyyah ), spiritualitas (al-rûhiyah), intuisi (al-
wijdâniyyah) dan etika (al-sulûkiyyah) sebagai media untuk mencapai tujuan
bangsanya. Plus, apa saja yang diinginkan oleh bangsa tersebut berupa nilai-nilai
(qiyam), contoh-contoh (per-umpamaan-perumpamaan, pepatah-pepatah), dan
prinsip-prinsip.”6
Definisi yang lebih ringkas dan padat diberikan oleh Yusuf al- Qaradawi dalam
bukunya al-Sunnah Masdaran li al-Ma‘rifah wa al- Hadârah: “Sekumpulan
bentuk-bentuk kemajuan; baik yang berbentuk kemajuan materi, ilmu pengetahuan,
seni, sastra, ataupun sosial, yang ada dalam satu masyarakat atau pada masyarakat
yang serupa.”7

5 Husein Mu’nis, al-Hadârah: Dirâsah fî Usûl wa ‘Awâmil Qiyâmihâ wa Tatawwurihâ,

(Kuwait: Serial buku ‘Âlam al-Ma‘rifah, 1978), h.13


6
Abdullah Nasih ‘Ulwan, Ma‘âlim al-Hadârah fî al-Islâm wa Atsaruhâ fi al-Nahdah al-
Awrubbiyyah, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2003), 4.
7
Yusuf al-Qaradawi, al-Sunnah Masdaran li al-Ma‘rifah wa al-Hadârah, (Kairo: Dâr al-
Syurûq, 1417 H/ 1997 M), 201. Definisi ini juga diambil oleh Dihyatun Masqon, “Studi Sejarah
Peradaban Islam di Perguruan Tinggi di Indonesia: Sebuah Kajian Deskriptif Analisis”, dalam Hamid
Fahmy Zarkasyi dan Mohd. Fauzi Hamat, Metodologi Pengkajian Islam: Pengalaman Indonesia –
Malaysia, (Ponorogo: Institut Studi Islam Darussalam Gontor, 2008), h.334.
Dengan begitu, peradaban memiliki dua sisi penting: pertama, sisi kemajuan
materi (al-ruqiy al-mâddî), yang meliputi seluruh lini kehidupan semacam: industri
(sinâ’ah), perdagangan (tijârah), pertanian (zirâ‘ah), kerajinan (ikhtirâ‘), dan seni
(funûn). Kedua, sisi maknawi (al-ruqiy al-ma‘nawî), yang berkaitan dengan nilai-
nilai spiritualitas (al-qiyam al-rûhiyyah), kaidah-kaidah moral (al-qawâ‘id al-
akhlâqiyyah), produk pemikiran (al-intâj al-fikrî), dan karya sastra (al-ibdâ‘ al-
adabî).8
Melihat definisi tersebut, maka peradaban harus memiliki dua sisi penting ini.
Nilai ketinggian materil dan spiritual suatu peradaban seperti dua sisi mata uang
yang tak terpisahkan. Maka, jika ada satu peradaban yang hanya menonjol dalam
satu sisi saja, maka dia tak layak disebut sebagai sebuah peradaban yang sempurna.
Karena bisa jadi dia maju secara industri, tekonologi, informasi, dan lain
sebagainya, namun secara “kemanusiaan” dia gagal disebut sebagai sebuah
peradaban. Karena ternyata dia tidak memberikan apa-apa kepada manusia.
Apa yang terjadi di Barat, misalnya, di mana ada pembedaan etnik antara kulit
hitam dan kulit putih yang diangkat benderanya oleh Amerika Serikat, jelas bukan
sebuah peradaban yang utuh. Padahal, Amerika dianggap sebagai negara besar dan
berperadaban tinggi jika dilihat dari sisi peradaban materi (al- hadârah al-
mâddiyyah), industri (al-intâj al-sinâ’î), dan perkembangan sains (al- ikhtirâ’ al-
‘ilmî). Lihat juga perbudakan yang dilakukan oleh negara komunis terhadap
rakyatnya dan terhadap kaum Muslimin yang berada di bawah kekuasaannya. Jelas,
itu adalah cacat dan noda hitam yang melekat di wajah peradaban manusia dan
kemanusiaan. Bahkan, lebih pantas disebut sebagai primitivisme dan kebrutalan
yang tak pernah disaksikan oleh sejarah.
Ditambah lagi, kekuasaan dan kemajuan dalam bidang-bidang tersebut
dijadikan alat oleh bangsa-bangsa itu untuk menyalakan api peperangan yang
menghilangan jutaan nyawa orang. Kemajuan itu pula yang digunakan untuk
melakukan penjajahan bangsa-bangsa lemah, yang tidak memiliki upaya dan

