Anda di halaman 1dari 20

PERMASALAHAN PADA MASA ALI IBN ALI THOLIB

A. PERANG JAMAL (36 H/656M)


1. Penyebab Terjadinya Perang Jamal
Perang jamal atau perang Unta adalah perang antara Khalifah Ali melawan Aisyah.
Perang Jamal ini trjadi pada tanggal 11 Jumadil Akhir, 36 H atau Desember 657 M yang
waktunya tidak sampai sehari. Perang ini berasal dari perbedaan pendapat antara Saidina Ali,
Muawwiyah, Thalhah, Zubair, dan Aisyah dalam penyelesaian kasus pembunuhan terhadap
Khalifah Utsman ibn Affan.
Sebagian sahabat berpendapat pembunuhan Utsman harus di tuntaskan segera,
sedangkan Saidina Ali berpendapaat bahwa pembunuh Khalifah Utsman berasal dari berbagai
suku dan kabilah, bahkan menurut satu riwayat jumlahnya mencapai sepuluh ribu orang yang
berasal dari Kuffah, Basrah, Mesir dan daerah lainnya. Dan mereka telah berbaur dengan
kaum muslimin lainnya, maka yang terlebih dahulu harus di lakukan adalah membentuk
pemerintah yang kuat setelah itu baru beliau akan menyelesaikan kasus pembunuhan
Khalifah Utsman bin Affan.
Muawwiyah bin Abu Sufyan, seorang Gubernur Syam yang tidak membaiat Ali
sebagai Khalifah. Dia menuntut darah Utsman kepada Ali, sedangkan Ali tidak menjadikan
masalah ini sebagai prioritas karena kondisinya yang masih sangat labil. Oleh karenanya,
orang-orang Syam tidak taat lagi kepada Ali, dan Muawwiyah memisahkan diri dari
kekhalifannya. Maka Ali segera menetapkan untuk memeranginya, berangkatlah Ali beserta
pasukan ke Kuffah, beliau telah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kuffah.
Ali keluar dari Madinah menuju Kuffah dengan membawa sekitar tujuh ratus pasukan
dan pasukan ini menjadi tujuh ribu orang. Sementara itu, penduduk Basrah sedang menunggu
mereka dating dan pasukan mereka mencapai dua puluh ribu orang, sedangkan jumlah
pasukan Aisyah sekitar tiga puluh ribu orang.
Pada saat itu juga Aisyah yang disertai oleh Zubair dan Thalhah serta kaum Muslimin
dari Makkah juga menuju Basrah untuk menetap disana. Mereka sampai di sana dan
menguasai Basrah. Bahkan mereka berhasil meringkus para pembunuh Utsman, mereka
mengirimkan surat ke beberapa wilayah untuk melakukan hal yang sama.
Ali pun mengubah rute perjalanannyadari Syam ke Basrah, kemudian beliau
mengirimkan beberapa utusan kepada Aisyah dan orang-orang yang bersamanya lalu
menerangkan dampak negative dari apa yang mereka lakukan. Mereka puas dengan apa yang
dikatakan oleh Ali dan mereka kembali ke base untuk melakukan kesepakatan damai.
Keduanya hamper saja melakukan kesepakatan damai, namun Abdullah bin Saba beserta
pengikutnya yang menyimpang marasa ketakutan da mereka berpikir pertempuran harus
terjadi antara kedua pasukan. Kembali mereka menyebarkan api perang di antara kedua
pasukan terlibat pertempuran yang sangat sengit. Ali tidak berhasil menghentikan peperangan
ini.
Pertempuran terjadi demikian sengitnya di depan Unta yang membawa tandu Aisyah,
pasukan Basrah kalah dalam peperangan iini. Ali memperlakukan Aisyah denagn baik dan
mengembalikannya ke Makkah. Pada perang Jamal ini banyak kaum muslimin yang
terbunuh, sebagian sejarahwan menyabutkan ada sekitar sepuluh ribu orang yang terbunuh.
Perang Jamal adalah perang yang pertama kali terjadi antara sesama kaum muslimin.
Peperangan ini merupakan salah satu tragedi yang palinag menyedihkan dalam sejarah umat
Islam yang sebelumnya tidak pernah terjadi hari seburuk ini karena Ali bertempur melawan
Aisyah yang tidak lain adalah istri dari Rasulullah sekaligus ibu martuanya. Selain itu juga
dua sahabat Nabi yaitu Thalhah dan Zubair yang gugur dalal peperangan itu.
2. Gugurnya Zubair dan Thalhah
Dalam suasana perang yang berkecamuk dengan dahsyat, Ali sibuk mencari Thalhah
dan Zubair untuk mengajak keduanya berbicara, mereka pun bertemu. Saat itu Ali
mengingatkan Thalhan dan Zubair tentang apa yang pernah diucapkan Rasulullah kepada
mereka berdua, suatu hari Rasulullah pernah berjalan melati Ali dan Zubair, lalu Nabi berkata
: apa yang dikatakan oleh anak bibimu (Zubair) itu ? sungguh, suatu saat nanti, ia akan
memerangimu secara dholim, sebagaimana di kutip dari tarikh at-thobari karya Thobari.
Mendengar peringatan Ali tersebut, Zubair segera pergi sambil berkata dengan penuh
penyesalan ya, seandainya aku ingat sabda Nabi itu, tentu aju tidak akan melakukan semua
ini dan demi Allah aku tentu tidak akan pernah memerangimu. Kemudian Zubair mundur
dan keluar dari medan perang, ia pergi menuju Madinah, kepergiannya dilihat oleh Amr ibn
Juzmuz yang segera menikutinya.
Ketika waktu shalat tiba Amr ibn Juzmuz mengajak Zubair melaksanakan sholat, saat
itu Amr membelakangi Zubair, kemudian Amr menikam Zubair tepat di punggungnya,
Zuairpun gugr. Setelah Amr mengambil kuda, cincin dan senjata Zubair kemudian ia
mengabarkan kepada Ali ia telah membunuh Zubair, khalifah Ali sangat sedih mendengar hal
tesebut. Sementara itu Thalhah mundur dari medan perang, tetapi Marwan bin Hakam
melihatnya, maka Marwan memanah Thalhah tepat di lututnya. Thalhah pun jatuh dari
punggung kudanya dengan kaki yang bersimbah darah. Thalhah pun akhirnya gugur dalal
peperangan itu.


3. Kemenangan Ali ibn Thalib
Perang terus berlangsung hingga siang hari, khalifah Ali menyadari bahwa perang
tidak akan bias di hentikan sebelum Unta Aisyah dirobohkan, jika Unta tersebut berhasil di
robohkan maka pasukan Aisyah akan kehilangan pusat komando dan akan tercerai berai.
Kemudian khalifah Ali menyuruh pasukannya untuk merobohkan unta Aisyah bani Dhabbah
menjaga unta itu dengan gigih dank arena semangat yang membara, mereka senantiasa
memegang tali unta Aisyah secara bergantian. Bani Dhabbah melindungi Aisyah dan untanya
denagn semangat pantang mundur. Pada saat yang genting itu, seorang dari Bani Dhabbah
sendiri. Jika unta Aisyah tidak di robohka maka semua anggota kabilanya akan terbuuh dan
Bani Dhabbah akan hilang dari sejarah.
Dengan pikiran itu, laki-laki tersebut segera mengendap-endap ke belakang dan
menebas kaki unta Aisyah. Melihat unta yang di tunggangi Aisyah roboh, Muhammad bin
Abu Bakar dan Anwar ibn Yasir segera mendapingi unta tersebut lalu memotong tali
pengikat sekedup Aisyah, mereka membawa Aisyah ke tempat yang aman. Ali menyuruh
Muhammad ibb Abu Bakar untuk mendirikan tenda uat Aisyah.
Sebagai khalifah yang bijaksana, Ali memaafkan mereka yang sebelumnya
menghunus pedang untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan
dikawal oleh pasukan wanita bersejata lengkap sebagai tanda kehormatan kalifah Ali kepada
Aisyah.

