Anda di halaman 1dari 8

ALI BIN ABI THALIB

Oleh: Alfian Rahman

Ali bin Abi Thalib adalah khalifah ke empat dari kekhalifahan islam. Ali bin Abi Thalib
diangkat menjadi khalifah setelah meninggalnya khalifah Usman bin Affan dalam peristiwa
pembunuhan yang terjadi di rumah khalifah Utsman bin Affan.

Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi
Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar. Pada waktu itu, terjadi
berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi
antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan
Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah
mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu
sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum
muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.

Membahas khalifah Ali dalam sebuah artikel yang sederhana tidaklah akan cukup dan
memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku yang saya baca, saya berusaha untuk
memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian
menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang
tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Saya bahas tentang pemerintahan Ali dan
berbagai peristiwa penting yang terjadi. Di artikel ini juga, saya akan menghadirkan biografi
Ali sebagai pengetahuan sepintas, sebab tidak pantas rasanya kalau kita membahas seseorang
tetapi tidak mengetahui biografinya.

A. Biografi Ali Bin Abi Thalib


1. Nama dan Nasab Ali Bin Abi Thalib
Ia adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf,
sepupu nabi Muhammad SAW, dan suami dari pemimpin seleuruh perempuan,
Fatimah binti Nabi Muhammad, serta ayah dari dua cucu beliau, al-Hasan dan al-
husain. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin hasyim bin Abdu Manaf. Ia masuk
islam ketika masih kecil, yaitu berumur delapan tahun.

1
2. Istri Ali Bin Abi Thalib

Semasa hidup Ali,ia mempunya banyak istri. Wanita-wanita yang pernah menjadi
istrinya adalah: Fatimah binti Rasulullah SAW, Umamah binti Abul ‘Ash, Khaulah
binti Ja’far bin Qais, Laila binti Mas’ud, Ummul Banin bintu Hizam, Asma’ binti
‘Umais, ash-Shahba binti Rabi’ah, dan Ummu Sa’id binti ‘Urwah.

3. Anak Ali Bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Thalib juga dikaruniai banyak anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Yang laki-laki: al-Hasain, al-Husain, Muhammad al-Akbar, ‘Ubaidillah, Abu Bakar,
al-‘Abbas al-Akbar, Utsman, Ja’far al-Akbar, Abdullah, Yahya, ‘Aun, Umar al-Akbar,
Muhammad al-Ausath, dan Muhammad al-Ashghar. Adapun yang perempuan: Zainab
al-Kubra, Ummu Kultsum al-Kubra, Ruqayyah, Ummul Hasan, Ramlah al-Kubra,
Ummu Hani’, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ummu Kultsum asg-Shughra, Fatimah,
Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Salamah, Ummu Ja’far, Jumanah, dan
Nafisah.

B. Pembai’atan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah


Setelah Khalifah Utsman wafat, Ali diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau
menolak, namun akhirnya beliau menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad
yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: .....Sementara orang banyak datang
di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau
(Usman) telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui
orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali)". Ali berkata kepada mereka:
"Janganlah kalian mengharapkan saya, karena saya lebih senang menjadi wazir (pembantu)
bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak
mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau". Ali menjawab:
"Jika kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat tersebut
hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang
bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Ali kemudian keluar menuju masjid,
dan kaum muslimin pun membaiatnya sebagai khalifah mereka.

Pengangkatan Khalifah Ali terjadi pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/656 M, dan memerintah
selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan Ramadhan
tahun 40 H/661 M.
2
Penetapannya sebagai Khalifah ditolak antara lain oleh Mu’awiyah bin Abu Shufyan, dengan
alasan Ali harus mempertanggung jawabkan tentang terbunuhnya Utsman, dan berhubung
wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru,
maka hak untuk menentukan pengisian jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka
yang di Madinah saja.

Pada masa pemerintahan Khalifah Ali itu, perpecahan kongkrit di dalam kalangan al-Shahabi
menjadi suatu kenyataan, dengan pecah beberapa kali sengketa  bersenjata yang menelan
korban bukan kecil. Juga pada masanya itu bermula lahir sekte-sekte di dalam sejarah dunia
Islam, yakni sekte Syiah dan sekte Khawarij. Bermula sebagai kelompok-kelompok politik
yang berbedaan paham dan pendirian tetapi lambat-laun berkembang menjadi sekte-sekte
keagamaan, menpunyai ajaran-ajaran keagamaan tertentu  di dalam beberapa permasalahan
Syariat dan Aqidah. Perkambangan tersebut berlangsung beberapa puluh tahun sepeninggal
Khalifah Ali ibn Abi Thalib.