8 Abdullah Nasih ‘Ulwan, Ma‘âlim al-Hadârah…, 4.


kekuatan apa-apa. Semuanya dibongkar dan dilucuti, agar bisa dicabut dari
negaranya dan keyakinannya, lalu digantikan dengan segala bentuk kerusakan,
kezaliman, dan permusuhan.
Kemajuan materi tersebut akan hilang dan hancur, sebagaimana yang pernah
diterima dan dirasakan oleh peradaban-peradaban besar dalam sejarah yang tidak
memiliki unsur kemanusia- an sama sekali, yang berdiri dengan sombong di atas
permukaan bumi. Untuk satu kurun waktu peradaban-peradaban itu berkuasa dan
mendominasi, kemudian hancur tak berwujud. Akhirnya hanya menjadi kenangan
dalam perut sejarah. Allah SWT memberikan sebuah perumpamaan yang indah:
“…hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula)
perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti
menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau
siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang
sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.”9
Artinya, Amerika, Rusia, dan negara-negara Barat lainnya hanya dapat kita
sebut sebagai negara yang berperadaban secara “materi”. Karena suatu bangsa tidak
dapat dikatakan berperadaban, sampai dia benar-benar berperadaban secara
materil, spiritual, dan manusiawi.10 Di sini sebenarnya, setiap Muslim, tidak boleh
menjadi inferior apalagi merasa malu karena melihat peradaban Islam dianggap
tidak maju secara materi. Karena hakikat peradaban tidak dapat hanya dilihat secara
materi. Namun hakikat manusia mesti dilihat dari kontribusinya dalam
“membangun” manusia.
C. Hakikat Peradaban Islam

Pada bagian sebelumnya didefinisikan konsep sejarah dari kata al-hadârah, di


mana Islam juga layak disebut sebagai al-hadârah, tidak hanya sebagai dîn (baca:
agama). Untuk itu, penting dijelaskan mengenai makna “peradaban” yang
diderivasi dari kata dîn itu sendiri, yaitu al-madaniyyah. Karena harus dicatat

9
QS. Yunus [10]: 24.
10
Abdullah Nasih ‘Ulwan, Ma‘âlim al-Hadârah…, 5.
bahwa, sejatinya, Islam memiliki satu konsep peradaban yang terkait erat dengan
agamanya, yaitu al-madaniyyah atau al-tamaddun.
Kata dîn, secara leksikal, berasal dari kata kerja (fi‘l) dâna- yadînu yang
bermakna atâ’a wa dhalla (taat dan merendahkan diri). Sebagai wujud dari
peradaban inilah kemudian muncul istilah dîwân (plural: dawâwîn), yakni daftar
atau buku, yang di dalamnya dicatat nama-nama prajurit dan orang-orang
dermawan. Kemudian, dîwân juga merupakan kumpulan bait-bait syair seorang
penyair (majmû‘ah syi‘r syâ‘ir). Atau, kata dîwân semakna dengan kitâb (buku).11
Oleh karena itu, dalam tradisi Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah
Umar bin al-Khattab, nama-nama prajurit (tentara) dicatat. Karena pada masa
beliau banyak diraih prestasi pembebasan Islam (al-futûhât al-islâmiyyah).12 Pada
masanya, wilayah Islam begitu luas: mulai dari Damascus (Syiria) hingga Tarabuls
(Maroko). Selain itu, orang pertama yang menetapkan penanggalan Hijriyah
adalah beliau.13
D. Wacana Kemanusiaan

Berbicara tentang manusia: hidup, arti dan peranan eksistensinya selalu aktual.
Sebab, selain manusia itu sendiri selalu menjadi pokok permasalahan, dapat juga
dilihat bahwa peristiwa besar apapun di dunia ini, masalah apapun yang harus
dipecahkan di bumi kita ini, pada intinya dan akhirnya bertautan juga dengan

11 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu‘jam al-Wasît, (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-

Dawliyyah, 1425 H/2004 M), 305.


