Iman kepada qada dan qadar Allah adalah salah satu sendi akidah
Islam. Dalam pembicaraan sehari-hari disingkat dengan sebutan takdir
(taqdir). Berbicara tentang takdir Tuhan memang bukan sesuatu yang
mudah. Sebab yang kita bicarakan langsung menyangkut kehendak Tuhan
terhadap makhluk-makhluk-Nya. Rahasia hakekat takdir tidak dapat
diketahui oleh manusia. Misalnya kita tak dapat diketahui oleh manusia.
Misalnya kita tak dapat mengetahui dengan benar mengapa si Fulan
meninggal dunia dalam perjalanan, bukan di tengah-tengah keluarganya.
Banyak kejadian-kejadian di sekeliling kita termasuk yang kita alami sendiri
ternyata di luar kehendak kita atau diluar keinginan kita, yang semua itu
kita tak dapat memperoleh jawaban yang memuaskan atas pertanyaan yang
kita ajukan, “mengapa hal itu terjadi” (Azhar Basyir, 1980).
Jadi, masalah hakekat takdir Tuhan adalah merupakan salah satu
masalah gaib yang hanya diketahui oleh Allah sendiri.
Seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 65 (27:65) yang
artinya “Katakanlah tak seorangpun di langit maupun di bumi yang
mengetahui perkara gaib kecuali Allah”.
A. Pengertian Qada dan Qadar
Menurut Bahasa (etimologi) qada dari kata qada (Arab) berarti :
- Perintah, sebagaimana tertera dalam ayat 23 surat al-Isra’
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia…”. (Q.S. 17:23).
- Menetapkan, seperti dalam ayat 4 surat al-Isra’
Artinya : “Dan telah kami tetapkan terhadap bani Israil dalam kitab
itu…”. (Q.S.17:4).
1
Artinya: “Dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,
maka (cukuplah) Dia mengatakan, jadilah maka jadilah ia…”.
(Q.S.2:117).
- Menjadikan, sebagaimana dijumpai dalam ayat 12 surat Fussilat.
Artinya : “Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa…”.
(Q.S.41:12).
2
- Qada keputusan Allah SWT, tentang segala sesuatu rencana yang
telah diputuskan (Umar Hasyim, 1985).
- Qada adalah hukum Allah yang telah Dia tentukan untuk alam
semesta ini, dan Dia jalankan alam ini sesuai dengan konsekuensi
hukum-Nya dari sunah-sunah yang Dia kaitkan antara akibat dengan
sebab-sebabnya, semenjak Dia menghendakinya sampai selama-
lamanya. Maka setiap apa yang terjadi di alam ini adalah berdasarkan
takdir yang mendahuluinya.
Qadar dalam pengertian istilah (terminologi) ialah perwujudan
dari ketentuan-ketentuan Allah SWT, yang telah ada sejak zaman azali.
Qadar dapat diartikan pula, suatu peraturan umum yang telah
ditetapkan Allah untuk menjadi dasar alam ini, dimana terdapat
hubungan sebab dan akibat.
Dalam Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum, mengutip pendapat Ar-Raghib bahwa “qadar ialah
menentukan batas (ukuran) sebuah rancangan; seperti besar dan umur
alam semesta, lamanya siang dan malam, anatomi dan fisiologis makhluk
nabati dan hewani, dan lain-lain, sedang qada ialah menetapkan
rancangan tersebut”. Atau secara sederhana dapat diartikan bahwa qada
adalah ketetapan Allah yang telah ditetapkan (tetapi tidak kita ketahui)
sedang qadar adalah ketetapan Allah yang telah terbukti (diketahui
sudah terjadi) (Dirjen Bimbagais Depag RI, 2000).
Firman Allah SWT :
3
“Allah telah menciptakan segala sesuatu, lalu Dia tentukan
takdirnya (ketentuannya)”.
Oleh karena itu iman kepada takdir memberikan arti dimana kita
wajib mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam
kehidupan dan diri manusia, adalah menurut hukum, berdasarkan suatu
undang-undang universal atau kepastian umum atau takdir.
