Anda di halaman 1dari 19

QADA DAN QADAR ALLAH

Iman kepada qada dan qadar Allah adalah salah satu sendi akidah
Islam. Dalam pembicaraan sehari-hari disingkat dengan sebutan takdir
(taqdir). Berbicara tentang takdir Tuhan memang bukan sesuatu yang
mudah. Sebab yang kita bicarakan langsung menyangkut kehendak Tuhan
terhadap makhluk-makhluk-Nya. Rahasia hakekat takdir tidak dapat
diketahui oleh manusia. Misalnya kita tak dapat diketahui oleh manusia.
Misalnya kita tak dapat mengetahui dengan benar mengapa si Fulan
meninggal dunia dalam perjalanan, bukan di tengah-tengah keluarganya.
Banyak kejadian-kejadian di sekeliling kita termasuk yang kita alami sendiri
ternyata di luar kehendak kita atau diluar keinginan kita, yang semua itu
kita tak dapat memperoleh jawaban yang memuaskan atas pertanyaan yang
kita ajukan, “mengapa hal itu terjadi” (Azhar Basyir, 1980).
Jadi, masalah hakekat takdir Tuhan adalah merupakan salah satu
masalah gaib yang hanya diketahui oleh Allah sendiri.
Seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 65 (27:65) yang
artinya “Katakanlah tak seorangpun di langit maupun di bumi yang
mengetahui perkara gaib kecuali Allah”.
A. Pengertian Qada dan Qadar
Menurut Bahasa (etimologi) qada dari kata qada (Arab) berarti :
- Perintah, sebagaimana tertera dalam ayat 23 surat al-Isra’
     
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia…”. (Q.S. 17:23).
- Menetapkan, seperti dalam ayat 4 surat al-Isra’
     
Artinya : “Dan telah kami tetapkan terhadap bani Israil dalam kitab
itu…”. (Q.S.17:4).

- Menghendaki, makna ini mengacu pada ayat 117 surat al-Baqarah.


      


1
Artinya: “Dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,
maka (cukuplah) Dia mengatakan, jadilah maka jadilah ia…”.
(Q.S.2:117).
- Menjadikan, sebagaimana dijumpai dalam ayat 12 surat Fussilat.
    
Artinya : “Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa…”.
(Q.S.41:12).

Qadar, disebut dalam al-Qur’an dalam bentuk yang bermacam-


macam dan banyak pula artinya. Namun pada umumnya qadar
mengandung pengertian, kekuasaan Allah untuk menentukan ukuran,
susunan, dan aturan terhadap sesuatu, sebagaimana disebutkan dalam al-
Qur’an surat al-Ra’d ayat 8, surat al-Hijr ayat 21, dan surat al-Qamar ayat
49. Ayat-ayat tersebut diterjemahkan sebagai berikut :
- “…segala sesuatu di sisi-Nya ada ukurannya” (Q.S.13:8)
- “…dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kamilah
khasanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan
dengan ukuran yang pasti” (Q.S.15:21)
- “Sesungguhnya Kami menciptakan sesuatu menurut ukuran”
(Q.S.54:49)

Dari ayat-ayat tersebut yang dimaksud dengan qadar atau takdir


ialah suatu peraturan tertentu yang telah dibuat oleh Allah Swt. Untuk
segala yang ada dalam alam semesta. Peraturan yang merupakan aturan
universal atau kepastian-kepastian yang didikat di dalamnya antara
sebab akibat, misalnya orang tidak makan akan mati, air akan menguap
jika dipanaskan. (Maulana Muhammad Ali, 1980).
Dengan demikian, bila kita katakan bahwa segala sesuatu terjadi
dengan qada dan qadar Allah, berarti segala sesuatu itu terjadi dengan
kehendak Allah dan ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan
sebelumnya dan berjalan sesuai dengan aturan yang dibuat oleh
kehendak di bawah pengetahuan Allah.
Qada menurut istilah (terminologi), mencakup pengertian antara
lain :

