Anda di halaman 1dari 7

AKHLAK TASAWUF

SUMBER AJARAN,TUJUAN,DAN SEJARAH TASAWUF


Oleh:
Alfian Rahman

Abstrak
Belajar tasawuf yang sangat penting bagi umat Islam bukan pekerjaan yang mudah
dilakukan. Dari segi asal-muasal kata saja, sering terjadi pro dan kontra. Belum lagi aplikasi
praktisnya untuk menjalani kehidupan ala tasawuf itu sendiri. Ilmu tasawuf bukan hanya
teori, melainkan juga praktik. Berbagai pendapat yang sering membingungkan adalah apakah
tasawuf itu sesat (mistik dari luar Islam) atau sebuah jalan yang hak sebagai ajaran Islam.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk bersama-sama meyakinkan bahwa ajaran tasawuf itu
murni dari ajaran Islam bukan pengaruh dari luar Islam. Pemikiran dan praktek tasawuf yang
dihasilkan dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits berbeda dengan pemikiran
bebas yang tidak bersumber dari keduanya.

A. PENDAHULUAN

Berbicara tentang tasawuf erat kaitannya dengan masalah hati,karena hati merupakan
objek kajian dari tasawuf itu sendiri. Hati memegang peranan penting bagi manusia,karena
baik buruknya manusia tergantung kepada apa yang ada dalam hatinya. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya:”Ingatlah,bahwa
dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Jika ia baik,maka baiklah seluruh
perbuatannya. Dan jika ia rusak,maka rusaklah seluruh perbuatannya. Ingatalah,ia itu adalah
hati” (H.R.Bukhari dan Muslim). Nabi juga menjelaskan kepada jasad dan bentuk
tubuhnya,melainkan Allah melihat apa yang ada dalam hatinya” (H.R.Bukhari).

Dari dua hadits diatas,dapatlah dipahami bahwa betapa pentingnya seseorang itu mempelajari
tasawuf,karena dengan tasawuf akan mengatarkan orang tersebut untuk dapat membersihkan
hati dari berbagai macam penyakit hati yang ada dalam dirinya. Sehubungan dengan itu,
Zaruq dalam (Isa,2010:5)menjelaskan bahwa:”Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk
memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata”. Ujaibah dalam

1
(Isa,2010:6) menjelaskan:”Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara untuk
mencapai Allah,membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan dan menghiasinya dengan
akhlak terpuji”. Untuk dapat menjadi seorang sufi ada langkah-langkah yang harus dilakukan
oleh seseorang,yang secara garis besar langkah tersebut meliputi tazkiyatunnafsi,dan
tahfiyatul qolbi yang dibarengi dengan mujahadah dan riyadhah dalam kehidupan sehari-hari.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Tasawuf

Tasawuf secara etimologis berasal dari kata bahasa arab, yaitu tashawwafa,
Yatashawwafu, selain dari kata tersebut ada yang menjelaskan bahwa tasawuf berasal dari
kata Shuf yang artinya bulu domba, maksudnya adalah bahwa penganuttasawuf ini hidupnya
sederhana, tetapi berhati mulia serta menjauhi pakaian sutra dan memaki kain dari buku
domba yang berbulu kasar atau yang disebut dengan kain wol kasar. Yang mana pada waktu
itu memaki kain wol kasar adalah symbol kesederhanaan. 1kata shuf tesebut tersebut juga
diartikan dengan selembar bulu yang maksudnya para Sufi dihadapan Allah merasa dirinya
hanya bagaikan selembar bulu yang terpisah dari kesatuannya yang tidak memiliki arti apa-
apa.

Kata tasauwf juga berasal dari kata Shaff yang berarti barisan, makna kata shaff ini diartikan
kepada para jamaah yang selalu berada pada barisan terdepan ketika shalat, sebagaimana
shalat yang berada pada barisan terdepan maka akan mendapa kemuliaan dan pahala. Maka
dari itu, orang yang ketika shalat berada di barisan terdepan akan mendapatkan kemuliaan
serta pahala dari Allah SWT.

