Anda di halaman 1dari 11

BAB X

AKHLAK

A. Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami manusia sekarang ini,
tidak sedikit membawa dampak negatif terhadap sikap hidup dan perilaku (moral dan
akhlak) manusia itu sendiri, baik ia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.
Dampak negatif yang paling nyata terhadap kehidupan manusia atas kemajuan
tersebut adalah mewabahnya budaya materi. Hal ini ditandai dengan meluasnya anggapan
bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidup manusia adalah kekayaan materi,
sehingga mereka mengejar materi tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sangat
berperan dalam memelihara dan mengendalikan perilaku atau akhlak mereka. Nilai-nilai
spiritual yang dimaksud adalah ajaran agama yang berfungsi membina kepribadian
manusia dalam kedudukannya sebagai hamba Allah dan anggota masyarakat.
Pada kenyataannya budaya materi tidak dapat membawa manusia mencapai
kebahagiaan yang hakiki, bahkan justru membawa bencana dan kehancuran bagi
kehidupan manusia pada segala aspeknya, karena yang ada dalam budaya ini adalah
kerakusan dan egoisme yang menyebabkan hilangnya nilai-nilai luhur seperti amanah,
kasih sayang, tenggang rasa, belas kasih, dan lain sebagainya. Bangsa Romawi dan Persia
dahulu yang terkenal dengan ketinggian budayanya, ternyata tidak memberikan jaminan
mereka akan berbuat secara manusiawi terhadap sesamanya, bahkan sebaliknya, karena
yang mereka agungkan adalah budaya materi.
Belajar dari sejarah bangsa-bangsa, tidak bisa dipungkiri bahwa keunggulan dan
kehancuran umat ditentukan oleh akhlak yang mereka miliki. Oleh karena itu akhlak
sangat penting dalam kehidupan manusia.