2
- Qada keputusan Allah SWT, tentang segala sesuatu rencana yang
telah diputuskan (Umar Hasyim, 1985).
- Qada adalah hukum Allah yang telah Dia tentukan untuk alam
semesta ini, dan Dia jalankan alam ini sesuai dengan konsekuensi
hukum-Nya dari sunah-sunah yang Dia kaitkan antara akibat dengan
sebab-sebabnya, semenjak Dia menghendakinya sampai selama-
lamanya. Maka setiap apa yang terjadi di alam ini adalah berdasarkan
takdir yang mendahuluinya.
Qadar dalam pengertian istilah (terminologi) ialah perwujudan
dari ketentuan-ketentuan Allah SWT, yang telah ada sejak zaman azali.
Qadar dapat diartikan pula, suatu peraturan umum yang telah
ditetapkan Allah untuk menjadi dasar alam ini, dimana terdapat
hubungan sebab dan akibat.
Dalam Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum, mengutip pendapat Ar-Raghib bahwa “qadar ialah
menentukan batas (ukuran) sebuah rancangan; seperti besar dan umur
alam semesta, lamanya siang dan malam, anatomi dan fisiologis makhluk
nabati dan hewani, dan lain-lain, sedang qada ialah menetapkan
rancangan tersebut”. Atau secara sederhana dapat diartikan bahwa qada
adalah ketetapan Allah yang telah ditetapkan (tetapi tidak kita ketahui)
sedang qadar adalah ketetapan Allah yang telah terbukti (diketahui
sudah terjadi) (Dirjen Bimbagais Depag RI, 2000).
Firman Allah SWT :

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan segala sesuatu menurut


qadar (aturan)”.

“Adalah segala urusan Allah itu menurut qadar yang telah


ditentukan”.

3
“Allah telah menciptakan segala sesuatu, lalu Dia tentukan
takdirnya (ketentuannya)”.

Oleh karena itu iman kepada takdir memberikan arti dimana kita
wajib mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam
kehidupan dan diri manusia, adalah menurut hukum, berdasarkan suatu
undang-undang universal atau kepastian umum atau takdir.
Marilah kita perhatikan beberapa hal :
Pertama, bahwa jagat raya ini isinya antara lain bintang-bintang
dan planet-planet yang semuanya berjalan menurut “Hukum Universal”,
dalam rotasi, revolusi dan kesetimbangan benda-benda langit. Begitu
juga isinya yang terdiri dari berbagai jenis benda (padat, cair dan gas),
telah tersusun oleh suatu rumus-rumus tertentu. Dalam kimia ada aturan
valentie tertentu, ada dalil-dalil aksi dan reaksi. Dalam ilmu fisika kita
kenal hukum “kekekalan tenaga dan massa” ditemukan oleh Einstein
dengan dalil yang terkenal: E = mc 2 (E = tenaga, m = berat massa, c =
kecepatan cahaya; sedang kecepatan cahaya 300.000 km perdetik). Ada
pula hukum “gravitasi” (gaya berat) yang ditemukan oleh Newton.
Masih banyak lagi dalil-dalil fisika yang telah ditemukan, dan yang
belum ditemukan adalah jauh lebih banyak. Semua itu adalah hukum
universal (takdir) Allah terhadap makhluk-Nya.
Kedua, bahwa dalam diri kita ada roh, dengan roh itulah kita
hidup. Akan tetapi kita sama sekali tidak punya kekuasaan terhadap roh
itu. Manakala ia akan memisahkan diri dengan jasmani kita ia tidak akan
memandang usia dan kedudukan, kita tidak mampu menahannya dan
untuk itu tibalah akhir hayat kita. Begitulah takdir Allah. Manusia dalam
takdir Allah!.
Ketiga, bahwa setiap manusia lahir ke dunia, bukanlah atas
kehendaknya sendiri. Manusia lahir tidak memilih bangsa dan tanah air.
Semuanya terlepas dari kehendak dan kekuasaan manusia. Padahal
bentuk kehidupan seseorang ditentukan oleh derajat pendidikan, sosial
dan rumah tangganya dimana ia lahir. Masalah ini semuanya bergantung
kepada kehendak dan kekuasaan Allah semata-mata, berdasarkan atas
takdir Allah.