Tasawuf juga berasal dari kata shafa yangberarti jernih, bersih, atau suci, makna tersebut
sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang bersih atau suci, maksudnya adalah
bahwa mereka menyucikan dirinya dihadapan Allah SWT melalui latihan kerohanian yang
amat dalam yaitu dengan melatih dirinya untuk menjauhi segala sifat yang kotor sehingga
mencapai kebersihan dan kesucian pada hatinya.

Adapun yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Shuffah yaitu serambi masjid
nabawi yang ditempati sebagian sahabat Rasulullah. Maknanya tersebut dilatarbelakangi oleh
sekelompok sahabat yang hidup zuhud dan konsentrasi beribadah hanya kepada Allah SWT
serta menimba ilmu bersama Rasulullah yang menghuni masjid Nabawi. Sekelompok sahabat

2
tersebut adalah mereka yang ikut berpindah bersama Rasulullah dari Mekah ke Madinah
dengan keadaan mereka kehilangan harta dan dalam keadaan miskin.

2. Sumber Ajaran Tasawuf

Pada abad keempat tasawuf lebih berkembang lagi sehingga mereka menyebutkan
dirinya sebagai ahli hakekat/bathin sementara ulama lain terutama ulama fiqh disebut sebagai
ahli dhohir. Pada masa inilah trend sufi ditetapkan mempunyai empat sumber ajaran atau
empat ilmu, yaitu:

a. Syariat

Dalam tataran ini muslim yang bersangkutan harus belajar fiqih yang meliputi ibadah
muamalah munakahat mewaris jinayat dan khilafah. Kajian fiqih yg demikian sudah
dirumuskan dan dituangkan dalam “Fiqih Madzhab Empat”. Idealnya seorang
kandidat salik yang mau memasuki tarekat hendaknya memahami dan mengerti kajian
fiqih empat madzhab itu bahkan ditambah lagi dgn fiqih Jakfari yang lazimnya dianut
oleh jamaah Syiah. Sekurang-kurangnya ia memahami fiqih satu madzhab misalnya
fiqih Syafii. Lazimnya para sufi dalam hal fiqih ini menganut salah satu madzhab dari
empat madzhab yang tersedia.

b. Tarikat

Perkataan tarikat dalam istilah tasawuf artinya wadah tempat mendidik dan melatih
para salik. Komponen-komponen tarikat terdiri dari guru tarikat atau guru rohani
yangg disebut mursyid atau syekh. Kualitas seorang syekh harus memiliki ilmu
syariat dan hakekat secara lengkap. Pemikirannya dan tutur katanya serta perilakunya
dalam banyak hal harus mencerminkan akhlak yangg terpuji. Salik atau murid tarikat;
suluk yaitu amalan dan wirid atau perbuatan yang harus dikerjakan oleh salik
berdasarkan perintah syekh; zawiyah yaitu majlis tempat para salik mengamalkan
suluk. Di samping itu ada satu syarat yangg harus dipenuhi oleh kandidat salik yaitu
baiat antara dia dan syekh. Baiat itu sendiri ada dua macam yaitu; Baiat suwariyah
yaitu baiat bagi seorang kandidat salik yang hanya sekedar ia mengakui bahwa syekh
yang membaiatnya ialah gurunya tempat ia berkonsultasi dan syekh itupun mengakui
orang tersebut adalah muridnya. Ia tidak perlu meninggalkan keluarganya untuk
menetap tinggal dalam zawiyah tarikat itu untuk terus menerus bersuluk atau

3
berdzikir. Ia boleh tinggal dirumahnya dan bekerja sehari-hari sesuai dengan
tugasnya. Ia sekadar mengamalkan wirid yang diberikan oleh gurunya itu pada
malam-malam tertentu dan bertawassul kepada gurunya itu. Ia dan keluarganya
bersilaturrahmi kepada gurunya itu sewaktu-waktu pula. Apabila ia memperoleh
kesulitan dalam hidup ini ia berkonsultasi dengan gurunya itu pula. Baiat ma`nawiyah
yaitu baiat bagi seorang kandidat salik yang bersedia untuk dididik dan dilatih
menjadi sufi yg arif bi I-lah . Kesediaan salik untu dididik menjadi sufi itupun sudah
barang tentu berdasarkan pengamatan dan keputusan guru tarikat itu. Salik yang
masuk tarikat melalui baiat yang demikian harus meninggalkan anak-istri dan tugas
keduniaan. Ia berkhalwat dalam zawiyah tarikat didalam penegelolaan syekhnya.
Khalwat ini bisa berlangsung selama beberapa tahun bahkan belasan tahun.
Muhammad Ibn Abdillah yang kemudian menjadi khatamu I-anbiya wa I-mursalin
berkhalwat di Gua Hira selama 20 tahun. Ia berhenti berkhalwat sesudah ia mencapai
tingkat ma`rifat dan hakikat yaitu dengan wahyu turunnya surat al-Alaq lima ayat
berturut-turut yang disampaikan oleh Jibril. Pertemuannya dengan malaikat Jibril adl
ma`rifat sedangkan wahyu yang diterimanya merupakan hakikat.