Marilah kita perhatikan beberapa hal :
Pertama, bahwa jagat raya ini isinya antara lain bintang-bintang
dan planet-planet yang semuanya berjalan menurut “Hukum Universal”,
dalam rotasi, revolusi dan kesetimbangan benda-benda langit. Begitu
juga isinya yang terdiri dari berbagai jenis benda (padat, cair dan gas),
telah tersusun oleh suatu rumus-rumus tertentu. Dalam kimia ada aturan
valentie tertentu, ada dalil-dalil aksi dan reaksi. Dalam ilmu fisika kita
kenal hukum “kekekalan tenaga dan massa” ditemukan oleh Einstein
dengan dalil yang terkenal: E = mc 2 (E = tenaga, m = berat massa, c =
kecepatan cahaya; sedang kecepatan cahaya 300.000 km perdetik). Ada
pula hukum “gravitasi” (gaya berat) yang ditemukan oleh Newton.
Masih banyak lagi dalil-dalil fisika yang telah ditemukan, dan yang
belum ditemukan adalah jauh lebih banyak. Semua itu adalah hukum
universal (takdir) Allah terhadap makhluk-Nya.
Kedua, bahwa dalam diri kita ada roh, dengan roh itulah kita
hidup. Akan tetapi kita sama sekali tidak punya kekuasaan terhadap roh
itu. Manakala ia akan memisahkan diri dengan jasmani kita ia tidak akan
memandang usia dan kedudukan, kita tidak mampu menahannya dan
untuk itu tibalah akhir hayat kita. Begitulah takdir Allah. Manusia dalam
takdir Allah!.
Ketiga, bahwa setiap manusia lahir ke dunia, bukanlah atas
kehendaknya sendiri. Manusia lahir tidak memilih bangsa dan tanah air.
Semuanya terlepas dari kehendak dan kekuasaan manusia. Padahal
bentuk kehidupan seseorang ditentukan oleh derajat pendidikan, sosial
dan rumah tangganya dimana ia lahir. Masalah ini semuanya bergantung
kepada kehendak dan kekuasaan Allah semata-mata, berdasarkan atas
takdir Allah.
4
Keempat, bahwa tidak pernah terdapat seseorang yang ingin sakit
atau gagal. Sehat lahir batin dan sukses, itulah yang selalu menjadi doa
dan impian manusia. Karena itulah menusia belajar tentang kesehatan,
ilmu dan metode untuk sukses. Namun kita dihadapkan kepada
kenyataan, bahwa pada saat yang tak terduga bahkan pada waktu yang
begitu penting bagi kita, secara tiba-tiba jatuh sakit. Suatu urusan yang
telah diperhitungkan secara matang, telah pula ditinjau dari berbagai
segi, tapi kemudian hanya persoalan kecil saja urusan itu jadi berantakan,
gagal. Kita lihat pula dokter-dokter yang paling tenar keahliannya juga
jatuh sakit sebagaimana banyak ahli dalam bidangnya juga banyak
menemui kegagalan. Maka sakit dan gagal bukanlah kehendak manusia.
Semuanya adalah peranan takdir. Suka atau tidak, takdir Allah jua yang
berkuasa. (Nasarudin Roza K 1973)
5
dengan ilmuNya yang azali dan abadi (pengetahuan Allah tentang
segala sesuatu tidak baru dan tidak didahului oleh ketidaktahuan, Dia
tidak pula bersifat lupa karena keabadian ilmuNya yang tidak
berawal dan tidak berakhir).
b. Kitabah.
Kita mempercayai bahwa Allah Swt, telah menulis tentang segala
sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat di Lauh Mahfudz
sebagaimana firmanNya yang artinya “Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada dilangit dan di bumi, bahwasannya yang demikian itu terdapat
dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya demikian itu
amat mudah bagi Allah” (Q.Surat al-Hajj (22):70).
c. Masyi’ah.
Kita mempercayai bahwa Allah Swt, telah menentukan segala sesuatu
baik di langit maupun di bumi sesuai dengan masyi’ahNya
(kehendakNya). Segala sesuatu akan terjadi dan jika Allah tidak
menghendaki maka sesuatu itu pasti tidak akan terjadi.
d. Al-Khalq.
Kita mempercayai bahwa sesungguhnya Allah Swt. Pencipta segala
sesuatu, sebagaimana firmanNya dalam surat al-Zumar (39) ayat 62
yang artinya “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara
segala sesuatu. Kepunyaan Allah perbenharaan langit dan bumi”.
6
Artinya : “Maka datanglah ladang tempat engkau bercocok tanam itu
sebagaimana kamu kehendaki”
Ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan
hamba dan kehendaknya.
b. Surat Al-Baqarah (2) ayat 286.