12 Baca: Syams al-Din Muhammad bin Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabi, Siyar A‘lâm al-Nubalâ’,

dalam Siyar al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, Tahkik dan komentar: Basyar ‘Awwad Ma‘ruf, (Beirut: Mu’assasah
al-Risâlah, Cet. I, 1417 H/1996), 75. Tentang sejarah perluasan khilafah ‘Umar bin al-Khattab dapat
dilihat dalam Ibnu Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, Jil. 2, (Beirut- Lebanon: Dâr al-Fikr, 1421 H/2001 M),
517-568.
13 Ibrahim Rabi‘ Muhammad, Yang Pertama Berjasa dalam Sejarah dan Peradaban Islam,
Terj. Faisal Saleh, (Bandung: Mujahid, 2009), 9. Umar bin Khattab sukses membuat standar kalender
dengan tarikh Hijriyah pada bulan Rabi‘ al-Awwal tahun 16 H. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
seseorang yang memberikan check kepada kawannya, di dalamnya tertulis catatan keterangan yang
menjelaskan bahwa hutang uang tersebut mesti dibayar pada bulan Sya‘ban. Lalu ‘Umar bertanya,
“Sya‘ban tahun yang keberapa ya? Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat
mereka dalam memecahkan permasalahan itu. Lalu mereka sepakat untuk menjadikan awal sejarah dan tarikh
Islam, yaitu sejak Hijrah Rasulullah SAW. Lihat, Ibrahim Rabi’ Muhammad, Yang Pertama Berjasa dalam
Islam, 9.
manusia14. Sampai saat ini manusia merupakan masalah yang paling rumit di alam
semesta. Dengan menggunakan ilmu dan kebijaksanaan, manusia semakin pandai
dengan akalnya, semakin jujur dengan pendapatnya.15
Manusia itu sendiri tetap menjadi masalah yang pelik dan tak terpecahkan
sedemikian jauh sehingga ia telah menjadi tragdei besar dalam abad ilmu dan
teknologi16. Memang perlu diakui sebagaimana pendapat Gabrel Marcel bahwa
manusia itu bukanlah problem yang akan habis dipecahkan, melainkan misteri yang
tak mungkin disebutkan sifat dan cirinya secara tuntas dan oleh karena itu harus
dipahami dan dihayati.
Pendidikan sebagai suatu “process leading to enlightenment of mankind”17
adalah dalam rangka memanusiakan manusia.18 Atau sebagaimana dikemukakan
oleh Hutchins bahwa pada hakikatnya tujuan sistem pendidikan adalah “to improve
man as man”.19 Dalam hal ini pendidik mempunyai tugas memberikan bimbingan
kepada peserta didik agar mampu menjadikan dirinya sendiri sepenuhnya dan
seutuhnya selaras dengan hakikat kodratnya sebagai manusia. Notonegoro
menegaskan bahwa hakikat manusia: bersusun, bineka tunggal majemuk/sarwa
tunggal dan monopluralis20
Dalam Islam, manusia yang dipandang sebagai khalifatullah memiliki tanggung
jawab terhadap dirinya sendiri, sesama dan terhadap Allah SWT. Tanggung jawab,
menurut Drikarya diartikan sebagai ewajiban menanggung, bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang adalah sesuai dengan kodrat manusia. Berani
bertanggung jawab bahwa seseorang berani menentukan, berani memastikan,
bahwa hanya karena itulah perbuatan tadi dilakukan.