B. PERANG SHIFFIN (37 H/657M)
Perang shiffin adalah peperangan yang terjadi pada tahun 37 H antara saidina Ali
muawwiyah disatu tempat di irak dan berbatasan dengan Syiria yag bernama shiffin, perang
ini di sebabkan komplain Muawwiyah atas ketidakberesan penyelesaian kasus pembunuhan
Utsman, dan di dukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaannya.
Untuk mengatasi pertentangan antara dirinya dengan Muawiyah, Ali berusaha
mengedepankan perdamaian dengan Muawwiyah. Ali menulis surat kepada Muawwiyah
sebagai sarana untuk mencari solusi damai. Ali mengutus orang-orangnya untuk mengrimkan
surat tersebut kepada Muawwiyah, tetapi apa yang diharapkan Ali dari Muawwiyah belum
juga mendapatkan hasil sebagaimana yang di harapkannya. Delegasi yang ditulis oleh Ali dan
Muawwiyah semuanya tidak menghasilkan apa-apa.
Awalnya pernyaaan perang dari khalifah Ali tidak ditanggapi oleh para sahabat dan juga
umat pada umumnya, karena itu Ali berusaha duduk persoalan dan menjelaskan kelanjutan
kedudukan kaum muslim. Kaum muslim tersadar, mereka kemudian berkumpul dan
membentuk barisan pasukan yang telah lebih dulu siap dengan pasukannya tentu saja segera
berangkat ke shiffin untuk menghadapi pasukan Ali yang mendirikan tenda-tendanya.
Ali masih tetap mengutamakan perdamaian sebelum npertumpahan darah terjadi. Khalifah
Ali mengirim utusannya yang terdiri dari tiga orang. Muawiyah tetap masih pada
pendiriannya, Muawiyah menuntut para pembunuh sebelum kesepakatan damai yang
diinginkan Ali dapat dicapai. Bulan Muharram telah tiba, bulan ini mengharuskan mereka
mengadakan gencatan senjata sampai habisnya bulan Muharram. Ali memanfaatkan waktu
gencatan senjata ini untuk damai.
Kesempatan Muawiyah untuk mempertimbangkan usulan damai dari Ali habis
waktunya, sebab malam terakhir bulan Muharram telah tiba. Ali memerintahkan pasukannya
untuk bersiap-siap mengangkat senjata, hingga paginya pertempuran itu terjadi. Sebelumnya,
Ali telah memerintahkan pada pasukannya, wahai kalian semua, sebelum peperangangan
kalian jalankan aku peringatkan agar janganlah kalian mendahului peperangan sampai
mereka melakukannya, sebab segala puji bagi Allah, kalian berada diatas kebenaran dan bila
mereka kalian biarkan untuk mendahuluinya berearti bukti kebenaran itu ada ditangan kalian.
Bila kalian memerangi mereka dan mereka kalah, maka janganlah kalian kejar mereka dan
jangan kalian bunuh mereka yang terluka.
Peperangan sudah tidak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan serunya, korban mulai
berjatuhan dari pihak Ali maupun Muawiyah. Pihak Ali mulai menguasai peperangan,
melihat pasukannya hampir mengalami kekalahan, Muawiyah meminta pendapat Amru untuk
menyusun taktik selanjutnya. Amru mengusulkan agar Muawiyah memegang Al-Quran
sebagai tanda menghentikan perang dan hukum Al-Quran yang akan menentukan
selanjutnya. Diperkirakan korban yang ditimbulkan cukup besar, dari pihak Ali gugur dua
puluh lima ribu orang, dan pihak Muawiyah empat puluh ribu orang.
C. Perang Nahrawan
1. Penyebab Perang Nahrawan
Orang Khawarij adalh orang yang berada dipihak Ali yang melakukan pemberontakan
kepada Ali setelah terjadinya arbitrase dan mencopotnya dari kekuasaannya dengan alas an
bahwa dia menerima tahkim. Anehnya kebanyakan dari mereka telah mendesak Ali untulk
menerima tahkim tersebut. Namun, setelah itu meminta Ali untuk memerangi Muawiyah
kembali. Tentu saja Ali menolak permintaan mereka dan merekapun menyingkir ke kawasan
Harura dan terus melancarkan perang.
Semakin lama semakin banyak dan berkumpul di Nahrawan. Mereka mulai
memebunuh kaum Muslimin dan menebarkan kerusakan di muka bumi. Maka, berangkatlah
Ali menemui mereka dan berdiskusi dengan mereka dengan jangka yang lama. Beliau
menjelaskan kesalahan jalan yang mereka tempuh dengan segala cara. Akhirnya, sebagian
dari mereka kembali sadar dan bergabung dengan Ali. Namun, sebagian besar dari mereka
terus saja melancarkan perang.
Khalifah Ali dihadapkan pada dua lawan yaitu Muawiyah dan kaum Khawarij. Kaum
Ali disibukkan dengan melawan Khawarij yang jumlahnya sekitar dua belas ribu orang.
Pasukan Khawarij dikalahkan oleh pasukan Ali bin Abi Thalib ketika bertempur di
Nahrawan.

2. Wafatnya Ali bin Thalib
Akhirnya, menjelang Shubuh pada tanggal 17 Ramadhan 40 Hijriyah ketika sedang
shalat di masjid Kufah, beliau dipukul dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin
Muljam hingga beliau mengeram kesakitan. Orang-orang yang mendengar teriakan khalifah
Ali keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka kaget melihat khalifah tergeletak
berlumur darah. Segera orang-orang menolongnya san membawa ke rumahnya.
Sesampainya dirumah, khliafah dalam keadaa terluka ternyata masih sempat menyuruh
mereka bersegera ke masjid agar ridak ketinggalan shalat shubuh. Usai shalat mereka
kembali kerumah khalifah untuk menolongnya. Sementara yang lainnya telah berhasil
menangkan pelakunya, mereka membawanya ke tempat khalifah. Walaupun keadaannya
kritis, ia masih tetap bertahan, dipandang satu persatu anak-anaknya dan para shahabatnya
nampak wajah-wajah penuh kemarahan dan dendam.
Lalu beliau berkata, bahwa beliau menginginkan agar masalah pembunuhan terhadap
dirinya, hanya diselesaikan antara orang yang terbunuh dan pelakunya., khalifah tidak
menginginkan masalah pembunuhan terhadap dirinya diperpanjang yang berakibat akan
timbul perselisihan dan jatuh korban yang lebih banyak. Khalifah yang telah dijabatnya selam
enam tahun enam bulan, beliau mempunyai tiga puluh tiga orang anak, lima belas laki-laki
dan delapan belas perempuan. Beliau di makamkan di Kufah pada malam harinya.

D. Tah kim Shiffin dan Perpecahan Ummat (Syiah, Khawarij, dan Pendukung Muawiyah).
1. Tahkim Shiffin
Setelah sekian ribu orang meninggal, akhirnya perang Shiffin ini berakhir dengan
proses negosiasi dan arbitrse, yang lebih dikenal dengan tahkim. Masing-masing pihak
mengutus juru damai, dari pihak khalifah Ali adalah Abu Musa Al-Asyari sedang juru damai
pihak Muawiyah Amru bin Ash. Ali bin Abi Thalib kembali ke Kufah dan Muawiyah ke
Syiria, keduanya menunggu hasil perdamaian.
Bertemulah kedua utusan itu disatu tempat bernama Daumatul Jandal untuk mencari
upaya-upaya menghabiskan permusuhan dan mengembalikan keamanan. Dlam perundingan
ini, Amru bin Ash berhasil menjalankan siasat sehingga menghasilkan keputusan:Ali bin
Abi Thalib turun dari kedudukannya dan Muawiyah bin Abi Shafyan diperhentikan, Siapa
yang akan menjadi khalifah akan ditetapkan dalam satu pertemuan ummat Islam.
Keputusan yang diambil oleh kedua utusan dalam perundingan itu disampaikan di Adzran
dihadapan rapat besar ummat Islam. Dalam pidatonya, Abu Musa mengatakan bahwa: Ali
bin Abi Thalib tidak lagi menjadi khalifah dan Muawiyah bin Abu Shafyan diperhentikan.
Setelah Abu Musa berpidato, naik pulalah Amru Bin Ash keatas mimbar dan berkata: Ali
bin Abi Thalib benar telah diturunkan dan Muawiyah betul telah diperhentikan dari
jabatannya sebagai pembesar Syiria. Akan tetapi, pada hari ini Muawiyah saya angkat
menjadi khalifah sebagai pengganti Ali.
2. Perpecahan Ummat (Khawarij, Syiah, dan Pendukung Muawiyah)
Hasil tahkim yang dilakukan oleh Abu Musa dan Amr bin Ash sangat mengecewakn
bagi pasukan Ali. Oleh karena itu, pendukung Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua.
Kelompok pertama, kelompok yang tetap mendukung Ali bin Abi Thalib yang disebut
kelompok Syiah. Kelompokm yang kedua, kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi
Thalib disebut dengan kelompom Khawarij. Kelompok yang ketiga, kelompok yang tetap
mendukung Abu Shafyan.
Kelompok Alia yang kecewa pada hasil tahkim berkumpul di Makkah dan melakukan
kesepakatan dipimpin oleh Abdurrahman bin Muljam al-Maridi, al-Bark ibn Abdullah al-
Tamimi. Dan Amr bin Bakir al-Tamimi untuk menentang kepemimipinan Ali bin Abi Thalib
dan Muawiyah.
E. Pengangkatan Hasan ibn Ali bin Abi Thalib dan Am al-Jamaah
Setelah meninggal, rakyat segera membaiat Hasan bin Ali sebagai khalifah. Hasan
berkuasa dalam jangka waktu enam bulan. Pada masa pemerintahannya dia melihat banyak
perselisihan diantara sahabat-sahabatnya dan melihat pentingnya persatuan ummat.
Maka, dia pun melakukan kesepakatan damai dan menyerahkan pemrintahannya kepada
Muawiyah dengan memberikan syarat-syarat kepada Muawiyah, yaitu:
1) Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seseorangpun dari penduduk Iraq.
2) Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka.
3) Pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya (Hasan) dan diberikan tiap-tiap
tahun.
4) Muawiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husai dua juta Dirham.
5) Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian Bani Abdi
Syams.
Bagi Muawiyah syarat-syarat di atas tidak perlu diperimbangkan. Dia bersedia
menjanjikan apa saja asal Hasan bersedia mengundurkan diri. Serah terima terima jabatan itu
berlangsung di kota Kuffah, sebuah kota pelabuhan yang makmur di Teluk Persia. Peristiwa
yang terjadi pada bulan Rabbiul Awwal 41 H/ 661 M. Dikenanglah dalam sejarah Islam
dengan istilah Ammul Jamaah atau Tahun Persatuan, karena pada waktu itu hanya
pemimpin ummat Islam, yaitu Muawiyah bin Abu Shafyan.
Dengan terbunuhnya Ali, berakhir pula kekhalifahan yang sesuai dengan manhaj
Allah secara sepenuhnya.