Artinya : “Dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya”
Adanya perintah dan larangan adalah berdasarkan pertimbangan
adanya iktiar (usaha) dan qudrah (kemampuan) manusia untuk
melaksanakan.
c. Bagi yang melakukan perbuatan baik memperoleh pujian dan
sebaliknya bagi yang melakukan perbuatan buruk akan memperoleh
celaan, serta diberikan balasan masing-masing sesuai perbuatan
mereka. Sekiranya suatu perbuatan terjadi bukan atas kehendak dan
ikhtiar manusia, tidaklah ada artinya pujian dan celaan itu, pujian
berarti sia-sia dan celaan berarti penganiayaan. Sesuatu yang tidak
ada artinya tentu mustahil bagi Allah SWT.
d. Allah mengutus para Rasul untuk memberi kabar gembira dan
peringatan. Jika perbuatan manusia terjadi tidak atas menjadi hujjah
atas mereka. Hal ini sangat jelas dipresentasikan dalam surat Al-
Nissa’ (4) ayat 165 yang artinya “Mereka Kami utus sebagai Rasul
pembawa berita gembira dan memberi peringatan, supaya tidak ada
alasan bagi menusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-
rasul”
e. Setiap orang yang berbuat sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu merasa ada yang memaksanya atau menyuruhnya. Dia berdiri
semuanya, dia duduk, pergi, masuk daan keluar, dia berjalan atau
tidak berjalan atas kemauannya sendiri. Dengan demikian tidak benar
alasan orang-orang yang berbuat maksiat bahwa perbuatan itu sudah
merupakan takdir Allah atas dirinya, karena ia melakukan maksiat itu
dengan kehendaknya tanpa ia ketahui bagaimana qadar Allah atas
dirinya dan tak seorangpun tahu apa qadar Allah kecuali sudah
terjadi (QS. 31:34). Maka kita tidak dapat beralasan dengan qadar,
karena kita hendak tahu sebenarnya qadar apa yang akan terjadi pada
7
kita (QS 6:148) “Orang-orang yang menyekutukan” Tuhan berkata :
“Jika Allah menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukanNya dan tidak pula kami mengharamkan barang
sesuatu apapun..”. Dari uraian diatas sebenarnya bisa dikatakan
kepada orang yang berbuat maksiat dengan alasan takdir tersebut
dengan mengatakan :”mengapa kamu tidak melakukan perbuatan
taat dengan alasan takdir Allah, sebab tidak ada bedanya antara
perbuatan taat dan maksiat yang belum jelas takdirnya sebelum anda
lakukan?”.
8
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang sombong lagi
membanggakan diri”. (Al-Hadid : 22-23)
9
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai Allah dari pada orang
mukmin yang lemah, tetapi pada diri masing-masing terdapat kebaikan.
Bersungguh-sungguhlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat
bagimu, dengan memohon pertolongan kepada Allah, dan jangan malas.
Apabila engkau tertimpa sesuatu maka janganlah engkau mengatakan,
“Seandainya aku berbuat begini tentu hasil begini dan begini, akan tetapi
ucapkanlah Allah telah mentaqdirkan dan apa yang Ia kehendaki Ia
laksanakan. Karena sesungguhnya andaikata (pengandaian) itu akan
membuka perbuatan setan”. (HR. Muslim IV/2052)
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah diri Allah, dan apa saja
bencana yang meni menimpamu maka dari (kesalahan) darimu sendiri”.
(An-Nisa : 79)
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima
manusia adalah berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang
menimpanya adalah karena dosa dan kemaksiatannya. Tidak seorang
pun bisa lari dari takdir yang ditetapkan Allah, pencipta manusia. Tidak
ada yang terjadi di dalam kerajannNya ini melainklan apa yang Dia
kehendaki, dan Allah tidak meridhai kekufuran untuk hambaNya. Dia
10
telah menganugerahi manusia kemampuan untuk memilih dan
berikhtiar. Maka segala perbuatannya adalah terjadi atas kemampuannya
dan kemauannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki karena hikmahNya. Tidak ditanya apa yang dia lakukan,
tetapi merekalah yang akan ditanya tentang amal perbuatannya mereka.
D. Ikhtiar Manusia
Apabila masalah takdir ditinjau sepintas lalu, dan apa yang telah
dibahas di bagian muka sudah titik, tentu ada yang bertanya : “DI
manakah keadilah Allah?” Apakah manusia tidak memiliki sama sekali
kebebasan atau free will atau ikhtiar ? allah telah menetapkan segala
sesuatu dalam hidup dan sejarah manusia, tetapi disamping itu ia harus
dimintakan pertannggunganjawabnya. Masalah keadilan Allah inilah
yang sejak dahulu telah menjadi topik perdebatan dan polemik yang seru
dari kaum Mutakallimin, Murji’ah, Qadariyah, jabariyah, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah.
