Kelas: VII IT
a. Perang Jamal
Pada 656, muncul ketidakpuasan atas kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan yang
diduga penuh nepotisme dan korupsi.
Ali bin Abi Thalib menganggap pemberontakan sebagai reaksi wajar dari rakyat yang
merasa ditipu oleh pemimpinnya, tetapi di sisi lain juga mengutuk pembunuhan Utsman.
Sepeninggal sang khalifah, Ali bin Abi Thalib, yang sebelumnya bertindak sebagai
penengah antara pemberontak dan Utsman, diangkat menjadi khalifah oleh masyarakat
Madinah.
Ali awalnya menolak, tetapi akhirnya mau menjadi khalifah setelah menyaksikan
kekacauan yang terjadi sepeninggal Utsman.
Pengangkatan ini membuat Aisyah, yang sedang berada di Mekkah, tidak senang. Menurut
riwayat, hubungan dua orang terdekat Nabi ini memang telah retak.
Aisyah, yang sebelumnya termasuk salah satu orang yang lantang menyuarakan kritik atas
kepemimpinan Utsman, menuntut adanya qisas (pembalasan).
Ia berdalih bahwa pengangkatan Ali seharusnya dilakukan dalam suasana damai, ketika
pembunuh Utsman telah ditemukan dan diadili.
Sedangkan menurut kubu Ali, pemerintahan harus terus berjalan sambil mencari
pembunuh Utsman. Terlebih lagi, situasi masyarakat sedang kacau.
Dari sinilah, Aisyah ingin memberontak melawan Ali, yang baru saja diangkat menjadi
khalifah.
Selain itu, muncul pendapat bahwa sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak segera membalas
pembunuhan Utsman diartikan sebagai upaya melindungi pembunuhnya.
Thahlah dan Zubair, yang awalnya ikut mendukung Ali, berpindah kubu dan bersekutu
dengan Aisyah setelah mengaku dipaksa untuk membaiat Ali.
b. Perang Shiffin
Setelah Perang Jamal dan Ali direbut oleh mayoritas Ansar dan Muhajirin, Ali
memindahkan kursi Khilafahnya dari Madinah ke Kufah. Dari Kufah, dia
mengirim gubernur baru yang menerima pemikirannya, untuk mengambil alih
fungsi pemerintahan provinsi yang memberontak. Namun salah satu gubernur
menolak untuk berjanji setia kepadanya, dia adalah gubernur Syam, Muawiyah
bin Abu Sofyan.
Muawiyah adalah politisi yang sangat licin dan memiliki ambisi besar.
Temperamennya yang lembut dan tidak segan-segan melepaskan hartanya,
membuatnya menjadi politisi yang disegani dan banyak sekutu.
Ketika Ali mengirim Jarir bin Abdullah untuk menyerahkan surat kepada
Muawiyah untuk berbai'at, Muawiyah tidak langsung menerimanya. Ia justru
mengumpulkan Amr bin al-Ash dan tokoh-tokoh dari negeri Syam untuk
berkonsultasi.
Setelah itu Jarir kembali menemui Ali dan menceritakan keputusan Muawiyah
dan warga Syam. Amir al-mu'minin Ali bin Abi Thalib menanggapi ancaman
Muawiyah dengan berangkat dari Kufah dengan tujuan menduduki Syam. Dia
menyiapkan pasukan di Nukhailah dan mengangkat Abu masud Uqbah bin Amru
sebagai emir sementara di Kufah.
Sebelum pergi beberapa orang menyarankan agar Khalifah tinggal di Kufah dan
hanya mengirim pasukan ke sana, tetapi beberapa yang lain menyarankannya
untuk keluar dengan pasukan.
Kemudian dia menulis pesan kepada semua pasukan di Syam, dalam waktu
singkat. Pasukan Syam bersiap untuk pergi. Mereka bergerak menuju Efrat dari
arah Shiffin. Ali dan pasukannya pindah dari Nukhlailah ke negeri Syam.
Hal ini menjadi perpolitikan yang panjang bagi umat Islam. Mengingat pada saat
Khalifah Usman bin Affan wafat digantikan dengan Ali Bin Abi Thalib.
Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pun memicu perdebatan antara kaum muslimin
itu sendiri. Penolakan beruntut menjadi konflik yang tiada henti sehingga terjadi
peperangan antara pendukung Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah bin Abu
Sofyan yang merupakan pendukung Khalifah Usman bin Affan.
Mengingat Khalifah Ali bin Abu Thalib akan mengusut pembunuhan Usman bin
Affan, beliau sangat berhati-hati manangani masalah ini. Karena beliau tidak
ingin ada dampak yang buruk terjadi dalam penanganan masalah tersebut.
Keluarga Bani Umayyah yang selama ini merasa mempunyai pelindung atas
berbagai kepentingan mereka menjadi terguncang mendengar Khalifah Usman bin
Affan wafat.