B. Pengertian Akhlak
Kata ”akhlak” (akhlaq) berasal dari bahasa Arab , merupakan bentuk jamak dari
”khuluq” yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan kata ”khalq” yang berarti kejadian.
Ibn ’Athir menjelaskan bahwa khuluq itu adalah gambaran batin manusia yang
sebenarnya (yaitu jiwa dan sifat-sifat batiniah), sedang khalq merupakan gambaran
bentuk jasmaninya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah badan, dan lain sebagainya).
Kata khuluq sebagai bentuk tunggal dari akhlak, tercantum dalam Al-Qur’an surat al-
Qalam: 4, yang artinya : ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi
pekerti yang agung”
Kata akhlak juga dapat kita temukan dalam hadits yang sangat populer yang
diriwayatkan oleh Imam Malik, yang artinya : ”Bahwasanya aku (Muhammad) diutus
tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Secara terminologis, terdapat beberapa definisi akhlak yang dikemukakan oleh
para ahli. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai ”kehendak yang dibiasakan”.
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah ”sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan”. Sedangkan Abdullah Darraz mengemukakan bahwa akhlak adalah ”suatu
kekuatan dalam kehendak yang mantap yang membawa kecenderungan kepada pemilihan
pada pihak yang benar (akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (akhlak yang buruk)”.
Selanjutnya menurut Abdullah Darraz, perbuatan-perbuatan manusia dapat
dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila memenuhi dua syarat, yaitu :
1. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang
sama, sehingga menjadi suatu kebiasaan bagi pelakunya.
2. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan jiwanya, bukan
karena adanya tekanan dari luar, seperti adanya paksaan yang menimbulkan
ketakutan atau bujukan dengan harapan mendapatkan sesuatu.
Di samping istilah ”akhlak”, kita juga mengenal istilah ”etika” dan ”moral”.
Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk dari sikap dan perbuatan
manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Akhlak standarnya adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan etika standarnya pertimbangan akal pikiran, dan
moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.
C. Kriteria Perbuatan Akhlak
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah
tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa
tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan spontan, tanpa dipikirkan dan diangan-angankan terlebih dahulu.
Hal itu tidak berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja
atau tidak dikehendaki. Hanya saja karena yang demikian itu dilakukan berulang-ulang
sehingga sudah menjadi kebiasaan, maka perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa
dipikir dan dipertimbangkan lagi.
Sebenarnya akhlak itu sendiri bukanlah perbuatan, melainkan gambaran batin
(jiwa) yang tersembunyi dalam diri manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
akhlak adalah nafsiyah (sesuatu yang bersifat kejiwaan/abstrak), sedangkan bentuknya
yang kelihatan berupa tindakan (mu’amalah) atau tingkah laku (suluk) merupakan
cerminan dari akhlak tadi.
Seringkali suatu perbuatan dilakukan secara kebetulan tanpa adanya kemauan
atau kehendak, dan bisa juga perbuatan itu dilakukan sekali atau beberapa kali saja, atau
barangkali perbuatan itu dilakukan tanpa disertai ikhtiar (kehendak bebas) karena adanya
tekanan atau paksaan. Maka perbuatan-perbuatan tersebut di atas tidak dapat
dikategorikan sebagai akhlak.
Sebagai contoh, seseorang tidak dapat dikatakan berakhlak dermawan, apabila
perbuatan memberikan hartanya itu dilakukan hanya sekali atau dua kali saja, atau
mungkin dia memberikan itu karena terpaksa (disebabkan gengsi atau di bawah tekanan)
yang sebenarnya dia tidak menghendaki untuk melakukannya, atau mungkin untuk
memberikan hartanya itu dia masih merasa berat sehingga memerlukan perhitungan dan
pertimbangan. Padahal faktor kehendak ini memegang peranan yang sangat penting,
karena ia menunjukkan adanya unsur ikhtiar dan kebebasan, sehingga suatu perbuatan
bisa disebut perbuatan akhlak.
D. Urgensi Akhlak dalam Kehidupan
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang mulia karena karunia yang
diberikan Allah kepadanya berupa akal pikiran yang membedakannya dengan makhluk-
makhluk lainnya.
Manusia mempunyai dua jalur hubungan. Pertama, jalur hubungan vertikal, yaitu
hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan al-Khaliq (Sang Pencipta) Allah
SWT. Menjalin hubungan dengan Allah ini merupakan kewajiban bagi manusia, karena
statusnya sebagai makhluk mengharuskan dia untuk mengabdi dan menghambakan diri
kepada Allah sebagai Tuhan yang telah menciptakannya, sebagaimana yang diungkapkan
di dalam Al-Qur’an surat Al-Dzariyat: 56, yang artinya : ”Dan tidaklah Aku menciptakan
jin dan manusia kecuali agar menyembah (beribadah) kepada-Ku”.
Kedua, jalur hubungan horisontal, yaitu hubungan antara manusia dengan
sesamanya Hubungan manusia dengan sesamanya ini merupakan kodrat pembawaan
manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial, yakni makhluk bermasyarakat yang suka
bergaul, di samping adanya perintah Allah agar manusia saling mengenal, saling
berinteraksi, saling berkasih sayang, dan saling tolong menolong di antara sesamanya.
Kedua jalur hubungan tersebut di atas harus dilaksanakan dan dipelihara dengan
sebaik-baiknya, sehingga dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran: 112, yang artinya :
”Ditimpakan atas mereka kehinaan (kesengsaraan) di mana saja mereka berada, kecuali
bila selalu memelihara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia”.
Di dalam Islam, kedua jalur tersebut dimanifestasikan dalam bentuk ”amal shalih”
yang tidak lain adalah akhlak islamiyah. Oleh karena itu, akhlak menjadi sesuatu hal
yang sangat penting dan tidak dipisahkan dari kehidupan manusia. Urgensi akhlak ini
tidak saja dirasakan oleh manusia itu sendiri dalam kehidupan individual, tetapi juga
dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, bahkan dalam kehidupan bernegara.
Akhlak juga merupakan mutiara hidup yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan derajat kemanusiaannya yang
mulia dan akan turun ke derajat binatang, atau bahkan lebih rendah. Sebab dengan
potensi akalnya manusia bisa berbuat lebih hina dan lebih jahat daripada binatang.