14
Poespowardojo Soerjanto, “Menuju kepada Manusia Seutuhnya”, (Jakarta: PT Gramedia,
1985)
15
Mahfud Junaedi, Pengembangan Paradigma Keilmuan Perspektif Epistemologi Islam,
(Jakarta: Prenadamedia Grup. 2019) h. 52
16
Ali Syariati, “Tugas Cendekiawan Muslim” terjemahan M. Amin Rais, (Jakarta: PT Rajawali,
1984)
17
Federick Mayer, “Foundations of Education”, (Colombus Ohio: E. Merril Books, 1963)
18
Driyarkara, N.SJ, “Percikan Filsafat”, (Jakarta: PT Pembangunan, 1978)
19
Robert M Hutchins, “The Conflict in Education”, (New York: Harper & Brahter, 1953)
20
Notonegoro, “Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila”, (Yogyakarta: FIP KIP, 1973)
Bilamana manusia berhadapan dengan perbuatan yang berupa maksiat,
misalnya korupsi, maka di situ manusia mengerti bahwa bisa berbuat atau tidak
berbuat. Dia sadar bahwa perbuatannya itu tidak sesuai dan dia berpikir: “aku tidak
boleh melakukannya, dengan alasan apapun”. Bila manusia berhadapan dengan
perbuatan baik, yang harus dilakukan, dia mengerti berbuat adalah satu-satunya
jalan untuk setia kepada tuntutan kodrat. Namun dia juga bisa berbuat. Oleh karena
itu sikap tanggung jawab adalah pendirian, yang menyebabkan seseorang
mempergunakan kemerdekaannya hanya untuk melaksanakan kebaikan. Dia
berniat hanya untuk melaksanakan kebaikan. Dia berniat hanya ingin berbuat yang
sesuai kodratnya sebagai manusia.
Sudah seyogyanya, pendidik hendaknya senantiasa berupaya untuk
mengantarkan peserta didik mengaktualisasikan diri seoptimal mungkin, sehingga
dapat menjadi individu yang bertanggung jawab sesuai dengan kodratnya, dapat
menjalani dan menjalankan hiduo dan kehidupannya secara selaras, serasi dan
seimbang dalam hubungan dengan dirinya, sesamanya, alam, dan Tuhan. Tujuan
akhir pendidikan Muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepda Allah, pada
tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.21
E. Peran Pendidikan Agama Islam untuk Kemanusiaan dan Peradaban
Hubungan manusia dengan pendidikan memang tak dapat dipisahkan, karena
perkembangan manusia itu sendiri sangat tergantung dari pendidikan yang
diterimanya. Tidak hanya itu saja, kehidupan manusia tanpa pendidikan akan
menjadikan manusia tidak akan mampu berkembang dengan baik, dan jika hal itu
terjadi maka eksistensi manusia di muka bumi ini tentulah tidak mempunyai
makna.
Karena semua potensi yang dimilikinya seperti al-qalb, al-ruh, dan al-aql
(intelegensia) tidak akan pernah mengalami perkembangan. Manusia juga
merupakan makhluk biologis yang senantiasa tumbuh dan berkembang baik
jasmani maupun rohani, dalam proses perkembangan dan pertumbuhan tersebut

21
Ali Ashraf, “Horison Baru Pendidikan Islam” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)
peranan pendidikan sangat diperlukan, pendidikan diibaratkan sebagai wadah
untuk menjembatani segala potensi yang ada dalam diri manusia tersebut.
Pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Islam selalu dapat dibedakan
menjadi teori dan praktek. Teori Pendidikan adalah tentang makna dan bagaimana
seyogyanya Pendidikan itu dilaksanakan, sedangkan praktek adalah pelaksanaan
secara konkret.22
Di samping itu, pendidikan juga merupakan sesuatu yang esensial bagi
kehidupan manusia, selain dapat membentuk kepribadian seseorang juga dapat
menentukan status seseorang dalam masyarakat. Secara signifikan memang ada
perbedaan antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu, dan Islam sangat
menghargainya (QS. al-Mujādilah/58: 11). Bahkan Islam menyamakan orang yang
tidak berilmu dengan keledai yang membawa kitab atau buku di punggungnya,
tetapi ia tidak pernah mengetahui dan memahami apa yang ada didalamnya (QS.
al-Jumu‟ah/62: 5). Praktis, pendidikan menjadi kekuatan bagi manusia untuk
mencapai tujuan dalam hidupnya.
Lebih dari itu, pendidikan sangat urgen bagi kepentingan manusia itu sendiri.
Karena tujuan pendidikan adalah untuk mencapai pertumbuhan seimbang dalam
kepribadian manusia secara total. Melalui latihan, semangat, rasional, perasaan dan
kepekaan, dan pengembangan segala potensi yang terkandung dalam dirinya.
Sebab secara kodrati manusia membutuhkan pendidikan, karena sebagaimana yang
telah dijelaskan bahwa manusia dilahirkan dengan membawa fitrah.
Fitrah ini berisi potensi yang perlu dikembangkan, namun dia butuh bimbingan
dari orang lain untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut, sehingga potensi
tersebut bisa berkembang secara positif.23 Dasar kodrati seperti inilah yang menjadi
landasan bagi manusia untuk memperoleh pendidikan. Tidak heran kalau Islam
menempatkan pendidikan sesuatu yang paling utama dalam doktrinnya. Hal ini bisa