4
Keempat, bahwa tidak pernah terdapat seseorang yang ingin sakit
atau gagal. Sehat lahir batin dan sukses, itulah yang selalu menjadi doa
dan impian manusia. Karena itulah menusia belajar tentang kesehatan,
ilmu dan metode untuk sukses. Namun kita dihadapkan kepada
kenyataan, bahwa pada saat yang tak terduga bahkan pada waktu yang
begitu penting bagi kita, secara tiba-tiba jatuh sakit. Suatu urusan yang
telah diperhitungkan secara matang, telah pula ditinjau dari berbagai
segi, tapi kemudian hanya persoalan kecil saja urusan itu jadi berantakan,
gagal. Kita lihat pula dokter-dokter yang paling tenar keahliannya juga
jatuh sakit sebagaimana banyak ahli dalam bidangnya juga banyak
menemui kegagalan. Maka sakit dan gagal bukanlah kehendak manusia.
Semuanya adalah peranan takdir. Suka atau tidak, takdir Allah jua yang
berkuasa. (Nasarudin Roza K 1973)

B. Pendekatan Memahami Takdir


Untuk sekedar mampu memahami takdir Allah, bisa dilakukan
dengan pendekatan melalui pemahaman ilmu Allah dan ilmu manusia.
Satu hal yang harus kita yakini ialah bahwa Tuhan yang
menciptakan segala sesuatu yang ada ini adalah Maha Mengetahui baik
yang nampak maupun yang gaib. Pengetahuan Allah Maha Sempurna,
semua yang terjadi di alam ini berada dalam pengetahuan Allah, baik
sebelum, sedang maupun yang akan terjadi. (Q.S.6:59)
Pengetahuan manusia sangat terbatas. Akal manusia tidak mampu
mengetahui dengan pasti tentang pengetahuan Allah menjangkau
tentang ruh yang ada dalam diri kita, bagaimana datangnya, dimana
tempatnya, bagaimana bentuknya, bagaimana pula perginya. (Azhar
Basyir, 1980)
Berkenaan dengan qadar ini Muhammad Saleh al-Uthaimi
menjelaskan bahwa qadar itu ada empat peringkat (Muhammad Saleh al-
Uthaimi, 1421H) yaitu :
a. Ilmu.
Kita mempercayai bahwa Allah Swt, itu mengetahui tentang segala
sesuatu. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi,
dan bagaimana kejadiannya. Hal itu semua diketahui oleh Allah

5
dengan ilmuNya yang azali dan abadi (pengetahuan Allah tentang
segala sesuatu tidak baru dan tidak didahului oleh ketidaktahuan, Dia
tidak pula bersifat lupa karena keabadian ilmuNya yang tidak
berawal dan tidak berakhir).
b. Kitabah.
Kita mempercayai bahwa Allah Swt, telah menulis tentang segala
sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat di Lauh Mahfudz
sebagaimana firmanNya yang artinya “Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada dilangit dan di bumi, bahwasannya yang demikian itu terdapat
dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya demikian itu
amat mudah bagi Allah” (Q.Surat al-Hajj (22):70).
c. Masyi’ah.
Kita mempercayai bahwa Allah Swt, telah menentukan segala sesuatu
baik di langit maupun di bumi sesuai dengan masyi’ahNya
(kehendakNya). Segala sesuatu akan terjadi dan jika Allah tidak
menghendaki maka sesuatu itu pasti tidak akan terjadi.
d. Al-Khalq.
Kita mempercayai bahwa sesungguhnya Allah Swt. Pencipta segala
sesuatu, sebagaimana firmanNya dalam surat al-Zumar (39) ayat 62
yang artinya “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara
segala sesuatu. Kepunyaan Allah perbenharaan langit dan bumi”.

Dari keempat peringkat di atas maka segala sesuatu yang


dilakukan hambaNya baik perkataan, perbuatan dan termasuk apa yang
tidak dilakukan, semuanya itu diketahui oleh Allah Swt, dan telah tertulis
di sisiNya dan dikehendakiNya serta diciptakanNya.
Disamping itu menurut Muhammad Saleh selanjutnya kita
menyakini bahwa Allah Swt, memberikan ikhtiar (usaha) dan
kemampuan bagi hambaNya untuk melakukan sesuatu perbuatan. Jadi
perbuatan manusia adalah atas ikhtiar dan usahanya sendiri sebagaimana
dalil al-Qur’an dan argumentasi di bawah ini (Ibid) :
a. Surat al-Baqarah ayat 223.

