Anda di halaman 1dari 38

“Tinjauan AL-Qur’an Terhadap Tradisi Wa’a Co’i Pada Pernikahan

Masyarakat di Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.”

DRAF SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Agama

Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsit pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Alauddin Makassar

Oleh:

MIFTAHUL
NIM: 30300115058

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2020/2021
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL………………………………………………………….

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….i

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1


A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 7
C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ............................................. 7
D. Kajian Pustaka .................................................................................. 9
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................... 12

BAB II TINJAUAN TEORETIS ......................................................................13


A. Deskripsi Tradisi Wa’a Co’i ............................................................. 13
B. Tinjauan Tafsir Tentang Mahal Dalam QS-Al-Nisa>/4:4 ................. 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................26


A. Jenis dan Lokasi Penelitian .............................................................. 26
B. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 27
C. Sumber Data ..................................................................................... 28
D. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 30
E. Instrumen Penelitian ......................................................................... 31
F. Teknik Analisi Data ......................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................35

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah wahyu atau kalam Allah Swt yang diturunkan kepada

penutup para nabi dan rasul, dengan melalui perantaran malaikat Jibril, ditulis

dalam berbagai mushaf, dinukilkan kepada kita dengan cara mutawatir, yang

dianggap ibadah dengan membacanya, dimulai dari surah al-Fatihah sampai surah

an-Na>s.

Sebagai wahyu Allah, tentu saja al-Qur’an mutlak bukan puitisasi para

penyair pujangga, bukan mantera-mantera tukang tenun, bukan bisikan setan yang

terkutuk, bahkan juga bukan sabda nabi Muhammad Saw.1

Al-Qur’an merupakan ruh Robbani, yang dengannya akal dan hati menjadi

hidup, sebagaimana ia merupakan dustur ilahi yang mengatur kehidupan individu

dan masyarakat. Telah ditetapkan hikmah Allah untuk menurunkan al-Qur’an itu

secara berangsur-angsur, agar ia tertanam di dalam hati dan meresap ke dalam

akal. Berbagai peristiwa dipecahkan dengan ayat-ayat Allah, berbagai pertanyaan

dijawab, dan hati Rasulullah saw. diteguhkan untuk menghadapi berbagai ujian

dan kesulitan, beserta para sahabat. Sebagaimana firman Allah Swt di dalam QS.

al-Furqa>n/25:32-33.2

1.
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 24.

2.
Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an, Terj. Kathur Suhardi, Bagaimana
Berinteraksi Dengan al-Qur’an, (Cet. V; Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2016), h. 12.

1
2

َ ّ َ ُ َ َٰ َ ٗ َ ٰ َ ٗ َ ۡ ُ ُ َ ۡ ُ ۡ ۡ َ َ َ ّ ُ َ ۡ َ ْ ُ َ َ َ ِ ‫َو َ َل ٱ‬
‫ ِ ِۦ‬1 2َ ِ )* ِ+ ,ِ -. ۚ ‫ة‬#$ ِ & ( " ‫ۡ ِ ٱ ءان‬ ‫ِل‬ ‫وا‬
ۡ ۡ َ َ ۡ َ َ َ ٗ
َ 1 , 6?َ ‫ > َو‬4 ِ5 ۡ َ6
َ ُ ُ ٰ7َ ۡ َ َُ
َ Jَ $‫ َوأ‬IGH
ِ
ّ َ 1 ,ٰ7@A
ِ ِ ِ ‫إ‬ D E
ٍ ِ F 6‫=<اد َكۖ َو َر‬
ً J َۡ
N ‫ا‬M ِ 5

Terjemahnya:
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?", Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu
dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.3

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal

dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan,

dan digunakan untuk arti bersetubuh. Kata “nikah” sendiri sering dipergunkan

untuk arti persetubuan, juga untuk arti akad nikah.4

Dalam Islam melakukan pernikahan berarti melaksanakan ajaran agama.

Selain itu pernikahan dinilai tidak hanya sekedar jalan yang amat mulia untuk

mengatur kehidupan menuju pintu perkenalan, akan tetapi menjadi jalan untuk

memeliharanya dari zina atau bahkan perbuatan-perbuatan yang melanggar

syari’at Islam. Sehingga Rasulullah saw memerintahkan bagi orang-orang yang

memiliki kesanggupan agar hidup berumah tangga yang ditandai dengan

3.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: al-Hadi, 2015), h. 362-
363.
4.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Muna>kahat (Jakarta: Kencana, 2003), h. 8.
3

pernikahan yang sah menurut hukum agama maupun hukum Negara.5 Karena pada

dasarnya pernikahan sebagai bentuk penjagaan terhadap kehormatan dan martabat

kemuliaan manusia. Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya,

sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan

saling meridhai, dengan ucapan ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha-

meridhai dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-

laki dan perempuan itu saling terikat.6

Berbicara mengenai pernikahan, tidak terlepas dari yang namanya

maskawin atau mahar. Mahar adalah bentuk pemberian yang wajib diberikan oleh

calon suami kepada calon istrinya dan dinyatakan oleh calon suami dihadapan

calon istrinya di dalam shigot akad nikah yang merupakan tanda persetujuan dan

kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri. Dengan demikian mahar

yang menjadi hak istri itu dapat diartikan sebagai tanda bahwa suami sanggup

untuk memikul kewajiban sebagai suami dalam mengarungi bahtera kehidupan.7

Di dalam hukum perkawinan Islam, mahar merupakan pemberian yang

wajib bagi calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan dengan

ikhlas dan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pemberian mahar

merupakan sesuatu yang wajib seperti yang dijelaskan di dalam QS. an-Nisa/4:4.

5.
Ririn Anggreany, “Perspektif Masyarakat Islam Terhadap Pernikahan Dini di kecamatan
Pattalassang Kabupaten Gowa”, Sripsi, (Makassar: Fak Syariah dan Hukum UIN Alauddin
Makassar, 2016), h. 10.
6.
Abd. Rahman Ghazaly, fiqhi muna>kahat, h. 10-11.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No,1 Tahun 1974
7.

tentang Perkawinan (Cet. I; Yogyakarta: Liberti Yogyakarta, 1982), h. 57-58.


4

ُ‫ =َ ُ^ُ ه‬Jٗ ۡ _َ ُ `ۡ [ِ ّ ٖ‫]ء‬ ُ َ َۡ


ۡ َ َ Zۡ Y َ َٗۡ ٰ َ ُ َ َٓ َ ّ ْ ُ ََ
QRِ ‫ِن‬S= ۚ ( Tِ Uِ ِ VW#X ‫ ء‬JِP ‫ ا ٱ‬6‫وءا‬
ٗٓ ٗٓ َ
f e ٔ ِ[ bٔ ِ `c

Terjemahnnya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati,
Maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.8

Pada ayat di atas terdapat perintah, yang asal hukum perintah

menunjukkan kepada kewajiban. Allah Ta’ala memerintahkan kepada umat Islam

untuk memberikan mahar pernikahan kepada istri-istri mereka, karena sebuah

kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diberikan kepada sang istri.

Setelah itu terjadi maka tidak halal hukumnya bagi sang suami atau selainnya

mengambil mahar tersebut kecuali dengan ridha> pemiliknya. Jika sang istri telah

ridha> maka diperbolehkan untuk memakan mahar tersebut.9

Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang menunjukkan

keanekaragaman kondisi geografis dan corak kehidupan serta sifat masyarakat

yang sangat berbeda-beda di setiap daerahnya. Corak dan sifat masyarakat yang

majemuk merefleksikan begitu banyak tradisi dan ragam kebudayaan yang tersebar

di seluruh Indonesia.10 Indonesia juga merupakan Negara yang memiliki populasi

muslim terbesar di dunia. Pada tahun 2020, jumlah umat Islam di Indonesia

8.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77
9.
Syeikh Abu Bakar Jabi>r Al-Jazairi, Aisa>r At-Tafa>sir li Al-Kala>mi Al-‘Aliyyi Al-Kabi>r,
Terj. M. Ashari Hatim dan Abdurrahman Mukti, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisa>r. (Cet. I; Jakarta: Darus
Sunnah, 2007), h. 306.
10.
H.R. Warsito, Antropologi Budaya, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 94.
5

diperkirakan 229 juta jiwa,11 tidak luput seperti di pulau Nusa Tenggara Barat.

Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, tercatat jumlah

umat Islam NTB sebesar 96,78 %.12

Pada kehidupan bermasyarakat, setiap daerah pasti memiliki kebudayaan

dan adat istiadat yang beda-beda. Hal ini merupakan ciri khas tersendiri dari

masing-masing daerah di seluruh Indonesia. Kesatuan kebudayaan suatu

masyarakat dalam ekologi yang sama merupakan kajian pokok dalam bidang

etnografi yang terdiri dari unsur-unsur universal kebudayaan, yaitu: bahasa, sistem

teknologi, organisiasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi. Dari

ketujuh unsur kebudayaan tersebut dapat diwujudkan ke dalam tiga bentuk wujud

kebudayaan menjadi adat istiadat, pranata sosial, dan benda-benda budaya.13

Kebanyakan budaya dari suatu daerah terpengaruh berdasarkan aspek kehidupan

ritualnya yaitu berupa tradisi dan adat istiadat yang kerap kali dilakukan oleh

masyarakat termasuk tradisi pernikahan.

Pernikahan sangat erat kaitannya dengan kehidupan dan aspek sosial.

Misalnya adanya minimal dua saksi atau seorang wali. Syarat atau rukun ini

menunjukkan bahwa pernikahan membutuhkan legitimasi dari kehidupan

masyarakat sekitar, karena pernikahan tidak bisa berdiri sendiri atas dasar suka

sama suka, melainkan harus dengan administrasi, legitimasi dan kekuatan hukum

lainnya. Oleh karena itulah dalam beberapa pulau di Indonesia terjadi perbedaan

11.
http://ibtimes.id/data-populasi-penduduk-muslim-2020-indonesia-terbesar-di-dunia/
12.
http://ntb.bps.go.id/statictable/2017/11/15/189/persentase-penduduk-menurut-
kabupaten-kota-dan-agama-yang-dianut-di-provinsi-nusa-tenggara-barat-2016.html.
13.
Darsono Prawironegoro, Kajian Tentang Organisasi Budaya, Ekonomi, Sosial, dan
Politik: Budaya Organisasi, (Cet. I; Jakarta: Nusantara Consulting, 2010), h. 28.
6

dalam pelaksanaan pernikahan, karena keharusan untuk mengikuti tradisi di

masing-masing daerah.

Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki banyak tradisi

dan budaya, salah satunya adalah Tradisi Wa’a Co’i pada pernikahan masyarakat

di Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima. Masyarakat Bima (Dou

Mbojo) adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi terhadap peraturan atau

ketetapan-ketetapan adat yang dipraktekkan dan dipakai dari zaman ke zaman

hingga sekarang.

Tradisi Wa’a Co’i adalah upacara mengantar mahar atau mas kawin, yang

merupakan ritual yang wajib dilaksanakan oleh calon mempelai laki-laki untuk

meminang calon mempelai perempuan. Upacara Wa’a Co’i dilaksanakan pada pagi

hari atau bahkan ada yang melaksanakannya pada sore hari, tergantung dari

kesepakatan ke dua pihak keluarga. Upacara ini diikuti oleh keluarga calon

mempelai laki-laki, tetangga, ulama, tokoh adat maupun para kerabat. Di mana

pada upacara ini, rombongan pengantar mahar akan berangkat dari rumah orang

tua calon pengantin laki-laki dengan menggunakan pakaian adat Bima. Dalam

perjalanan, calon mempelai laki-laki diapit oleh dua orang mendampingi si calon

pengantin laki-laki dan rombongan calon mempelai laki-laki membawa

perlengkapan ibadah, perhiasan, keperluan rumah tangga dan juga sandang khas

Bima. Di perjalan rombongan pengantar mahar akan diiringi oleh atraksi kesenian

yakni zikir hadra dan diiringi oleh musik arubana. Setibanya rombongan calon

mempelai laki-laki di rumah calon mempelai perempuan, rombongan akan


7

disambut dengan tarian wura bongi monca (penaburan beras kuning) yang

dilakukan oleh beberapa perempuam dari kerabat calon pengantin perempuan.

Dari uraian di atas, penulis tertarik mengangkat judul tentang tradisi Wa’a

Co’i (antar mahar) ini karena ingin mengetahui pemahaman masyarakat Bima

khususnya di Desa Bolo Kecamatan Madapangga mengenai mahar. untuk itu

peneliti menetapkan judul “Tinjauan AL-Qur’an Terhadap Tradisi Wa’a Co’i Pada

Pernikahan Masyarakat di Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti menetapkan pokok

rumusan masalah sebagai titik fokus penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana hakikat tradisi Wa’a Co’i di Desa Bolo Kecamatan

Madapangga Kabupaten Bima ?

2. Bagaimana pemahaman masyarakat mengenai Tradisi Wa’a Co’i di Desa

Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima ?

3. Bagaimana tinjauan QS.al-Nisa/4:4 terhadap nilai-nilai yang terkandung

dalam tradisi Wa’a Co’i di Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten

Bima ?

C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus


1. Fokus Penelitian
8

Fokus penelitian ini adalah penulis akan berfokus pada pembahasan

mengenai Tradisi Wa’a Co’i pada pernikahan masyarakat di Desa Bolo Kecamatan

Madapangga Kabupaten Bima.

2. Deskripsi Fokus

Guna memahami dengan baik maksud penulis dalam penelitian ini, maka

penulis terlebih dahulu menjelaskan beberapa hal mengenai pengertian judul

tersebut:

a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt yang diyakini oleh orang

Islam sebagai petunjuk. Al-Qur’an juga merupakan kitab yang

terpelihara, dan Allah sendiri yang berkenan memeliharanya, tidak

mewakilkannya kepada seseorang seperti yang dilakukan terhadap kitab-

kitab suci lainnya, yang dijaga oleh orang-orang yang menerimanya.14

b. Tradisi Wa’a Co’i

Tradisi adalah sesuatu yang telah dilakukan dari sejak lama dan

menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya


dari suatu Negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama. Hal yang

paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan

dari generasi ke generasi, baik tertulis maupun lisan, karena tanpa

adanya ini, suatu tradisi dapat punah.15


Wa’a Co’i adalah salah satu dari rangkaian acara pernikahan yang
ada di Kabupaten Bima khususnya di Desa Bolo Kecamatan
Madapangga. Upacara antar mahar atau Wa’a Co’i ini turun temurun

Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an, Terj. Kathur Suhardi, Bagaimana
14.

Berinteraksi Dengan al-Qur’an, h. 12.


15.
Id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi. (diakses melalui jaringan internet pada tanggal 21
september 2020 pukul 13:41).
9

dan sudah sangat membudaya di kalangan masyarakat Kabupaten Bima

dari zaman dulu hingga sekarang.

c. Desa Bolo merupakan gerbang atau pintu masuk di Kecamatan

Madapangga. Desa Bolo dikenal sebagai Desa yang masih berpegang

teguh nilai budaya yang turun temurun dari dulu hingga sekarang. Salah

satu budaya yang masih dilestarikan hingga sampai saat ini adalah

budaya kalei bunti (usung pengantin). Kalei bunti merupakan budaya

yang rutin dilakukan ketika ada hajatan pernikahan dan juga menjadi

suatu nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan.

D. Kajian Pustaka

Ada beberapa literature-literasi yang peneliti jadikan sebagai referensi

untuk mencapai kemudahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Buku karangan M. Fachrir Rahman tahun 2012, yang berjudul “Islam di


Nusa Tenggara Barat: Proses Masuk dan Penyebarannya”. Di dalam buku
ini membahas tentang kerajaan-kerajaan di Bima, sejarah masuknya Islam
di Bima, serta membahas adat istiadat dan tradisi yang ada di kalangan

kehidupan masyarakat Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.


2. Skripsi karangan Ahmad Yani yang berjudul “Tradisi Kaboro Co’i pada

Perkawinan Masyarakat Bima Perspektif Hukum Islam di Kecamatan


Lambu Kabupaten Bima” ditulis pada tahun 2017 Fakultas Syariah dan

Hukum di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.


Perbedaannya dengan penelitian ini adalah dalam penelitian ini

menjelaskan tentang kaboro co’i (pengumpulan mahar), menjelaskan yang


menyangkut masalah pernikahan untuk kaum laki-laki dalam masa

mengumpulkan mahar ketika hendak akan menikahi pasangannya,


10

menjelaskan hukum-hukum Islam tentang pernikahan serta menjelaskan

hukum memberikan mahar yang telah diatur dalam hukum agama Islam.

Sedangkan dalam penelitian yang penulis angkat, pembahasannya lebih

fokus kepada prosesi antar mahar (Wa’a Co’i) .

3. Rasdiana dalam skripsinya “Mahar Simbolik Dalam Perkawinan

Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan (Studi Kasus

Pemberian Mahar Tanah Yang Berstatus Harta Orang Tua Kepada

Mempelai wanita)” ditulis pada tahun 2017 Program Studi Magister

Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogjakarta. Skripsi ini menjelaskan bahwa mahar merupakan

pemberian yang wajib dilakukan oleh calon mempelai laki-laki. Menurut

Rasdiana dalam skripsinya, mahar tanah dalam perkawinan masyarakat

Bugis di Kabupaten Bone merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan

dalam kehidupan pernikahan masyarakat Bugis khususnya di Kabupaten

Bone, karena kedudukan tanah di masyarakat Bugis Kabupaten Bone

adalah sebagai sumber mata pencaharian dan sebagai simbol kekayaan di


kalangan masyarakat. Dengan begitu, penulis dapat memahami bahwa

skripsi yang beliau tulis isi pembahasannya lebih fokus pada bentuk
keadaan ekonomi yang kuat dari keluarga mempelai laki-laki. Sedangkan

isi skripsi yang penulis angkat, pembahasanya mengarah kepada mahar


yang bersifat umum.

4. Jurnal karangan Darwis Syukurman yang berjudul “Tahapan Pernikahan


Masyarakat di Kecamatan Donggo Kabupaten Bima” ditulis pada tahun

2019 program studi Pendidikan Sosial Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pengetahuan (STKIP) Bima. Di dalam jurnal ini menjelaskan tahapan-

tahapan pernikahan mulai dari tahapan pertama yaitu panati atau sodi
11

ntaruna sampai kepada tahapan terakhir yakni tahapan akad nikah.


Sedangkan bentuk isi skripsi yang penulis angkat, memang hampir mirip isi

pembahasannya namun ada beberapa prosesi adat pernikahan yang tidak

terdapat di Desa Bolo tempat penulis meneliti, seperti prosesi nge’e nuru

dan jambuta.

5. Skripsi yang ditulis oleh Suharti yang berjudul “Tradisi Kaboro Co’i Pada

Perkawinan Masyarakat Bima Perspektif Urf” (Studi Fenomenologis Pada

Masyarakat Monta Kabupaten Bima) ditulis pada tahun 2008 Program

Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam

Negeri Malang. Skripsi ini menjelaskan faktor yang melatarbelakangi

adanya tradisi Kaboro Co’i (mengumpulkan mahar) dalam perkawinan

masyarakat Bima dipengaruhi oleh dua faktor yakni, pertama faktor

kekeluargaan/kekerabatan yang mana faktor ini berlandaskan atas azaz

musyawarah untuk mufakat dalam segala hal termasuk masalah

perkawinan. Yang kedua adalah faktor adat budaya yang disepakati sebagai

dasar pemerintahan adat Bima. Skripsi ini memiliki sedikit kesamaan


dengan skripsi yang penulis angkat, namun yang menjadi perbedaannya

adalah skripsi yang beliau tulis pembahasannya lebih kepada proses kaboro
co’i (mengumpulkan mahar), sedangkan skripsi yang penulis angkat
pembahasannya lebih kepada proses upacara Wa’a Co’i (antar mahar).

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Desa Bolo Kecamatan

Madapangga Kabupaten Bima mengenai tradisi Wa’a Co’i.


12

b. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terdapat pada tradisi Wa’a Co’i di

Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.

c. Untuk mengetahui prosesi tradisi Wa’a Co’i di Desa Bolo Kecamatan

Madapangga Kabupaten Bima.

2. Kegunaan Penelitian
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi serta

menambah khasanah ilmu pengetahuan masyarakat mengenai tradisi

Wa’a Co’i di Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.


Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti

selanjutnya yang akan dijadikan rujukan dalam meneliti tradisi Wa’a Co’i di Desa

Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Deskripsi Tradisi Wa’a Co’i

1. Penertian Tradisi

Tradisi berasal dari Bahasa Latin tradition diteruskan atau kebiasaan.

Sedangkan dalam pengertian sederhananya adalah suatu yang telah dilakukan

sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat dan

menjadi identitas dari suatu aktivitas komunitas masyarakat yang mengandung

unsur agama. Karena itu, tradisi masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan

sosial, budaya dan agama.16

Di dalam buku karangan M. Nur Kholis Setiawan, kata tradisi biasa merujuk

pada kata adat. Kata adat berasal dari bahasa Arab yaitu kata ‘adah yang berarti

kebiasaan yang memiliki kedekatan pengertian dengan kata ‘urf.17 ‘Urf (adat

kebiasaan) adalah sesuatu yang dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi

tradisi, baik berupa perkataan maupun suatu perbuatan.18

Adapun unsur-unsur tradisi adalah sebagai kegiatan sosial masyarakat

menyebabkan adanya pembentukan tradisi. Tradisi tetap berkembang selama

manusia sebagai bagian terpenting dari masyarakat yang senantiasa ada serta

Geonawan Monoharto dkk, Seni Tradisional Sulawesi Selatan (Cet. III; Makassar:
16.

Lamacca press, 2005), h. 5.


17.
M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan,
(Cet. I; Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), h. 126.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Dari Kitab Ilmu Ushul Fiqh, (Cet. I;
18.

Semarang: Toha Putra Grup, 1994), h. 123.

13
14

selalu berproses. Agama selaku sistem keyakinan yang dipegang oleh setiap

individu masyarakat turut menjadi penyebab dari adanya perubahan dan corak

terhadap tradisi yang ada. Beberapa aspek yang berkaitan dengan tradisi, yaitu: 1.)

bentuk warisan seni budaya tertentu. 2.) kebiasaan atau bahkan kepercayaan yang

dilembagakan dan dikelola oleh masyarakat dan pemerintah. dan 3.) kebiasaan

yang dilembagakan dan dikelola oleh kelompok-kelompok agama dan badan-badan

keagamaan yang semuanya dibagikan kepada pihak lain.19

Tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah segala

sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan dan ajaran sebagaimana yang turun

temurun dari nenek moyang.20 Dengan kata lain bahwa tradisi merupakan warisan

masalalu yang dilestarikan terus-menerus hingga sekarang. Warisan masalalu ini

bisa berupa nilai, norma sosial, perilaku manusia dan bahkan adat kebiasaan lain

yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan manusia. Seperti halnya

tradisi Wa’a Co’i yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Bima,

khusnya di Desa Bolo Kecamatan Madapangga.

2. Wa’a Co’i

Wa’a Co’i secara bahasa (bahasa Bima), terdiri dari dua kata yaitu kata

Wa’a berarti bawa, membawa21 dan kata Co’i berarti mas kawin, mahar.22

Sedangkan menurut istilah Wa’a Co’i merupakan upacara antar mahal oleh calon

19.
Alo Liliweri, Sosiologi dan Komunikasi Organisasi (Jakarta: PT. Bumi Askara, 2014), h.
89-99.
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka Amani
20.

2013), h. 564.
Abdul Rauf Dkk, Kamus: Bima Indonesia Inggris, (Cet. I: Kota Bima; Tambora Printing,
21.

2013), h. 185.
22.
Abdul Rauf Dkk, Kamus: Bima Indonesia Inggris, h. 23.
15

mempelai laki-laki. Di sepanjang jalan, upacara Wa’a Co’i ini diiringi dengan

musik “hadora” atau bahasa Indonesianya yaitu hadrah yang meungkin di sebagian

daerah lain alunan musik hadrah juga ada tetapi di Bima, pemaintidak hanya

memakai alat musik tetapi juga diiringi oleh nyanyian khas daerah dan tarian-

tarian yang unik dan menarik yang dilakukan oleh bapak-bapak yang usiannya

tidak muda lagi. Sebelum rombongan dari calon mempelai laki-laki diterima atau

dipersilahkan oleh keluarga calon mempelai wanita, konon katanya dulu mereka

harus saling melempar pantun sebagai salah satu syarat agar bisa mempersunting

calon wanitanya. Setelah sampai di kediaman calom mempelai wanita, si calon

mempelai wanitanya harus melakukan proses “raho nika’ atau minta restu kepada

ayah atau saudara laki-lakinya apabila ayahnya sudah tiada (meninggal) sehingga

bisa dilakukan proses akad nikah.23

B. Tinjauan Tafsir Tentang Mahar dalam QS. Al-Nisa>/4:4

1. Teks Ayat dan Terjemahnya QS. Al-Nisa>/4:4

ُ‫ =َ ُ^ُ ه‬Jٗ ۡ _َ ُ `ۡ [ِ ّ ٖ‫]ء‬ ُ َ َۡ


ۡ َ َ Zۡ Y َ َٗۡ َ ٓ ّ ْ ُ
QRِ ‫ِن‬S= ۚ ( Tِ Uِ ِ VٰW#ُ Xَ ‫ َء‬Jَ ِ P ‫ ا ٱ‬6‫َو َءا‬
ٗٓ ٗٓ َ
f e ٔ ِ[ b ٔ ِ `c

Terjemahnya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang
hati, Maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.24

23.
http://www.indikatorbima.com/2017/09/tradisi-antar-mahar-waa-coi. (diakses melalui
jaringan internet pada tanggal 20 oktober 2020 pukul 12:40).
24.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77
16

2. Kajian Kosa Kata


a. Nisa>’ (‫) ِ َ ء‬

Nisa>’ (‫ ) ِ َ ء‬adalah bentuk jamak dari kata mar’ah (‫ ) َ رْ اَة‬yang berarti

‘permpuan’. Kata nisa>’ (‫ ) ِ َ ء‬pada dasarnya berasal dari kata kerja ( ُ‫ ) َ – َ ْ س‬nasa>-

yansu> yang berarti ‘meninggalkan’. Di samping kata, al-Qur’an juga menggunakan

kata niswah (‫ ) ِ ْ َوة‬yang juga berarti ‘perempuan’. Keduanya menunjukkan jamak.

Di dalam al-Qur’an kata nisa>’ disebut 57 kali, tersebar di dalam beberapa

ayat dan surah, sedangkan kata niswah disebut 2 kali pada QS. Yu>suf [12]:30 dan

ayat 50. Perbedaan kata nisa>’ dan niswah adalah, kata nisa>’ digunakan di dalam

konteks pembicaraan perempuan secara umum, sedangkan kata niswah digunakan

al-Qur’an di dalam konteks pembicaraan tentang perempuan-perempuan pada

masa nabi Yusuf. Kata nisa>’ di dalam al-Qur’an pada umumnya diungkap dalam

konteks pembicaraan tentang: (1) perkawinan, (2) hubungan suami istri, (3)

perceraian/talak, (4) pewarisan, dan (5) soal aurat/kesopanan.25

b. Shaduqa>t (‫) َ ُد َ ت‬

Menurut Qurais Syihab di dalam tafsirnya bahwa maskawin dinamai oleh

ayat ‫َ ُد َ ت‬ shaduqa>t bentuk jamak dari َ َ‫ َ د‬shadaqat, yang diambil dari akar yang

berarti “kebenaran”. Ini karena maskawin itu didahui oleh janji, maka pemberian

itu merupakan bukti kebenaran janji. Demikian menurut Muhammad Thahir Ibn

M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa-kata, (Cet. I; Jakarta: Lentera


25.

Hati, 2007), h. 728-729.


17

Asyur.26 Kata ّ‫َ دَ ِ ِ ن‬ shaduqa>tihin disebut satu kali dalam al-Qur’an yakni QS. an-

Nisa>: 4.27

c. Nihlah ( َ ْ ِ )

Kata nihlah ( َ ْ ِ ) yang seasal dengan nahl (‫ ) َ ْ ل‬oleh Al-Ashfahani diberi

penjelasan mengenai perbedaan maknanya dengan kata hibah ( َ ‫) ِھ‬. Kata nihlah

menurut Al-Ashfahani adalah suatu pemberian yang berlatar belakang kebaikan

dan penuh kesucian jiwa dan keikhlasan hati serta tanpa mengharapkan imbalan

materi. Oleh karena itu, lanjut Al-Ashfahani nihlah lebih khusus dari pada hibah,

sebab setiap nihlah pasti hibah, sedangkan hibah belum tentu nihlah. Sementara

itu beberapa ahli tafsir, di antaranya Ibnu Juraiz, Ibnu Zaid dan Al-Khazin

memberikan makna pada nihlah yang terdapat pada QS. Al-Nisa>/4:4 sebagai suatu

kewajiban yang diberi nama khusus fari>dhatun musamma>h (‫ ة‬# َ ُ ٌ !


َ ‫) َ ِر‬. Sedangkan

َ ‫= َ ٍر‬yang wajib). Di
Qatadah mengartikannya sebagai fari>dhatun wa>jibah ( َ %ِ ‫! َوا‬

dalam al-Qur’an kata nahl dan kata lain yang seakar dengan itu disebut dua kali.

Yang pertama di dalam bentuk ism al-ma’rifah ( َ ‫= ِا ْ م ا& َ (ْ ِر‬kata benda deduktif)

dengan bentuk an-nahl (‫ ْ ل‬# &َ‫)ا‬, di dalam QS. an-Nahl/16:68 dengan makna “lebah”,

sedangkan yang kedua dalam bentuk lain, yaitu nihlah ( َ ْ ِ ) disebut satu kali yaitu

di dalam QS. an-Nisa>/4:4 yang berarti “pemberian”. Al-Qur’an menggunakan

istilah nihlah ( َ ْ ِ ) di dalam kaitannya dengan maskawin shadda>q (‫ ) َ دَ اق‬karena

pemberian maskawin oleh suami kepada istrinya tidak bermaksud untuk

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, (Cet, IV:
26.

Lentera Hati, 2015), h. 346


Muh}ammad Fu>ad ‘Abd al-Ba>qi@, Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-Qur’a>n, (Cet. I;
27.

Dimasyq: Da>r al-Basya>ir, 2012), h. 406


18

mendapatkan imbalan materi berupa harta benda. Demikian pula pemberian

seorang ayah kepada anaknya dapat dikatakan nihlah karena seorang ayah dalam

pemberian nafkah kepada anak-anaknya tidak berharap dikembalikan atau dibalas

dengan pemberian atau balasan yang berupa harta beda pula.28 Kata nihlah ( َ ْ ِ )

disebutkan satu kali di dalam al-Qur’an yakni QS. an-Nisa>: 4.29

d. Nafsan ( ً ْ َ )

Secara bahasa, kata nafs (‫ ) َ ْ*س‬berasal dari kata nafasa (‫س‬


َ *َ َ ) yang berarti

bernafas, artinya nafas yang keluar dari rongga. Belakangan, arti kata tersebut

berkembang sehinga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam seperti

mengilangkan, melahirkan, bernafas, jiwa, ruh, darah, manusia, diri, dan hakikat.

Nanum keanekaragaman arti itu tidak menghilangkan arti asalnya, misalkan

ungkapan bahwa Allah menghilangkan kesulitan dari seseorang digambarkan

ّ ‫س‬
dengan ungkapan nafasa Alla>h kurbatahu (+ُ َ َ ْ‫ر‬,ُ - َ *َ َ ) karena kesulitan seseorang

itu hilang bagaikan hembusan nafasnya. An-nafs juga diartikan sebagai darah

karena apabila darah sudah tidak beredar lagi di badan, dengan sendirinya nafasnya

hilang. Demikian juga jiwa atau ruh disebut nafs (‫ ) َ ْ*س‬karena apabila jiwa sebagai

daya penggerak hilang, dengan sednirinya nafas juga hilang. Semua yang

dijelaskan di atas merupakan arti dari segi kebahasaannya. Kata nafs (‫ ) َ ْ*س‬dengan

28.
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa-kata, h. 698.
29.
Muh}ammad Fu>ad ‘Abd al-Ba>qi@, Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-Qur’a>n, h. 690
19

segala bentuknya terulang 313 kali di dalam al-Qur’an. Sebanyak 72 kali di

antaranya disebut di dalam bentuk nafs yang berdiri sendiri.30

3. Muna>sabah Ayat

Mempelajari ilmu al-Qur’an, akan ada banyak melahirkan berbagai macam

ilmu-ilmu pengetahuan lainnya termasuk ilmu yang berkaitan dalam tahap

penafsiran. Seperti menghubungkan antara ayat sebelumnya dengan ayat

sesudahnya (sebaliknya), antara surat dengan surat. Ini disebut dengan ilmu

muna>sabah ayat.31 Muna>sabah dinamai rabitu>n karena dapat menghubungkan

antara dua hal, misalnya hubungan lafadz ‘am dan has, sebab dan akibat maupun

hubungan lainnya. Muna>sabah dapat terjadi karena hubungan yang diikat oleh

kedua orang tua atau salah satu dari keduannya. Itulah sebabnya keturunan disebut

nasab, karena terdapat keterkaitan berupa hubungan darah antara satu dengan

lainnya.32

Al-Qur’an Surah an-Nisa>, menjelaskan banyak hukum dan masalah

keluarga. Satu persoalan yang dibahas terkait pembentukan sebuah keluarga

adalah mahar. Tapi yang terjadi di kalangan bangsa Arab di masa Rasulullah Saw.

pihak pria tidak bersedia membayar mahar atau bila mereka membayarnya, mahar

itu diambil kembali secara paksa. Ayat sebelumnya menceritakan tentang menikah

dengan perempuan lain, walau sampai empat asal jangan bersikap tidak jujur

30.
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa-kata, h. 691.
31.
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 236.
32.
Muhammad Daming, KEAGUNGAN AL-QUR’AN: Analisis Muna>sabah, (Cet. I;
Makassar: Pustaka Al-Zikra, 2012), h. 19.
20

kepada anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan dan penjaan seorang

Muslim, datanglah ayat yang menerangkan hal mahar atau mas kawin.33

Setelah memberi tuntunan menyangkut hak-hak anak yang akan dinikahi,

kini tuntunan beralih kepada wanita-wanita yang akan dinikahi. Memang ketika

itu, hak-hak wanita baik yatim atau tidak sering kali diabaikan. Karena ayat ini

berpesan kepada semua orang khususnya para suami dan wali yang sering

mengambil mas kawin perempuan yang berada dalam perwaliannya. Berikanlah

maskawin-maskawin, yakni mahar kepada wanita-wanita yang kamu nikahi baik

meraka yatim maupun bukan, sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Lalu jika

mereka, yakni wanita-wanita yang kamu nikahi itu dengan senang hati, tanpa

paksaan atau penipuan, menyerahkan untuk kamu dari sebagian darinya atau

seluruh maskawin itu, maka makanlah, yakni ambil dan gunakanlah pemberian itu

sebagai pemberian yang sedap, lezat tanpa mudharat lagi baik akibatnya.34

4. Penafsiran Ayat

Menrut Rasyid Ridha>, kata syaduqa>t digunakan untuk istilah pemberian

kepada perempuan sebelum dukhul (hubungan seksual) atas dasar kesadaran diri.
Pemahaman Rasyid Ridha> terhadap penafsiran kata syaduqa>t menunjuka bahwa

kedudukan mahar lebih tinggi dan mulia dari sekedar alat tukar seperti yang

dipahami oleh sebagian fuqaha>. Apabila ditinjau dari aspek hubungan suami-istri,

mahar dalam kacamata murid Muhammad Abduh ini merupakan simbol kasih

sayang yang berfungsi untuk merekat tali kekerabatan dan membangun kehidupan

33.
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Cet, II; Jakarta: Gema Insani Press, 2017), h. 200.
34.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’a>n, h. 345-346.
21

keluarga yang harmonis. Oleh karena itu, kewajiban dalam memberikan mahar

tidak dapat dinegosiasi (tawar-menawar) layaknya dalam jual beli.35

Kata ‫ َوآ ُو ْا‬yang menunjukkan makna perintah memberikan mahar pada ayat

tersebut َ ْ ِ #‫ء َ ُد َ ِ ِ ن‬0 َ / &‫ َوآ ُو ْاا‬menurut Rasyid Ridha> mengandung dua penertian.

Pertama, ‫ ْا& ُ َ َو َ& َ ِ ْ& ِ*(ْ ِل‬artinya pemberian yang dilakukan secara kontan, tidak
tertunda pada tempo tertentu. Konsekuensi dari pengertian ini adalah munculnya

silang pendapat sebagian ulama fiqih yang mengatakan bahwa mahar termasuk

َ ْ ِ 2ْ # &‫ِ ْ& ِ َزا َم َوا‬1‫ ا‬yaitu pemberian yang harus dilaksanakan


rukun nikah. Kedua, ‫ص‬

dengan bentuk dan kadar yang diketahui. Pengertian kedua yang disampaikan oleh

murid tokoh modernisme Muhammad Abduh ini mengindikasikan bahwa mahar

harus disebutkan dalam akad sekalipun tidak diberikan saat akad berlangsung.36

Terkait dengan makna kata َ ْ ِ Rasyid Ridha> mengutip beberapa riwayat

dari para ahli tafsir, di antaranya:

1. Qata>dah, mengatakan bahwa kata َ ْ ِ berarti ‫ ْم‬,ُ ْ َ 5َ ً َ ‫ ِز‬1َ ً !


َ ‫ َ ِر‬yaitu suatu
kewajiban yang dibebankan kepada suami.