Sedikit nasihat kepada para pembaca bahwa terjadinya perang jamal ini sedikitpun tidak ada
keinginan dari semua pihak kaum muslimin untuk berperang. terjadinya perkumpulan dan
adanya pertemuan adalah untuk berdiskusi dan mencari titik terang tentang penyebab
terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. namun perang terjadi dikarenakan niat jahat
pemberontak yang semula memang tidak menyukai Islam dan bahkan mereka berpura-pura
memeluk Islam berusaha mengadu domba umat Islam saat itu.

terjadinya perang saat itu dikarenaka kesalahpahaman dan ada unsur kesengajaan
pemberontak utnuk mengadu domba, dan sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak sedikit pun
terbersik niat dari para sahabat dan kaum muslimin untuk berperang apalagi saling
membunuh.


Perang Siffin peperangan yang terjadi pada tahun 37 H antara Saidina `Ali dan Saidina
Mu`auwiyah di satu tempat di Iraq yang bernama shiffin. korban yang ditimbulkan cukup
besar ,dari pihak Saidina Ali gugur 25.000 dan dari pihak Saidina Mu`awiyah gugur 45.000
orang . Jalannya peperangan menguntungkan Saidina Ali .Hampir seluruh pasukan Saidina
Mu`auwiyah lari kocar kacir . Akan tetapi mereka menjalankan suatu siasat yaitu
menyerukan cease fire (penghentian tembak menembak ). mereka mengikat beberapa
lembar kitab AlQur-an diujung tombak mereka dan mengacungkan keatas sambail
meneriakkan penghentian tembak menembak dan berhukum kepada Al Qur-an.

Saidina Ali pada mulanya tidak menerima ajakan ini ,karena beliau mengetahui hal itu
hanyalah siasat orang yang hampir kalah.tetapi Saidina Ali didesak oleh sebagian pasukannya
,sehingga ada yang mengatakan kenapa kita tidak berhukum kepada Al Quran. Akhirnya
Saidina Ali menerima tawarancease firedan pulang ke Baghdad,sedangkan Saidina
Mu`auwiyah pulang ke Dasmaskus.kemudian disusunlah delegasi dari kedua belah pihak
untuk berunding .Delegasi Saidina Ali dipimpin oleh Abu Musa Al `Asy`ari dan dipihak
Saidina Mu`auwiyah dipimpin oleh Saidina `Amru bim `Ash.


BAB II
PEMBAHASAN

A.KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB MENJABAT KHALIFAH

Penduduk kota Madinah Al-Munawwarah, didukung oleh ketiga-tiga pasukan yang datang
dari Mesir,Basrah dan Kufah, memilih Ali bin Abi Thalib untuk menjabat sebagai Khalifah.
Konon pada mulanya Ia menolak, akan tetapi atas desakan massa itu,Ia pun menerima jabatan
itu. Baiat berlangsung di Mesjid Nabawi. Zubair ibn Awwam dan Thulhah ibn Ubaidillah
konon mengangkat baiat dengan terpaksa, dan justru keduanya mengajukan syarat didalam
baiat itu, bahwa Khalifah Ali akan menegakkan keadilan terhadap para pembunuh Khalifah
Utsman bin Affan.[1] Khalifah Ali adalah Khalifah yang keempat dan terakhir dari suatu
daulat(dinasti), yang di dalam Islam dikenal dengan daulat Khulafaur Rasyidin.

Pengangkatan Ali itu sebagai Khalifah pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/ 656 M, dan
memerintah selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan
Ramadhan tahun 40 H/ 661 M. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali itu, perpecahan yang
kongkrit didalam kalangan Al Shahabi menjadi sutu kenyataan, dengan pecah beberapa kali
sengketa bersenjata yang banyak menelan korban. Juga pada masa itu bermula lahir sekte-
sekte di dalam sejarah dunia Islam, yakni sekte Syiah dan sekte Khawarij. Bermula sebagai
kelompok-kelompok politik yang berbedaan paham dan pendirian tapi lambat-laun
berkembang menjadi sekte-sekte keagamaan, mempunyai ajaran-ajaran keagamaan tertentu
didalam beberapa permasalahan Syariat dan Aqidah. Perkembangan tersebut berlangsung
beberpa puluh tahun setelah sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Dalam sejarah tersebut telah diungkapkan, Islam telah menghidupkan demokrasi setelah
hampir sempat hilang. Islam dengan Negara Madinahnya pada 611M telah membawa
umatnya pada kemakmuran, dan membawa Islam pada masa-masa kejayaan. Selain itu,
demokrasi juga diterapkan dalam memilih Khalifah melalui sistem pemilihan yang
penentuannya adalah baiat oleh umat muslim. Baiat diterapkan mulai kepemimpinan Nabi
Muhammad hingga masa Khulafaur Rosyidin termasuk dalam pemilihan Ali Bin Abi Thalib.
Namun pemilihan Ali berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya, di mana Pemilihan
Ali adalah pemilihan secara langsung oleh umat Muslim.


B.SEBAB TERJADINYA PERANG SHIFFIN

Perang Shiffin. Pertempuran itu terjadi tahun 37 H. (656 M.), antara Amirul Mukminin dan
Gubernur Suriah, Muawiah, untuk apa yang dinamakan membalas dendam atas kematian
Khalifah Utsman. Tetapi penyebab sebenarnya hanyalah karena Muawiyah, yang telah lama
menjadi Gubernur Suriah yang otonom sejak diangkat Khalifah Umar, tidak mau kehilangan
jabatannya itu dengan membaiat kepada Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib. Ia hendak
mempertahankan keutuhan wewenangnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah
Utsman. Peristiwa-peristiwa di hari-hari kemudian membuktikan bahwa setelah
mengamankan pemerintahan ia tidak mengambil suatu langkah nyata untuk membalaskan
darah Utsman, dan sama sekali tak pernah berbicara tentang para pembunuh Utsman.[2]

Walaupun Amirul Mukminin menyadari sejak semula bahwa peperangan akan tak terelakkan,
ia masih terus berusaha menyadarkan Muawiah. Pada hari Senin 12 Rajab 36 H., setelah
kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Amirul Mukminin mengutus Jarir ibn AbduIlah al-
Bajali ke Muawiah di Damsyik dengan membawa sepucuk surat di mana ia mengatakan
bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Muawiah pun harus membaiat
kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan Utsman kepadanya
supaya Amirul Mukminin dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Quran dan sunah.
Tetapi Muawiah menahan Jarir dengan berbagai alasan, dan setelah berunding dengan Amr
ibn al-Ash, ia membangkang dengan dalih kasus pembunuhan Utsman.