Bani Umayyah berupaya mencari pembunuh Khalifah Usman bin Affan untuk
menuntut balas. Upaya yang dilakukan adalah menuntut Ali bin Abu Thalib untuk
mengusut tuntas pembunuhan itu. Tetapi tidak ada respon maka dari itu
Muawiyah bin abu Sofyan dan pendukungnya Bani Umyyah menyusut
pembunuhan tersebut.
Dengan cara mencari informasi sehingga informasi yang didapat bahwa dalang
dibalik pembunuhan tersebut adalah Muhammad bin Abu Bakar. Bani Ummayah
dan para pendukungnya menuntut Ali bin Abu Thalib untuk melakukan proses
hukum terhadap Muhammad bin Abu Bakar.
Namun, Ali bin Abu Thalib tidak mengabulkan permintaan tersebut karena
tuduhan tersebut tidak berdasarkan bukti yang kuat. Karena keberadaan
Muhammad bin abu Bakar justru untuk melindungi Khalifah Usman bin Affan.
Dari hal tersebut, Khalifah Ali bin Abu Thalib mengubah sistem pemerintahan
dan merombak pemerintahan serta mengambil langkah pergantian pejabat yang
diangkat oleh Usman bin Affan karena dianggap sumber kekacauan.
Muawiyah memanfaatkan kekecewaan para mantan pejabat pada masa Usman bin
Affan. Sehingga banyak melakukan penolakan sampai-sampai para pendukung
Usman bin Affan membawa jubah Khalifah Usman bin Affan yang penuh darah
dan menuduh Ali bin Abu Tholib terlibat dalam pembunuhan ini dan
menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Selain Muawiyah, kelompok pendukung Ali bin abu Thalib sebagai kaum Syam
dan kelompok Zubair bin Awwan tidak menyetujui Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Mereka menganggap beliau tidak mampu mengatasi dunia politik dalam negeri
dan lambannya pengusutan kasus pembunuhan Khalifah Usman bin Affan.
Ajakan damai tersebut masih ditolak oleh Muawiyah. Karena tidak ada titik temu
pasukan Ali bin Abu Thalib terus maju hingga kesuatu tempat bernama Siffin.
Disinilah pertempuran berlangsung selama 40 hari pada tahun 657. Perang ini
disebut dengan perang Siffin. Sehingga berakhir dengan damai dan membuahkan
kesepakatan bahwa:
Usman bin Affan meninggal karena teraniaya dan yang berhak menuntut
balas adalah Muawiyah.
Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah harus turun dari jabatan masing-
masing.
Pengunduran diri mereka disaksikan oleh 100 orang utusan kedua belah
pihak.
Khalifah Ali bin Abu Thalib wafat pada tanggal 15 Ramadhan 40 H karena
terbunuh oleh Abdurahman bin Ibnu Muljam ketika beliau sedang shalat subuh.
Pemerintahan khulafaur Rasyidin digantikan oleh Hasan bin Ali yang merupakan
anak dari Ali bin Abu Thalib sendiri. Tetapi kepemimpinan Hasan tidak
berlangsung lama karena selalu ditekan oleh Muawiyah.
Akhirnya dengan jiwa besar Hasan bin Ali menyerahkan tahta kepada
pemerintahan Muawiyah dengan tiga syarat yaitu Muawiyah harus menjamin
keselamatan seluruh keluarganya, Muawiyah harus menjaga nama baik Khalifah
Ali bin Abu Thalib, dan setelah Muawiyah meninggalkan jabatan kepemimpinan
harus diserahkan kepada kaum muslimin secara bermusyawarah.
Hal ini menyebabkan dampak negatif untuk para Muslimin. Sebagian kaum
Muslimin tidak menyetujui kepemimpinan Ali bin Abu Thalib. Terutama
Muawiyah yang sangat tidak menyetujui kepemimpinan Ali bin Abu Thalib.
Muawiyah memanfaatkan semua mantan pejabat pada masa Usman bin Affan dan
masyarakat untuk tidak menyetujui Ali bin Abu Thalib. Muawiyah dan Bani
Umayyah yang bersih keras untuk mencari tahu terbunuhnya Usman bin Affan.
Akhirnya terjadi peperangan antara kamu Muslim itu sendiri antara Muawiyah
dengan Khalifah Ali bin abu Thalib beserta pengikutnya.
Perang tersebut berakhir dengan perdamaian bersyarat. Tidak lama kemudian
Khalifah Ali bin Abu Thalib wafat karena dibunuh oleh Abdurrahman Ibnu bin
Muljam pada saat sholat subuh. Kepemimpinanpun diganti oleh Hasan anak dari
Khalifah sendiri.
Namun kepemimpinan tersebut tidak lama, karena selalu ditekan oleh Muawiyah.
Akhirnya Hasan memberikan kepemimpinan tersebut ke Muawiyah.
Muawiyahpun kembali ke kota Damaskus yang dijadikan tempat pemerintahan
kerajaan Daulah Bani Umyyah.