Akhlak, secara umum, mempunyai faedah yang signifikan dalam kehidupan


manusia, di antaranya adalah :
1. Meningkatkan derajat manusia.
2. Menuntun kepada kebaikan.
3. Menunjukkan manifestasi kesempurnaan iman.
4. Menjadi unsur penolong di hari kiamat kelak.

E. Baik dan Buruk dalam Islam


Akhlak erat kaitannya dengan perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Perbuatan
manusia ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang benar dan ada yang salah. Penilaian
terhadap suatu perbuatan, apakah ia benar atau salah, baik atau buruk, bisa bersifat relatif.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan tolok ukur yang digunakan untuk melakukan
penilaian tersebut. Perbedaan tolok ukur ini dilatarbelakangi oleh perbedaan agama
(kepercayaan/keyakinan), ideologi, cara berpikir, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Pengertian ”benar” menurut etika (ilmu akhlak) adalah hal-hal yang sesuai dengan
peraturan. Sebaliknya, ”salah” adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan.
Apabila kriteria ini yang dipakai, maka wajar bila kita mendapatkan bermacam-macam
”benar” dalam dunia ini, yang bahkan mungkin saja antara ”benar” yang satu
bertentangan dengan ”benar” yang lain. Hal ini disebabkan karena peraturan yang ada
bermacam-macam, berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, bahkan bisa jadi
bertentangan. ”Benar” menurut sekelompok orang belum tentu juga ”benar” menurut
kelompok yang lain, karena berbeda peraturan yang menjadi tolok ukurnya.
Padahal secara obyektif, ”benar” itu hanya satu. Tidak ada dua ”benar” yang
saling bertentangan. Kalau itu yang terjadi, mungkin saja yang satu salah, atau dua-
duanya salah.
Kita tahu bahwa peraturan-peraturan yang dibuat manusia didasarkan atas asumsi
akal pikiran manusia, dan itu pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya sesuai
dengan kondisi, situasi, dan tempat yang menjadi pijakan manusia dalam membuat
peraturan tersebut. Oleh karena itu, kebenaran yang didasarkan pada peraturan yang
dibuat manusia bersifat relatif.