c. Ma’rifat

Perkataan ma`rifat secara bahasa artinya pengetahuan atau ilmu. Dalam istilah
tasawuf berarti mengenal atau melihat alam ghaib seperti syurga atau neraka bertemu
dengan para nabi para malaikat para auliya dan lain-lain yang semuanya itu terjadi
bukan dalam mimpi. Dalam hal ini saya mengajukan contoh pengalaman Syekh
Muhammad Samman seorang sufi abad ke-18 di Madinah sebagaimana tergambar
dalam naskah melayu yang berjudul “Hikayat Syekh Muhammad Samman”. Di
dalamnya ia mengatakan bahwa sesudah sholat shubuh ia merasa ruhnya keluar dari
jasadnya kemudian ruhnya naik kelangit pertama hingga langit ketujuh. Di sana ia
bertemu dengan Nabi Ibrahim a.s dan bercakap-cakap dengannya sedangkan ia tetap
dalam keadaan ingat.

d. Hakikat

Perkataan hakikat dalam istilah tasawuf ialah esensi atau pangkal dari semua alam
yang maujud baik yang ghaib ataupun yang syahadah yaitu Nur Muhammad atau
hakikat Muhammad tatkala Tuhan menuturkan sabda kun! maka tampillah Nur
Muhammad yg merupakan mazharu-Haqqi Ta`ala. Dengan demikian maka mazhar

4
pula zat yaitu Nur Muhammad yang berupa zat Allah; asma yaitu nama Allah; sifat
yaitu kamalu I-lah dan af`alu I-Lah. Keempat hal tersebut merupakan percikan terang
dari Allah Allah pada Nur Muhammad itu. Menurut Ibn Arabi wujud Nur Muhammad
ini apabila dilihat dari segi zatnya ia adalah Allah tetapi apabila dilihat dari sifat-sifat
dan asma-asmanya ia adl fi`il-Nya sedangkan Allah itu Maha Suci dan Maha Tinggi
tidak ada lafal dan kata-kata maupun kalimat yang memadai untuk menyifatinya.

3. Tujuan Tasawuf

Tujuan tasawuf  adalah berada sedekat mungkin di sisi Allah dengan mengenalnya


secara langsung dan tenggelam dalam ke Maha Esaan-Nya yang mutlak. Dengan kata lain,
bahwa sufi yaitu seorang ego pribadinya sudah lebur dalam pelukan keabadian Allah,
sehingga semua rahasia yang membatasi dirinya dengan Allah tersingkap atau kasyaf. Dan di
sisi lain hakikat tasawuf itu sendiri sama dengan tujuan tasawuf yaitu mendekatkan diri
kepada Tuhan.dalam ajaran islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya
Tuhan kepada manusia itu tertuang dalam al-Qur’an dan hadits.

Tasawuf itu diciptakan hanya sebagai media lintasan untuk mencapai maqasid al
syar’i (tujuan-tujuan syar’i). Sebagai contoh orang yang diperintahkan naik ke atas atap
rumah, maka secara tidak langsung ia juga diperintahkan untuk mencari media yang dapat
digunakan untuk melaksanakan tugas itu dengan cara menaiki tangga. Berikut tujuan tasawuf
diantaranya adalah:

1.    Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil.

2.    Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit kalbu.

3.    Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak islam yang mulia.