C. Sistem Pemerintahan Ali Bin Abi Thalib


Sudah diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam
membela yang hak. Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia
segera mengeluarkan perintah yang menunujukkan ketegasan sikapnya.

Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu
Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman
kepada kerabat dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua
gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat. Ia juga membenahi dan menyusun arsip Negara
untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-
ushsurtah, serta mengkoordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.

Ali juga memindahkan pusat kekuasaan islam ke kota Kuffah. Sejak itu berakhirlah Madinah
sebagai ibukota kedaulatan islam dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana.
Sekarang Ali adalah pemimipin dari seluruh wilayah islam, kecuali Suriah. Pada saat itu, Ali
tidak bermukim secara tetap di Kuffah, dia pergi kesana hanya untuk menegakkan
kekuasaannya, sebagaimana ditunjukkan oleh jasa pemukimannya yang ada di luar kota itu.
Pada saat yang sama dia melakukan perpindahan-perpindahan untuk menegakkan
kedudukannya di beberapa provinsi didalam kerajaannya.

3
D. Kebijakan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Selama Ali bin Abi Thalib memerintah , ia membuat kebijakan-kebijakan tertentu sesuai
dengan situasi yang mengiringinya atau situasi yang dihadapinya, sehingga kebijakan Ali
sangat berbeda dengan kebijakan sebelum-sebelumnya. Diantara kebijakan Ali bin Abi
Thalib yang terkenal adalah:

1.      Penundaan Pengusutan Pembunuhan Utsman


Setelah terbunuhnya Utsman, tuntutan para sahabat terutama yang turunan Umayyah
untuk segera mengusut pembunuh Utsman juga sangat kuat. Namun menyadari kondisi
pemerintahannya yang masih labil,  Ali memilih untuk menunda pengusutan tersebut.
2.      Mengganti Pejabat dan Penataan Administrasi
Diantara pemicu terjadinya fitnah di zaman Utsman adalah kecenderungan
pemerintahannya yang dianggap nepotis, yang mengangkat kerabatnya untuk
menduduki suatu jabatan tertentu. Hal inilah antara lain yang digugat oleh kaum
pemberontak. Ali segera mengambil kebijaksanaan untuk mengganti gubernur yang
diangkat Utsman tersebut.
3.      Memberi tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari baitul mal, tanpa melihat
apakah masuk islam dahulu atau belakangan.
4.      Mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat.
5.      Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat
Utsman.
6.      Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan oleh Khalifah Umar.

E. Peristiwa-Peristiwa Pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib


1. Perang Jamal
Perang Jamal adalah peperangan yang terjadi anatara Aisyah dengan Khalifah Ali.
Aisyah telah dihasut oleh anak angkatnya Abdullah bin Zubair yang sebenarnya
menginginkan jabatan khalifah. Alasan perang ini karena khalifah Ali dianggap tidak
mengusut pembunuhan khallifah ustman dan dianggap membiarkan kasus
pembunuhan usman. Khalifah Ali berusaha supaya tidak teradi peperangan dengan
melakukan perundingan akan tetapi ternyata ada pasukan Aisyah yang mengajak
berperang maka perang pun tidak bisa dihindarkan.

4
Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifahan Ali. Perang ini
mulai berkecamuk setelah dzuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari
itu. Dalam peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan
Jamal berjumlah antara 5.000-6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammad
bin Ali bin Abi Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin
az-Zubair.

Perang Jamal ini dimenangkan Ali. Kedua saingan (Thalha-Zubair) gugur atau
terbunuh dimalam hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Sementara Aisyah
kalah perang dan ditangkap. Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ke
Madinah seperti biasa diperlakukan terhadap seorang “ibu negara”.

