...
! : ...
kelompok Mesir datang kepada Ali yang waktu itu sedang berada di tengah sebuah
pasukan di Ahjar az-Zait, dia mengenakan pakaian berwarna putih terbuat dari bahan katun
dan memakai serban merah dari Yaman sambil membawa pedang... orang-orang Mesir itu
mengucapkan salam kepada beliau, Ali berteriak dan mengusir mereka, seraya berkata:
orang-orang shaleh telah mengetahui bahwa pasukan Dzu Marwa dan Dzu Khusyub telah
terlaknat melalui lisan Muhammad shalallahu alaihi wasallam, kembalilah ! , semoga Allah
tidak menyertai kalian. Mereka menjawab: Ya. Kemudian mereka pergi meninggalkan Ali.
(ath-Thabari,Tarikh ar-Rusul, 2:474 475)
Kemudian mereka bergerak kembali menuju tempat masing-masing, sehingga penduduk
Madinah merasa aman karena kelompok tersebut telah pergi. Namun kemudian, kelompok
tersebut kembali setelah beberapa hari berpisah menuju tempatnya masing-masing dan segera
mengepung Madinah. Sebagian besar dari mereka mengepung rumah Kholifah Utsman bin
Affan, kemudian memerintahkan penduduk Madinah agar tidak melawan. Imam at-Thabari
mengungkapkan,
: .
mereka berkata: siapa saja yang tidak bertindak maka dia akan selamat. (ath-
Thabari,Tarikh ar-Rusul, 2: 475)
Para penentang itu mengajukan dua opsi, yaitu mereka meminta agar Utsman
menyerahkan Marwan kepada mereka atau Utsman turun dari jabatannya, namun dengan
tegas Utsman menolak kedua opsi tersebut. Pengepungan ini berakhir dengan terbunuhnya
Utsman bin Affan r.a.
Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: Benarkah surat itu atas petunjuk Utsman?
Benarkah cap legalisir dalam surat tersebut adalah milik negara? Mengapa Utsman menolak
kedua opsi tersebut?
Jawaban atas pertanyaan di atas: Ali bin Abi Thalib meragukan surat itu dibuat dan
dikirim oleh pihak Kholifah Utsman, bahkan Ali menduga dengan dugaan yang kuat bahwa
hal ini telah direncanakan sendiri dengan rapi oleh kelompok-kelompok tersebut ketika
mereka ke Madinah, jadi kepulangan mereka ke tempat asal hanyalah bentuk kepura-puraan
saja. Bukti mengenai pernyataan ini sebagaimana yang terungkap dalam kitab Tarikh ar-
Rusul (lihat juga kitab tartib wa tahdzib kitab al-Bidayah wa an-Nihayah), Imam at-Thabari
mengungkapkan,
...
:
! :
Ali bertanya kepada penduduk Mesir yang kembali datang: Apa yang menyebabkan kalian
kembali dan berbalik dari pendapat kalian yang lalu ?; Mereka menjawab: kami
mendapatkan seseorang yang membawa surat perintah untuk membunuh kami; Thalhah
datang kepada penduduk Bashrah dan berkata demikian kemudian Zubair juga menanyakan
yang sama kepada penduduk Kufah; Berkata penduduk Kufah dan Bashrah: kami mau
menolong saudara-saudara kami dari Mesir dan mempertahankan mereka; Kemudian Ali
bertanya lagi: Bagaimana kalian mengetahui wahai orang Kufah dan wahai orang Bashrah
apa yang telah ditemui oleh orang Mesir, padahal kalian sudah berjalan dan berpisah
sangat jauh, kemudian tiba-tiba secara serentak kalian kembali ke sini? Ini demi Allah !
merupakan perkara yang sudah di rancang di Madinah sendiri; kemudian mereka
menjawab: letakkan saja orang itu (Utsman) dimana kamu suka, kami tidak memerlukannya
lagi, yang penting dia pergi.
(ath-Thabari, Tarikh ar-Rusul, 2: 475)
Dari riwayat di atas, jelas bahwa kelompok tersebut tidak mampu menjawab pertanyaan Ali
bahkan rencana mereka telah dibongkar oleh Ali, hal ini tampak dari pernyataan mereka yang
angkuh dan tidak menjawab pertanyaan Ali. Marzuki Haji Mahmood dalam bukunya Isu-Isu
Kontrovesi Dalam Sejarah Pemerintahan Khulafa al-Rasyidin mengungkapkan fakta yang
membenarkan sekaligus menguatkan keraguan Ali, yaitu:
Dalam masa yang sama pernah terjadi pemalsuan surat atas nama istri nabi. Surat ini
berisi kritikan terhadap pemerintahan Utsman dan seruan untuk menentang Utsman. Surat ini
terbukti palsu dan direkayasa oleh anak didik Utsman yang lari ke Mesir bernama
Muhammad bi Abi Huzaifah. Dari peristiwa ini ditemukan kemungkinan bahwa surat yang
dikirim atas nama Kholifah juga palsu.
Kholifah dan wali Mesir (Abdullah bin Saad bin Abi Sarh) telah memiliki agenda
untuk bertemu membicarakan suatu masalah. Lalu untuk apa Kholifah harus repot-repot
menulis surat pada Abdullah bin Saad di Mesir padahal beliau tahu Abdullah bin Saad
sedang dalam perjalanan hingga ia tidak lagi ada di Mesir.
Para penentang itu berasal dari Mesir, Basrah, dan Kuffah. Jika memang surat itu
datang dari Istana Kholifah untuk membunuh pembesar-pembesar dari kelompok Mesir,
kenapa tidak sekalian mengirim surat kepada wali Basrah dan Kuffah untuk memburu dan
membunuh para pembesar dari wilayah-wilayah tersebut?
Saat pengepungan terjadi, mengapa semua kelompok hadir di Madinah dalam waktu
singkat padahal mereka seharusnya sudah kembali ke tempatnya masing-masing yang
letaknya saling berjauhan?
Budak yang ditangkap oleh rombongan sebagai pembawa surat kholifah, bersikap
mencurigakan. Budak itu kadang berjalan mendekati rombongan dan kadang menjauhi
rombongan. Dari sikapnya terkesan ia disuruh untuk mengikuti rombongan orang-orang yang
bertolak dari Madinah.
Saat rombongan hendak kembali ke tempat mereka masing-masing ternyata ada dua
tokoh penting di antara mereka yang tidak ikut dan terus menetap di Madinah. Mereka adalah
al Asytar dan Hukaim bin Jabalah. Merekalah yang disinyalir menulis surat palsu tersebut
dengan tujuan mengeruhkan suasana.
Sikap Utsman tidak menyerahkan Marwan bin Al Hakam karena yakin bahwa Marwan tidak
ada sangkut pautnya dengan surat tersebut. Utsman juga menolak untuk menyerahkan
jabatannya semata-mata ia teringat dengan pesan Nabi Saw.
24566 -
:
....
...diriwayatkan oleh Aisyah bahwa nabi pernah bersabda,Wahai Utsman! Sesungguhnya
Allah Swt. Akan memakaikan kamu bahu (maksudnya kekuasaan tertinggi) maka jika ada
orang-orang munafikin yang ingin kamu menanggalkannya, jangan tanggalkan (ada riwayat)
hingga kamu temui aku
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 41: 113; diriwayatkan juga oleh Tirmidzi, dan Al Hakim)
Pembunuhan terhadap Utsman semakin menambah genting suasana. Para penentang
tidak juga kembali ke daerahnya masing-masing. Mereka merajalela di Madinah. Ketua dari
mesir, al Ghafiqi bertindak sebagai imam sholat di masjid nabi. Ketua yang lain seperti Malik
bin Al Harith, Al Asytar Al Nakhayi dan Hukaim bin Jabalah menempatkan diri menjadi
pendukung Ali hingga terkesan Ali melindungi mereka dan Ali terlibat dalam pembunuhan
Utsman. Dari sinilah terjadi tragedi perang Jamal antara kelompok Ali dan kelompok yang
dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Perang ini terjadi tanpa keinginan kedua belah
pihak. Di dalamnya timbul banyak masalah kabur dan tidak jelas.