Sedangkan kebenaran yang obyektif, yang merupakan kebenaran yang pasti dan
satu itu adalah kebenaran yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh Yang Maha
Satu, Yang Maha Tahu, dan Yang Maha Benar, yakni Allah SWT. Kebenaran mutlak
adalah kebenaran dari Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah: 141,
yang artinya : ”Kebenaran adalah dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali kalian
termasuk orang-orang yang ragu (menerima kebenaran dari Tuhan)”
Peraturan yang dibuat manusia yang bersifat relatif dapat dianggap ”benar”
apabila tidak bertentangan dengan peraturan obyektif yang dibuat oleh Allah Yang Maha
Benar, yaitu peraturan yang tidak bertentangan dengan wahyu. Peraturan yang dibuat
Tuhan adalah peraturan yang bersifat universal dan fleksibel, sehingga memberi
kemudahan bagi manusia untuk menerapkannya di masing-masing tempat, waktu, situasi,
dan kondisi yang berlainan.
Tidak jauh berbeda dengan problembatika benar dan salah adalah masalah baik
dan buruk. Pengertian ”baik” menurut etika adalah sesuatu yang berharga untuk suatu
tujuan. Sebaliknya yang tidak berharga dan tidak berguna, apalagi merugikan untuk
tujuan tertentu disebut ”buruk”.
Baik dan buruk ini juga ada yang bersifat relatif subyektif. Baik bagi
seseorang/kelompok belum tentu baik bagi orang/kelompok lain, karena masing-masing
orang/kelompok mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara obyektif
tujuan akhir semua orang adalah sama, ingin baik atau ingin bahagia, dan itulah yang
disebut dengan ”kebaikan tertinggi”.
Kebaikan yang berhubungan dengan tujuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kebaikan sebagai tujuan akhir dan kebaikan sebagai cara, jalan, sarana, atau alat.
Kebaikan sebagai cara ini beraneka ragam, dan menjadi tujuan sementara untuk menuju
tujuan akhir.
Di dalam akhlak islamiyah, baik sebagai cara (tujuan sementara) harus sejalan
dengan baik sebagai tujuan akhir, dalam arti keduanya harus berada dalam satu norma.
Untuk mencapai tujuan yang baik harus dengan jalan yang baik dan benar. Untuk itu,
Islam sudah menggariskan secara tegas dalam ajarannya apa yang boleh diperbuat dan
apa yang tidak boleh, mana yang halal dan mana yang haram. Semuanya itu harus diikuti
oleh manusia dan tidak boleh dilanggar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi ukuran baik dan
buruknya perbuatan manusia adalah ajaran Tuhan (agama). Segala perbuatan yang
diperintahkan agama itulah perbuatan yang baik, dan segala perbuatan yang dilarang
agama itulah perbuatan yang buruk. Di dalam Islam, semuanya itu bisa dirujuk dalam Al-
Qur’an dan Sunnah.
Dengan demikian, sumber akhlak Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Maka
segala sesuatu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, benar atau salah, didasarkan
pada penilaian Al-Qur’an dan Sunnah. Sifat pemaaf, syukur, pemurah, jujur, dan rajin
bekerja dinilai baik karena kedua sumber di atas (Al-Qur’an dan Sunnah) memang
menyatakan semua hal tersebut sebagai perilaku yang baik.
Demikian pula sebaliknya, kalau kedua sumber tadi menyatakan sebagai perilaku
buruk, seperti sifat dendam, curang, dan malas, maka perilaku yang demikian itu adalah
perilaku yang buruk.
Menurut al-Maududi dan al-Ghazali, di samping Al-Qur’an dan Sunnah sebagai
sumber pokok akhlak, dikenal pula sumber tambahan (pelengkap) yaitu akal,
pengalaman, dan intuisi, dengan syarat produk sumber tambahan (pelengkap) tadi tidak
bertentangan dengan sumber pokok.

F. Sasaran Akhlak
Sebagaimana kita ketahui, akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber
lahirnya perbuatan. Dengan kata lain, akhlak itu berkaitan dengan nilai baik dan buruk,
maka yang dinilai baik dan buruk itu adalah keadaan batin yang melahirkan perbuatan-
perbuatan, tingkah laku, atau sikap secara spontan. Akan tetapi keadaan batin yang
sebenarnya tidak mungkin diketahui orang lain. Orang hanya akan dapat menilai
perbuatan-perbuatan, tingkah laku, atau sikap yang mencerminkan keadaan batin yang
mendorong lahirnya tingkah laku atau sikap. Hal itu dapat dinilai baik atau buruk jika
dilahirkan oleh kehendak dan pilihan bebas.
Dengan demikian, obyek akhlak menurut ajaran Islam mencakup :
1. Sikap terhadap diri sendiri, misalnya sabar, jujur, ’iffah, qona’ah,
berani, tawadlu’.
2. Sikap terhadap masyarakat, seperti memelihara perasaan orang lain,
tanggung jawab terhadap amanah yang diemban, berperilaku disiplin dalam
urusan publik, memberi kontribusi secara optimal sesuai dengan tugasnya,
amar ma’ruf nahi munkar.
3. Sikap terhadap alam, contohnya memberi ruang habitat yang memadai
terhadap hewan, tidak memasung hewan piaraan dalam kerangkeng yang
menyiksa, memberi hak istirahat kepada binatang yang dipergunakan sebagai
alat angkut, tidak membuang sampah atau limbah secara sembarangan yang
dapat merusak lingkungan alam.
4. Sikap terhadap Allah, misalnya takwa, ikhlas, ridha, khauf dan raja’,
tawakkal, syukur, muraqabah, taubat.
5. Sikap kepada Rasul dapat berupa mencintai dan memuliakannya,
mentaati dan mengikuti sunnahnya, serta mengucapkan shalawat dan salam
untuk Rasulullah.