2. Perang Shiffin
Perang Shiffin adalah peperangan pasukan Ali melawan Mu’awiyah. Perang ini tidak
berakhir dengan kalah-menang antara keduanya, tetapi hanya dengan mengamati
indikasi peperangan, akan tampak  kelemahan Ali kalau tidak mau kalah. Peperangan ini
terjadi karena faktor politik. Dapat dikemukakan dua hal yang mempengaruhi: Pertama,
Ali diangkat menjadi khalifah pada tahun 656, namun Mu’awiyah jauh lebih mapan
karena dua puluh tahun lebih dulu telah menjadi Gubernur Syiria; Kedua, Mu’awiyah
cukup berpengalaman dan memiliki pengaruh yang mengakar, yang mampu
membangun kemakmuran bagi wilayah dan penduduknya, sedangkan Ali tidak memilik
kemantapan politik pada masa khilafah.

Perang Jamal terjadi diwilayah Shiffin, sebelah selatan Raqqah tepi barat sungai Efrat.
Dalam peperangan ini, Ali membawa pasukan sebanyak 50.000 orang, dan Mu’awiyah
membawa tentara Suriah. Di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan Ali hampir
menang ketika Amr bin Ash pemimpin pasukan Mu’awiyah yang cerdik dan licik
melancarkan siasat. Salinan al-Qur’an yang dilekatkan diujung tombak terlihat diacung-
acungkan, sebuah tanda yang diartikan sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan dan
mengikuti keputusan al-Qur’an.

Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan


telah menimbukan perpecahan dikalangan umat Islam yang terbagi menjadi tiga
kekuatan politik yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan Khawarij. Keadaan ini tidak

5
menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin
lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H
(660 M), Ali dibunuh oleh salah satu anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin
Muljam dengan pedang beracun di dahinya yang mengenai otak.

3. Perang Nahrawan
Perang ini terjadi pada tahun 38 H. Sepulangnya ke Kufah, kaum Khawarij
memberontak terhadapnya. Sebelumnya, mereka menolak adanya tahkim. Mereka
mengatakan: “tidak boleh ada hukum yang dipatuhi kecuali hukum Allah”. Mereka
memprovokasi orang-orang untuk menentang Ali.

Setelah itu, kaum Khawarij membunuh seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin
Khabbab dan istrinya yang ketika itu sedang hamil tua. Ketika ksaus ini sampai kepada
Ali, ia mengirimkan surat kepada mereka, isinya: “Siapa yang menbunuh Khabbab?”
Mereka menjawab: “Kamilah semua yang membunuhnya”. Maka Ali pun keluar menuju
tempat mereka dengan pasukan berjumlah 10.000 prajurit, dan menyerang mereka di
daerah Nahrawan.

4. Munculnya Sekte-Sekte
Sebagai akibat perang Shiffin, sekte-sekte muncul secara serius pada masa Ali. Bahkan
persinggungan antara faktor teologi dan politik muncul pertama kali dalam suatu
percekcokan yang terjadi dikalangan pengikut Ali.

Dalam sejarah umat Islam, sekte-sekte sebagai wujud perbedaan pemikiran dan ide pada
pokoknya disebabkan perbedaan aspirasi politik: kelompok setia Ali yang selanjutnya
dinamakan Syi’ah dan kelompok eksodus yang selanjutnya dikenal dengan Khawarij,
benar-benar berbeda sangat jauh.

Syi’ah merupakan kelompok sayap kanan dan Khawarij adalah kelompok sayap kiri.
Keduanya sama radikal dan ekstrim. Adanya imam menurut Syi’ah adalah wajib.
Keharusan agama dan dunia akan hancur tanpa imam. Tetapi Khawarij mengatakan,
adanya imam tidak diharuskan agama. Imam tidak perlu bila manusia dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri, bahkan karena imamlah manusia membuat
kehancuran dengan membunuh.

6
Kemelut yang semula menitik beratkan hal-hal politik, kini beralih pada persoalan
teologi. Seperti apa yang dilontarkan Syi’ah maupun Khawarij, mempunyai konotasi
dengan pembicaraan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam.

7
DAFTAR PUSTAKA
al-Khamis, Utsman bin Muhammad. 2012. Hiqbah Minat Tarikh (Inilah Faktanya,
Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Muhammad SAW Hingga Terbunuhnya
al-Husain)  diterjemahkan: Syafarudin. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.

Anda mungkin juga menyukai