Gubernur Suriah itu menahan Jarir dengan dalih untuk memberikan jawaban. Sementara ia
mulai menyelidiki sejauh mana rakyat Suriah mendukungnya dengan membangkitkan
semangat balas dendam atas darah Utsman, ia bermusyawarah dengan saudaranya Utbah
ibn Abi Sufyan. Utbah menyarankan, Apabila dalam hal ini Amr ibn Ash dihubungi, ia
akan menyelesaikan banyak kesulitan dengan kecerdikannya. Tetapi, ia tak akan mudah
bersedia untuk menguatkan kekuasaan Anda apabila untuk itu ia tidak dibayari dengan apa
yang diinginkannya. Apabila Anda telah bersedia untuk itu maka akan ternyata bahwa dia
penasihat dan penolong yang terbaik. Muawiah menyukai saran ini. Ia myuruh panggil Amr
ibn Ash lalu membicarakan hal itu, dan akhiraya diputuskan bahwa ia akan menuntut balas
atas darah Utsman dengan menuduh Amirul Mukminin bertanggung jawab atasnya. Sebagai
imbalan ia akan menjadi Guberaur Mesir, dan bahwa dalam keadaan bagaimanapun ia tak
akan membiarkan kekuasaan Muawiah di Suriah terganggu. Sesuai dengan itu, keduanya
menepati dan memenuhi perjanjian itu.[3]

Dengan Bantuan orang-orang penting di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tak mengetahui
persoalan, bahwa tanggung jawab pembunuhan Utsman terpikul pada Ali, dan bahwa Ali
memberi semangat dan melindungi para pengepung Utsman. Sementara itu ia
menggantungkan jubah Utsman yang berlumur darah serta potongan jari-jari istrinya Nailah
binti al-Farafishah di mimbar mesjid jamik Damsyik di mana sekitar 70.000 orang Suriah
berikrar untuk membalaskan dendam atas darah Utsman. Setelah berhasil membangkitkan
emosi rakyat Suriah sehingga mereka bertekad bulat untuk mengorbankan nyawa, ia
mendapatkan baiat mereka demi membalas dendam atas pembunuhan Utsman, lalu ia
bersiap untuk berperang. Sesudah itu ia memperlihatkan semua hal itu kepada Jarir lalu
mengirimkannya kembali ke Kufah dalam keadaan malu.

Ketika Amirul Mukminin mendengar tentang hal ini dari Jarir, ia terpaksa bangkit
menghadapi Muawiah. Ia memerintahkan Malik ibn Habib al-Yarbui untuk mengerahkan
pasukan di lembah al-Nukhailah. Sehubungan dengan itu, orang dari sekitar Kufah datang ke
sana dalam kelompok-kelompok besar sehingga jumlahnya melebihi 80.000 orang. Mula-
mula Amirul Mukminin mengirimkan kontingen depan sebesar 8.000 di bawah komando
Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi dan pasukan 4.000 orang di bawah pimpinan Syuraih ibn Hani
al-Haritsi ke Suriah. Setelah berangkatnya kontingen depan ini, Amirul Mukminin sendiri
berangkat ke Suriah memimpin sisa tentara itu, pada hari Rabu 5 Syawal.

Setelah keluar perbatasan kota Kufah, ia mendirikan salat lohor dan setelah berkemah di Dair
Abi Musa, (sungai) Nahr Nars, Qubat Qubbin, Babil, Dair Kab, Karbala, Sabat, Baburasini,
al-Anbar dan al-Jazirah ia tiba di ar-Riqah. Penduduk tempat ini menyukai Utsman, dan di
tempat inilah Simak ibn Makhtamah al-Asadi bertengkar dengan 800 orangnya. Orang-orang
itu telah berangkat dari Kufah untuk bergabung dengan Muawiah setelah membelot dari
Amirul Mukminin. Ketika melihat pasukan Amirul Mukminin, mereka membongkar
jembatan Sungai Efrat supaya pasukan Amirul Mukminin tak dapat menggunakannya untuk
menyeberang. Tetapi, dengan ancaman Malik ibn al-Harits al-Asytar an-Nakhai mereka
ketakutan, dan setelah berunding di antara sesamanya mereka memperbaiki lagi jembatan itu
dan Amirul Mukminin melewatinya dengan tentaranya. Di seberang sungai itu ia melihat
Ziyad dan Syuraih sedang berhenti di sana bersama pasukan mereka karena keduanya
mengambil jalan darat. Ketika sampai di sana mereka dapati bahwa Muawiah sedang maju
dengan tentaranya ke Sungai Efrat, dan karena berpikir bahwa mereka tidak akan mampu
menghadapinya, mereka berhenti di sana sambil menunggu Amirul Mukminin. Ketika
mereka memberikan alasan kepada Amirul Mukminin mengapa mereka berhenti di situ,
Amirul Mukminin menerima alasannya lalu mengirimnya ke depan. Ketika mereka sampai di
Sur ar-Rum, mereka mendapatkan bahwa Abu al-Awar as-Sulami (pihak Muawiyah)
sedang berkemah di sana dengan tentaranya. Keduanya melaporkan hal ini kepada Amirul
Mukminin, lalu ia mengirim Malik al-Haritsi al-Asytar untuk menyusul mereka sebagai
komandan sambil mengingatkannya supaya tidak memulai pertempuran melainkan berusaha
menasihati mereka dan memberitahukan kepada mereka keadaan yang sebenarnya sedapat
mungkin.[4]

Ketika tiba di sana Malik al-Asytar berkemah agak jauh dari situ. Pertempuran mungkin akan
meletus setiap saat, tetapi ia tidak mengganggu pihak lainnya dan tidak pula ia mengambil
langkah yang mungkin memulai pertempuran. Tetapi Abu al-Awar menyerang secara tiba-
tiba di malam hari yang atasnya mereka menghunus pedang untuk memukulnya mundur.
Bentrokan itu terjadi beberapa lamanya tetapi akhirnya Abu al-Awar melarikan diri di
malam hari. Karena pertempuran telah dimulai, segera setelah fajar, seorang komandan
pasukan Iraq, Hasyim ibn Uqbah al-Mirqal az-Zuhri, datang menghadapinya di medan
tempur. Dari pihak lain datang pula suatu kontingen, dan api pertempuran pun berkecamuk.
Pada akhirnya Malik al-Asytar menantang Abu al-Awar bertarung dengannya, tetapi yang
ditantang ini tak berani menghadapinya dan di sore hari Malik al-Asytar maju.dengan
pasukannya. Keesokan harinya Amirul Mukminin sampai di sana dengan pasukannya lalu
berangkat ke Shifffn bersama kontingen depannya dan pasukan-pasukan lainnya.

Muawiah telah lebih dahulu tiba di sana dan telah mendirikan basisnya. Ia juga telah
menempatkan pengawal di Sungai Efrat dan telah mendudukinya. Ketika tiba di sana Amirul
Mukminin menyampaikan kepadanya untuk menyingkirkan pasukan pengawalnya dari
Sungai Efrat itu, tetapi Muawiah menolaknya. Karenanya pasukan Iraq menghunus pedang
lalu menyerang dan merebut tempat di sungai itu.

Setelah itu Amirul Mukminin mengutus Basytr ibn Arnr al-Anshari, Said ibn Qais al-
Hamdani dan Syabats ibn Ribi at-Tamimi kepada Muawiah untuk memperingatkannya
tentang akibat-akibat peperangan dan mengajaknya membaiat. Tetapi jawabannya adalah
bahwa mereka sama sekali tidak akan mengabaikan darah Utsman dan sekarang hanya
pedang yang dapat menjadi perantara mereka.

Akibatnya, dalam bulan Zulhijah 36 H. kedua pihak memutuskan untuk berperang dan para
prajurit dari masing-masing pihak keluar untuk berhadapan di medan. Yang memasuki medan
dari pihak Amirul Mukminin adalah Hujr ibn Adi al-Kindi, Syabats ibn Ribi at-Tamimi,
Khalid ibn al-Muammar, Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi, Ziyad ibn Khashafah at-Taimi,
Said al-Hamdani, Qais ibn Sad al-Anshari, dan Malik al-Asytar an-Nakhai. Dari pihak
Suriah, Abdur-Rahman ibn Khalid ibn Walid al-Makhzumi, Abu al-AWar as-Sulami, Habib
ibn Maslamah al-Fihri, Abdullah ibn Dzil-Kala al-Himyari, Ubaidullah ibn Umar ibn
Khaththab, Syurahbil ibn Simth al-Kindi, dan Hamzah ibn Malik al-Hamdani.