6
Artinya : “Maka datanglah ladang tempat engkau bercocok tanam itu
sebagaimana kamu kehendaki”
Ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan
hamba dan kehendaknya.
b. Surat Al-Baqarah (2) ayat 286.
Artinya : “Dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya”
Adanya perintah dan larangan adalah berdasarkan pertimbangan
adanya iktiar (usaha) dan qudrah (kemampuan) manusia untuk
melaksanakan.
c. Bagi yang melakukan perbuatan baik memperoleh pujian dan
sebaliknya bagi yang melakukan perbuatan buruk akan memperoleh
celaan, serta diberikan balasan masing-masing sesuai perbuatan
mereka. Sekiranya suatu perbuatan terjadi bukan atas kehendak dan
ikhtiar manusia, tidaklah ada artinya pujian dan celaan itu, pujian
berarti sia-sia dan celaan berarti penganiayaan. Sesuatu yang tidak
ada artinya tentu mustahil bagi Allah SWT.
d. Allah mengutus para Rasul untuk memberi kabar gembira dan
peringatan. Jika perbuatan manusia terjadi tidak atas menjadi hujjah
atas mereka. Hal ini sangat jelas dipresentasikan dalam surat Al-
Nissa’ (4) ayat 165 yang artinya “Mereka Kami utus sebagai Rasul
pembawa berita gembira dan memberi peringatan, supaya tidak ada
alasan bagi menusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-
rasul”
e. Setiap orang yang berbuat sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu merasa ada yang memaksanya atau menyuruhnya. Dia berdiri
semuanya, dia duduk, pergi, masuk daan keluar, dia berjalan atau
tidak berjalan atas kemauannya sendiri. Dengan demikian tidak benar
alasan orang-orang yang berbuat maksiat bahwa perbuatan itu sudah
merupakan takdir Allah atas dirinya, karena ia melakukan maksiat itu
dengan kehendaknya tanpa ia ketahui bagaimana qadar Allah atas
dirinya dan tak seorangpun tahu apa qadar Allah kecuali sudah
terjadi (QS. 31:34). Maka kita tidak dapat beralasan dengan qadar,
karena kita hendak tahu sebenarnya qadar apa yang akan terjadi pada

7
kita (QS 6:148) “Orang-orang yang menyekutukan” Tuhan berkata :
“Jika Allah menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukanNya dan tidak pula kami mengharamkan barang
sesuatu apapun..”. Dari uraian diatas sebenarnya bisa dikatakan
kepada orang yang berbuat maksiat dengan alasan takdir tersebut
dengan mengatakan :”mengapa kamu tidak melakukan perbuatan
taat dengan alasan takdir Allah, sebab tidak ada bedanya antara
perbuatan taat dan maksiat yang belum jelas takdirnya sebelum anda
lakukan?”.

C. Beriman Kepada Qadha’ Allah dan Qadarnya


Beriman kepada qadha’ dan qadar Allah adalah rukun keenam
dari rukum iman. Sebagaimana tersebut dalam jawaban Rasulullah
ketika ditanya oleh Jibril tentang iman, belau bersabda :
“Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, hari
akhir, dan engkau beriman kepada qadarNya, yang baik maupun yang
buruk”. (HR. Al-Bukhari I/19, dan Muslim I/37)

Makna beriman kepada qadar ialah membenarkan dengan


sesungguhnya bahwa yang terjadi baik dan buruk itu adalah atas qadha’
dan qadar Allah. Seperti firman Allah :
       
        
       
       
      
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum kami mencitakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu
jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supoaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya

8
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang sombong lagi
membanggakan diri”. (Al-Hadid : 22-23)

Ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa segala yang terjadi pada


alam semesta dan jiwa manusia, yang baik maupun yang buruk, semua
itu sudah ditakdirkan oleh Allah dan ditulis sebelum diciptakannya
makhluk. Maka apa yang tidak didapatkan dari sesuatu yang disukai
tidak mengharuskan rasa susah, dan apa yang didapatkan dari kebaikan
tidak mengharuskan rasa suka.
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad-nya dari Zaid bin
Tsabit, dia berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda :

“Seandainya Allah menyiksa penduduk langit dan penduduk bumi, tentu


Dia menyiksa mereka tanpa berbuat Zhalim kepada mereka. Jika Ia
merahmati mereka maka rahmatNya adalah lebih baik bagi mereka
daripada amal mereka. Seandainya engkau memiliki emas segunung
Uhud atau seperti gunung Uhud yang engkau belanjakan di jalan Allah,
maka ia tidak akan menerimanya darimu sebelum engkau beriman
kepada takdir dan engkau mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan
menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan
bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika engkau mati
atas (aqidah) selain ini maka engkau masuk Neraka”. (HR. Ahmad,
V/185, Ibnu Majah dan Abu Daud).