Pertanyaan-pertanyaan pun timbul, diantaranya adalah: Mengapa bisa terjadi perang di antara
dua orang yang terdekat dengan Rasulullah saw hingga harus menumpahkan darah kaum
muslimin? Apakah mereka berperang untuk memperebutkan kekuasaan?
Berbagai literatur sejarah menyebutkan dengan keliru bahwa perang jamal terjadi atas
beberapa faktor, yaitu:
Dendam Aisyah atas pendapat Ali saat terjadi al ifk.
Ketidakpuasan para sahabat atas pengangkatan Ali sebagai kholifah.
Kerenggangan hubungan Aisyah dengan Fatimah sebagaimana hubungan antara ibu
tiri dengan anak tirinya.
Aisyah menentang Ali karena ingin agar kekuasaan diberikan pada anak saudaranya,
Abdullah bin al Zubair.
Aisyah marah pada Ali sebab Ali tidak mau membaiat ayahnya saat ayahnya
diangkat sebagai kholifah.
Tersirat bahwa motif terjadinya perang jamal semata-mata karena iri dengki, haus kekuasaan,
mementingkan diri sendiri, dendam, tidak rela atas putusan Allah dan RasulNya, dan lain
sebagainya. Bila kita cermati, sifat-sifat yang disebutkan di atas tidak lain hanya dimiliki oleh
orang-orang yang kurang iman. Padahal kita tahu kredibilitas para sahabat yang sangat dekat
dengan Al Quran. Sejatinya mereka benar-benar penjaga Al Quran.
Bantahan atas argumen-argumen penyebab perang jamal:
Peristiwa ifk adalah rekayasa kaum munafiqun. Meski Ali berpendapat, Ya
Rasulullah, apa yang perlu dikhawatirkan? Masih banyak perempuan lain saat Rasul
menanyakan pendapat Ali, tidak ada satu riwayatpun yang memperlihatkan Aisyah dendam
karenanya. Aisyah adalah tipe orang yang senang berterus terang sehingga bila ia tidak suka
akan pendapat Ali, ia pasti akan langsung membantahnya dan bukan menyimpannya sebagai
dendam.
Allah dan RasulNya mengakui dan memilih Aisyah sebagai wanita yang memiliki
keutamaan lebih dari wanita mukmin lainnya. Sehingga tidak mungkin Aisyah memiliki hati
yang buruk lagi rusak (dendam, iri, dsb).
Peristiwa ifk telah berakhir dengan turunnya QS. An Nur. Ketidak ridloan terhadap
apa-apa yang diturunkan Allah mencerminkan kemunafiqan dan kita tahu bahwa para sahabat
termasuk istri nabi adalah orang-orang yang mendapat pujian dari Allah. Mereka pun
bukanlah bagian dari golongan orang-orang yang munafik.
Pernyataan Aisyah sendiri saat perang berakhir membuktikan tidak ada dendam lama
atau baru dalam perang jamal, sebagaimana yang terungkap dalam kitab Imam ath-Thabari
:
...
Aisyah berkata: wahai sekalian manusia..demi Allah, tidak terdapat apapun diantara aku
dan Ali, dari sejak dulu, melainkan perkara biasa antara seorang perempuan dengan ahli
keluarganya saja. Dan sesungguhnya Ali disisiku merupakan orang yang terpilih. Kemudian
Ali menjawab: wahai sekalian manusia, Demi Allah benar dan tepatlah perkataannya. Tidak
terdapat apa-apa antara aku dan dia, Cuma itu saja. Sesungguhnya dia adalah isteri Nabi
shalallahu alaihi wasallah kamu di dunia dan akhirat. (Ath-Tabari, Tarikh al-Rusul, 3: 66)
Hubungan Aisyah dan Fathimah baik-baik saja. Rasulullh pernah bertanya pada
Fathimah, Apakah engkau menyayangi orang yang aku sayang? Lalu Fathimah
menjawab,Ya. Kemudian Rasul bertanya lagi,Apakah Engkau membenci orag yang aku
benci? dan Fathimah menjawab,Ya. Kemudian rasul bersabda,Aku sendiri sayang Aisyah,
maka hendaklah engkau sayang kepadanya. (Al Syaukani, Darr al al-shahabah, hal. 320-
321,petikan dari Majma al Zawaid, jil IX, hal. 241)
Adapun tuduhan bahwa Aisyah menginginkan kekuasaan bagi keponakannya,
Abdullah bin al Zubair, sangatlah tidak benar. Hal ini dibantah sebab saat itu Abdullah masih
sangatlah kecil sedang ayahnya, yakni Zubair telah memenuhi kualifikasi menjadi kholifah.
Kenapa Aisyah tidak mendukung Zubair saja?
Perkataan bahwa perang Jamal terjadi karena Aisyah dendam pada Ali yang
menentang ayahnya (Abu Bakar) sangat berlawanan dengan fakta sejarah. Sebab Ali
sebagaimana sikap para sahabat yang lain, termasuk orang yang paling awal membaiat Abu
Bakar dan mendukung pemerintahannya sampai ajal menjemput Abu Bakar.
Tujuan Aisyah, Thalhah, dan Zubair mendatangi Basrah bukan Madinah. Padahal bila
ditilik jarak antara Mekah ke Madinah (tempat Ali berada/ ibu kota negara) lebih dekat
daripada Mekah ke Basrah. Hal ini memperlihatkan bahwa Ummul Mukminin bertujuan
untuk memerangi orang-orang yang langsung terlibat pada pembunuhan Utsman. Adapun
melewati Madinah, beliau bermaksud mengajak kholifah Ali menggabungkan tentaranya
guna memerangi para pemberontak itu (Sabaiyah). Maksud ini diketahui oleh para
penentang yang telah menyusup di antara kelompok Ali dan kelompok Aisyah. Mereka
khawatir bila kedua kelompok ini bertemu maka merekalah yang akan kena getahnya.
Akhirnya malam sebelum tercetusnya perang Jamal, mereka mengadakan rundingan yang
isinya seruan kepada anggotanya (Sabaiyah) untuk membuat kegaduhan di esok hari hingga
tercetuslah perang tanpa memberi kesempata bagi kedua belah pihak untuk berpikir panjang
(al Tabhari, Tarikh ar Rusul, jil IV lihat juga Saif al Dhabi, al Fitnah, hal 149, lihat juga
kitab tartib wa tahdzib kitab al-Bidayah wa an-Nihayah).
Penutup
Semestinya, para ilmuwan dan cendekiawan ini membaca banyak buku lainnya
tentang cerita seputar konflik diantara sahabat Nabi. Thaha Jabir Ulwani, misalnya, dalam
bukunya Adabul Ikhtilaf fil Islam, memaparkan data-data perbedaan bahkan konflik diantara
sahabat Nabi. Mereka adalah manusia. Tapi, yang sangat indah adalah bagaimana cara
mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik. Umat Islam justru bisa belajar dari sejarah
semacam itu. Sebab, dalam kehidupan manusia, ada saja orang-orang yang berbuat jahat dan
mengeruhkan suasana. Terjadinya kekacauan dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan
r.a. tidak bisa begitu saja ditimpakan kesalahannya kepada Utsman r.a. Begitu juga, martabat
Ali bin Abi Thalib r.a. tidak kemudian menjadi rendah karena di masanya terjadi
pergolakan. Wallahu alam bish shawab