G. Akhlak Mahmudah dan Akhlak Madzmumah


Secara garis besar, akhlak dibagi dalam dua kategori, akhlak mahmudah dan
akhlak madzmumah. Yang dimaksud dengan akhlak mahmudah adalah segala macam
sikap dan tingkah laku yang baik (terpuji), sedangkan akhlak madzmumah adalah segala
macam sikap dan tingkah laku yang buruk (tercela).
Adapun yang termasuk dalam kategori akhlak mahmudah jumlahnya cukup
banyak, di antaranya adalah ikhlas (berbuat semata-mata karena Allah), tawakkal
(berserah diri pada Allah), syukur (berterima kasih atas nikmat Allah), sidq (benar/jujur),
amanah (dapat dipercaya), ’adl (adil), ’afw (pemaaf), wafa’ (menepati janji), ’iffah
(menjaga kehormatan diri), haya’ (punya rasa malu), syaja’ah (berani), shabr (sabar),
rahmah (kasih sayang), sakha’ (murah hati), ta’awun (penolong), iqtishad (hemat),
tawadlu’ (rendah hati), muru’ah (menjaga perasaan orang lain), qana’ah (merasa cukup
dengan pemberian Allah), rifq (berbelas kasihan), dan lain sebagainya.
Di bawah ini adalah penjelasan singkat mengenai sebagian akhlak mahmudah
yang telah disebutkan di atas.

a. Ikhlas
Menurut bahasa, ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan. Menurut istilah,
yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata mengharap ridha Allah
SWT.
b. Tawakkal
Tawakkal artinya berpasrah diri kepada Allah setelah melakukan upaya-upaya atau
berikhtiar terlebih dahulu. Orang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang
bekerja keras untuk menggapai apa yang diinginkannya dengan melakukan ikhtiar
yang benar dan optimal serta mengikuti prosedur yang wajar, tetapi ia tetap meyakini
bahwa keberhasilan usahanya ditentukan oleh Allah SWT.
c. Syukur
Syukur ialah merasa senang dan berterima kasih atas nikmat yang Allah berikan. Hal
ini tercermin dalam aktivitas atau amal orang yang memperoleh nikmat itu dalam
beribadah kepada Allah. Imannya bertambah teguh dan lidahnya semakin banyak
berzikir kepada Allah. Syukur itu tidak hanya cukup dengan memuji-muji Tuhan
dengan memperbanyak ucapan ”alhamdulillah” saja, melainkan harus sejalan dan
seirama dengan pengakuan di dalam hati, diiringi pula dengan perbuatan-perbuatan
nyata mentaati Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi
larangan-larangan-Nya, dan menggunakan nikmat yang Allah berikan itu sesuai
dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
d. Amanah (jujur/dapat dipercaya)
Dalam kehidupan sehari-hari, karakteristik orang jujur sering digambarkan sebagai
orang yang tidak suka berbohong, bisa dipercaya, bertanggung jawab, dan gaya
hidupnya lurus. Orang yang berakhlak amanah adalah orang selalu memelihara hak-
hak Allah dan hak-hak manusia yang ada pada dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan
menyia-nyiakan atau berkhianat terhadap tugas yang diembannya, baik tugas ibadah
maupun tugas muamalah.
e. Sabar
Yang dimaksud dengan sabar menurut pengertian agama Islam adalah tahan
menderita pada sesuatu yang tidak disenangi, dengan disertai sikap ridha, ikhlas, dan
berserah diri kepada Allah. Secara umum dapat dikatakan bahwa sabar adalah
kemampuan atau daya tahan manusia menguasai sifat destruktif yang terdapat dalam
diri setiap orang, yaitu hawa nafsu. Dengan demikian, sabar mengandung unsur
perjuangan, pergulatan, pengeluaran segala daya upaya untuk tidak menyerah begitu
saja.
Sedangkan sifat-sifat yang termasuk dalam kategori akhlak madzmumah di
antaranya adalah ananiyah (egoisme), bukhl (kikir), kidzb (dusta), khianah (berkhianat),
dzulm (zalim/berbuat aniaya), jubn (pengecut), ghadhab (pemarah), ghisysy
(curang/culas), hasad (dengki), takabbur (sombong), kufr (ingkar terhadap nikmat Allah),
riya’ (ingin dipuji), tabdzir (boros), ’ajalah (ceroboh/tergesa-gesa), israf (berlebih-
lebihan), hiqd (dendam), kasal (malas), dan lain sebagainya.
Di bawah ini adalah penjelasan singkat mengenai sebagian akhlak madzmumah
yang telah disebutkan di atas.
a. Dusta
Dusta atau bohong adalah pernyataan tentang sesuatu hal yang tidak sesuai
dengan keadaannya yang sesungguhnya. Dusta ini tidak hanya berkaitan dengan
perkataan saja, tetapi juga dengan perbuatan.
Bila sifat dusta sudah merajalalela dalam kehidupan suatu masyarakat, maka bisa
dipastikan kondisi masyarakat itu akan kacau dan tinggal menunggu
kehancurannya, karena dusta adalah pangkal segala perbuatan dosa.
b. Zalim
Zalim berarti berbuat aniaya, tidak adil dalam memutuskan perkara, berat sebelah
dalam tindakan, atau mengambil hak orang lain. Ada beberapa faktor yang
mendorong orang untuk berbuat zalim. Pertama, perasaan cinta dan benci. Cinta
terhadap seseorang biasanya mendorong untuk mengutamakan orang yang
dicintai tersebut, sehingga berlaku berat sebelah kepadanya. Demikian pula
perasaan benci terhadap seseorang akan memunculkan sikap tidak adil dan tidak
memberikan hak orang tersebut sebagaimana mestinya. Kedua, kepentingan diri
sendiri. Mengutamakan kepentingan diri sendiri akan membuat orang bersifat
egois dan individualistis, sehingga dia akan tega berbuat aniaya terhadap orang
lain, misalnya dengan menyerobot hak-hak orang tersebut.