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah


Rasulullah bersabda :

9
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai Allah dari pada orang
mukmin yang lemah, tetapi pada diri masing-masing terdapat kebaikan.
Bersungguh-sungguhlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat
bagimu, dengan memohon pertolongan kepada Allah, dan jangan malas.
Apabila engkau tertimpa sesuatu maka janganlah engkau mengatakan,
“Seandainya aku berbuat begini tentu hasil begini dan begini, akan tetapi
ucapkanlah Allah telah mentaqdirkan dan apa yang Ia kehendaki Ia
laksanakan. Karena sesungguhnya andaikata (pengandaian) itu akan
membuka perbuatan setan”. (HR. Muslim IV/2052)

Semua yang telah ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah


yang diketahui olehNya. Allah tidak pernah menciptakan kejelekan yang
murni, yang tidak melahirnkan suatu kemaslahatan. Maka kejelekan dan
keburukan yang murni, akan tetapi ia masuk dalam rentetan
makhlukNya.
Segala sesuatu apanila di nisbat kan kepada Allah adalah keadilan,
hikmah dan rahmat, maka keburukab murni tidak termasuk kedalam
perbuatanNya. Dia memiliki kesempurnaan mutlak. Hal ini ditunjukkan
firmanNya :

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah diri Allah, dan apa saja
bencana yang meni menimpamu maka dari (kesalahan) darimu sendiri”.
(An-Nisa : 79)
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima
manusia adalah berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang
menimpanya adalah karena dosa dan kemaksiatannya. Tidak seorang
pun bisa lari dari takdir yang ditetapkan Allah, pencipta manusia. Tidak
ada yang terjadi di dalam kerajannNya ini melainklan apa yang Dia
kehendaki, dan Allah tidak meridhai kekufuran untuk hambaNya. Dia

10
telah menganugerahi manusia kemampuan untuk memilih dan
berikhtiar. Maka segala perbuatannya adalah terjadi atas kemampuannya
dan kemauannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki karena hikmahNya. Tidak ditanya apa yang dia lakukan,
tetapi merekalah yang akan ditanya tentang amal perbuatannya mereka.

D. Ikhtiar Manusia
Apabila masalah takdir ditinjau sepintas lalu, dan apa yang telah
dibahas di bagian muka sudah titik, tentu ada yang bertanya : “DI
manakah keadilah Allah?” Apakah manusia tidak memiliki sama sekali
kebebasan atau free will atau ikhtiar ? allah telah menetapkan segala
sesuatu dalam hidup dan sejarah manusia, tetapi disamping itu ia harus
dimintakan pertannggunganjawabnya. Masalah keadilan Allah inilah
yang sejak dahulu telah menjadi topik perdebatan dan polemik yang seru
dari kaum Mutakallimin, Murji’ah, Qadariyah, jabariyah, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah.
Telah menjadi sunnatullah bahwa setiap kejadian, mengandung
kualitas dah hikmah. Ada sebab dan akibat, disamping bertujuan.
Apabila seseorang ingin pintar, dia harus belajar. Kalau mau jadi sarjana
masuklah ke perguruan tinggi, pilih jurusan yang sesuai dengan bakat
dan cita-cita. Kemudian tekun, sabar, ulet, rajin dan memakai metode
belajar, Insya Allah cita-cita itu akan tercapai. Adalah mustahil suatu cita-
cita berhasil hanya dengan modal khayal dan bermalas-malas, tanpa
suatu kerja dan usaha. Maka wajib ada faktor usaha dan ikhtiar dan
bertanggung jawab dari manusia. Usaha serta diiringi dengan doa adalah
kewajiban manusia, tapi kepastian terakhir adalah tangan Allah. Maka
manusia jangan berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum
kejadian itu menjasi kenyataan. Sebab itu tiadalah benar pula pahan
fatalisme aliran yang diajarkan oleh mazhab Jabariyah, dimana manusia
sama sekali tidak bebas, semuanya telah terikat ibarat robot Allah, hidup
secara mesin (Nazarudin Rizah, 1973).
Kesalahan memahami takdir, dapat membawa akibat buruk dalam
diri dan kehidupan manusia. Karena salah memahami takdir Allah,
menyebabkan alam islami dahulu mundur, Amir Syakib Arselan telah

11
menulis sebuah buku berjudul : Apa Sebab Kaum Muslimin Mundur dan
Mengapa Umat lain maju? Suatu karya merupakan jawaban dari surat
Syekh Basuni Imran, Mutfi Negeri Sambas. Salah satu sebab kemunduran
umat Islam menurut beliau, ialah karena kekeliruan iman kepada takdir
jua.
Pada suatu ketika Umar bin Khattab dengan rombongan akan
masuk sebuah kampung. Lalu beliau mendapat laporan dari seorang
kurir bahwa kampung tersebut sedang berjangkit suatu penyakit menular
dan berbahaya. Setelah mendengar kabar itu, Khalifah Umar lalu bubar
mengajak rombongannya kembali. Tapi salah seorang berkata kepada
beliau : “Takutkah Tuan dari takdir Allah?” Jawab Khalifah Umar: “Kita
lari dari takdir Allah menuju ke takdir Allah (Ibid, 1973).