Telah menjadi sunnatullah bahwa setiap kejadian, mengandung
kualitas dah hikmah. Ada sebab dan akibat, disamping bertujuan.
Apabila seseorang ingin pintar, dia harus belajar. Kalau mau jadi sarjana
masuklah ke perguruan tinggi, pilih jurusan yang sesuai dengan bakat
dan cita-cita. Kemudian tekun, sabar, ulet, rajin dan memakai metode
belajar, Insya Allah cita-cita itu akan tercapai. Adalah mustahil suatu cita-
cita berhasil hanya dengan modal khayal dan bermalas-malas, tanpa
suatu kerja dan usaha. Maka wajib ada faktor usaha dan ikhtiar dan
bertanggung jawab dari manusia. Usaha serta diiringi dengan doa adalah
kewajiban manusia, tapi kepastian terakhir adalah tangan Allah. Maka
manusia jangan berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum
kejadian itu menjasi kenyataan. Sebab itu tiadalah benar pula pahan
fatalisme aliran yang diajarkan oleh mazhab Jabariyah, dimana manusia
sama sekali tidak bebas, semuanya telah terikat ibarat robot Allah, hidup
secara mesin (Nazarudin Rizah, 1973).
Kesalahan memahami takdir, dapat membawa akibat buruk dalam
diri dan kehidupan manusia. Karena salah memahami takdir Allah,
menyebabkan alam islami dahulu mundur, Amir Syakib Arselan telah
11
menulis sebuah buku berjudul : Apa Sebab Kaum Muslimin Mundur dan
Mengapa Umat lain maju? Suatu karya merupakan jawaban dari surat
Syekh Basuni Imran, Mutfi Negeri Sambas. Salah satu sebab kemunduran
umat Islam menurut beliau, ialah karena kekeliruan iman kepada takdir
jua.
Pada suatu ketika Umar bin Khattab dengan rombongan akan
masuk sebuah kampung. Lalu beliau mendapat laporan dari seorang
kurir bahwa kampung tersebut sedang berjangkit suatu penyakit menular
dan berbahaya. Setelah mendengar kabar itu, Khalifah Umar lalu bubar
mengajak rombongannya kembali. Tapi salah seorang berkata kepada
beliau : “Takutkah Tuan dari takdir Allah?” Jawab Khalifah Umar: “Kita
lari dari takdir Allah menuju ke takdir Allah (Ibid, 1973).
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum
nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan sebelum
nyata orang-orang yang sabar.
12
hanya bergantung pada dirinya sendiri, melainkan juga keharusan
universal, mengembalikan segala persoalan kepada Allah Yang Maha
Kuasa. “Agar kamu tidak menjadi putus asa atas kemalangan yang
menimpamu, dan tidak pula terlalu bersuka ria dengan kemujuran yang
datang kepadamu”.
Iman kepada takdir akan membawa peningkatan ketakwaan,
bahwa baik keberuntungan maupun kegagalan dapat di anggap sebagai
ujian dari Allah. Ujian itu perlu diberikan kepada mereka yang beriman
agar sejahtera dan bahagia hidupnya. Emas umpamanya, perlu diuji.
Andaikata emas enggan diangkat dari lumpur, tidak tahan dibakar dan
ditempa sebagai ujian baginya, niscaya tidaklah ia akan menjadi cincin,
kalung atau gelang, menjadi benda-benda yang berharga menghiasi para
wanita. Sebab itu orang-orang beriman banyak mendapat ujian dari
Allah, ujian itu akan menilai kualitas iman seseorang dan untuk
mempertinggi takwa, guna menjadi modal hidup yang paling berharga
sebagi seorang muslim.
13
1. Ayat-ayat yang menyatakan kekuasaan mutlak Allah :
“Dan tidak ada yang kamu kehendaki dan kecuali telah dikehendaki
oleh Allah yang mempunyai jagat raya ini.
14
berlawanan. Untuk itu janganlah hendaknya hanya sebagian saja
dipegang, tetapi peganglah ayat-ayat itu dalam keseluruhannya.