22
Mahfud Junaedi, Ilmu Pendidikan Islam: filsafat dan pengembangan, (Semarang: RaSail. 2010) h.56
23
Mukodi. Pendidikan Islam Terpadu Reformulasi Pendidikan di Era Global. (Yogyakarta:
Magnum. 2010) hlm 32
diketahui banyaknya ayat-ayat dalam al-Qur‟an dan hadits Nabi yang menjelaskan
betapa pentingnya pendidikan bagi manusia.
Pada hakikatnya, manusia membutuhkan pendidikan karena manusia tidak akan
bisa tumbuh dan berkembang kecuali dengan pendidikan, memang manusia
diberikan Allah Swt potensi bawaan, namun tanpa pendidikan potensi-potensi
tersebut tidak akan berkembang secara baik dan seoptimal mungkin. Pendidikan
sangat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, pendidikan sebagai
sarana yang paling tepat untuk menjadikan manusia lebih maju ke arah yang lebih
baik serta mampu memahami hakikat dirinya. Bahkan perintah wahyu yang
pertama adalah perintah untuk membaca, menghayati, men-tadabburi, menelaah
segala yang ada di sekitar kita (QS. al-‘Alaq/96: 1-5).
Jika, ditelaah dalam perspektif psikologis, pendidikan yang baik dapat
menjadikan individu mampu mendidik dan menghaluskan perasaannya dan
mengarahkannya terhadap pengenalan tentang nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga
menjauhkan dari sifat-sifat yang mengantarkan manusia untuk melakukan
penindasan terhadap manusia lainnya (exploitation de l’homme par l’homme).
Dengan pendidikan yang baik, memberikan modal bagi individu untuk menghadapi
kehidupan ini tanpa adanya pengekangan dan pemenjaraan kreativitas. Pendidikan
yang memberi keterampilan sebagai alat untuk menghadapi permasalahan-
permasalahan yang terjadi di tengah kehidupannya.
Begitulah peranan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia, karena
pendidikan akan menumbuhkan segala aspek dalam kehidupan manusia, sehingga
pembinaan terhadap potensi-potensi tersebut akan memunculkan sebuah inovasi
dan kreativitas serta mempermudah dirinya dalam menjalani kehidupan. Di
lingkungan sekitar, tentunya dapat diamati betapa bedanya orang yang mendapat
pendidikan secara baik (humanism) dengan mereka yang tidak mendapat
pendidikan. Jadi, ketika berbicara tentang kehidupan manusia, maka pada dasarnya
pendidikan tidak akan bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, karena pendidikan
merupakan barometer tinggi-rendahnya kualitas kehidupan manusia itu sendiri.
Peranan pendidikan sangat penting bagi manusia, karena pendidikan adalah
sarana untuk menjadikan manusia lebih maju ke arah yang lebih baik serta mampu
memahami hakikat dirinya. Pendidikan yang baik menjadikan individu mampu
mendidik dan menghaluskan perasaannya dan menjauhkan dari sifat-sifat yang
mengantarkan manusia untuk menindas (Q.S.At-tin/95: 4-5).
Hal ini sejalan dengan pengertian pendidikan Islam yang dikemukakan oleh
Muhammad Munir Mursi yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah
pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah,
larangan, dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah itu.24
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam prosesnya mampu
mengembangkan seluruh fitrah peserta didik terutama fitrah akal dan agamanya.
Dengan fitrah ini peserta didik akan dapat mengembangkan daya berpikir secara
rasional. Sementara melalui fitrah agama, akan tertanam pilar-pilar kebaikan pada
diri peserta didik yang kemudian terimplikasi dalam seluruh aktifitas hidupnya.25
Proyek membangun kembali peradaban Islam tidak dapat dilakukan hanya
dengan melalui satu dua bidang kehidupan. Ia merupakan proses bersinergi,
simultan dan konsisten. Untuk itu maka program ini perlu disadari bersama sebagai
sesuatu yang wajib (farÌ ‘ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu
dibebankan kepada seluruh anggota masyarakat Muslim. Sabda Nabi jelas
“Barangsiapa tidak perduli dengan urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan
bagian daripada mereka” (al-Hadith).
Jika menengok sejarah kejayaan Islam di Baghdad maka kita akan temui
gerakan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersinergi. Gerakan yang dimulai
dengan penterjemahan karya-karya asing, khususnya Yunani itu bukan gerakan
seporadis atau gerakan pinggiran. Gerakan itu didukung oleh elit masyarakat
Baghdad: seperti khalifah dan putera mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan

24
Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islâmiyah Ushûluha wa Tathawwuriha fi alBilâd
al-‘Arabiyah (Kairo: Dâr al-Kutub, 1977), h. 25
25
Muhammad ‘Abduh, “Al-Madâris al-Tajhizât wa al-Madâris al-‘Âliyât” dalam ‘Imârah, al-
A’mâl al-Kâmil Li al-Imâm Muhammad Abduh (Bairut: al-Muassasah al-‘Arabiyah li al-Dirâsah wa al-
Nashr, 1972), Juz III, h. 117.
militer, pengusaha dan bankers, dan sudah tentu ulama dan saintis. Ia bukan proyek
kelompok tertentu. Selain itu, gerakan disubsidi oleh dana yang tak terbatas dari
perusahaan negara maupun swasta. Dan yang terpenting, ia dilakukan dengan
menggunakan metodologi ilmiyah yang akurat dengan alat filologi yang eksak,
sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan dengan tepat.
Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah sentral
sifatnya. Dari perkembangan ilmu inilah kemudian dikembangkan bidang-bidang
lain baik secara simultan ataupun secara gradual. Ilmu, sudah barang tentu,
diperlukan oleh semua kelompok apapun orientasi dan strategi perjuangannya.
Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, perbankan Islam dan lain sebagainya
tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu. Mungkin diagram dibawah ini dapat
menggambarkan konsep tersebut.
Untuk memperbaiki keadaan ini, maka umat Islam harus mengarahkan target
pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya
baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Dengan
kata lain pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada konsep pengembangan
individu yang beradab.26 Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab
tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan universitas. Namun
pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan
pada interpretasi yang benarsehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan
pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam.
Perlu dicatat bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu
tradisi dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu.
Bahkan, target utama dan misi Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa
dan bertanggung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah
sering dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu
universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin
masyarakat. Di semua negara universitas adalah tempat dimana individu-individu

26
M. Athiyah Al Abrosyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa Bustami A. Ghani dan
Djohar Bahry, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.
yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan
sumber daya alam dan manusia. Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan
menengah hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi
pendidikan dasar dan menengah lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi,
terutamanya universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi
dan pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan
pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat
rendah dapat diperbaiki.
Agar universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan
individu, maka sebuah universitas harus merupakan refleksi dari insan kamil
ataupun universal dan mengarah kepada pembentukan insan kamil.27 Contoh insan
kamil dan universal itu yang sangat riel adalah figur Nabi Muhammad saw sendiri.
Universitas dalam Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal
ilmu pengetahuan dan amal sholeh, dan fungsinya adalah untuk membentuk laki-
laki dan wanita yang beradab dengan menirunya semirip mungkin dalam hal
kualitas sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing”. Berbeda dari
Islam, universitas di Barat mencerminkan keangkuhan manusia. Meskipun mereka
juga mempunyai konsep universal, namun karena pengaruh paham humanisme
sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas segala-galanya. Ungkapan
Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa: “manusia adalah ukuran dari
segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak
ada adalah tidak ada”.
Pendidikan Islam, dengan sejarahnya yang begitu Panjang hingga sekarang,
bias dilihat sebagai salah satu sumbangsih terbesar untuk kemanusiaan dan
peradaban. Hal itu bias kita lihat dari dulu hingga sekarang, banyak penemuan-
penemuan bidang teknologi yang berawal dari pemikran tokoh muslim. Di sisi lain,
pemikiran-pemikiran para ilmuwan muslim mampu memberikan sumbangsih

27
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2008.
untuk peradaban dunia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang
berperadaban.

F. Kesimpulan

Pendidikan agama Islam mempunyai tujuan jangka Panjang yakni agar manusia
menjadi insan kamil yang bisa membawa dirinya sendiri bahagia di dunia dan
akhirat. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, tentunya dibutuhkan pendidikan
yang baik, yaitu upaya pendidikan yang tidak saja memperhatikan aspek batiniah
tetapi juga lahiriah.
Upaya dan ikhtiar ini menjadikan Pendidikan agama Islam sebagi pondasi
pokok dalam rangka menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan memberikan
sumbangsih pada peradaban dunia.
Pendidikan Islam, dengan sejarahnya yang begitu Panjang hingga sekarang,
bias dilihat sebagai salah satu sumbangsih terbesar untuk kemanusiaan dan
peradaban. Hal itu bias kita lihat dari dulu hingga sekarang, banyak penemuan-
penemuan bidang teknologi yang berawal dari pemikran tokoh muslim. Di sisi lain,
pemikiran-pemikiran para ilmuwan muslim mampu memberikan sumbangsih
untuk peradaban dunia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang
berperadaban.
Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad, “Al-Madâris al-Tajhizât wa al-Madâris al-‘Âliyât” dalam


‘Imârah, al-A’mâl al-Kâmil Li al-Imâm Muhammad Abduh (Bairut: al-
Muassasah al-‘Arabiyah li al-Dirâsah wa al-Nashr, 1972), Juz III,

al-Qaradawi,Yusuf, al-Sunnah Masdaran li al-Ma‘rifah wa al-Hadârah, (Kairo: Dâr


al-Syurûq, 1417 H/ 1997 M),

Ashraf, Ali, “Horison Baru Pendidikan Islam” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)

Dihyatun Masqon, “Studi Sejarah Peradaban Islam di Perguruan Tinggi di Indonesia:


Sebuah Kajian Deskriptif Analisis”, dalam Hamid Fahmy Zarkasyi dan Mohd.
Fauzi Hamat, Metodologi Pengkajian Islam: Pengalaman Indonesia –
Malaysia, (Ponorogo: Institut Studi Islam Darussalam Gontor, 2008),

Driyarkara, N.SJ, “Percikan Filsafat”, (Jakarta: PT Pembangunan, 1978)

Husein Mu’nis, al-Hadârah: Dirâsah fî Usûl wa ‘Awâmil Qiyâmihâ wa Tatawwurihâ,


(Kuwait: Serial buku ‘Âlam al-Ma‘rifah, 1978),

Ibnu Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, Jil. 2, (Beirut- Lebanon: Dâr al-Fikr, 1421 H/2001
M)

Ibrahim Rabi‘ Muhammad, Yang Pertama Berjasa dalam Sejarah dan Peradaban
Islam, Terj. Faisal Saleh, (Bandung: Mujahid, 2009)

Junaedi, Mahfud, Ilmu Pendidikan Islam: filsafat dan pengembangan, (Semarang:


RaSail. 2010)

Junaedi, Mahfud, Paradigma baru filsafat pendidkan islam, (Jakarta:Prenadamedia


Group,2019)

Junaedi, Mahfud, Pengembangan Paradigma Keilmuan Perspektif Epistemologi Islam,


(Jakarta: Prenadamedia Grup. 2019)

Lewis,Bernard, The Arab in History, (New York: Harper & Row, Publisher, 1967),

M. Athiyah Al Abrosyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa Bustami


A. Ghani dan Djohar Bahry, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu‘jam al-Wasît, (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-
Dawliyyah, 1425 H/2004 M).

Mayer, Federick, “Foundations of Education”, (Colombus Ohio: E. Merril Books,


1963)

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama


Islam di Sekolah, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2008.

Mukodi. Pendidikan Islam Terpadu Reformulasi Pendidikan di Era Global.


(Yogyakarta: Magnum. 2010)

Mursi, Muhammad Munir, al-Tarbiyah al-Islâmiyah Ushûluha wa Tathawwuriha fi


alBilâd al-‘Arabiyah (Kairo: Dâr al-Kutub, 1977)

Nasih, Abdullah ‘Ulwan, Ma‘âlim al-Hadârah fî al-Islâm wa Atsaruhâ fi al-Nahdah


al-Awrubbiyyah, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2003),

Notonegoro, “Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila”, (Yogyakarta: FIP KIP, 1973)

Poespowardojo Soerjanto, “Menuju kepada Manusia Seutuhnya”, (Jakarta: PT


Gramedia, 1985)

QS. Yunus [10]: 24.

Robert M Hutchins, “The Conflict in Education”, (New York: Harper & Brahter, 1953)

Seyyed Hossein Nasr & Huston Smith, Islam: Religion, History, and Civilization,
(Lahore-Pakistan: Suhail Academy, 2005), xi.

Syams al-Din Muhammad bin Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabi, Siyar A‘lâm al-Nubalâ’,
dalam Siyar al-Khulafâ’ al-Râsyidîn,

Syariati, Ali, “Tugas Cendekiawan Muslim” terjemahan M. Amin Rais, (Jakarta: PT


Rajawali, 1984)

Tahkik dan komentar: Basyar ‘Awwad Ma‘ruf, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, Cet. I,
1417 H/1996)

Anda mungkin juga menyukai