Manusia harus berusaha, karena kemenangan iti adalah buah dari


perjuangan.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum
nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan sebelum
nyata orang-orang yang sabar.

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bengsa, sehingga


mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan setia peristiwa ada pula hikmah dan tujuannya. Allah telah
menciptakan segala sesuatu tidaklah sia-sia. Karena itu Allah
mengingatkan : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Kepercayaan kepada takdir memberikan keseimbangan jiwa, tidak
berputus asa karena sesuatu kegagalan dan tidak pula membanggakan
diri atau sombong karena suatu kemujuran. Sebab segala sesuatu tidak

12
hanya bergantung pada dirinya sendiri, melainkan juga keharusan
universal, mengembalikan segala persoalan kepada Allah Yang Maha
Kuasa. “Agar kamu tidak menjadi putus asa atas kemalangan yang
menimpamu, dan tidak pula terlalu bersuka ria dengan kemujuran yang
datang kepadamu”.
Iman kepada takdir akan membawa peningkatan ketakwaan,
bahwa baik keberuntungan maupun kegagalan dapat di anggap sebagai
ujian dari Allah. Ujian itu perlu diberikan kepada mereka yang beriman
agar sejahtera dan bahagia hidupnya. Emas umpamanya, perlu diuji.
Andaikata emas enggan diangkat dari lumpur, tidak tahan dibakar dan
ditempa sebagai ujian baginya, niscaya tidaklah ia akan menjadi cincin,
kalung atau gelang, menjadi benda-benda yang berharga menghiasi para
wanita. Sebab itu orang-orang beriman banyak mendapat ujian dari
Allah, ujian itu akan menilai kualitas iman seseorang dan untuk
mempertinggi takwa, guna menjadi modal hidup yang paling berharga
sebagi seorang muslim.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)


mengatakan: ‘kami telah beriman’ sedang mereka tidak akan diuji lagi ?.

Manusia hendaklah hidup dengan ikhtiar, yaitu bekerja atas


syarat-syarat maksimal sambil tawakal dan berdo’a. “Tawakal artinya
mewakilkan nasib dan nasib usaha kita kepada Allah, sedang kita sendiri
tidak mengurang-ngurangkan usaha dan tenaga kita dalam usaha itu.
Kemudian yakin bahwa penentuan terakhir berada pada kekuasaan Allah
SWT. Dialah Yang Maha Kuasa. Maka tawakal dan doa adalah penting.
Dalam Qur’an banyak ayat yang menganjurkan agar manusia suka
berdoa dan bertawakal. Begitulah jalannya takdir Allah. (Tim Ahli
Tauhid, Kitab Tauhid, 1998).
Lebih lanjut mari kita perhatikan beberapa ayat yang menyatakan
kehendak Allah yang pasti terhadap manusia, disamping ayat-ayat yang
menyatakan tentang keharusan adanya ikhtiar dari manusia. Antara lain
sebagai berikut :

13
1. Ayat-ayat yang menyatakan kekuasaan mutlak Allah :

“Maka Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendakiNya, dan


memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendakiNya.

“Tidak akan mengenai sesuatu musibah di bumi ini, dan demikian


pula tidak akan terjadi pada diri kamu, melainkan sudah tertulis
dalam kitab, sebelum kami wujudkan kejadian-kejadian tersebut.
Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.
2. Ayat-ayat tentang ikhtiar dari manusia :

“Dan tidak ada yang kamu kehendaki dan kecuali telah dikehendaki
oleh Allah yang mempunyai jagat raya ini.

“Andaikan Allah menghendaki, pasti dia memberi petunjuk kepada


kamu semua.

“Maka barang siapa yang menghendaki iman, maka berimanlah dia.


Dan barang siapa yang menghendaki kafir, maka kafirlah dia.

“Jangan putus harapan terhadap rahmat Allah, sebab sesungguhnya


tidak akan putus harapan terhadap rahmat Allah melainkan kaum
kafir saja”.

Ayat-ayat dalam kedua kelompok itu adaalah firman Allah


dalam Qur’an. Tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat itu berlawanan,
bukanlah demikian, melainkan pikiran kita yang memikirkannya

14
berlawanan. Untuk itu janganlah hendaknya hanya sebagian saja
dipegang, tetapi peganglah ayat-ayat itu dalam keseluruhannya.
Harus diingat pula bahwa segala masalah yang ruwet itu
hanya terbit pada akal manusia. Maka hikmahnya yang terdapat
dalam ayat tentang ikhtiar dari manusia, bahwa manusia diberikan
kebebasan memilih free will dari dua jalan yang terbentang yaitu yang
hak dan yang batil, yang Islam dan yang kafir. Allah tidak harus
memaksakan dari salah satu jalan itu, namun Allah mengajak dan
menghendaki agar manusia suka melalui jalan yang hak, jalan yang
Islam. Dengan demikian lalu manusia berhak menerima ganjaran dan
pahala dari Allah SWT. Pada ayat-ayat yang menyatakan kekuasaan
Mutlak Allah, mengingatkan agar manusia jangan lupa daratan,
jangan takabur dan sombong. Kekuasaan dan kebebasan manusia
sangat terbatas.
Tepat sebagaimana yang diibaratkan oleh Buya HAMKA
tentang manusia dalam takdir Allah : “Laksana kebebasan seorang
warga dalam satu negara. Dia bebas dalam lingkungan undang-
undang. Sebab itu pada hakikatnya tidaklah bebas.
3. Hikmah Iman Kepada Takdir.
Beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, adalah
salah satu rukun iman. Takdir adalah salah bsatu mata rantai dari
untaian tauhid. Dan beriman kepada sebab-sebab yang
menghantarkan kepada takdir yang baik maupun yang buruk adalah
aturan syariat. Tidak akan lurus dan benar urusan dunia dan agama
ini tanpa adanya iman kepada tauhid dan syariat. Rasulullah telah
menegaskan makna ini kepada seseorang yang berkata :
“Tidak cukuplah kita menyerahkan diri kepada catatan takdir saja,
dan kita tidak perlu beramal?” Maka beliau bersabda: “Beramallah,
karena masing-masing akan dimudahkan. Adapun orang-orang yang
ditulis berbahagia, maka mereka akan dimudahkan melakukan
amalan-amalan orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang-
orang yang ditulis celaka, maka mereka akan dimudahkan melakukan
amalan-amalan orang-orang yang celaka. Kemudian beliau membaca
ayat, Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan

15
bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga),
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan
adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta
mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak kami akan menyiapkan
baginya jalan yang sukar.” (AL-Lail: 5-10. HR. Muslim IV/2039-2040.
Lihat Al-Bukhari VIII/154).
Ini adalah pernyataan Rasulullah, suatu perintah untuk
beramal dan larangan untuk pasrah kepada nasib yang digariskan.
Amal-amal yang dihasilkan manusia menunjukkan bahwa hal itu
telah dikehendaki dan ditakdirkan Allah sebelumnya. Yang
menciptakan sebab dan akibat adalah Allah, Pencipta segala sesuatu.
Mahasuci Allah, dia tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan.
Takdir adalah rahasia Allah mengenai makhlukNya, tidak ada
yang mengetahuinya, tidak yang paling dekat dan tidak pula nabi
yang diutus.
Banyak nash-nash syariat yang membahas masalah takdir.
Diantaranya, ada yang menafikan kezhaliman Allah seperti firman
Allah :
     

“Dan tidaklah Kami menganiaya mereka, tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri”. (Az-Zukhruf/43 : 76).
       
  
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikit
pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri
mereka sendiri”. (Yunus : 44).

Rasulullah SAW, sangat memperhatikan umatnya.