Pertempuran yang terjadi selama 10 hari tersebut berujung Pada hari kesepuluh, orang-orang
Amirul Mukminin menunjukkan moral yang sama. Di sayap kanan Malik al-Asytar
memegang komando dan di sayap kiri Abdullah ibn Abbas. Serangan-serangannya
berlangsung seperti tentara baru. Tanda-tanda kekalahan nampak pada orang Suriah, dan
mereka sudah hendak meninggalkan medan dan melarikan diri. Pada saat itu lima ratus
mashaf Al-Quran diangkat di ujung lembing tentara Muawiah, yang mengubah seluruh
wajah pertempuran. Pedang-pedang berhenti bergerak, senjata penipuan berhasil, dan jalan
terbuka bagi berkuasanya kebatilan.

Ketika semangat orang Suriah telah patah oleh pedang-pedang ganas orang Iraq dan
serangan-serangan yang tak berkeputusan pada Malam al-Harir menjatuhkan moralnya dan
mengakhiri aspirasi-aspirasinya, Amr ibn Ash menyarankan siasat licik kepada Muawiah
supaya mengangkat mashaf Al-Quran di ujung tombak dan berteriak-teriak mendesak untuk
menggunakannya sebagai hakam seraya mengatakan, sebagian orang akan berusaha
menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak meneruskannya. Dengan demikian maka
kita memecah belah mereka dan akan dapat menangguhkan peperangan sampai pada
kesempatan lain. Sesuai dengan saran itu, mushaf-mushaf Al-Quran diangkat pada ujung
tombak. Hasilnya, sebagian orang yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta
menimbulkan perpecahan dan kekacauan di kalangan tentara, dan perjuangan kaum Muslim
yang terkicuh mereda setelah hampir mencapai kemenangan. Tanpa memahami sesuatu,
mereka mulai menjerit-jerit menghendaki keputusan Al-Quran atas peperangan.

Amirul Mukminin berusaha sekuat kuasanya untuk menyadarkan mereka, tetapi iblis telah
berdiri di hadapan mereka berjubahkan mashaf Al-Qruan. Ia tidak mengizinkan mereka
untuk berbuat demikian, dan mereka memaksa Amirul Mukminin mengutus seseorang untuk
memanggil Malik ibn Harits al-Asytar dari medan pertempuran.

Maka diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakam supaya mereka
menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu menurut Al-Quran. Dari pihak Muawiah telah
diputuskan Amr ibn Ash. Dari pihaknya, orang-orang itu mengajukan Abu Musa al-Asyari.
Melihat pilihan yang salah ini, Amirul Mukminin mengatakan, Karena Anda tidak
menerima pendapat saya tentang tahkim, sekurang-kurangnya sekarang Anda menyetujui
untuk tidak mengangkat Abu Musa sebagai hakam. Ia bukan orang yang amanat. Di sini ada
Abdullah ibn Abbas, dan di sini ada Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.
Tetapi, mereka tak mau mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Amirul
Mukminin akhirnya mengatakan, Nah, Iakukanlah sesuka Anda. Tidak lama lagi Anda akan
memakan tangan Anda sendiri karena kebatilan Anda.

Setelah pengangkatan hakam, setelah surat persetujuan ditulis, imbuhan Amirul Mukminin
pada nama Ali ibn Abi Thalib juga tertulis. Amr ibn Ash mengatakan, Ini harus dihapus.
Apabila kami memandangnya sebagai Amirul Mukminin, mengapa peperangan ini harus
dilakukan? Mula-mula Amirul Mukminin menolak untuk menghapusnya, tetapi setelah
mereka sama sekali tak mau menerima, ia menghapusnya seraya mengatakan, Peristiwa ini
sama dengan peristiwa di Hudaibiah, ketika orang-orang kafir bersikeras bahwa kata
Rasulullah bersama nama Nabi Muhammad harus dihapus, dan Nabi menghapusnya.
Mendengar ini Amr ibn Ash marah dan mengatakan, Apakah Anda memperlakukan kami
sebagai orang kafir? Amirul Mukminin berkata. Pada hari apa Anda mempunyai suatu
hubungan dengan kaum mukmin dan kapan Anda telah menjadi pendukung mereka?

Bagaimanapun, setelah penyelesaian ini, orang-orang bubar. Setelah bermusyawarah, kedua
hakam memutuskan bahwa dengan menyingkirkan Ali maupun Muawiah dari kekhalifahan,
rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai. Ketika tiba saat
pengumumannya, diadakan suatu pertemuan di Daumatul Jandal. Yang terletak antara Iraq
dan Suriah, kemudian kedua hakam itu tiba pula di sana untuk memaklumkan keputusan
tentang nasib umat Islam. Secara licik, Amr ibn Ash berkata kepada Abu Musa, Saya
merasa tak pantas mendahului Anda. Anda lebih tua dalam tahun dan usia, karena itu
Andalah yang mula-mula menyampaikan maklumat itu. Abu Musa menyerah pada kata-kata
pujiannya lalu keluar dengan bangganya serta berdiri di hadapan hadirin. Kepada mereka ia
berkata, Wahai kaum Muslim, kami telah besama-sama menyelesaikan bahwa Ali maupun
Muawiah harus dimakzulkan dan hak memilih khalifah diserahkan kepada rakyat. Mereka
akan memilih siapa saja yang mereka kehendaki. Setelah mengatakan ini, ia duduk.

Sekarang giliran Amr ibn Ash, lalu ia berkata, Hai, kaum Muslim. Anda telah mendengar
bahwa Abu Musa telah menyingkirkan Ali ibn Abi Thalib. Saya pun menyetujuinya.
Tentang Muawiah, tidak ada persoalan akan menyingkirkan dia. Karena itu saya tetapkan dia
pada kedudukan itu. Setelah ia mengatakan ini, serentak terdengar teriakan di mana-mana.
Abu Musa berteriak sekuat-kuatnya bahwa itu tipu daya licik, seraya mengatakan kepada
Amr ibn Ash, Engkau telah menipu, dan ibaratmu adalah seperti anjing yang apabila kau
mati sesuatu ia akan menjulurkan lidah, apabila engkau tinggalkan ia akan menjulurkan
lidah. Amr ibn Ash menjawab, Ibaratmu adalah seperti keledai yang dimuati buku.
Bagaimanapun, siasat licik Amr ibn Ash efektif dan kaki goyah Muawiah dikuatkan
kembali.

Perpecahan umat itu kemudian melahirkan kelompok radikal yang dipimpin Hurkus,
komandan pasukan Ali. Hurkus memandang Ali dan Muawiyyah telah melanggar hukum
Tuhan. Karena itu, ia bersama pengikutnya menyatakan keluar dari barisan Ali dan tidak
memihak barisan Muawiyyah. Karena itu, kelompok garis keras itu kemudian dijuluki kaum
Khawarij, dengan semboyannya yang terkenal: la hukma ilallah atau tiada hukum melainkan
hukum Allah.[5]

Untuk menegakkan keyakinannya, kelompok Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap
tiga pemimpin: Ali, Muawiyyah, dan Amru. Tapi, hanya pembunuhan Ali yang berhasil
dilaksanakan. Sayyidina Ali tewas di tangan Abdurrahman pengikut Khwarij pada 661.
Sedangkan Muawiyyah dan Amru bin Ash lolos dari upaya pembunuhan itu.













Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, banyak sekali terjadi fitnah. Fitnah
itu seharusnya menjadi pelajaran bagi kita umat Islam untuk mengambil hikmah dalam
menjaga persatuan umat ini. Ditengah egoisme kepentingan kelompok maupun pribadi.
Berbeda dengan 3 khalifah sebelumnya yang mendapat suara bulat dari dewan syura.
Naiknya Ali bin Abi Thalib tidak dengan suara utuh, bahkan di dalam kota Madinah
sekalipun.
Bukan karena tuduhan bahwa Ali telah membunuh Utsman naudzubillah klo sampai kita
percaya.
Yang dituntut oleh Aisyah dalam perang Jamal adalah ketegasan Ali dalam menghukum
kaum pemberontak yang telah membunuh Utsman, sedangkan bukti maupun terdakwa
tentang siapa pelakunya sangat sedikit.
Posisi Ali ketika itu juga sedang dikepung oleh banyaknya kaum Munafik, hal ini bisa
dimaklumi karena banyak sahabat yang meninggalkan Madinah setelah Rasulullah
meninggal. Baik yang mati syahid ataupun menetap di daerah baru untuk meneruskan
penyebaran syiar Islam.
Walhasil, yang di Madinah justru banyak orang-orang Munafik yang sedari semasa Nabi
hidup sudah enggan untuk berjihad dan berdakwah di jalan Allah.
Maksud Ali menunda Hadd / mahkamah atas pembunuh Utsman adalah menghindari
perpecahan antara golongan Anshor dan Muhajirin di Madinah. Karena kaum munafik selalu
dengan akal-licik berusaha memisahkan tali antara dua golongan ini.
Bahkan demi terlaksana-nya Hadd ini, Ali memindahkan pemerintahan ke tempat netral,
Kufah. Agar lepas dari pengaruh kaum munafik.
Enggak heran, bila dikemudian hari, Muawiyyah juga memilih untuk memindahkan pusat
pemerintahan ke Damaskus, karena untuk menghindari kaum munafik juga.
Posisi Ali ketika itu juga diperparah dengan semakin fanatik-nya golongan Syiah
Kadzabiyah (semacam gerakan Nabi Palsu dengan mencoba mengangkat Ali sebagai Nabi
dan Putra Tuhan) sudah ada sejak zaman Abu Bakar.
Maksud Pawai Militer Muawiyyah.
Awalnya maksud dan tujuan Muawiyah dengan 20.000 orang pasukan adalah untuk
memberikan dorongan moral bagi Ali bin Abi Thalib yang sedang dikepung oleh golongan
Munafikun.
Sekaligus untuk berjaga-jaga jika mahkamah hadd dilaksanakan, dan terjadi perang saudara
antara Muhajirin dan Anshor karena hasutan kaum munafik. Muawiyah dapat segera
membantu meredam dengan pasukannya.
Muawiyah ingin memberikan dukungan moril dan menjaga independensi keputusan Ali
terkait akan digelarnya mahkamah atas pembunuhan Ustman. Tapi issu yang dihembuskan
oleh kaum munafik (pimpinan Abdullah bin Saba) adalah bahwa, Muawiyah bermaksud
memberontak.
Maka kaum munafik ini mendorong Ali bin Abi Thalib untuk keluar dan membatalkan
mahkamah atas pembunuh Utsman karena ada pemberontak yang sedang menuju
Madinah.biar bisa lolos dari hukuman coyy!
Ali sendiri sebenarnya lebih suka menyambut pawai pasukan dari Damaskus sebagai tamu.
Karena dia tahu benar, bahwa Muawiyah bukanlah sosok pemberontak, dan pasti ada maksud
baik dari kedatanganya. Sebagaimana pujian beliau ketika ditanya tentang sosok Muawiyah
bahwa Muawiyah adalah orang yang paling baik adabnya diantara kami
Tapi salah seorang panglima Ali berkaum munafik malah memulai dulu pertempuran,
sehingga pecahlah perang Shiffin.
TAHKIM perdamaian demi keutuhan ummat.
Amr bin Ash, salah seorang sahabat Nabi yang strategi perang dan politiknya dikagumi oleh
orang Romawi. Akhirnya bisa membaca, bahwa perang ini adalah buah provokasi kaum
Munafik.
Terutama setelah sahabat Amar bin Yasir meninggal dalam pertempuran. Tewasnya beliau
memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah
(SAW) telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua
kelompok orang-orang mukmin
Oleh karenanya, Amr bin Ash berijtihad dengan menyuruh seorang prajurit untuk menombak
al-Quran dan mengangkatnya untuk bisa menghentikan perang, melakukan evaluasi
sekaligus mengidentifikasi mana yang mumin asli dan mana kaum munafik.
Kaum munafik pasti menginginkan perang terus berlangsung, sedang orang mukmin pasti
meletakkan senjata menunggu ijtihad para ulama dan umara sesuai al-Quran.
Selama proses Tahkim dan musyawarah antara sahabat terkemuka Nabi inilah kebenaran
nyata akan Orang mumin sejati dan kaum munafikun tersibak.
Orang mukmin meletakkan senjatanya dengan ikhlas, terutama di yang berada di pihak Ali
bin Abi Thalib. Orang mukmin di pihak Ali jelas menanggalkan egoisme pribadi mereka
dengan suka rela meletekkan senjata, padahal kemenangan mereka sudah nyata di depan
mata.
Sedang orang munafik, mereka tetap tidak mau meletakkan senjata. Terus membujuk
Sayyidina Ali untuk melanjutkkan perang, karena kemenangan tinggal selangkah lagi.
Tapi Sayyidina Ali adalah orang mengutamakan kepentingan umat dan persatuan umat.
Untuk apa sebuah kemenangan, tapi persatuan dan kesatuan umat terkoyak.
Hasil dari tahkim sendiri sebenarnya berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi
wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam
beserta para penduduknya, dan tidak boleh lagi ada pertempuran.
Tapi fakta sejarah kemudian menerangkan, bahwa benar ketika itu Sayyidina Ali dikelilingi
oleh orang-orang munafik yang berperang demi kepentingan pribadi. Bahkan penduduk
Kufah sendiri mengkhianati beliau.
Rakyat (Kufah/Irak) Sayyidina Ali terpecah ke dalam 3 golongan.
Pertama, adalah mereka yang menerima Tahkim karena taat kepada Ali sebagai Khalifah dan
tetap taat kepada Ali setelah Tahkim.
Kedua, adalah golongan Syiah yang memanfaatkan kisah Tahkim untuk menarik simpati
dan menyesatkan umat. Dan fakta sejarah mengatakan, bahwa mereka malah berkhianat
kepada Ali setelah tahkim, karena rasa kecewa pada keputusan Tahkim yang dianggap
menghapus kemenangan perang mereka.
Ketiga, adalah kaum Khawarij. Mereka yang menolak Tahkim dan berusaha membunuh siapa
saja terlibat dalam Tahkim. Yaitu, Amru bin Ash, Muawiyah dan Ali. Andai tidak dibantu
oleh golongan Syiah, pasti upaya khawarij membunuh Ali tidak berhasil. Seperti upaya
mereka yang gagal dalam membunuh Muawiyah.
Hikmah. Hukmul Qadhi yarfaul Khilaf.
Ali dan Muawiyah berusaha menghentikan perang saudara dengan menunjuk Amru bin Ash
dan Abu Musa Al-Asyari sebagai Qadli/hakim. Lalu mereka pun mentaati apapun keputusan
musyawarah dua hakim tersebut.
Umat ketika itu juga mentaati keputusan Tahkim, bahkan di pihak Ali juga lebih banyak yang
taat keputusan Qadli daripada yang akhirnya menjadi Syiah dan Khawarij.
Kalaupun pertanyaanya kenapa dua sahabat itu yang ditunjuk sebagai Qadli, karena dalam
perang ini banyak sahabat Nabi yang tidak turun ke medan perang. Menurut kitab al-bidayah
wal Nihayah hanya ada 30 sahabat yang berangkat ke Shiffin.
Para Sahabat, terutama yang bermukim di Mekkah dan Madinah sudah kapok dengan perang
Jamal. Sehingga mereka tidak mau lagi terpecah belah oleh hasutan kaum munafik.
Kalau dalam hemat saya, perang Shiffin adalah murni perang Ahli Irak (120 ribu) dengan
Ahli Syam (60 ribu pasukan).
Dalam Al-Quran sendiri telah termaktub bahaya kaum munafik dan bahkan mengancam
dengan siksa neraka
Sesungguhnya orang-orang munafik itu(ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah
dari Neraka dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun meraka (Q.s.
an-Nisa[4]:145)
Semoga kita dijauhkan dari sikap kaum munafik ini, yang salah satu cirinya adalah lebih
menyukai perpecahan umat ini daripada persatuan dan kesatuan.
Jika mereka berangkat bersama-sama kalian, niscaya mereka hanya menambah kerusakan
belaka kepada kalian, dan tentu mereka akan bergegas maju ke depan di celah-celah barisan
kalian untuk mengadakan kekacauan (fitnah) diantara kalian, sedangkan diantara kalian ada
orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan. (Q.s. at-Taubah [9]: 47)
Penutup.
Dari kisah perang Shiffin ini, kita bisa mengambil pelajaran, betapa persatuan dan keutuhan
umat itu lebih diatas segalanya.
Bila egois dan serakah, demi status kedaulatan baiah ummat atas kekuasaanya. Tentu
Sayyidina Ali bin Abi Thalib akan memilih terus memerangi pihak Muawiyyah bin Abi
Sufyan yang sudah diambang kekalahan.
Tapi Ali bin Abi Thalib lebih mementingkan ishlah dan ukhuwwah umat ini daripada gelar
atau status Khalifah yang mutlak.
Bukankah dengan memenangi perang dan meraih kekuasaan dia bisa menulis sejarahnya
sendiri yang Agung?
Tapi Ali bin Abi Thalib tidak peduli siapa benar dan siapa yang salah. Siapa menang dan
siapa yang kalah. Yang terpenting, umat harus satu Hati dalam satu kesatuan.
Perang Jamal
Pembahasan perang jamal tidak lepas dari peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan.
Menjelang kematian Utsman, terdapat kelompok yang menentang kepemimpinan Utsman.
Kelompok-kelompok tersebut berasal dari Mesir, Kufah, dan Basrah. Kedatangan mereka
yang pertama tidak disambut baik bahkan mereka diminta untuk kembali ke daerah mereka
masing-masing. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Imam ath-Thabari

...


! : ...
kelompok Mesir datang kepada Ali yang waktu itu sedang berada di tengah sebuah
pasukan di Ahjar az-Zait, dia mengenakan pakaian berwarna putih terbuat dari bahan katun
dan memakai serban merah dari Yaman sambil membawa pedang... orang-orang Mesir itu
mengucapkan salam kepada beliau, Ali berteriak dan mengusir mereka, seraya berkata:
orang-orang shaleh telah mengetahui bahwa pasukan Dzu Marwa dan Dzu Khusyub telah
terlaknat melalui lisan Muhammad shalallahu alaihi wasallam, kembalilah ! , semoga Allah
tidak menyertai kalian. Mereka menjawab: Ya. Kemudian mereka pergi meninggalkan Ali.
(ath-Thabari,Tarikh ar-Rusul, 2:474 475)
Kemudian mereka bergerak kembali menuju tempat masing-masing, sehingga penduduk
Madinah merasa aman karena kelompok tersebut telah pergi. Namun kemudian, kelompok
tersebut kembali setelah beberapa hari berpisah menuju tempatnya masing-masing dan segera
mengepung Madinah. Sebagian besar dari mereka mengepung rumah Kholifah Utsman bin
Affan, kemudian memerintahkan penduduk Madinah agar tidak melawan. Imam at-Thabari
mengungkapkan,
: .


mereka berkata: siapa saja yang tidak bertindak maka dia akan selamat. (ath-
Thabari,Tarikh ar-Rusul, 2: 475)
Para penentang itu mengajukan dua opsi, yaitu mereka meminta agar Utsman
menyerahkan Marwan kepada mereka atau Utsman turun dari jabatannya, namun dengan
tegas Utsman menolak kedua opsi tersebut. Pengepungan ini berakhir dengan terbunuhnya
Utsman bin Affan r.a.
Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: Benarkah surat itu atas petunjuk Utsman?
Benarkah cap legalisir dalam surat tersebut adalah milik negara? Mengapa Utsman menolak
kedua opsi tersebut?
Jawaban atas pertanyaan di atas: Ali bin Abi Thalib meragukan surat itu dibuat dan
dikirim oleh pihak Kholifah Utsman, bahkan Ali menduga dengan dugaan yang kuat bahwa
hal ini telah direncanakan sendiri dengan rapi oleh kelompok-kelompok tersebut ketika
mereka ke Madinah, jadi kepulangan mereka ke tempat asal hanyalah bentuk kepura-puraan
saja. Bukti mengenai pernyataan ini sebagaimana yang terungkap dalam kitab Tarikh ar-
Rusul (lihat juga kitab tartib wa tahdzib kitab al-Bidayah wa an-Nihayah), Imam at-Thabari
mengungkapkan,

...

:

! :


Ali bertanya kepada penduduk Mesir yang kembali datang: Apa yang menyebabkan kalian
kembali dan berbalik dari pendapat kalian yang lalu ?; Mereka menjawab: kami
mendapatkan seseorang yang membawa surat perintah untuk membunuh kami; Thalhah
datang kepada penduduk Bashrah dan berkata demikian kemudian Zubair juga menanyakan
yang sama kepada penduduk Kufah; Berkata penduduk Kufah dan Bashrah: kami mau
menolong saudara-saudara kami dari Mesir dan mempertahankan mereka; Kemudian Ali
bertanya lagi: Bagaimana kalian mengetahui wahai orang Kufah dan wahai orang Bashrah
apa yang telah ditemui oleh orang Mesir, padahal kalian sudah berjalan dan berpisah
sangat jauh, kemudian tiba-tiba secara serentak kalian kembali ke sini? Ini demi Allah !
merupakan perkara yang sudah di rancang di Madinah sendiri; kemudian mereka
menjawab: letakkan saja orang itu (Utsman) dimana kamu suka, kami tidak memerlukannya
lagi, yang penting dia pergi.
(ath-Thabari, Tarikh ar-Rusul, 2: 475)
Dari riwayat di atas, jelas bahwa kelompok tersebut tidak mampu menjawab pertanyaan Ali
bahkan rencana mereka telah dibongkar oleh Ali, hal ini tampak dari pernyataan mereka yang
angkuh dan tidak menjawab pertanyaan Ali. Marzuki Haji Mahmood dalam bukunya Isu-Isu
Kontrovesi Dalam Sejarah Pemerintahan Khulafa al-Rasyidin mengungkapkan fakta yang
membenarkan sekaligus menguatkan keraguan Ali, yaitu:
Dalam masa yang sama pernah terjadi pemalsuan surat atas nama istri nabi. Surat ini
berisi kritikan terhadap pemerintahan Utsman dan seruan untuk menentang Utsman. Surat ini
terbukti palsu dan direkayasa oleh anak didik Utsman yang lari ke Mesir bernama
Muhammad bi Abi Huzaifah. Dari peristiwa ini ditemukan kemungkinan bahwa surat yang
dikirim atas nama Kholifah juga palsu.
Kholifah dan wali Mesir (Abdullah bin Saad bin Abi Sarh) telah memiliki agenda
untuk bertemu membicarakan suatu masalah. Lalu untuk apa Kholifah harus repot-repot
menulis surat pada Abdullah bin Saad di Mesir padahal beliau tahu Abdullah bin Saad
sedang dalam perjalanan hingga ia tidak lagi ada di Mesir.
Para penentang itu berasal dari Mesir, Basrah, dan Kuffah. Jika memang surat itu
datang dari Istana Kholifah untuk membunuh pembesar-pembesar dari kelompok Mesir,
kenapa tidak sekalian mengirim surat kepada wali Basrah dan Kuffah untuk memburu dan
membunuh para pembesar dari wilayah-wilayah tersebut?
Saat pengepungan terjadi, mengapa semua kelompok hadir di Madinah dalam waktu
singkat padahal mereka seharusnya sudah kembali ke tempatnya masing-masing yang
letaknya saling berjauhan?
Budak yang ditangkap oleh rombongan sebagai pembawa surat kholifah, bersikap
mencurigakan. Budak itu kadang berjalan mendekati rombongan dan kadang menjauhi
rombongan. Dari sikapnya terkesan ia disuruh untuk mengikuti rombongan orang-orang yang
bertolak dari Madinah.
Saat rombongan hendak kembali ke tempat mereka masing-masing ternyata ada dua
tokoh penting di antara mereka yang tidak ikut dan terus menetap di Madinah. Mereka adalah
al Asytar dan Hukaim bin Jabalah. Merekalah yang disinyalir menulis surat palsu tersebut
dengan tujuan mengeruhkan suasana.
Sikap Utsman tidak menyerahkan Marwan bin Al Hakam karena yakin bahwa Marwan tidak
ada sangkut pautnya dengan surat tersebut. Utsman juga menolak untuk menyerahkan
jabatannya semata-mata ia teringat dengan pesan Nabi Saw.
24566 -

:
....

...diriwayatkan oleh Aisyah bahwa nabi pernah bersabda,Wahai Utsman! Sesungguhnya
Allah Swt. Akan memakaikan kamu bahu (maksudnya kekuasaan tertinggi) maka jika ada
orang-orang munafikin yang ingin kamu menanggalkannya, jangan tanggalkan (ada riwayat)
hingga kamu temui aku
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 41: 113; diriwayatkan juga oleh Tirmidzi, dan Al Hakim)
Pembunuhan terhadap Utsman semakin menambah genting suasana. Para penentang
tidak juga kembali ke daerahnya masing-masing. Mereka merajalela di Madinah. Ketua dari
mesir, al Ghafiqi bertindak sebagai imam sholat di masjid nabi. Ketua yang lain seperti Malik
bin Al Harith, Al Asytar Al Nakhayi dan Hukaim bin Jabalah menempatkan diri menjadi
pendukung Ali hingga terkesan Ali melindungi mereka dan Ali terlibat dalam pembunuhan
Utsman. Dari sinilah terjadi tragedi perang Jamal antara kelompok Ali dan kelompok yang
dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Perang ini terjadi tanpa keinginan kedua belah
pihak. Di dalamnya timbul banyak masalah kabur dan tidak jelas.
Pertanyaan-pertanyaan pun timbul, diantaranya adalah: Mengapa bisa terjadi perang di antara
dua orang yang terdekat dengan Rasulullah saw hingga harus menumpahkan darah kaum
muslimin? Apakah mereka berperang untuk memperebutkan kekuasaan?
Berbagai literatur sejarah menyebutkan dengan keliru bahwa perang jamal terjadi atas
beberapa faktor, yaitu:
Dendam Aisyah atas pendapat Ali saat terjadi al ifk.
Ketidakpuasan para sahabat atas pengangkatan Ali sebagai kholifah.
Kerenggangan hubungan Aisyah dengan Fatimah sebagaimana hubungan antara ibu
tiri dengan anak tirinya.
Aisyah menentang Ali karena ingin agar kekuasaan diberikan pada anak saudaranya,
Abdullah bin al Zubair.
Aisyah marah pada Ali sebab Ali tidak mau membaiat ayahnya saat ayahnya
diangkat sebagai kholifah.
Tersirat bahwa motif terjadinya perang jamal semata-mata karena iri dengki, haus kekuasaan,
mementingkan diri sendiri, dendam, tidak rela atas putusan Allah dan RasulNya, dan lain
sebagainya. Bila kita cermati, sifat-sifat yang disebutkan di atas tidak lain hanya dimiliki oleh
orang-orang yang kurang iman. Padahal kita tahu kredibilitas para sahabat yang sangat dekat
dengan Al Quran. Sejatinya mereka benar-benar penjaga Al Quran.

Bantahan atas argumen-argumen penyebab perang jamal:
Peristiwa ifk adalah rekayasa kaum munafiqun. Meski Ali berpendapat, Ya
Rasulullah, apa yang perlu dikhawatirkan? Masih banyak perempuan lain saat Rasul
menanyakan pendapat Ali, tidak ada satu riwayatpun yang memperlihatkan Aisyah dendam
karenanya. Aisyah adalah tipe orang yang senang berterus terang sehingga bila ia tidak suka
akan pendapat Ali, ia pasti akan langsung membantahnya dan bukan menyimpannya sebagai
dendam.
Allah dan RasulNya mengakui dan memilih Aisyah sebagai wanita yang memiliki
keutamaan lebih dari wanita mukmin lainnya. Sehingga tidak mungkin Aisyah memiliki hati
yang buruk lagi rusak (dendam, iri, dsb).
Peristiwa ifk telah berakhir dengan turunnya QS. An Nur. Ketidak ridloan terhadap
apa-apa yang diturunkan Allah mencerminkan kemunafiqan dan kita tahu bahwa para sahabat
termasuk istri nabi adalah orang-orang yang mendapat pujian dari Allah. Mereka pun
bukanlah bagian dari golongan orang-orang yang munafik.
Pernyataan Aisyah sendiri saat perang berakhir membuktikan tidak ada dendam lama
atau baru dalam perang jamal, sebagaimana yang terungkap dalam kitab Imam ath-Thabari
:

...


Aisyah berkata: wahai sekalian manusia..demi Allah, tidak terdapat apapun diantara aku
dan Ali, dari sejak dulu, melainkan perkara biasa antara seorang perempuan dengan ahli
keluarganya saja. Dan sesungguhnya Ali disisiku merupakan orang yang terpilih. Kemudian
Ali menjawab: wahai sekalian manusia, Demi Allah benar dan tepatlah perkataannya. Tidak
terdapat apa-apa antara aku dan dia, Cuma itu saja. Sesungguhnya dia adalah isteri Nabi
shalallahu alaihi wasallah kamu di dunia dan akhirat. (Ath-Tabari, Tarikh al-Rusul, 3: 66)
Hubungan Aisyah dan Fathimah baik-baik saja. Rasulullh pernah bertanya pada
Fathimah, Apakah engkau menyayangi orang yang aku sayang? Lalu Fathimah
menjawab,Ya. Kemudian Rasul bertanya lagi,Apakah Engkau membenci orag yang aku
benci? dan Fathimah menjawab,Ya. Kemudian rasul bersabda,Aku sendiri sayang Aisyah,
maka hendaklah engkau sayang kepadanya. (Al Syaukani, Darr al al-shahabah, hal. 320-
321,petikan dari Majma al Zawaid, jil IX, hal. 241)
Adapun tuduhan bahwa Aisyah menginginkan kekuasaan bagi keponakannya,
Abdullah bin al Zubair, sangatlah tidak benar. Hal ini dibantah sebab saat itu Abdullah masih
sangatlah kecil sedang ayahnya, yakni Zubair telah memenuhi kualifikasi menjadi kholifah.
Kenapa Aisyah tidak mendukung Zubair saja?
Perkataan bahwa perang Jamal terjadi karena Aisyah dendam pada Ali yang
menentang ayahnya (Abu Bakar) sangat berlawanan dengan fakta sejarah. Sebab Ali
sebagaimana sikap para sahabat yang lain, termasuk orang yang paling awal membaiat Abu
Bakar dan mendukung pemerintahannya sampai ajal menjemput Abu Bakar.
Tujuan Aisyah, Thalhah, dan Zubair mendatangi Basrah bukan Madinah. Padahal bila
ditilik jarak antara Mekah ke Madinah (tempat Ali berada/ ibu kota negara) lebih dekat
daripada Mekah ke Basrah. Hal ini memperlihatkan bahwa Ummul Mukminin bertujuan
untuk memerangi orang-orang yang langsung terlibat pada pembunuhan Utsman. Adapun
melewati Madinah, beliau bermaksud mengajak kholifah Ali menggabungkan tentaranya
guna memerangi para pemberontak itu (Sabaiyah). Maksud ini diketahui oleh para
penentang yang telah menyusup di antara kelompok Ali dan kelompok Aisyah. Mereka
khawatir bila kedua kelompok ini bertemu maka merekalah yang akan kena getahnya.
Akhirnya malam sebelum tercetusnya perang Jamal, mereka mengadakan rundingan yang
isinya seruan kepada anggotanya (Sabaiyah) untuk membuat kegaduhan di esok hari hingga
tercetuslah perang tanpa memberi kesempata bagi kedua belah pihak untuk berpikir panjang
(al Tabhari, Tarikh ar Rusul, jil IV lihat juga Saif al Dhabi, al Fitnah, hal 149, lihat juga
kitab tartib wa tahdzib kitab al-Bidayah wa an-Nihayah).

Penutup

Semestinya, para ilmuwan dan cendekiawan ini membaca banyak buku lainnya
tentang cerita seputar konflik diantara sahabat Nabi. Thaha Jabir Ulwani, misalnya, dalam
bukunya Adabul Ikhtilaf fil Islam, memaparkan data-data perbedaan bahkan konflik diantara
sahabat Nabi. Mereka adalah manusia. Tapi, yang sangat indah adalah bagaimana cara
mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik. Umat Islam justru bisa belajar dari sejarah
semacam itu. Sebab, dalam kehidupan manusia, ada saja orang-orang yang berbuat jahat dan
mengeruhkan suasana. Terjadinya kekacauan dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan
r.a. tidak bisa begitu saja ditimpakan kesalahannya kepada Utsman r.a. Begitu juga, martabat
Ali bin Abi Thalib r.a. tidak kemudian menjadi rendah karena di masanya terjadi
pergolakan. Wallahu alam bish shawab

Anda mungkin juga menyukai