2. Gading Perdana
nayatarigan16@gmail.com
A. TAWAKAL
Tawakal bersal dari bahasa Arab yaitu wakila, yakilu, wakilan yang artinya
“mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung.” Tawakal dalam
bahasa Arab juga disebut wakil yag artinya dzat atau orang yang dijadikan pengganti untuk
mengurusi atau menyelesaikan urusan yang mewakilkan. Sehingga tawakal bermakna
menjadikan seseorang sebagai wakilnya, atau menyerahkan urusan kepada wakilnya. 1
Tawakal atau mempercayakan segala urusan seseorang pada Allah tergantung dari
pengetahuan orang tersebut dan keyakinan yang kuat pada Ketuhanan dan Kekuasaan.
Mempercayakan urusan dunia dan akhirat kepada Allah bukan berarti bahwa usaha dan kerja
keras harus diabaikan. Justru seseorang harus melakukan perbuatan yang terbaik dari
kemampuannya lalu kemudian bergantung sepenuhnya pada Allah dengan keadilan,
pertolongan dan kemurahan-Nya.2
Tawakal kepada Allah adalah menjadikan Allah sebagai wakil dalam mengurusi
segala urusan, dan mengandalkan Allah dalam menyelesaikan segala urusan. Tawakal
haruslah ditujukan kepada Dzat yang Mahasempurna, Allah SWT, tapi dalam realitanya ada
yang meletakkan tawakal kepada selain Allah, seperti tawakal seseorang kepada
kekuatannya, ilmunya atau hartanya, atau kepada manusia.3
1
Ja’far.2016. Gerbang Tasawuf .Medan : Perdana Publishing
2
Al-Kulayni, al-Kafi, vol 2, hal. 391
3
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 16
Menurut ‘Arif mahsyur Khawaja Abdullah Ansari tawakal itu adalah mempercayakan
segala macam urusan kepada Tuannya dan bersandar pada pertolongan-Nya. Menurut ahli
irfan lainnya mengatakan Tawakal kepada Allah adalah pemutusan penghambaan atas
semua harapan dan ekspektasi dari makhluk-makhluk ( dan mengikatkan semua itu
hanya pada Allah ).
Abu “Ali al-Daqaq berkata tawakal terdiri dari tiga tingakatan yaitu tawakal, taslim,
dan tafwidh. Orang yang tawakal adalah orang yang merasa tenang dengan janji Allah Swt.
Orang yang taslim adalah orang yang merasa cukup dengan ilmu-Nya. Orang yang tafwidh
adalah orang yang rela dengan hukum-Nya. Jadi, tawakal adalah permulaan, taslim adalah
pertengahan, dan tafwidh adalah akhir.4
Hakikat tawakal adalah penyerahan penyelesaian dan keberhasilan suatu urusan
kepada wakil. Kalau tawakal kepada Allah, berarti menyerahkan urusan kepada Allah setelah
melengkapi syarat-syaratnya. Tawakal adalah menyandarkan diri kepada Allah dan
melakukan ikhtiar, dengan meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Memberi rezeki,
Pencipta, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, tidak ada ilah selain-Nya. Tawakal
mencakup permohonan total kepada Allah, supaya memberikan pertolongan dalam
melakukan apa yang Dia perintahkan, juga dalam hal bertawakal untuk mendapatkan sesuatu
yang tidak mampu didapatkannya.
Ibnu al-Qayyim menyebutkan bahwa tawakal memiliki beberapa komponen. Jika
tidak terpenuhi, maka tidak akan pernah mencapai hakikat tawakal, yaitu:
1. Mengenal Nama Allah dan sifat-Nya.
2. Menetapkan (meyakini sebab dan musabab).
3. Kedalaman tauhid dalam tauhid tawakal dengan melepaskan ketergantungan dengan
sebab.
4. Penyandaran hati kepada Allah dan ketenangan kepada-Nya.
5. Pasrah hati kepada Allah, seperti pasrahnya mayat kepada yang memandikannya.
6. Penyerahan kepada Allah terhadap apa yang Allah takdirkan.
7. Ridha dengan segala hasil. Sebagaimana yang tergambar dalam doa istikharah untuk
dipilihkan apa yang baik untuk Allah.5
4
Ja’far.2016. Gerbang Tasawuf.Medan : Perdana Publishing
5
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 17,20,21
Tawakal adalah fitrah manusia. Tawakal kepada Allah adalah wajib. Tawakal adalah
menyerahkan urusan kepada wakil. Jika urusan itu merupakan hal yang bisa dilakukan oleh
mahkluk, hukumnya jaiz. Dalam terminologinya disebut sebagai taukil atau perwakilan. Jika
masalah itu tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah, seperti menentukan
keberhasilan suatu pekerjaan, keselamatan, kebahagiaan, atau kemenangan maka haram
bertawakal kepada makhluk, dan wajib hanya bertawakal kepada Allah.6
6
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 22, 26
7
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 33-44
5. Tawakal menyebabkan tercukupinya apa yang diinginkan, karena Allah sendiri yang
menjadi penjaminnya.