Memperingatkan mereka dari masalah qadha’ dan qadar yang
menyebabkan ketergelinciran yang membahayakan, maka Rasulullah
melarang umatnya agar tidak memperbadingkan dan membahas
terlalu mendalam tentang qadha’ dan qadar. Karena hal itu akan
mendorong untuk membanding-bandingkannya dengan hal-hal yang
bisa diindera, yang diantaranya mengakibatkan terbentuknya fikrah

16
maddiyah (pemikiran materialisme) yang berada didepan mata kita.
Ini adalah jalan yang berbahaya, bisa mengantarkan manusia kepada
perlawanan terhadap Allah Yang Maha Mengatur segala milikNya,
dan akan menjerumuskan dia ke dalam jurang kebingungan dan
kesesatan. (Tim Ahli tauhid Kitab Tauhid, 1998).
Manusia tidak akan sampai kepada sesuatu yang bisa membuat
hatinya tenang kecuali jika ia mengikuti petunjuk-petunjukNya dan
meninggalkan pembahasan yang mendalam tentang qadha’ dan
qadar, dan menjadikan perintah-perintah syariat sebagai petunjuk
yang menuntunnya untuk menyerahkan diri kepada Allah, serta ridha
terhadap sesuatu yang tidak dipahaminya. Di dalam al-Qur’an
terdapat peringatan yang serupa dengan masalah ini, yaitu tentang
hakikat ruh. Allah berfirman :
       
       
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, Ruh itu
termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit”. (Al-Isra: 85).

Maksudnya, engkau tidak diberi ilmu melainkan sedikit sekali,


yang dengan ilmu itu tidak memungkinkan engkau mengetahui
hakikat ruh yang sebenarnya, tetapi engkau mungkin mengetahui
pengaruh-pengaruhnya atau perannya ketika dia masih berada pada
jasadnya.
Uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa beriman
kepada takdir memiliki hikmah yang sangat besar dalam kehidupan
manusia, antara lain sebagai berikut :
- Memelihara jiwa dari perasaan sombong (terutama bila sedang
pada posisi sukses).
- Menjauhkan perasaan lemah, putus asa dan benci (terutama jika
sedang mengalami bencana).
- Menumbuhkan sifat-sifat keutamaan (misalnya sifat keberanian,
berhati besar, berlapang dada).
- Memelihara kesucian jiwa misalnya tidak iri dan benci terhadap
kenikmatan yang diterima pihak lain (Azhar Bsyir, 1980).

17
DAFTAR BACAAN

1. Azhar Basyir, 1980, Pendidikan Agama Islam I (Diktat Kuliah), UII,


Yogyakarta.
2. Dirjen Bimbagais Depag RI, 2000, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi Umum, Bulan Bintang, Jakarta.
3. HAMKA, 1984, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
4. Maulana Muhammad Ali, 1980, Islamologi, terj. R. Kaelan dan HM.
Bachrun, Ictiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.
5. Muhammad Saleh al-Uthaimin, 1421 H, Aqidah Ahlis Sunnah Waljama’ah,
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan
Islam, Kerajaan Saudi Arabia.
6. Sayid Sabiq, 1978, Aqidah Islam, Terj. Moh. Abdai Rathomy, Diponegoro,
Bandung.
7. Siddi Gazalba, 1976, Ilmu Islam I Asas-asas Ajaran Islam, Bulan Bintang,
Jakarta.
8. Umar Hasyim, 1985, Mencari Takdir, Ramadhani, Solo.
9. M. Ali Husein, 1985, Teori Qadar dan Cahaya, Bulan Bintang, Jakarta.
10. Nasarudin Rozak, Dinul Islam, (Bandung. PT Al-Ma’arif, 1973).
11. Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, (Jakarta, Daarul Haq. 1998).

18
DAFTAR BACAAN

Basyir Azhar, Pendidikan Agama Islam I, (Yogyakarta UII).

Dirjen Bimbagais Depag RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta, Bulan Bintang).

Gazalba Siddi, Ilmu Islam I, Asas-Asas Ajaran Islam, (Jakarta, Bulan


Bintang 1976).

Hamka, Pengajaran Agama Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1984).

Hasyim Umar, Mencari Taqdir, (Solo, Romadhoni, 1985).

Husen M-Ali, Teori Qadar dan Cahaya, (Jakarta, Bulan Bintang, 1985).

Muhamad Ali Maulana, Islamologi, (Jakarta, Bulan Bintang, 1985).

Rozak Nasarudin, Dirul Terj. Moch Abda’i Rathomy, (Bandung,


Diponegoro 1978).

Saleh Al-Uthaimin Muhamad, Aqidah Ahli Sunah Wal-Jama’ah, (Kerajaan


Arab Saudi Urusan Agama Islam, Wakaf Da’wah dan Bimbingan Islam, 1421
H).

Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid 2, (Jakarta, Daarul Haq, 1998).

19

Anda mungkin juga menyukai