4.    Menggapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).

5.    Menstabilkan akidah shuhbah ilahiyah (persahabatan ketuhanan), dalam arti bahwa Allah
SWT melihat hamba-hambaNya dari atas arsy dan meliputi mereka dan segala arah dengan
ilmu, kekuasaan (qudrat), pendengaran (sama’) dan penglihatan (bashar) Nya.

6.    Menggapai kekuatan iman yang dulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah SAW,
menyebarkan ilmu-ilmu syari’at dan meniupkan ruh kehidupannya, sehingga menghasilkan
motivasi bagi kaum muslimin untuk dapat memimpin kembali umat, baik ilmiah, pemikiran

5
keagamaan maupun politik. Selain itu mereka juga mampu mengembalikan kepemimpinan
global ke pangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi serta dapat menyelamatkan
bangsa-bangsa yang ada dari alenasi dan kehancuran.

4. Sejarah Perkembangan Tasawuf

Pada abad I Hijrah, lahirlah Hasan Al-Basri (meninggal 110 H.) dengan ajarannya
mengenai khauf, mempertebal takut kepada Tuhan, begitu juga tampil ke muka-muka guru
yang lain, yang dinamakan  qari’, mengadakan gerakan memperbaruhi hidup kerohanian
dalam kalangan kaum muslimin. Sebenarnya bibit sufi sudah muali ada sejak itu, garis-garis
besar mengenai tariq atau jalan beribadat sudah kelihatan disusun, dalam ajaran-ajaran yang
dikemukakan di sana sini sudah mulai dianjurkan mengurangi makan, juga menjauhkan diri
dari kehidupan duniawi, zuhud dan zimmidunya, termasuk kerinduan kepada harta benda dan
kecintaan kepada keluarga, kethamaan kepada nama dan kedudukan.

Dalam abad II Hijrah timbul ajaran-ajaran baru yang penuh dengan hikmah, orang tidak puas
lagi dengan hokum fiqh yang kering. Orang lalu memakai istilah-istilah yang pelik mengenai
kebersihan jiwa, thaharatun nafsi, kemurnian hati, naqaul qalbi, hidup ikhlas, menolak
pemberian orang, bekerja mencari makan dengan tanga sendiri, berdiam diri, menyedikitkan
maka, memerangi hawa nafsu dengan khalwat, melakukan perjalanan dan safar, berpuasa,
mengurangi tidur atau sahar, serta memperbanyak dzikir dan riadlah. Lalu sampailah pada
abad yang III Hijrah, orang membicarakan latihan rohani yang dapat membawa manusia
kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad II ajaran sufi merupakan kezuhudan dalam abad III
ini orang sudah meningkatkan kepada wusul atau ittihat dengan Tuhan. Orang sudah ramai
membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, fana fil mahbub, kekal dengan Tuhan,
melihat Tuhan, musyahadah, bertamu dengan Tuhan, Liqa’, dan menjadi satu dengan dia,
ainul jama’, sebagai yang diucapkan Abu Yazid Busthami, dengan teriakan : “ Sayalah yang
Hak itu ” (Ana al-Haq), atau dengan masukan Tuhan, hulul, sebagai yang dipertahankan oleh
Al Hallaj (meningggal 309H.).

Dalam abad III Hijrah dan selanjutnya ilmu tasawuf sudah demikian berkembang
kemajuannya, sehingga sudah merupakan madzhab, bahkan seolah-olah merupakan agama
yang tersendiri. Guru-guru tasawuf itu mempunyai pengaruh besar, merupakan pengarang-
pengarang yang ternama, sehingga kitab mengenai ilmu apapun yang terdapat dalam isalm

6
diberi corak dan rasa tasawuf itu. Terutama dalam ilmu akhlak tidak dapat ulama’-ulama’
lebih sanggub menyamai keistimewaan mereka.

C. KESIMPULAN

Di dalam tasawuf mengandung ajaran-ajaran tentang kehidupan keruhanian,


kebersihan jiwa, cara- cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan nafsu,
kehidupan duniawi, cara- cara mendekatkan diri kepada Allah seta fana dalam kekekalan-Nya
sehingga sampai kepada pengenalan hati yang dalam akan Allah. Sedangkan sufi adalah
orang yang menjalankan tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Pt. Bina Ilmu, Surabaya, 1976.

Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2009.

Anda mungkin juga menyukai