6. Allah melindungi orang yang bertawakal kepada-Nya dari apa yang ditakuti,
sebagaimana mencukupi apa yang dinginkan.8
B. MAHABBAH
Mahabbah atau cinta adalah sumber dan ruh yang mendasari ajaran tasawuf. Mahabbah
secara harfiah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang memiliki arti mencintai secara
mendalam, atau kecintaan, cinta yang mendalam. Dalam pandangan Al-Junaid, cinta didefinisikan
sebagai “kecenderungan hati pada Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap
ridha Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menta’ati Allah dalam segala hal yang diperintahkan
atau dilarang, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah”. 9
Menurut Al-Qusyairi mahabbah (cinta) ialah suatu hal yang mulia. Allah Yang Maha Suci
menyaksikan cinta hamba-Nya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya kepada hamba itu. Allah
menerangkan bahwa mencintainya. Demikian juga hamba itu menerangkan cintanya kepada Allah
Yang Maha Suci.10
Mahabbah dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan
memperoleh kebutuhan baik yang bersifat material maupun spiritual. Mahabbah pada tingkat
selanjutnya dapat berarti usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah
tertinggi dengan tercapainya gambaran kedekatan terhadap Allah, yakni cinta pada Allah. 11
Sumber rasa cinta itu tidak tercabut dari seseorang yang beriman, karena sesungguhnya dia tidak
akan tercabut dari sumber ma’rifat. Adapun cara memperoleh rasa cinta kepada Allah itu dengan
dua sebab, yaitu :
Memutuskan interaksi duniawi dan menguatkan rasa cinta kepada selain Allah SWT.
Kuatnya rasa cinta adalah kuatnya pengenalan Allah SWT. Keluasannya dan dominasinya kepada
hati. Hal itu dapat terjadi setelah mensucikan hati dari segala kesibukan duniawi dan berbagai
interaksinya.12
10
11
12
Cinta menusia terhadap dirinya sendiri, dan keinginannya agar keberadaan dirinya abadi. Sikap ini
menyebabkan cinta manusia kepada Allah. Kerena, barang siapa telah mengenal diri sendiri, maka ia
akan bisa mengenal allah ia akan mengetahui bahwa dirinya tidak ada, karena yang ada adalah dzat
Allah. Keberadaan dirinya dan keabadiannya terjadi kerena Allah, kepada Allah, dan demi Allah.
maka Allah Ta’ala adalah dzat yang menciptakan (Al-Mujid), yang membuat kekal (Al-Mubqi), dan
yang menjaga (Al-Hafizh) hamba-Nya. Seorang yang arif mencintai diri dan keberadaannya.
Ikhsan (perbuatan baik), karena menusia itu adalah hamba bagi yang berbuat baik padanya. Jiwa
manusia secara naluriah pasti mencintai seseorang yang berbuat baik (ikhsan) padanya. Bahwa
hanya Allah-lah yang telah berbuat baik padanya. Ikhsan manusia terhadap sesamanya hanyalah
bersifat kiasan, karena yang bersifat muhsin (yang berbuat ihsan) sesungguhnya hanyalah Allah.
Cintamu kepada dzat yang berbuat ihsan kepada dirinya sendiri, meskipun ihsan-nya tidak sampai
kepadamu. Artinnya mencintai karena dzatnya, bukan karena sebab atau tujuan lain. Cinta
semacam ini menuntut untuk mencintai Allah, bahkan menuntut agar tidak mencintai selain-Nya,
karena Allah adalah Dzat yang berbuat ihsankepada semua makhluk. Cinta ini adalah cinta hakiki dan
abadi. Ini adalah cinta para arifin.
mencintai setiap yang indah karena keindahannya, bukan karena kesenangan yang diperoleh dari
keindahannya itu. Cinta semacam ini menuntut cinta pada Allah, karena dia adalah Dzat yang Maha
Indah secara mutlak, yang Maha Tunggal, yang tidak ada dzat lain yang menandingi-Nya, dan Dzat
yang menjadi tempat bergantung.13
Cinta biasa
yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesarann-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya,
dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan
dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan
Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog tersebut. Cinta tingkat kedua ini sanggup membuat
seseorang itu menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri. Sedang hatinya penuh dengan
perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
13
Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 148-149.
Cinta orang yang Arif
yaitu orang yang tahu betul pada Tuhannya. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul
pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat
yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. 14
Pertama, wajib. Tingkatan ini dimiliki oleh orang-orang yang berbeda dalam tingkat menengah
dalam beribadah (muqthashid). Orangmuqhtasid menjadikan Allah dan rasul-Nya sebagai sesuatu
yang paling dicintai dari segala sesuatu yang lain. Derajat cinta ini menuntutnya untuk mencintai
segala sesuatu yang lain. Derajat cinta ini menuntutnya untuk mencintai seseorang untuk melakukan
semua yang di wajibkan.
Ibnu Taimiyah membedakan cinta manusia –yang punya kehendak –dengan cinta hewan –yang tidak
punya kehendak-. Cinta manusia –misalnya cinta laki-laki pada perempuan- lahir karena adanya daya
tarik diantara keduanya, serta karena adanya saling keterpengaruhan di antara keduanya.
Sementara rasa cinta sesama hewan lahir karena adanya perbuatan baik dari yang dicinta.
Seseorang pada dasarnya tidak mencintai sesuatu kecuali jika sesuatu itu memberinya manfaat dan
ingin terhindar dari musibah. Ia mencintai seseorang atau sesuatu, karena yang dicintainya itu
menjadi sarana baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Cinta seperti ini bukan cinta
karena Allah, bukan pula cinta pada dzat sesuatu yang dicintainya. Oleh karena itu, kita harus
membedakan cinta yang disertai dengan tauhid dengan cinta yang mengandung syirik. 16
14
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 55.
15
Sayydid Ahmad, Tasawwuf antara al-ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 320.
16
Sayydid Ahmad, Tasawwuf antara al-ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 324.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet. Ke-12 (Jakarta : Pustaka Bulan Bintang,
2010)
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya : IAIN SA Press, 2011)