Harus diingat pula bahwa segala masalah yang ruwet itu
hanya terbit pada akal manusia. Maka hikmahnya yang terdapat
dalam ayat tentang ikhtiar dari manusia, bahwa manusia diberikan
kebebasan memilih free will dari dua jalan yang terbentang yaitu yang
hak dan yang batil, yang Islam dan yang kafir. Allah tidak harus
memaksakan dari salah satu jalan itu, namun Allah mengajak dan
menghendaki agar manusia suka melalui jalan yang hak, jalan yang
Islam. Dengan demikian lalu manusia berhak menerima ganjaran dan
pahala dari Allah SWT. Pada ayat-ayat yang menyatakan kekuasaan
Mutlak Allah, mengingatkan agar manusia jangan lupa daratan,
jangan takabur dan sombong. Kekuasaan dan kebebasan manusia
sangat terbatas.
Tepat sebagaimana yang diibaratkan oleh Buya HAMKA
tentang manusia dalam takdir Allah : “Laksana kebebasan seorang
warga dalam satu negara. Dia bebas dalam lingkungan undang-
undang. Sebab itu pada hakikatnya tidaklah bebas.
3. Hikmah Iman Kepada Takdir.
Beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, adalah
salah satu rukun iman. Takdir adalah salah bsatu mata rantai dari
untaian tauhid. Dan beriman kepada sebab-sebab yang
menghantarkan kepada takdir yang baik maupun yang buruk adalah
aturan syariat. Tidak akan lurus dan benar urusan dunia dan agama
ini tanpa adanya iman kepada tauhid dan syariat. Rasulullah telah
menegaskan makna ini kepada seseorang yang berkata :
“Tidak cukuplah kita menyerahkan diri kepada catatan takdir saja,
dan kita tidak perlu beramal?” Maka beliau bersabda: “Beramallah,
karena masing-masing akan dimudahkan. Adapun orang-orang yang
ditulis berbahagia, maka mereka akan dimudahkan melakukan
amalan-amalan orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang-
orang yang ditulis celaka, maka mereka akan dimudahkan melakukan
amalan-amalan orang-orang yang celaka. Kemudian beliau membaca
ayat, Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
15
bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga),
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan
adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta
mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak kami akan menyiapkan
baginya jalan yang sukar.” (AL-Lail: 5-10. HR. Muslim IV/2039-2040.
Lihat Al-Bukhari VIII/154).
Ini adalah pernyataan Rasulullah, suatu perintah untuk
beramal dan larangan untuk pasrah kepada nasib yang digariskan.
Amal-amal yang dihasilkan manusia menunjukkan bahwa hal itu
telah dikehendaki dan ditakdirkan Allah sebelumnya. Yang
menciptakan sebab dan akibat adalah Allah, Pencipta segala sesuatu.
Mahasuci Allah, dia tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan.
Takdir adalah rahasia Allah mengenai makhlukNya, tidak ada
yang mengetahuinya, tidak yang paling dekat dan tidak pula nabi
yang diutus.
Banyak nash-nash syariat yang membahas masalah takdir.
Diantaranya, ada yang menafikan kezhaliman Allah seperti firman
Allah :
“Dan tidaklah Kami menganiaya mereka, tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri”. (Az-Zukhruf/43 : 76).
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikit
pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri
mereka sendiri”. (Yunus : 44).
16
maddiyah (pemikiran materialisme) yang berada didepan mata kita.
Ini adalah jalan yang berbahaya, bisa mengantarkan manusia kepada
perlawanan terhadap Allah Yang Maha Mengatur segala milikNya,
dan akan menjerumuskan dia ke dalam jurang kebingungan dan
kesesatan. (Tim Ahli tauhid Kitab Tauhid, 1998).
Manusia tidak akan sampai kepada sesuatu yang bisa membuat
hatinya tenang kecuali jika ia mengikuti petunjuk-petunjukNya dan
meninggalkan pembahasan yang mendalam tentang qadha’ dan
qadar, dan menjadikan perintah-perintah syariat sebagai petunjuk
yang menuntunnya untuk menyerahkan diri kepada Allah, serta ridha
terhadap sesuatu yang tidak dipahaminya. Di dalam al-Qur’an
terdapat peringatan yang serupa dengan masalah ini, yaitu tentang
hakikat ruh. Allah berfirman :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, Ruh itu
termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit”. (Al-Isra: 85).
17
DAFTAR BACAAN
18
DAFTAR BACAAN
Dirjen Bimbagais Depag RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta, Bulan Bintang).
Husen M-Ali, Teori Qadar dan Cahaya, (Jakarta, Bulan Bintang, 1985).
19