c. Takabur
Takabur berarti merasa dan mengaku dirinya lebih (mulia, pandai, cakap, dan lain
sebagainya) dari orang lain. Pendek kata, takabur merupakan perasaan bahwa
dirinya serba hebat, atau dengan kata lain sombong. Sifat ini akan memunculkan
anggapan bahwa orang lain lebih rendah dari dirinya, dan dia tidak peduli apakah
anggapan itu berdasarkan kenyataan atau tidak. Hal ini tentu berbahaya dan justru
akan merugikan diri sendiri. Orang yang memiliki sifat ini akan terlihat dalam
sikap, tindak tanduk, dan penampilannya yang tidak menyenangkan orang lain.
Sifat takabur ini sangat tercela di sisi Tuhan dan di sisi manusia.
d. Putus asa
Sebagai kebalikan dari sabar adalah putus asa, yaitu ketidakmampuan seseorang
menanggung derita atas musibah atau kesedihan. Dari putus asa ini akan muncul
tindakan-tindakan negatif dan destruktif, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Putus asa merupakan ciri kelemahan mental.
e. Pengecut
Sifat ini selalu membuat orang ragu-ragu sebelum memulai suatu langkah, maka
ia akan menyerah sebelum berjuang. Sifat pengecut dipandang sebagai sifat yang
tercela karena akan membawa manusia pada kerendahan dan kemunduran.
Perasaan takut pada dasarnya memang ada pada setiap manusia normal. Takut
yang wajar akan membuat orang berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan.
Akan tetapi takut yang berlebihan tanpa alasan bersumber pada sifat pengecut
yang menyebabkan orang bersikap pasif, seperti tidak mau berdagang karena
takut rugi, tidak mau berjuang di jalan Allah karena takut menderita, dan lain
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai