Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

ATH-THORIQ ILA MA'RIFATULLAH


(METODE MENGENAL ALLAH)
Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Ajar Agama Islam

Disusun Oleh :

Jum'ah, Ali (pengarang)


Muhammad Farid Wajdi (pengalih bahasa)
engarang
Fauzi Al Muhtad (editor)

Edisi Cetakan I : Juni 2013


Penerbitan Yogyakarta : CV. Pustaka Ilmu Group, 2013

Syaikh. Ayyub. Hasan. (2011) As-Suluk Al-Ijtima'i. (N.Idris. Terjemahan)


Jakarta. Pustaka Al-Kautsar

Jum’ah, Ali. (2013) At- Thoriq Ila Al-Alla. (Muhammad Farid Wajdi (pengalih
bahasa) Fauzi Al Muhtad (editor) Yogyakarta. CV. Pustaka
Ilmu Group
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang diberi akal yang sempurna, tatkala
akal membawa kepada sesuatu yang diinginkan. Tetapi alangkah baiknya
digunakan kepada sesuatu yang akan memberikan manfaat salah satunya
untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT. Manusia akan
hidup lurus apabila dia mampu menggunakan akalya untuk mengetahui
siapa dirinya. Yang akhirnya akan sampai kepada zat yang
menciptakannya yaitu Allah SWT. Inilah yang menjadi persoalan bahwa
manusia kebanyakan lupa kepada dzat yang menciptakannya yaitu Allah
SWT.
Fenomena yang terjadi sekarang bahwa manusia hidup kebanyakan
dengan moral yang kurang sempurna. Yaitu hal yang tidak sejalan dengan
aturan Agama Islam. Ini dikarenakan kurang mengenal dirinya sendiri atau
dengan kata lain tidak mengetahui jati dirinya sendiri. Orang yang
mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai
dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya
sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa
berdzikir, tilawah, belajar, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada
ruang hanya waktu ibadah kepada Allah.
Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang
mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari
enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari
ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari
sombong menjadi tawadhu’ (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”
Bagaimana supaya kita mampu mengenal Allah SWT? Maka
dalam makalah ini akan dibahas mengenai Mengenal Allah atau dengan
kata lain ma’rifatullah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian mengenal Allah SWT?
2. Apa bukti keberadaan Allah SWT?
3. Apa bahaya syirik?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian mengenal Allah SWT.
2. Untuk mengetahui bukti keberadaan Allah SWT.
3. Untuk mengetahui apa saja bahaya dari syirik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. MA’RIFATULLAH
1. Urgensi Mengenal Allah
a. Definisi
Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa – ya’rifu – ma’rifah yang berarti
mengenal. Dengan demikian ma’rifatullah berarti usaha manusia untuk
mengenal Allah baik wujud maupun sifat-sifat-Nya. Manusia sangat
berkepentingan untuk mengetahui siapa penciptanya dan untuk apa ia
diciptakan. Karena itu, manusia pun mulai melakukan penelitian dan
mencari-cari siapa gerangan Tuhannya. Allah yang Maha Rahman dan
Maha Rahim tentu tidak akan membiarkan kita terkatung-katung tanpa
adanya pembimbing yaitu utusan-utusan-Nya para nabi dan rasul yang
akan menunjukkan kita ke jalan yang benar. Maka di antara manusia ada
yang berhasil mengetahui Allah dan banyak pula yang tersesat, berjalan
dengan angan-angannya sendiri.
“Maka berpalinglah kamu dari orang yang telah berpaling dari
peringatan Kami dan dia tidak menghendaki, kecuali kehidupan dunia.
Itulah kesudahan pengetahuan mereka. Sungguh Tuhanmu lebih
mengetahui orang yang telah sesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih
mengetahui orang yang dapat petunjuk”. (QS. An Najm: 29-30).
Definisi yang lain bahwa Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah
mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh
kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia
yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu
yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah
orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh
ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang
membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya
dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun
ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang
mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan
gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.

b. Manfaat Mengenal Allah (Ma’rifatullah)


Secara umum, manusia mengetahui bahwa suatu ilmu dikatakan
penting dan dirasakan mulia sebetulnya tergantung kepada dua hal yaitu
apakah yang menjadi obyek ilmu itu dan seberapa besar manfaat yang
dihasilkan darinya. Berdasarkan alasan tersebut, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa ma’rifatullah merupakan ilmu yang paling mulia dan
penting karena materi yang dipelajarinya adalah Allah. Manfaat yang
dihasilkannya pun tidak saja untuk kepentingan dunia tapi juga untuk
kebahagiaan akhirat.
Orang yang mempelajari ma’rifatullah akan menjadi insan yang
beriman dan bertaqwa bila Allah memberi hidayah kepadanya. Dan bagi
muslim yang mempelajarinya, insya Allah akan menaikkan keimanan
dan ketaqwaannya (raf’ul iman wat taqwa). Sebagai balasan atas
keimanan dan ketaqwaan mereka, Allah SWT menjanjikan kebaikan-
kebaikan bagi mereka, di antaranya: 
 Al Khalifah. Bahwa Allah SWT menjanjikan kepada mereka untuk
menjadi penguasa di muka bumi ini. 
“Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman di
antaramu dan mengerjakan amal shaleh, bahwa Allah sungguh-
sungguh akan mengangkat mereka menjadi khalifah di muka bumi,
sebagaimana orang-orang dahulu menjadi khalifah…” (QS. An Nuur:
55).
Melalui beberapa tahap pembinaan secara berkesinambungan, insya
Allah kekhalifahan Islam akan muncul kembali sebagaimana yang
dinubuahkan rasulullah saw. Rasulullah saw mengungkapkan bahwa
umat Islam setidaknya akan melalui lima periode dalam perjalanannya
hingga hari kiamat nanti, yaitu periode kenabian, periode kekhalifahan
yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, periode mulkan adhan
(penguasa yang menggigit), periode mulkan jabbariyan (penguasa
yang menindas), dan terakhir sebelum datangnya kiamat, umat ini
sekali lagi akan berjaya dengan kembali ke periode kekhalifahan yang
tegak di atas nilai-nilai kenabian. (disarikan dari hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi).
 Tamkinuddin yaitu diteguhkannya Agama Islam di muka bumi.
“…dan Allah sungguh-sungguh akan meneguhkan agama mereka
yang diridhai-Nya…” (QS. An Nur: 55).
“Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk
(Al Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas
segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. (QS.
At Taubah: 33 dan QS. Ash Shaf: 9).
“Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang hak, agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama.
Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (QS. Al Fath: 28).
 Al Amnu, bahwa Allah SWT akan mengkondisikan orang-orang yang
beriman rasa aman dan tentram setelah sebelumnya mereka selalu
ditimpa keresahan dan ketakutan
“Dan Allah sungguh-sungguh akan menggantikan ketakutan mereka
dengan keamanan…” (QS. An Nur: 55).
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-
buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada
Allah dan hari kemudian”. (QS. Al Baqarah: 126).
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam surga
(taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir).
(Dikatakan kepada mereka), “Masuklah ke dalamnya dengan
sejahtera lagi aman”. (QS Al Hijr: 45-46).
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (QS. Al An’am: 82).
 Al Barakat (keberkahan yang melimpah)
“Kalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya
Kami tumpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi,
tetapi mereka itu mendustakan, sebab itu Kami siksa mereka
disebabkan usahanya itu”. (QS. Al A’raf: 96).
 Al Hayatun thayyibah (kehidupan yang baik)
“Barangsiapa melakukan kebaikan-kebaikan, laki-laki maupun
perempuan dan dia beriman, pasti Kami akan memberinya kehidupan,
kehidupan yang menyenangkan. Dan Kami akan memberinya pahala,
sesuai dengan apa yang mereka lakukan secara lebih baik”. (QS. An
Nahl: 97).
 Al Jannah (surga)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shalih, bagi mereka surga Firdaus-lah tempatnya, mereka kekal di
dalamnya tak hendak berpindah darinya”. (QS. Al Kahfi: 107-108).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, untuk
mereka itu surga na’im. Mereka kekal di dalamnya. Itulah janji Allah
yang sebenarnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.
Lukman: 8-9).
Kesemua ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa ma’rifatullah bila
dipelajari dengan benar akan menambah keimanan dan ketaqwaan.
Orang-orang yang bijak dan memiliki akal sehat tentu akan memilih
beriman dan bertaqwa kepada Allah daripada mengingkari atau
mempersekutukan-Nya dengan ilah-ilah yang lain.

c. Ciri-ciri dalam Makrifatullah:


Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) jika ia telah
mengenali:
 Asma’(nama) Allah SWT
 Sifat Allah SWT
 Af’al (perbuatan) Allah SWT, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar
dalam kehidupan alam ini.
Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan:
 Sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah
SWT
 Ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah SWT
 Pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa
yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
 Sabar/ menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah SWT atas dirinya
 Berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
 Membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan
subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti
yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.
d. Dukungan Dalil yang Kuat
Pemahaman Ma’rifatullah yang benar harus didukung oleh dalil-dalil yang
kuat dan shahih yang sudah Allah siapkan agar kita sebagai hamba-Nya
memikirkannya. Di dalam Al Qur’an Al Karim kita akan mendapati
ungkapan-ungkapan Allah SWT yang berbunyi “…apakah kalian tidak
memikirkan?” atau “…apakah mereka tidak mendengar…”
 Dalil Naqli
Allah SWT menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk dan juga
peringatan untuk ummat manusia.  Allah SWT berfirman dalam QS. Al
An’am: 19
Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah:
“Allah”. Dia menjadi saksi antara Aku dan kamu. dan Al Qur’an Ini
diwahyukan kepadaku supaya dengannya Aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur’an
(kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-
tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui.”
Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan
(dengan Allah)”.( QS. Al An’am: 19)

Ayat ini menjelaskan bahwa Al Qur’an memberi petunjuk kepada


manusia akan hakikat Tuhan Rabbul Alamin yaitu Allah SWT.
 Dalil Aqli
Jika manusia merenungkan apa yang terdapat di alam semesta, pasti
akan menyadari bahwa keharmonisan sistem alam semesta tidak terjadi
secara kebetulan. Pasti ada Yang Maha Mengatur dan Maha Menjaga
atas hal ini, dialah Allah SWT.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal” (QS. Ali Imran: 190).
 Dalil Fitrah
Jika manusia menggunakan fitrahnya, maka dia pasti akan menyatakan
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Menciptakan alam
beserta isinya. Allah SWT menjelaskannya dalam QS. Al A’raf: 172
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.( QS. Al A’raf: 172)

e. Figur-figur Teladan dalam Ma’rifat:


 Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali
Allah SWT. Sabda Nabi: “Sayalah orang yang paling mengenal Allah
dan yang paling takut kepada-Nya” (HR Al Bukhary –Muslim).
Nabi mengucapkan hadist ini sebagai jawaban dari pernyataan tiga
orang yang ingin mendekatkan diri kepada allah dengan keinginan dan
perasaannya sendiri.
 Ulama Amilun (ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama” (QS 35:28).
Orang yang mengenali Allah SWT dengan benar adalah orang yang
mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Maka
akan kita dapati sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita
dapati senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan
masyarakat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu kecuali ibadah
kepada Allah SWT, serta menjauhi semua larangan-Nya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan: “Duduk di sisi orang yang
mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari
enam hal, yaitu: dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlas, dari
ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari
sombong menjadi tawadhu’ (rendah hati), dari buruk hati menjadi
nasihat”.

f. Sarana-sarana yang Mengantarkan Seseorang pada Ma’rifatullah


adalah:
 Akal sehat
Merenungkan ciptaan Allah SWT, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an
yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap
pengenalan Al-Khaliq seperti firman Allah SWT: “Katakanlah,
tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang
memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman (QS 10:10,
atau QS 3:190-191). Sabda Nabi: berpikirlah tentang ciptaan Allah dan
janganlah kamu berpikir tentang Allah karena kamu tidak akan mampu
(HR. Abu Nu’aim)
 Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-
jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensinya. Mereka inilah
diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah SWT. Firman Allah
SWT: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka
Al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan (QS. 57:25).
 Asma dan sifat Allah SWT
Mengenali asma (nama) dan sifat Allah SWT disertai dengan
perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana
untuk mengenali Allah SWT. Cara inilah yang telah Allah SWT
gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-NYA, sehingga
terbukalah jendela untuk mengenali Allah SWT lebih dekat lagi. Selain
itu juga akan menggerakkan dan membuka hati manusia unuk
menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah SWT.
Firman Allah SWT: “Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-
Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-
asma Al-husna atau nama-nama yang terbaik (QS. 17:110). Allah SWT
memerintahkan kita dalam berdoa, “Hanya milik Allah asma Al-husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma Al-Husna (QS.
7:180).

2. Cara Mengenal Allah SWT


Agar manusia dapat mengenal Allah SWT, ia harus tahu jalan yang
benar untuk menuju-Nya. Karena bila jalannya salah bisa jadi ia akan
kesasar. Orang yang benar jalannya hingga ia sampai pada tujuan yang
sebenarnya, ia menjadi orang yang ma’rifah dan semakin yakin serta
membenarkan keimanannya. Sedangkan orang-orang yang tersesat
jalannya, tentu tidak akan sampai pada tujuan yang sebenarnya, yaitu
berma’rifah kepada Allah SWT. Mereka kemudian menjadi orang yang
penuh keragu-raguan (al irtiyab), hingga kemudian menjadi orang-orang
kafir mengingkari keberadaan Allah SWT.
a. Jalan yang dilalui bukan atas dasar petunjuk Islam
Dari dahulu hingga sekarang ada orang-orang yang masih beranggapan
bahwa Allah tidak ada, hanya gara-gara mereka tidak dapat melihat-
Nya dengan panca inderanya sendiri (al-hawas), dengan alasan mereka
tidak mempercayai sesuatu yang ghaib. Padahal panca indera kita
sangat terbatas kemampuannya dalam menganalisa benda-benda yang
nampak, apalagi terhadap benda-benda yang tidak nampak.
Hanya dengan berbekal panca indera, mereka tidak akan dapat
mengenal Allah. Manusia hanya dapat melihat-Nya di surga nanti bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Mereka tidak mampu melihat-Nya,
bahkan karena kesesatannya lalu mereka menjadikan benda-benda lain
yang mempunyai kekuatan tertentu yang mempengaruhi kehidupannya
sebagai Tuhan mereka selain Allah SWT (ghairullah). Tersebutlah
kemudian kepercayaan akan adanya dewa-dewa yang menguasai
matahari, bintang, langit, air, udara dan lainnya. Selain itu ada pula
yang karena jenuh mencari namun tak juga berhasil, lalu berkesimpulan
bahwa Tuhan tidak ada. Pencarian tak tentu arah ini lalu menimbulkan
sikap skeptis. Segala sesuatu yang berhubungan dengan diri dan juga
gejala-gejala alam yang terjadi dalam lingkungan kehidupannya
dipandangnya dengan nalarnya semata. Inilah yang mereka anggap
lebih ilmiah dari pada harus mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib,
mistik, takhayul dan sebagainya. Ilmu filsafat kemudian muncul
memuaskan segala nafsu dan akal manusia.
Akal manusia bisa jadi akan mampu mengenal keberadaan Allah SWT
melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang tersebar di pelosok bumi.
Namun karena mereka tidak mempunyai keimanan, segala pengetahuan
itu kemudian dijadikan diskursus ilmu semata.
Penggambaran yang salah terhadap metode untuk mengenal Allah SWT
ini, dulu maupun sekarang, merupakan faktor terbesar yang
menjauhkan manusia dari metode iman yang benar kepada Allah SWT.
Padahal penggambaran macam ini jelas-jelas salah. Secara aksiomatik,
akal mengatakan bahwa Allah SWT adalah pencipta materi tetapi Dia
bukan materi. Sebab materi tidak bisa menciptakan materi. Jika puncak
pencerapan indera di dalam kehidupan dunia kita hanya terbatas pada
materi yang tercerap secara inderawi saja, maka Allah SWT tidak akan
bisa menjadi obyek pengetahuan kita. Bangsa atau orang kafir manapun
juga pasti akan muncul kekacauan di seputar metode inderawi untuk
mengenal Allah SWT ini. Itulah sebabnya mengapa di zaman sekarang
kita mendengar ada orang-orang tertentu yang menjadikan “tidak bisa
dilihat oleh mata” menjadi sebab musabab timbulnya atheisme.
Demikian pula, kita mendengar beberapa negara tertentu menegaskan
demikian, seperti yang dilakukan oleh siaran Uni Soviet ketika
meluncurkan satelit industrinya yang pertama ke ruang angkasa.
Kedua jalan tersebut, yaitu al hawas (panca indera) dan aqli (akal
pemikiran) karena tidak diikuti dengan keimanan terhadap hasil
pencariannya itu, timbullah prasangka dan keragu-raguan (al irtiyab)
dan pada akhirnya membuat mereka menjadi kafir.
b. Jalan yang dilalui berdasarkan petunjuk Islam 
Jalan mengenal Allah telah ditunjukkan oleh Islam dengan
menggunakan prinsip keimanan dan akal pemikiran melalui tanda-tanda
(al-ayat), yaitu melalui ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an dan hadits),
ayat-ayat kauniyah (alam semesta), dan melalui mu’jizat.
Dari ayat-ayat qauliyah, Allah SWT mewahyukan firman-Nya kepada
para utusan-Nya. Ada yang berupa shuhuf, al kitab dan juga hadits
qudsi. Dalam Al-Qur’an kita dapati maklumat Allah SWT mengenai
keberadaan diri-Nya.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku, maka
mengabdilah pada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS.
Thaha: 14).
Dari ayat-ayat kauniyah, kita dapati keyakinan adanya Allah melalui
apa-apa yang ada di alam semesta dan juga pada diri kita sendiri. (lihat
QS. Adz-Dzariyat: 21-22 dan QS. Fushshilat: 53).
Misalnya adalah yang ada pada telapak tangan kita. Ruas-ruas tulang
jari (tapak tangan maupun telapak kaki) kita terkandung jejak-jejak
nama Allah, Tuhan yang sebenar pencipta alam semesta ini. Perhatikan
salah satu tapak tangan kita (bisa kanan bisa kiri). Perhatikan lagi
dengan seksama:
Jari kelingking = membentuk huruf alif
Jari manis, tengah dan jari telunjuk= membentuk huruf lam (double)
Jari jempol (ibu jari) = membentuk huruf ha
Jadi jika digabung, maka bagi Anda yang mengerti huruf Arab akan
mendapati bentuk tapak tangan itu bisa dibaca sebagai Allah (dalam
bahasa Arab).
Garis utama kedua telapak tangan kita, bertuliskan dalam angka arab
yaitu :
IɅ pada telapak tangan kanan, artinya: 18; dan ɅI pada telapak tangan
kiri, artinya: 81. Jika kedua angka ini dijumlahkan, 18+81 = 99, 99
adalah jumlah nama/ sifat Allah SWT, Asmaul Husna yang terdapat
dalam Al-Quran.
Mengenai sidik jari, polisi dapat mengidentifikasi kejahatan
berdasarkan sidik jari yang ditinggalkan oleh pelaku di tubuh korban.
Hal ini disebabkan struktur sidik jari setiap orang berbeda satu dengan
lainnya. Bila kelak penjahat itu telah ditemukan maka untuk
membuktikan kejahatannya sidik jarinya akan dicocokkan dengan sidik
jari yang ada dalam tubuh korban. Maka si penjahat tidak dapat
memungkiri perbuatannya di hadapan polisi.
Keistimewaan pada jari jemari manusia menunjukkan kebenaran firman
Allah SWT, yang menyatakan bahwa segala sesuatu ada bekasnya.
Allah SWT, tidak akan menyia-nyiakan bekas-bekas ini untuk dituntut
di yaumil akhir nanti.
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami
menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang
mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab
Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Yaasin:12).
Adapun mengenai mu’jizat yang Allah SWT berikan kepada para rasul
dan nabi-Nya, telah cukup memperkuat eksistensi Allah SWT. Mu’jizat
terbesar yang hingga kini masih ada adalah Al-Qur’an. Berikut adalah
beberapa contoh mu’jizat yang terdapat dalam Al Qur’an.
Asal mula alam raya: “Kemudian Dia menuju pada penciptaan langit
dan langit itu masih merupakan kabut, lalu Dia berkata, “Datanglah
kepada-Ku baik dengan suka maupun terpaksa”. Keduanya berkata,
“Kami datang dengan suka hati” (QS. Fushshilat: 11).
Tak seorangpun ahli saint mengira bahwa langit, bintang dan planet-
planet itu dasarnya adalah kabut (dukhan) setelah alat-alat ilmiah
berkembang pesat. Para peneliti menyaksikan sisa-sisa kabut yang
hingga kini selalu membentuk bintang-gemintang.
a. Bulan dan mentari: “Kami jadikan malam dan siang sebagai dua
tanda, lalu kami hapuskan tanda malam, kami jadikan tanda siang
itu terang” (QS. Al Isra: 12).
Para pakar ilmu astronomi pada saat ini telah menemukan bahwa
rembulan dulunya menyala kemudian padam dan sinarnya sirna.
Cahaya yang keluar dari rembulan di malam hari hanyalah pantulan
dari lampu (siraj) lain yaitu matahari.
“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan
bintang Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang
bercahaya.” (QS. Al-Furqan: 61).
Di sini Allah menyatakan bahwa matahari bersinar, sehingga
dikatakannya “pelita/lampu”. Jika bulan bersinar pula, tentu Allah
akan berkata “dua lampu” (as sirajain). 
b. Kurangnya oksigen di langit: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, niscaya Dia menjadikan dadanya sesak lagi sempit
seolah-olah sedang mendaki ke langit” (QS. Al-An’am: 125).
Dahulu orang-orang beranggapan bahwa orang yang naik ke atas
merasa sesak napas karena udara buruk yang tidak sehat. Tetapi
manakala manusia berhasil membuat pesawat ruang angkasa super
canggih dan ia mampu naik ke langit, diketahuilah bahwa orang yang
naik ke langit dadanya terasa sesak, bahkan amat sesak, dikarenakan
udara (oksigen) berkurang dan bahkan hampa. Karena itu para astronot
harus memakai tabung oksigen ketika mengangkasa.
Setelah mengkaji beberapa contoh hubungan kitabullah dengan
sains modern, pahamlah kita bahwa Al Qur’an benar-benar suatu
mukjizat yang tiada bandingnya. Mereka yang memiliki hati nurani
akan merasa takjub dengan keangungan-Nya. Sungguh benar firman
Allah SWT: “Sesungguhnya telah Kami datangkan kepada kamu suatu
kitab yang telah Kami jelaskan berdasarkan ilmu (dari kami), sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS. Al A’raf: 52).
Manusia yang beriman dan berakal lurus akan merasakan
keberadaan Allah SWT dan membenarkan keimanannya kepada Allah
SWT (tashdiqul mu’min ilallah). Sehingga rukun iman yang enam
perkara yang selalu kita hapalkan itu, bukan hanya keimanan dalam
lafadz semata, tapi juga telah tertashdiq (dibenarkan) dalam hati dan
pola tingkah kita sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat 53:11, “Hatinya tidak mendustai apa yang telah
dilihatnya”.
Ma’rifatullah merupakan jalan pembuka mengapa kita perlu
beribadah kepada-Nya dan mengapa jalan-Nya yang kita ambil dalam
menapaki kehidupan kita sehari-hari di alam fana ini.
Kita harus memahami dan mengenal Allah SWT dengan benar
(shahih) melalui sandaran yang benar pula. Dalam pandangan Islam,
faktor iman kepada yang ghaib, yang tak dapat kita lihat dengan mata
kepala, merupakan faktor yang dominan dalam upaya mengenal Allah
SWT, di samping faktor akal dan ayat-ayat Allah SWT yang Allah
SWT turunkan melalui utusan-Nya dan juga yang terhampar di seluruh
alam mayapada ini. Pengenalan Allah SWT yang benar akan
menghasilkan peningkatan iman dan taqwa (raf’ul iman wat taqwa),
juga pribadi merdeka dan bebas yang membebaskan kita dari
penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan kepada pencipta
makhluk. Dengan mengenal Allah SWT, akan tumbuh ketenangan,
keberkatan dan kehidupan yang baik, serta di akhirat dibalas dengan
surga-Nya.
Ada banyak hal yang menyebabkan manusia tak mengenal Allah
SWT dan tak mau mengakui keberadaan-Nya. Ada yang karena
kesombongan, lalai, bodoh, ragu-ragu dan lainnya. Padahal banyak
sekali dalil yang menguatkan keberadaan Allah SWT dan menyakinkan
kita untuk beriman kepada-Nya. Tanda-tanda kekuasaan-Nya bukan
saja terdapat di alam semesta ini, bahkan dalam diri kita pun, hal itu
tampak dengan jelas.
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Rabb-mu tidak
cukup, bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS.
Fushilat, 41: 53).

3. Jalan Penghalang dalam Makrifatullah


Ada beberapa hal yang menghalangi seseorang mengenal Allah, di
antaranya:
a. Al Kubru (sombong)
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya)
dengan Kami, “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat
atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya
mereka menyombongkan diri mereka dan mereka benar-benar telah
melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman (Al Furqan, 25: 21).
b. Azh Zhulmu (zalim)
Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya aku
adalah Tuhan selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri
balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan
kepada orang-orang zalim (Al Anbiya, 21: 29).
c. Al Kadzibu (dusta)
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syrik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami
tidak mnyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan
memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih
padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
pendusta dan sangat ingkar (QS. Az Zumar,39: 3).
d. Al Fusuqu (fasik)
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku,
mengapa kalian menyakitiku padahal kalian tahu bahwa aku adalah
utusan Allah untuk kalian”. Maka tatkala mereka berpaling (dari
kebenaran), Allah palingkan hati mereka dan Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum yang fasik (QS. Ash Shaf, 61: 5).
e. Al Kufru (ingkar)
Wahai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang
bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang
yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”,
padahal hati mereka belum beriman (QS. Al Maidah, 5: 41).
f. Al Fasadu (fasad)
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Allah, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kemudian jika mereka berpaling
(dari kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-
orang yang berbuat kerusakan (QS. Ali Imran, 3: 62-63).
g. Al Ghaflah (lengah)
Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam
kebanyakan dai jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tak
digunakan untuk memahami, mempunyai mata tapi tak digunakan untuk
melihat, dan mempunyai telinga tapi tak digunakan untuk mendengar.
Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS. Al A’raf, 7: 179).
h. Katsratul Ma’ashi (banyak berbuat durhaka)
Dan ditimpakan kepada mereka nista dan kehinaan, serta mendapat
kemurkaan dari Allah. Hal itu karena mereka selalu mengingkari ayat-
ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alibi yang benar. Demikian
itu karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas (QS.
Al Baqarah, 2: 61).
i. Al Irtiyab (ragu-ragu)
Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu, dan
mereka menduga-duga tentang yang ghaib dari tempat yang jauh. Dan
dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini sebagaimana
yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka
pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam
keraguan yang mendalam (QS. Saba’, 34: 53-54).

4. Bukti Keberadaan Allah SWT

Sumber : Jasiman, Lc. (2009)


Menurut Jasiman, Lc (2009), keberadaan Allah SWT, Tuhan yang
telah menciptakan dan memelihara alam semesta dengan kekuasaan dan
kasih sayang-Nya adalah hal yang tak tertahan-tahan. Hal ini didasarkan
banyak dalil yang kuat dan bukti yang nyata, diantaranya:
a. Bukti fitrah
Fitrah adalah sifat azasi (dasar yang masih murni) yang belum
terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal. Kalau manusia dibiarkan
dalam fitrahnya tentu ia akan mengakui adanya Dzat Maha Hebat yang
telah menciptakan diri dan makhluk lain disekitarnya memberinya
rejeki, menghidupkan, dan mematikannya. Demikian itu karena
manusia diciptakan di atas fitrah itu.
b. Bukti inderawi
Inderawi kita dapat menangkap bukti-bukti keberadaan-Nya
dengan melihat, mendengar, merasakan, atau menyentuh-Nya. Berbagai
objek dan peristiwa yang ada disekitar kita menunjukan keberadaan-
Nya itu. Ada yang lahir ada pula yang mati, ada laki-laki ada
perempuan, ada yang sehat ada juga yang sakit, ada yang baik dan
menyenangkan, namun ada pula yang buruk dan menyebalkan, ada
yang besar ada yang kecil, ada yang kikir dan sombong, namun ada
pula yang dermawan dan rendah hati, ada yang mampu dan ada yang
tidak mampu, dan sebagainya. Itulah inderawi yang nyata.
c. Bukti rasional
Bukti rasional dapat kita analisa dengan teori sebab-akibat.
Segala yang terjadi pasti ada penyebabnya. Namun logika akan
mengatakan bahwa pasti ada penyebab pertama dan utama yang
memulai sebab-sebab itu, yang ada tanpa disebabkan oleh suatu yang
lain. Yang demikian itulah Allah SWT: Al-Ahad Al-Awal, As-shamad,
lam yalid wa lam yulad.
d. Bukti Nash
Banyak ayat-ayat suci Al-Qur’an dan kitab-kitab suci
sebelumnya, yang membicarakan tentang Allah dengan berbagai sifat-
Nya. Demikian pula hadits-hadits yang ada dalam sunnah Nabi-Nya.
e. Bukti sejarah
Banyak peristiwa bersejarah di masa lampau semenjak Nabi
Adam AS, hingga hari ini menunjukan keberadaan, keagungan dan
kekuasaan Allah SWT. Banyak peninggalan bersejarah yang
menunjukan kejayaan bangsa-bangsa dimasa lampau. Berbagai bukti
sejarah tersebut memberikan pelajaran sangat berharga kepada manusia
yang hidup dimasa kini bahwa segala bentuk kebesaran dan
keangkuhan mereka tidak kuasa menghadapi kekuasaan Allah SWT.
Kebesaran manusia sangat tidak ada artinya untuk dibandingkan degan
kekuasaan Allah SWT.
Kalau manusia mempelajari dan memahami dalil-dalil dan bukti
bukti tersebut di atas, hati nurani mereka yang bersih akan mengakui
keagungan Allah yang telah menciptakna dan mengaturnya sedemikian
rupa. Pengakuan ini dalam Islam disebut sebagai Tauhid rububiyah.
Pengakuan akan rububi-yatullah ini menuntut komitmen dari manusia
untuk mentauhidkan (mengesa-kan)-Nya dalam ulubiyah.
Islam mengajarkan bahwa Dzat yang kita agungkan itu adala Dzat yang
telah menciptakannya, memberinya rezeki, memeliharanya, dan
memilikinya. Oleh sebab itu Allah SWT pulalah yang berhak untuk
mendapatkan perlakuan sebagai Tuhan yang dicintai, ditakuti, dirindukan,
diikuti, ditaati, dan disembah. Islam tidak membedakan antara Tuhan yang
telah menciptakan, melindungi, dan memiliki itu dengan Tuhan yang
dicintai, diikuti, ditaati, dan disembah.

5. Pengesaan Allah SWT

Sumber : Jasiman, Lc. (2009)


Menurut Jasiman, Lc. (2009) upaya meng-Esa-kan Allah SWT dalam
Islam berangkar dari rububiyatullah yaitu pengakuan kita bahwa Allah SWT
adalah Rabb, Tuhan yang menciptakan, yang memberi rezeki, dan yang
memiliki.
a. Allah SWT sebagai Pencipta
Dialah Dzat yang telah ada sejak zaman azali, tidak bermula dan
tidak berakhir, yang menciptakan langit dan bumi berikut segala isinya.
Hingga hari ini tidak manusia yang dapat membuktikan bahwa ada
pencipta lain selain Allah SWT. Teori atheis termodern adalah teori
evolusi yang diungkapkan oleh Charles Darwin. Ia mengatakan bahwa
apa yang ada di alam ini terjadi karena proses alam yang berlangsung
secara acak kemudian terjadilah wujud-wujud yang ada. Pada akhirnya,
setiap wujud itu mengalami evolusi mencapai kesempurnaan.
Seandainya proses acak itu benar, zat-zat dan bahan-bahan yang
berproses itu pasti tidak ada begitu saja, mustahil sesuatu ada tanpa ada
yang mengadakannya. Padahal proses itu berlangsung secara teratur
sesuai dengan alur yang telah ditentukan oleh penciptanya. Di antara
buktinya adalah bahwa proses yang sama berlangsung berulang-ulang
dengan cara yang sama.
b. Allah SWT sebagai Pemberi Rezeki
Setelah menciptakan makhluk-Nya, Allah SWT tidak
membiarkan mereka mati kelaparan. Allah SWT memberikan dan
menghidupi dengan memberikan rezeki berupa oksigen, makanan,
minuman, panas matahari, serta berbagai kebutuhan hidup lain yang
sangat banyak dan beraneka ragam. Kalaupun ada rezeki yang
didapatkan dari tangan manusia atau sesama makhluk, ini juga tdak
terlepas dari kehendak Allah SWT yang mengirimkan rezeki itu melalui
makhluk-Nya. Udara, air, dan panas matahari yang didapatkan tanpa
melalui tangan orang lain adalah makhluk. Uang, makanan, dan pakaian
yang didapat melalui orang lain adalah makhluk, bahkan orang yang
menjadi prantara itu sendiri adalah makhluk.
c. Allah SWT adalah Pemilik
Allah SWT yang telah menciptakan dan menyediakan bahkan
memenuhi segala kebutuhan manusia serta makhluk-makhluk lainya,
jadi Allah juga lah pemilik alam semesta yang sesunguhnya. Semua
yang kita mililki adalah milik Allah SWT. Diri pribadi kita adalah
bukan milik kita, diri kita adalah milik Allah SWT. Karena itu semua
yang ada di alam ini adalah kekuasaan Allah SWT.
d. Allah SWT sebagai Penguasa
Sebagai penguasa yang mutlak dengan kekuasaan penuh, Allah
SWT bukan Tuhan yang sewenang-wenang. Ia adalah:
 Pelindung yang sangat cinta dan sayang kepada makhluk-Nya
 Hakim yang mengadili, memvonis, dan memutuskan dengan
keputusan mutlak
 Pemimpin yang memberikan perintah dan larangan yang tidak
boleh dilanggar.
 Oleh karena itu, selanjutnya Dia-lah, tujuan yang harus menjadi
orientasi hidup setiap insan. Hanya Dia-lah Tuhan yang
sepantasnya disembah dengan segenap penghambaan.
6. Memurnikan Ibadah
Sumber : Jasiman, Lc. (2009)
Menurut Jasiman, Lc. (2009) tauhid ibadah adalah mengesankan
Allah dalam ibadah (penghambaan) tauhid ibadah akan terjadi apabila
taubidullah telah tercapai sebagaimana kita pahami dalam materi pengesaan
Allah. Meng-Esa-Kan Allah SWT dengan konsepsi seperti itu disebut juga
al-ikhlas yang berarti pemurnian. Tauhidul ibadah adalah ikhlasul ibadah
(memurnikan ibadah) hanya untuk Allah SWT saja. Pengesaan Allah SWT
dan ikhlasul ibadah hanya akan tercapai dan benar apabila memenuhi
konsekuensi kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” yaitu menolak segala bentuk
ilah dan hanya mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya ilah, tiada sekutu
bagi-Nya, karena itu, tauhidullah dan ikhlasul ibadah baru akan tercapai
apabila dilakukan dengan dua sayapnya yaitu:
a. Menolak Thaghut
Kata Thaghut diambil dari thagha yang berarti melampaui batas.
Menurut Ibnu Taimiah, thaghut adalah segala sesuatu yang disikapi
sebagai mana sikapnya kepada Allah SWT, baik berupa jin, manusia,
maupun makhluk lainya. Demikian itu merupakan sesungguhnya yang
berhak mendapatkan kepribadian hanyalah Allah SWT. Ketika ada Dzat
lain yang mendapat perlakuan sebagaimana Tuhan atas permintaannya
atau diperlakukan oleh pihak lain padahal ia tidak pantas mendapatkan
perlakuan demikian, maka itulah perlakuan yang melampaui batas hingga
ia disebut sebagai Thaghut.
Untuk menjamin kemurnian tauhid dan ibadah, penolakan terhadap
thaghut harus dilakukan secara preventif-antisipasif sehingga setiap
muslim diperintahkan untuk menjauhi thaghut agar tidak terlibat dalam
kemusyrikan, betapa pun kecil dan samar. Di antara karakteristik orang
yang bertaqwa adalah menjauhi thaghut.
Rasullah SAW mengatakan bahwa kemusyrikan itu lebih
tersembunyi dibandingkan bekas kaki seekor semut hitam di atas batu
karang hitam di kegelapan malam (HR. Ahmad)
b. Iman kepada Allah SWT
Di atas penolakanya terhadap thaghut itu, manusia harus
membangun imannya kepada Allah SWT. Demikian itu karena apabila ia
hanya menolak Tuhan-tuhan tapi tidak percaya kepada Tuhan yang satu,
pada saat itu ia disebut atheis. Bahkan sebenarnya ia telah memper-Tuhan-
kan sesuatu yang lain selain Tuhan yang sebenarnya. Saat itu ia telah
memper-Tuhan-kan dirinya sendiri berarti ia telah thaghut (melampaui
batas) dan inilah yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, ia memandang
dirinya serba cukup” (Al-Álaq: 6-7).
Imannya yang hanya diberikan kepada Allah SWT itu harus diwujudkan
dalam bentuk ibadah (penghambaan) dan tidak menyekutukan-Nya dengan
suatu apa pun.
Misi pembebasan manusia dari penghambaan atas sesama
(makhluk) kepada penghambaan kepada Pencipta makhluk inilah yang
dibawa oleh Nabi dan Rasul “Dan sesunguhnya kami telah mengutus pada
tiap-tiap umat seorang Rasul (agar mereka menyerukan) ‘sembahlah Allah
dan jauhilah thaghut’ (An Nahl: 36).
Dengan dua sayap tauhid inilah, pemurnian ibadah hanya kepada
Allah SWT dapat dicapai, dengan-Nya pula seseorang disebut telah
berpegang pada tali yang kokoh. “Barang siapa kufur kepada thaghut dan
beriman kepada Allah berarti ia telah berpegang kepada tali yang kokoh”
(Al-Baqarah: 256).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa – ya’rifu – ma’rifah yang berarti
mengenal. Dengan demikian ma’rifatullah berarti usaha manusia untuk
mengenal Allah baik wujud maupun sifat-sifat-Nya. Manusia sangat
berkepentingan untuk mengetahui siapa penciptanya dan untuk apa ia
diciptakan. Karena itu, manusia pun mulai melakukan penelitian dan
mencari-cari siapa gerangan Tuhannya. Ma’rifatullah merupakan ilmu
yang paling mulia dan penting karena materi yang dipelajarinya adalah
Allah. Manfaat yang dihasilkannya pun tidak saja untuk kepentingan dunia
tapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Bukti keberadaan Allah didasarkan
banyak dalil yaang kuat dan bukti yang nyata diantaranya: bukti fitrah,
bukti Inderawi, bukti Rasional, bukti Nash, dan bukti Sejarah.
Syirik dari segi bahasa artinya mempersekutukan, secara istilah
adalah perbuatan yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain.
Hati orang-orang syirik tertutup untuk menerima kebenaran baik yang
datangnya dari Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya cinta kepada allah adalah pondasi yang mendasari
agama Islam, dengan cinta yang sempurna itulah agama ini menjadi
sempurna dan dengan berkurangnya cinta tauhid seseorang menjadi
berkurang.

B. Saran
Melalui Makalah ini semoga dapat membantu memberikan
Informasi kepada semua pembaca mengenai Ma’rifatullah / Mengenal
Allah, dan supaya kita menjadi Manusia yang lebih baik dalam
menjalankan roda kehidupan. Dan dalam pembuatan makalah ini mungkin
masih jauh dari kesempurnaan, Kritik dan saran yang membangun saya
sangat harapkan dari segenap pembaca Makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi T dkk, 2003. Maraji’: Syahadat dan Makrifatullah; Solo: Era Intermedia.
https://abuhanzhalah.files.wordpress.com/2010/05/makna-sebenarnya-dari-
kalimat-tauhid-la-ilaha-illallah.pdf
Jasiman, Lc. 2009. Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah. Surakarta: Aulia Press
Tim Penyusun, 2008. Akidah Akhlak al-Hikmah, Surabaya: Akik Pusaka.

Anda mungkin juga menyukai