LANDASAN TEORITIS
2.1. Iman Kepada Takdir (al-Qodar)
Al-Qodar secara bahasa memiliki beberapa arti, diantaranya: qaddara alamra, yang bermakna dabbarahu (mengaturnya). Juga bermakna qaddara alsyaia bi asy-syaiy, yang berarti qasahu (menganalogkannya). Arti lainnya adalah
qaddara rizqahu yang berarti jaalahu qalilan (menjadikan sedikit).
Secara istilah al-Qodar (Takdir) adalah ketetapan Allah atas segala sesuatu
pada zaman azali. Yakni, bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu yang akan
terjadi, baik perbuatan maupun benda, Sebelum Allah menciptakan semuanya.
Allah SWT berfirman:
Maka kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. kami Telah
mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (QS.
An-Naml [27]: 57).
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah
ditetapkan Allah untuk kami. dialah pelindung kami, dan Hanya kepada Allah
orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah [9]: 51).
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(QS. Al-Hadid [57]: 22).
Maksudnya, tiada suatu bencana yang menimpa bumi dan diri manusia,
kecuali telah tertulis dalam kitab al-Lauh al-Mahfuzh, yang juga berarti bahwa
sesungguhnya Allah mengetahuinya sebelum menciptakannya.
Ini adalah al-qadar (takdir) yang wajib kita imani, baik atau buruknya
berasal dari Allah; sebagaimana yang disebut dalam hadis yang mulia, yakni:
...dan engkau beriman kepada al-qadar (takdir), baik dan buruknya berasal dari
Allah SWT. Jibril berkata, kamu benar. (HR. Muslim no. 9; Abu Dawud, no.
4075; Ibnu Hibban, no. 173; dan Al-Baihaqi, no. 253).
Inilah pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Quran
dan hadis Rasulullah saw. Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu) Allah
Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (QS. Al
Qomar [54]: 49).
Saat menafsirkan ayat ini Imam As-Suyuti menyatakan, kepercayaan yang
dipegang oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah bahwa Allah SWT. Telah
mentakdirkan segala sesuatu. Artinya, Dia telah mengetahui ukuran, kondisi,
peraturan, dan waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu, tidak
ada sesuatu kejadian di langit dan bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu,
qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah SWT (Lihat: Tafsir Imam
Qurthubi, XVII/148).
Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui segala sesuatu
tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia juga mengetahui ketetapan nasib
seseorang di dunia ini maupun di akhirat kelak (bahagia atau celaka, sukses atau
gagal, kaya atau miskin, umurnya, dsb).
Pembahasan masalah takdir sebenarnya hanyalah pembahasan tentang
kekuasaan Allah SWT. Takdir merupakan Ilmu Allah dan kekhususan bagi-Nya
(ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena Allah memang bersifat Al-Alim) dan
mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.
Meskipun kita mengimani takdir (ilmu) Allah SWT, janganlah kita
mencampuradukkan iman pada takdir dengan amal perbuatan manusia, karena
keduanya memang tidak ada hubungan sama sekali. Artinya, ilmu (takdir) Allah
tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu, juga tidak pernah
memaksa seseorang untuk tidak berbuat sesuatu.
Rasulullah saw. Telah melarang para sahabatnya mencampuradukkan
pemahaman takdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkan
manusia tidak mau berusaha. Harus dipahami bahwa ada perbedaan antara apa
yang harus diyakini dan apa yang harus dikerjakan.
Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ali bin Abi Thalib ra.:
Rasulullah saw. Suatu hari pernah duduk-duduk (bersama para Sahabat). Di
tangan beliau ada sepotong kayu. Lalu dengan kayu itu beliau menggores-gores
(tanah). Kemudian beliau mengangkat kepala dan berkata, Setiap kalian yang
bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di surga atau di neraka. Para Sahabat
terkejut, lalu bertanya, Kalau demikian, ya Rasulullah, apa gunanya kita
beramal? Apakah tidak lebih baik kita pasrah saja (pada takdir)? Beliau
Menjawab, Jangan! Tetaplah beramal. Sebab, setiap orang akan dimudahkan
oleh Allah jalan yang sudah ditentukan baginya. Lalu Rasulullah membaca
surat al-Lail ayat 5-10. (Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, XVI/196197).
Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan
bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan
mana yang salah dan mana yang benar sebagai standar perbuatannya. Dengan
demikian, secara sukarela manusia akan memilih (tanpa adanya unsur paksaan)
kehendaknya sendiri. Sebab, sesungguhnya takdir hanyalah pemberitahuan
tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu. Allah tidaklah
pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
(Lihat: Imam al-Khattabi dalam Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, hlm. 151).
Tak ada seorang manusia pun yang tahu apa yang tertulis bagi dirinya di
Lawh al-Mahfuzh. Karenanya, tidak bisa dibenarkan jika ada seseorang yang
berkata. Saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah SWT di Lawh alMahfuzh harus berbuat begini. Sebab, darimana ia tahu bahwa Allah telah
menuliskan perbuatan tersebut baginya di Lawh al-Mahfuzh?
10
apakah semua itu (perbuatan dan khasiat) diciptakan dan diadakan oleh Allah ?
Ataukah diciptakan oleh manusia ?
Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah qodlo dan qodar, yaitu
perbuatan manusia. Karena perbuatan manusia merupakan hal yang dapat
diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnya pun bersifat aqli. Dengan
demikian, jelaslah permasalahan yang akan dibahas dalam tema qodlo dan
qodar ini. Hakikat perbuatan manusia dan kejadian-kejadian yang menimpa
manusia.
Sesungguhnya, jika kita meneliti suatu perbuatan/kejadian, yang dilakukan
atau yang menimpa manusia, akan kita jumpai bahwa manusia itu hidup dan
beraktivitas dalamn dua jenis perbuatan, yaitu:
a. Perbuatan yang berada di bawah kontrol manusia, yang timbul karena
semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri.
b. Perbuatan yang berada di luar kontrol manusia dan keinginan manusia.
Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada di
luar kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya.
Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama mudah diketahui. Misal: kita
mau duduk atau berjalan, makan-minum atau tidak, minum sirup atau khamir,
berbakti atau durhaka kepada orangtua, belajar atau tidak dan lain-lain; seluruh
perbuatan ini jelas dilakukan atas kesadaran dan kesukarelaan manusia, tanpa
paksaan dari pihak manapun. Semuanya bisa dilakukan orang tersebut tanpa
dipaksa oleh siapapun. Dalam melakukan perbutan tersebut, manusia kelak akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat. Perbuatan perbuatan ini
diluar Qodlo dan Qodar.
Pada jenis perbuatan yang kedua manusia tidak memiliki peran apapun
atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya, sukarela maupun
terpaksa, karena memang berada di luar kekuasaan manusia. Jenis perbuatan dan
kejadian-kejadian kedua ini terdiri dua bentuk.
11
Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal
(kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia
sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit
itu). (QS. Al Anam [6]: 2).
12
Oleh karena itu, seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya
kejadian-kejadian ini, meskipun kejadian tersebut mengandung manfaat atau
kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia tidak akan dihisap atas
kejadian ini karena manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian tersebut,
juga tidak tahu menahu mengenai kejadian tersebut, bagaimana hal tersebut bisa
terjadi. Ia pun tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk menolak atau
mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya
qodlo, dan bahwa qodlo itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain.
13
Semua potensi semacam itu dan yang semisal, disebut dengan Qodar.
Potensi potensi ini berasal dari Allah. Dialah yang menciptakan (potensi-potensi
itu) pada benda-benda. Allah Berfirman:
Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), Dan yang
menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (QS. Al-Ala: 2-3)
14
Jadi, Qodlo dan Qodar yang harus kita imani adalah perbuatanperbuatan yang terjadi, atau yang menimpa manusia tanpa ia bisa menolaknya,
dan segala potensi yang ada pada benda (dimana Allah yang menciptakannya).
15
Ia
tidak
melakukannya juga dengan sukarela. Karena itulah, manusia akan ditanya atas
perbuatan-perbuatannya di dalam bagian ini.
Jika terjadi suatu perbuatan atau kejadian, bukan khasiat-khasiat ini
yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukan perbuatan
dengan memanfaatkan khasiat-khasiat tersebut. Dorongan seksual yang terdapat
pada gharizah an-naw memang mempunyai kecenderungan untuk kebaikan atau
keburukan. Namun, manusialah yang menggunakan sesuai dengan pilihannya,
berdasarkan peraturan yang dipilihnya.
Hal ini karena Allah SWT telah menciptakan akal pada manusia. Pada
akal ini diciptakan kemampuan memahami serta membeda-bedakan; mana yang
baik (takwa), dan mana yang buruk, sebagaimana firman-Nya:
Maka
Allah
mengilhamkan
kepada
jiwa
itu
(jalan)
kefasikan
dan
16
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya.
(QS. Al Mudatstsir [74]: 38)