2. Ibn Juraih, menafsirkan kata َ ْ ِ sebagai pemberian wajib yang ditentukan


jenis dan kadarnya ‫ ة‬# َ ُ ً !
َ ‫ َ ِر‬.
3. Ibn Jari>r, mengutip pendapat ibn Abbas bahwa kata َ ْ ِ ditafsirkan sebagai
‫ ْا& َ ْ ُر‬mahar.37

Berbeda halnya dengan Rasyid Ridha> dalam menafsirkan kata shada>q dan
nihlah. Muhammad Tha>hir ibn ‘Asyu>r memberikan pemahaman penafsiran yang
berbeda terkait makna dua istilah mahar tersebut. Menurut Muhammad Tha>hir ibn

‘Asyu>r kata tersebut dibentuk dari akar kata al-shidqu (kejujuran). Penafsiran kata

Muhammad Rasyid Ridha>, Tafsir al-Qur’a>n al-Qari>m (Tafsir al-Mana>r), (Mesir, al-
35.

Hairah al-Mishiriyyah al’amah, 1990), h. 308


Abdul Azi>z bin Bazi>zah, Raudhah al-Mustabin fi Syafrh Kitab al-Taqli>n, (Saudi, Dar Ibn
36.

Hazm, 2010), h.744


37.
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Qarim (Tafsir al-Manar), h. 308
22

shada>q dengan kata al-shidqu dikarenakan mahar merupakan suatu pemberian


yang diawali suatu perjanjian oleh seorang suami dalam akad pernikahan untuk

memberikannya kepada calon istri.

Terkait penafsiran kata shadu>q, ibn ‘Asyu>r memberikan penafsiran dengan

mempertimbangkan posisi kata nihlah dalam struktur kalimat. “Kata nihlah

dengan dibaca fathah menjadi ha>l dari kata shaduqa>tihin. Hal boleh berdiri dari

kata tunggal sekalipun sha>hibulha>l kata jamak, sebab kata nihlah merupakan jenis

kata yang maknanya mencakup semua kata tunggal. Selain menjadi ha>l, nihlah

dapat dibaca fathah sebagai mashdar yang menjelaskan kata a>tu> yang berarti suatu

jenis pemberian untuk memuliakan”.

Dengan metode penafsiran yang mempertimbangkan pemahaman terhadap

tata bahasa Arab, ibn ‘Asyu>r memberikan kesimpulan dengan mengatakan

“Shaduqa>t dikatakan nihlah untuk membedakan dari pemberian-pemberian lainnya

yang bersifat transaksional, sehingga dapat melahirkan suatu angapan bahwa

mahar merukan hadiah. Mahar bukan alat tukar yang mengharuskan adanya timbal

balik jasa ketika diserah-terimakan. Sedangkan pernikahan merupakan suatu akad


untuk menjalin hubngan baik, keharmonisan dan saling memenuhi hak dan

kewajiban. Tujuan pernikhan tersebut lebih agung dan mulia dibandingkan dengan
suatu akad transaksional. Dan andaikan mahar dijadikan alat transaksional maka

tentu nilainya akan melambung tinggi sesuai dengan manfaat yang diberikan
seorang perempuan. Allah menjadikan mahar sebagai sesuatu pemberian wajib

oleh suami yang bertujuan untuk memuliakan istrinya.38

Di dalam kitab tafsir al-Misbah yang ditulis oleh Quraish Shihab, bahwa

maskawin bukan saja lambang yang membuktikan kebenaran dan ketulusan hati

38.
Akhmad Maimun, “Makna Kesederhanaan Mahar Dalam QS. Al-Nisa> ayat 4 da 20”,
Sripsi, (Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2019) h. 72-74
23

suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup istrinya, tetapi lebih dari

itu. Ia adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah

tangga khususnya rahasia terdalam yang tidak dibuka oleh seorang wanita kecuali

kepada suaminya. Dari segi kehidupan, maskawin sebagai lambing kesedian suami

menanggung kebutuhan hidup istrinya, maka maskawin hendaknya sesuatu yang

dinilai materi, walau hanya cincin dari besisebagaimana sabda Nabi Saw. dan dari

segi kedudukannya sebagai lambing kesetiaan suami istri, maka maskawin boleh

merupakan pengajaran ayat-ayat al-Qur’a>n. Menamai maskawin dengan nama

tersebut di atas, diperkuat lagi oleh lanjutan ayat, yakni ( ) nihlah. Kata ini

berarti pemberian yang tulus tanpa mengaharapkan sedikitpun imbalan. Ia juga

dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu

merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami yang diberikannya

tanpa mengaharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh

tuntutan agama atau pandanan hidupnya.

Kerelaan istri menyerahkan kembali maskawin itu harus benar-benar

mencul darilubuk hatinya. Karena itu, ayat di atas setelah menyatakan thibna (‫)طِ ْن‬

yang maknanya mereka senang hati, ditambah lagi dengan kata nafsan/jiwa ( ً *ْ َ )

untuk menunjukkan betapa kerelaan itu muncul dari lubuk jiwanya yang dalam

tanpa adanya tekanan, penipuan dan paksaan dari siapapun.39

Menurut Hamka, kata shadaq atau shaduqa>t yang dari rumpun kata shidi>q,

shadaq bercabang juga dengan shadaqah yang terkenal. Di dalam maknanya ialah

harta yang diberikan dengan perasaan jujur, putih hati, hati suci, muka jernih

39.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, h. 316.
24

kepada calon istri yang akan dinikahi. Kemudian di dalam ayat ini disebut nihlah,

yang kita artikan kewajiban supaya cepat saja dipahami karena memang mahar

wajib dibayar. Ada pula yang berpendapat bahwa kata nihlah dari rumpun kata an-

Nahl bermakna lebah. Laki-laki mencari harta yang halal laksana lebah mencari

kembang yang kelak menjadi madu yang hasil usaha jerih payah sucinya itulah

yang diserahkan kepada calon istrinya. Setelah maskawin diberikan yang timbul

dari hati yang suci bersih, maskawin itu telah menjadi hak perempuan. Laki-laki

yang beriman dan berbudi tidak akan mengganggu hak itu. Akan tetapi kalau istri

tersebut memberikan sebagian maskawinnya karena kasih sayang yang telah

terjalin, tidaklah mengapa.40

Kata syadu>q berarti mahar, sedangkan nihlah berarti pemberian. Menurut

al-Sya’rawi mahar tidak hanya sebatas pemberian. Mahar adalah persoalan hak dan

imbalan atas manfaat yang diperoleh suami dalam pernikahan. Adapun alasan al-

Sya’rawi mengatakan mahar sebagai imbalan atas suatu manfaat, sebab dalam

pernikahan laki-laki mendapatkan kesenangan dari perempuan yang tidak terbatas

pada kesenangan biologis diwajibkan memberikan separuh mahar musamma

(mahar yang disebut saat akad nikah).41

Berdasarkan penjelasan ulama tafsir tentang makna kata Shadu>q dan nihlah

yang terdapat dalam QS al-Nisa> ayat 4, maka maksa kesederhanaan mahar tidak

hanya berkaitan dengan kuantitas/ukuran besar kecilnya mahar. Kesederhanaan

mahar juga mencangkup proses yang dilakukan suami untuk mempersiapkan

40.
Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 200-201
41.
Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi al-Khawatir , (Akhbar al-Youm
1997), h. 2009
25

mahar. Seperti yang dikatakan Sayyid Quthub, bahwa kesederhanaan mahar

mencakup tiga aspek; yaitu kerelaan, kesadaran, kemurahan hati kedua pihak

keluarga. Mahar dikatakan sederhana bilamana proses memenuhi mahar tidak

memberatkan dan menyulitkan pihak laki-laki. Mahar juga hars diberikan atas

dasar kemurahan seorang laki-laki dan adanya kerelaan dari pihak istri. Jika roses

pemberian mahar di luar kemampuan dan memberatkan suami, maka mahar tidak

dikatakan sederhana, karena dapat menghilangkan makna nihlah sebagai

pemberian suka-rela.42

42.
Akhmad Maimun, “Makna Kesederhanaan Mahar Dalam QS. Al-Nisa> ayat 4 da 20”.
Sripsi, h. 79
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut

terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu: cara ilmiah, data, tujuan

dan kegunaan.43

A. Jenis dan Lokasi penelitian

Penelitian ini termaksud penelitian kualitatif dalam bentuk lapangan atau

frield research. Metode penelitian kualatatif adalah metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat postpotivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi

objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana penelitian ini

adalah sebagai intrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

triangulasi (gabungan), analisi data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.44 Penelitia dalam

mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan bersumber dari hasil

wawancara pihak-pihak yang terkait dalam prosesi upacara Wa’a Co’i pada

pernikahan masyarakat di Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.

Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti memilih lokasi penelitian di Desa

Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,


43.

2017), h. 2.
44.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 9.

26
27

B. Pendekatan Penelitian

Adapun jenis-jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Pendekatan Tafsir

Para pakar tafsir mendefinisikan tafsir sebagai cara kerja atau suatu alat

pengetahuan yang bertujuan untuk memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an

secara ilmiah.45 Jadi, pendekata tafsir dapat dipahami sebagai cara mendekatan

suatu objek dengan menggunakan sudut pandang tafsir sebagai acuannya.

Pendekatan yang dimaksud oleh peneliti yaitu untuk melihat bagaimana bentuk

tinjauan serta melihat bagaimana bentuk penjelasan QS. Al-Nisa/4:4 terhadap

tradisi Wa’a Coi’i ini.

2. Pendekatan sosiologis

Pendekatan sosiologi adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat

fakta-fakta yang terjadi dan berkembang pada kehidupan masyarakat. Masyarakat

yang dimaksud yaitu masyarakat yang ada di Desa Bolo Kecamatan Madapangga

Kabupaten Bima.

Metode pendekatan itu berupaya memahami tradisi Wa’a Coi’i dengan

melihat bentuk interaksi keakraban antar sesama manusia, memperkuat tali

silaturahmi, gotong royong, tolong-menolong dan lain sebagainya.

Sosiologi adalah ilmu yang mengkaji hal-hal yang ada dalam kehidupan

manusia, baik mengenai unsur-unsur manusia yang pokok yaitu kaidah-kaidah

45.
Mardan, Wawasan al-Qur’a>n tentang Keadilan: Suatu Analisis al-Tafsīr al-Maudhū’i,
(Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2013), h. 26.
28

sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan sosial maupun

pengaruh timbal balik antara segi kehidupan bersama, (hubungan timbal balik

yang dilihat dari segi kehidupan ekonomi dan politik), segi kehidupan hukum dan

agama, segi kehidupan agama dan budaya.46

3. Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologi adalah pendekatan yang digunakan untuk

memahami dan mempelajari manusia. Dalam hal ini antropologi berupaya

mencapai pengertian tentang manusia pada umumnya dengan mempelajari

keragaman bentuk fisik, masyarakat, dan kebudayaan.47 Dengan pendekatan ini,

tradisi Wa’a Coi’i dapat diketahui lebih dalam, dengan usaha menelusuri nilai-

nilai al-Qur’an dan syari’at Islam dalam tradisi tersebut.

C. Sumber Data

Sumber data adalah sumber yang diperoleh dari hasil penelitian. Dalam

penelitian kualitatif, sumber data terbagi dua, yaitu sumber data primer dan

sumber data sekunder.

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara yang

dikumpulkan, diolah, dan disajikan dari sumber pertama. Penelitian secara

langsung mengajukan pertanyaan pada responden terkait dengan data yang

Abdul Rahim Mallawaeng, Pengantar Sosiologi Sebuah Studi Awal tentang Dasar-
46.

Dasar Sosiologi Pada Umumnya, (Cet. I; Makassar: Guna Darma Ilmu, 2013), h. 1.
47.
Kondjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Cet. IX; Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2009), h. 5.
29

dinginkan. Dan respondepun menjawab pertanyaan tersebut, baik secara singkat

maupun panjang lebar.48

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah orang-orang yang pernah

terlibat langsung dalam prosesi pelaksanaan tradisi Wa’a Co’i, yaitu tokoh

masyarakat, tokoh agama dan petua adat yang memahami dengan jelas tentang

tradisi Wa’a Co’i.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung (bukan
sumber utama). Teknik pengambilan informasi melalui data sekunder ini bisa

berupa buku-buku, dokumen/arsip dan media yang relevan yang berkaitan dengan

penelitian.

a. Data tertulis

Data tertulis adalah sumber data memberi informasi melalui buku, skripsi,

jurnal dan lain-lain. Selain itu bisa dokumen atau arsip untuk memberikan

informasi dan keterangan yang jelas mengenai kondisi lokasi penelitian baik
keadaan secara social, geografis, keagamaan, maupun dunia pendidikan yang ada

di Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah bagian yang sangat penting dalam penelitian.

Dokumentasi menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan

untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif. Ada dua

kategori dokumentasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu

48.
Zainal Asikin, Pengantar Metodologi Hukum (Cet II; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 30.
30

dokumentasi yang dihasilkan dari orang lain dan dokumentasi yang dihasilkan oleh

peneliti sendiri.49

D. Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data merupakan langkah paling strategis dalam

penelitina, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa

mengetahui teknik pegumpulan data, maka penelitian tidak akan mendpatkan data

yang memenuhi standar data yang ditetapkan.50

Untuk memperoleh data yang menunjang penelitian ini, maka peneliti

menggunakan metode pengumpulan data yaitu:

1. Observasi

Observasi yaitu proses di mana peneliti atau pengamat melihat langsung

objek penelitian.51 Di dalam bukunya Amiruddin bahwa pengamat dalam

penelitian harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu

(validitas dan reabilitas) sehingga hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang

menjadi sasaran pengamatan. Metode observasi ini bertujuan untuk menjawab

masalah penelitian yang dapat dilakukan dengan pengamatan secara sistematis

terhadap objek yang diteliti.52

2. Wawancara

49.
Robert Bogdan dan Sari Knoop Biklen, Qualitative Research for Education: An
Introduction to Theory and Methods (Boston: t.p, 1982), h. 102.
50.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 224.
51.
Consuelo G Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: UI Perss, 1993), h 198.
52.
Rianto Adi Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta; Granit, 2004), h 70.
31

Wawancara (interview) adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan

yang dilaksanakan dengan tanya jawab baik secara lisan, sepihak, berhadapan

muka, maupun dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan.53 Sutrisno Hadi

(1986) mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam

menggunakan metode interview (wawancara) dan juga kuesioner (angket) adalah

sebagai berikut : 1.) Bahwa subjek (responden) adalah orang yang paling tahu

tentang dirinya sendiri. 2.) Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti

adalah benar dan dapat dipercaya. 3.) Bahwa interprestasi subjek tentang

pertanyaan-pertanyaan yang diajukkan peneliti kepadanya adalah sama dengan

yang dimaksudkan oleh peneliti.54

Metode wawancara dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh

informasi yang berkaitan dengan tradisi Wa’a Co’i pada pernikahan masyarakat di

Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data agar penelitian tersebut menjadi sistematis dan

lebih mudah.55 Dalam penelitian ini, alat yang digunakan oleh peneliti adalah alat

tulis menulis sebagai alat untuk mencatat informasi yang ditemukan saat

Muhammad Yaumi, Action Research, : Teori, Model, dan Aplikasi, (Cet. I; Makassar:
53.

Alauddin University Press, 2013), h. 101.


54.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 138.
55.
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Cet. III; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995),
h. 134
32

observasi, kamera handpone sebagai alat untuk mendapatkan data digital, serta

berbagai pertanyaan yang disiapkan untuk narasumber ketika wawancara.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah salah satu tahap dalam proses penelitian.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki

lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini,

Nasution (1988) menyatakan bahwa analisis telah mulai sejak merumuskan dan

menjelaskan masalah sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai

penulisan hasil penelitian.56


Analisi data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan

data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.

Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang

sudah diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa

belum memuaskan, maka peneliti akan mengajukan pertanyaan lagi sampai tahap

tertentu diperoleh data yang dianggap kredibel.57

Cara kerja menggunakan analisis data ini adalah dengan cara

mengumpulkan data-data informasi dilapangan. Adapun tahap-tahap proses


pengumpulan data, yaitu dengan memakai:

1. Reduksi data

Secara etimologi, kata reduksi atau reduction berarti pengurangan, susutan,

penurunan, atau potongan. Dalam teknik ini dimaksud dengan reduksi adalah

pengurangan, susutan, penurunan, atau potongan data tanpa mengurangi esensi

makna yang terkandung di dalamnya. Reduksi data merupakan bentuk analisis

56.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 245.
57.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 246.
33

yang memperdalam atau mempertajam, menyortir, memusatkan, menyingkirkan,

dan mengorganisasi data untuk disimpulkan dan diverifikasi.58

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang

telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah

peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya

biladiperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti

computer mini dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu.59

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan

data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori, flowchart dan sejenisnya. Miles

dan Huberman mengatakan bahwa, yang paling sering digunakan untuk

menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat

naratif.60

3. Penarikan/ Verifikasi Kesimpulan

Penarikan kesimpulan berarti proses penggabungan beberapa penggalan

informasi untuk mengambil keputusan. Sedangkan verifikasi dalam penelitian

adalah penggunaan data observasi, empiris, tes, atau eksperimen untuk

menentukan kebenaran atau pembenaran rasional terhadap hipotesis.61 Penarikan

58.
Muhammad Yaumi, Action Research: Teori, Model, dan Aplikasi, h. 152.
59.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 247.
60.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 249.
61.
Muhammad Yaumi, Action Research: Teori, Model, dan Aplikasi, h. 161.
34

kesimpulan harus disertai verifikasi untuk membuktikan validitas kesimpulan yang

ditarik sesuai dengan subjek dan objek penelitian.


Daftar pustaka

Al-Qur’an al-Kari>m
Abdul Azi>z bin Bazi>zah. 2010. Raudhah al-Mustabin fi Syafrh Kitab al-Taqli>n. Saudi: Dar Ibn
Hazm.
Abdul Rahim Mallawaeng. 2013. Pengantar Sosiologi Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Sosiologi Pada Umumnya. Cet. I; Makassar: Guna Darma Ilmu.
Abdul Rahman Ghozali. 2003. Fiqh Muna>kahat. Jakarta: Kencana
Abdul Rauf Dkk. 2013. Kamus: Bima Indonesia Inggris. Cet. I: Kota Bima; Tambora Printing.
Abdul Wahhab Khallaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Dari Kitab Ilmu Ushul Fiqh. Cet. I;
Semarang: Toha Putra Grup.
Akhmad Maimun. 2019. “Makna Kesederhanaan Mahar Dalam QS. Al-Nisa> ayat 4 da 20”. Sripsi.
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,.
Alo Liliweri. 2014. Sosiologi dan Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT. Bumi Askara.
Consuelo G Sevilla, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Perss.
Darsono Prawironegoro. 2010. Kajian Tentang Organisasi Budaya, Ekonomi, Sosial, dan Politik:
Budaya Organisasi. Cet. I; Jakarta: Nusantara Consulting.
Geonawan Monoharto dkk. 2005. Seni Tradisional Sulawesi Selatan. Cet. III; Makassar: Lamacca
press
H.R. Warsito. 2012Antropologi Budaya. Yogyakarta: Ombak.
Hamka. 2017. Tafsir al-Azhar. Cet, II; Jakarta: Gema Insani Press

http://ibtimes.id/data-populasi-penduduk-muslim-2020-indonesia-terbesar-di-dunia/
http://ntb.bps.go.id/statictable/2017/11/15/189/persentase-penduduk-menurut-kabupaten-kota-dan-
agama-yang-dianut-di-provinsi-nusa-tenggara-barat-2016.html.
http://www.indikatorbima.com/2017/09/tradisi-antar-mahar-waa-coi. (diakses melalui jaringan
internet pada tanggal 20 oktober 2020 pukul 12:40).
Id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi. (diakses melalui jaringan internet pada tanggal 21 september 2020
pukul 13:41).
Kementerian Agama RI. 2015Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: al-Hadi.
Kondjaraningrat. 2009Pengantar Ilmu Antropologi. Cet. IX; Jakarta: PT. Rineka Cipta.
M. Nur Kholis Setiawan. 2012. Pribumisasi Al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan. Cet. I;
Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
M. Quraish Shihab. 2007. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa-kata. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati.
Mardan. 2013.Wawasan al-Qur’a>n tentang Keadilan: Suatu Analisis al-Tafsīr al-Maudhū’i. Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press.
Muh}ammad Fu>ad ‘Abd al-Ba>qi@. 2012. Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>z} al-Qur’a>n. Cet. I; Dimasyq:
Da>r al-Basya>ir.
Muhammad Ali. 2013. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.

35
36

Muhammad Amin Suma. 2014. Ulumul Qur’an. Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad Daming. 2012. KEAGUNGAN AL-QUR’AN: Analisis Muna>sabah. Cet. I; Makassar:
Pustaka Al-Zikra.
Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi. 1997Tafsir al-Sya’rawi al-Khawatir. Akhbar al-Youm.
Muhammad Rasyid Ridha>. 1990. Tafsir al-Qur’a>n al-Qari>m (Tafsir al-Mana>r). Mesir, al-Hairah al-
Mishiriyyah al’amah.
Muhammad Yaumi. 2013. Action Research, : Teori, Model, dan Aplikasi,. Cet. I; Makassar:
Alauddin University Press.
Quraish Shihab. 2015. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an. Cet, IV: Lentera
Hati.
Rianto Adi. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta; Granit.

Ririn Anggreany. 2016. “Perspektif Masyarakat Islam Terhadap Pernikahan Dini di kecamatan
Pattalassang Kabupaten Gowa”. Sripsi (Makassar: Fak Syariah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar.
Robert Bogdan dan Sari Knoop Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction
to Theory and Methods. Boston: t.p.

Soemiyati. 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No,1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Cet. I; Yogyakarta: Liberti Yogyakarta.
Sugiono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suharsimi Arikunto. 1995. Manajemen Penelitian. Cet. III; Jakarta: PT Rineka Cipta.

Syeikh Abu Bakar Jabi>r Al-Jazairi, Aisar At-Tafa>sir li Al-Kala>mi Al-Aliyyi Al-Kabi>r, Terj. M.
Ashari Hatim dan Abdurrahman Mukti. 2007. Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar. Cet. I; Jakarta:
Darus Sunnah.

Yusuf al-Qaradhawi. 2016. Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an, Terj. Kathur Suhardi, Bagaimana
Berinteraksi Dengan al-Qur’an. Cet. V; Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar.
Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metodologi Hukum. Cet II; Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai