Anda di halaman 1dari 10

Kronologi Periatiwa Tahkim

Definisi tahkim sendiri berdasarkan sudut pandang bahasa adalah bentuk masdar dari “hakkama” yang
artinya melantik seseorang menjadi hakim untuk mengadili suatu perkara. Sedangkan menurut istilah, tahkim adalah
persetujuan anatara kedua pihak yang berselisih untuk menerima keputusan tertentu dalam menyelesaikan
perselisihan mereka. Peristiwa tahkim sendiri secara lebih khusus diartikan sebagai perseyujuan antara pihak Saidina
Ali dengan Mu’awiyah yang berselisish dalam menerima keputusan secara adil dalam perselisihan mereka.
Hayy...teman-teman semua...disini saya kembali lagi dan akan coba menshare tentang peristiwa dalam sejarah
Islam, yaitu awal mula munculnya berbagai aliran dalam agama Islam atau sebuat saja dengan Teologi. Namun
sebenarnya persoalan yang pertama timbul bukanlah dalam bidang teologi melainkan dalam bidang politik. Dan saat
kita membicarakan masalah peristiwa Tahkim, maka erat kaitannya dengan sejarah kekhalifahan sebelumnya, yaitu
pada masa Usman ibn Affan. Untuk lebih jelasnya, yuk baca sama-sama kronologinya:
  ---------------------------------------------------------------------------

Peristiwa yang menyangkut dengan peristiwa tahkim, besar hubungannya dengan peristiwa –peristiwa yang
terjadi pada akhir masa pemerintahan Usman. Dan sebenarnya asal-usul dari adanya peristiwa ini tidak lain karena
permasalahan politik yang awalnya muncul dari kekhalifahan Usman.

Saat itu Usman banyak mengangkat gubernur dari kalangan keluarganya sendiri. Tindakan politik ini
menimbulkan reaksi negatif. Pengangkatan gubernur dari keluarganya sendiri dan menjatuhkan calon gubernur yang
diangkat oleh Umar ibn al-Khattab diangggap sebagai tindakan nepotisme.

Pertentangan yang dilakukan penduduk kaum Kuffah, Mesir dan Bashrah terhadapa kebijakan Usman
semakin memanas. Mereka meminta Usman untuk segera memecat para gubernur seperti Al Wahid ibn Uqbah.
Akhirnya setelah mendapat desakan terus-menerus Usman pun segera mencopot jabatan mereka dan menggantinya
dengan Sa’id ibn Ash sebagai gubernur Kuffah dan Muhammad ibn Abu Bakar sebagai Mesir. Tindakan inipun
dapat meredakan ketegangan yang sempat terjadi sebelumnya.

Namun, beberapa saat kemudian peristiwa lain menghiasi ketegangan pada masa itu. Para penentang
Usman berbondong-bondong kembali mendatangi Usman dengan kemarahannya dikarenakan mereka mendapati
sebuah surat rahasia yang ditujukan kepada Gubernur Mesir dimana isinya berupa perintah untuk menangkap dan
membunuh para penentang Usman. Surat berstempel Usman ibn Affan tersebut mengindikasi bahwa Usman tidak
sepenuhnya mendukung mereka dan Usman pun tidak mengakui bahwa ia yang menulisnya . Hal ini membuat
penduduk semakin geram dan akhirnya terjadilah suatu insiden yaitu terbunuhnya Usman bin Affan oleh 500 orang
para penentang tadi yang menyerbu rumah Usman. Kasus pembunuhan ini hanya menyisakan tekai-teki  tentang
siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas surat tersebut. Peristiwa pembunuhan Usman pun menjadi
babak baru lahirnya berbagai kekacauan di masa kekhalifahan berikutnya.

Ali ibn Abi Thalib, sebagai kandidat terkuat pun terpilih menjadi khalifah pengganti Usman. Namun situasi
politik pada masa kekhalifahannya malah semakin lemah dan melahirkan berbagai tantangan.

Tantangan yang pertama yaitu datang dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah yaitu Zubair
ibn Awwan dan Talhah ibn Ubaidillah. Padahal mereka adalah orang pertama yng membai’at Ali sebagai khalifah.
Mereka berdua yang saat itu berada di Madinah meminta izin kepada Ali untuk melaksanakan umrah ke Mekkah.
Dan dari sinilah mereka berdua bertemu Aisyah kemudian sepakat untuk sama-sama menuntut Ali mengusut  dan
menghukum para pembunuh-pembunuh Usman. Tentang penuntutan qishash itu sebenarnya Ali pahami dan
maklumi. Karena pada saat itu Ali sedang berada pada situasi terjepit, maka Ali menangguhkan qishash tersebut dan
mengatakan pada rombongan delegasi di Madinah bahwa pembunuhan Usman bukanlah kriminal melainkan tragedi
politik. Maka diperlukan kaum muslimin yang bersatu dalam pemerintahanyang kokoh.
Perbedaan pandangan inilah perang pun tak terhindarkan. Perang ini disebut perang Jamal yang
memakan korban kurang lebih 10 ribu dari kedua pihak termasuk Zubair dan Talhah pun ikut terbunuh.

Tantangan kedua berasal dari Mu’awiyah dan keluarga dekat Usman. Sebagaimana Zubair dan Talhah,
mereka tidak mau mengikuti Ali sebagai khalifah, mereka menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-
pembunuh Usman.

Salah seorang dari pemberontak Mesi r yang membunuh Usman adalah Muhammda ibn Abu Bakar, anak
angkat dari Ali sendiri yang sebelumnya diangkat menjadi gubernur Mesir. Isteri Usman, Nailah sendiri mengatakan
hal yang serupa saat rumahnya diserbu, namun Muhammad ibn Abu Bakar membantah keras telah membunuh
Usman sampai ia bersumpah atas nama Allah meskipun ia akui ia berada disana saat kejadian tersebut. Karena
ketidakjelasan ini Ali tidak mengambil tindakan yang keras terhadap masalah ini. Hal ini akhirnya mengindikasi
bahwa Ali turut campur dalam persoalan pembunuhan Usman ibn Affan.

Perselisihan inipun mengakibatkan perang yang disebut Perang Shiffin. Dan di dalam  perang inilah
peristiwa tahkim terjadi. Karena pada saat itu Mu’awiyah telah terdesak tapi tangan kanannya yang bernama ‘Amr
ibn al-Ash yang terkenal licik meminta damai dengan mengangkat mushaf Al-Qur’an keatas.

Disisi lain, pihak Ali terbagi menjadi dua kubu. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima
pemberhentian perang sampai ada kejelasan siapa yang kalah dan siapa yang menang, ada juga yang mengatakan
untuk menerima ajakan damai Mu’awiyah.

Sebenarnya, Ali tidak mau menerima ajakan damai tersebut, namun beberapa komandan perangnya malah
menentang dan mengkafirkannya. Lalu Ali memiliki ide melakukan islah sesuai dengan perintah AL-Qur’an jika
terjadi perselisihan. Akhirnya semua pihak Ali sepakat untuk menjari jalan damai dengan mengadakan arbitrase.
Dalam artian khusus, arbitrase merupakan perjanjian damai antara pihak Mu’awiyah dengan pihak Ali ibn Abi
Thalib saat terjadi perang Shiffin. Ini disebut juga dengan istilah Tahkim dan peristiwa inilah yang menjadi titik
awal lahirnya aliran-aliran teologi dalam Islam.

Arbitrase dilakukan dengan mengirim delegasinya masing-masing sebagai juru runding. Pihak Mu’awiyah
menunjuk ‘Amr ibn Ash dan dari pihak Ali mununjuk Musa Al-Asy’ari. Sejarah mengatakan bahwa antara
keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan. ‘Amr dan Musa sepakat
untuk melepaskan jabatan khalifah dari Ali maupun Mu’awiyah dan mengembalikannya kepada kaum. Tapi saat
pembacaan keputusan ‘Amr berkhianat dan mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali tapi menolak
penjatuhan Mu’awiyah.

Setelah proses tahkim berakhir dan diperoleh kemenangan dari kaum Mu’awiyah kelompok Ali terbagi
menjadi dua, ada yang tetap setia mendukung Ali, ada juga yang keluar dari barisan Ali dan menyudutkan Ali.
Mereka memandang bahwa Ali telah berbuat salah dan dosa besar karenamenyerahkan ketetapan hukum kepada 
manusia melalui arbitrase yang mereka lakukan tadi. Golongan mereka inilah yang kemudian dalam sejarah Islam
dikenal dengan nama Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari barisan Ali karena merasa kecewa atas hasil
tahkim.

Setelah memisahkan diri dari Ali, lalu mereka berkumpul dan memilih Abdullah ibn Abi Wahab Al-Rasidi
menjadi Imam mereka sebagai pengganti Ali. Dan dengan berbagai konflik dan pertempuran yang terjadi antara
keduanya berakhir pada kematian Ali yang dibunuh oleh seorang Kharij yang bernama ‘Abd al-Rahman ibn
Muljiah. Sementara Mu’awiyah tetap berkuasa dan dapat dengan mudah memperoleh pengakuan sebagai khalifah
umat Islam pada tahun 661 M.

Tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai.


Peristiwa tahkim Ali dan Mu'awiyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah saw. Beliau adalah anak Abu Thalib, paman Rasul.
Beliau juga adalah suami dari Fatimah azZahra, puteri Rasul. Ayah dari Hasan dan Husein, dan
dari sinilah berkembang keturunan Rasulullah.
Setelah khalifah Utman terbunuh, terjadilah pergolakan politik. Dan sebagian besar kaum
Muslim secara aklamasi memilih serta menunjuk imam Ali sebagai khalifah. Namun ada
sebagian golongan yang tidak menyukai diangkatnya Ali sebagai khalifah, karena mereka juga
menginginkan tahta tersebut dan khawatir akan musnahnya kenyamanan yang mereka peroleh
selama ini apabila Ali menjabat sebagai khalifah. Karena Ali dikenal sebagai orang yang sangat
keras dan disiplin serta perhitungan dalam mengeluarkan harta negara. Dalam merealisasikan
usahanya, Ali menghadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab tidak dapat dipungkiri
bahwa gerakan pembaharuan yang dirancangnya dapat merongrong dan menghancurkan
keuntungan-keuntungan beberapa pribadi dan kelompok.[1]
Pada mula-mula Ali menghadapi tantangan dari Ummul Mukminin Aisyah ra. dalam perang
jamal, perang ini terjadi karena pihak Aisyah menuntut bela atas pembunuhan Utsman bin Affan,
sedangkan faktor internnya adalah hasutan dari keponakan Aisyah yang juga menginginkan tahta
kekhalifahan. Maka terjadilah peperangan antar saudara ini.
 Kemudian majulah Muawiyah dan pengikutnya menentang pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Maka mereka pun bertemu dalam perang Shiffin antar laskar Ali bin Abi Thalib dan laskar
Muawiyah.
Selain perang jamal dan perang shiffin, Ali juga menghadapi tantangan dari pemberontakan-
pemberontakan yang dilakukan oleh kaum khawarij. Maka pada masa pemerintahan
kekhalifahan Ali bin Abi thalib banyak diwarnai pergolakan-pergolakan dan peperangan,
sehingga pemerintahan Ali pun tidak dapat bertahan lama. Ali wafat terbunuh oleh pemberontak
dari kaum khawarij.

BAB II
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB

A.    Ali Menjadi Khalifah

Terbunuhnya Amirul Mu’minin, Utsman bin Affan, telah mengakibatkan kekacauan dan
kemarahan besar umat islam di Madinah. Hal itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya umat
islam khawatir akan terjadi bencana setelah mengetahui bahwa pemegang tampuk pemerintahan
kosong. Mereka juga melihat imam Ali bin Abu Thalib adalah sosok yang pas untuk memegang
jabatan khalifah setelah Utsman

[3]. Rakyat terbanyak, mereka menanti-nantikan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka.
Oleh karena itu pembai’ahan Ali adalah pembai’ahan dari rakyat terbanyak. Mereka segera
datang kepada Ali untuk membai’ah beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa musuh Ali itu banyak. Di antaranya ada yang menyembunyikan
permusuhan itu, dan ada yang menyatakannya terang-terangan.
Kengkatan Ali dapat ditinjau dari berbagai jurusan. Bahwa yang tiada menyukai Ali diangkat
menjadi khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak, tetapi segolongan kecil (keluarga
Umayyah) yaitu keluarga yang pemuda-pemudanya telah banyak tewas dalam peperangan
menantang islam. Sekarang mereka tergolong kaum elite, cabang atas. Mereka menantang Ali
karena khawatir, kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang
akan dijalankan Ali.
Dengan memperhatikan suasana pembai’ahan Ali, dapat diambil kesimpulan bahwa pembai’ahan
itu bukanlah dengan sepenuh hati kaum muslimin. Terutama bani umayyah, merekalah yang
mempelopori orang-orang yang tidak menyetujui Ali.
Ali mempunyai watak dan pribadi sendiri, suka berterus-terang, tegas bertindak dan tak suka
berminyak air. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Disebabkan oleh
kepribadian yang dimilikinya itu, maka sesudah ia dibai’ah menjadi khalifah, dikeluarkannya
dua buah ketetapan:

1. memecat kepala-kepala daerah angkatan Utsman. Dikirmnya kepala daerah baru yang
akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu terpaksa kembali saja ke
Madinah, karena tak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya.
2. mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Utsman kepada famili-famili dan
kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada
siapa pun yang tiada beralasan, diambil Ali kembali.

Banyak pendukung-pendukung dan kerabat Ali yang menasehatinya supaya menangguhkan


tindakan-tindakan radikal seperti itu, sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan.
Pertama-tama Ali mendapat tantangan dari keluarga Bani Umayyah. Mereka membulatkan
tenaga dan bangunlah Muawiyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali.[4]

B.     Perang Jamal

Dinamakan perang jamal (unta) karena pada saat itu siti Aisyah isteri Rasulullah dan puteri Abu
Bakar asShidiq ikut dalam perang ini dengan mengendarai unta. Peperangan ini dipicu karena
pasukan Aisyah menuntut agar dilakukan balasan setimpal atas terbunuhnya Utsman.
Dalam perang jamal Thalhah dan Zubair menggabungkan diri dengan pasukan Aisyah.
Sementara dari Yaman datang pula ke Makkah Ya’ali bin Umayyah – Gubernur angkatan
Utsman – memberikan 600 keledai serta hartanya untuk disiapkan dalam menghimpun pasukan
besar. Dari Basrah pun datang pula Abdullah bin Amir membawa harta yang banyak pula. Dan
ditambah dengan keluarga Umayyah yang ada di Hejaz, mereka menggabungkan diri akan
menuntut bela Utsman.
Ketika telah sampai ke daerah yang bernama Marbad, pasukan Aisyah telah mencapai 3.000
orang yang di dalamnya terdapat sekitar 1.000 orang Persia. Dari Basrah, banyak umat islam
yang hendak ikut tergabung bersama pasukan ummul mu’minin.[5]
Ada faktor penting lain yang diperkirakan mendorong Aisyah mengikuti perang jamal, yaitu
faktor Abdullah bin Zubair, putera saudara perempuannya bernama Asma. Abdullah bin Zubair
ini diambil Aisyah dari Asma, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan dididiknya di rumahya
sendiri, karena Aisyah tiada dikaruniai anak. Oleh karena itu Aisyah biasa dipanggil Ummul
Abdillah (ibunda Abdullah).
Abdullah mempunyai ambisi hendak menduduki kursi khalifah, tetapi keinginannya itu terhalang
karena Ali. Maka dihasutnyalah Aisyah – bibinya – untuk menceburkan diri ke dalam
peperangan melawan Ali, siapa tahu kalau Ali gugur, kesempatan akan terbuka baginya, karena
tak da lagi orang yang akan menyainginya.
Dilihat secara umum, penduduk Basrah pecah dua, ada yang menyokong dan ada yang
menantang. Antara kedua golongan ini terjadi perkelahian yang banyak memakan korban.
Ratusan yang mati terutama dari golongan yang menantang Aisyah.
Kemudian Ali datang dengan balatentara yang banyak jumlahnya. Pertama-tama diusahakannya
supaya Aisyah dan pengikut-pengikutnya mengurungkan maksud mereka. Dan kepada beberapa
orang di antara mereka, diperingatkan Ali akan bai’ah dan sumpah seti yang telah diberikan
mereka.
Nasehat Ali termakan oleh mereka. Diadakan perundingan yang hampir berhasil, kaum muslimin
akan terhindar dari bahaya perang. Tetapi tanpa mendapat izin dari Ali, malah tidak setahunya,
pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ memancing perkelahian dan dibalas oleh pengikut-
pengikut Aisyah, maka terjadilah pertempuran antara dua golongan kaum muslimin, pengikut Ali
dan pengikut Aisyah.
Pertempuran dalam perang ini terjadi sangat segit, sehingga Zubair melarikan diri. Dia dikejar
oleh beberapa orang yang benci kepadanya, lalu dibunuh. Begitu juga Thalhah telah terbunuh
pada permulaan perang ini. Akhirnya setelah unta yang ditunggangi ummul Mu’minin dapat
dibunuh, maka berhentilah pertempuran dengan kemenangan di pihak Ali.[6]

C.    Perang Shiffin

Perang Shiffin adalah peperangan antara Ali dan Muawiyah. Muawiyah adalah anak Abu Sufyan
paman Utsman. Pemuka Bani Umayyah yang amat disegani dan dipatuhi oleh laskarnya.
Dengan memperhatikan selintas lalu, akibatnya yang kelihatan ialah Ali menang, tetapi jika
diperhatikan dengan teliti kelihatanlah bahwa perang jamal ini akibatnya sangat besar dan amat
dalam dari yang kelihatan semula.
Ribuan tentara Ali telah gugur. Hal ini telah melemahkan tentara Ali. Selanjutnya, pendukung-
pendukung Aisyah yang terdiri dari kebanyakan dari penduduk Makkah, Madinah dan Basrah,
ditambah dengan sahabat-sahabat Aisyah sendiri, telah gugur pula sebesar jumlah tersebut.
Banyaknya kaum muslimin yang gugur, menimbulkan dendam dan kusumat terhadap Ali. Jika
ditilik pula laskar Ali, kebanyakan dari mereka belum pernah sebelumnya berkenalan dengan
Ali, dan belum pernah berhutang budi kepada Ali, jadi hubungan yang akrab tidak ada. Untuk
merangkul mereka, Ali tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk menarik pahlawan-pahlawan
dan orang-orang yang menyambung nyawa. Sekiranya kekayaan itu ada, Ali tidaklah akan
gampang saja mengeluarkan harta kekayaan Tuhan itu, jika tidak pada tempatnya.
Sementara kekuasaan  Muawiyah telah berurat akar di Syam. Sebagai seorang politikus ulung dia
dapat mempergunakan kesempatan. Dia tahu betul bahwa jalan yang paling dekat untuk memikat
hati manusia ialah: pemberian dan tipu muslihat.
Negeri Syam adalah negeri yang kaya raya, dan rakyatnya makmur. Semenjak mereka masuk
islam, bahkan semenjak sebelaum daerah itu dimasuki islam, penduduknya belum pernah
merasakan pemerintah yang selama dan semakmur yang dijalankan Muawiyah.
Amr bin Ash juga menggabungkan diri dengan Muawiyah dan dia pun masih keluarga Umayyah
juga. Banyak lagi orang-orang terkemuka dan suku-suku arab yang terang-terangan memihak
Muawiyah. Sementara itu, Muawiyah sudah sejak lama dapat membentuk tentara yang disiplin di
Syam.[7]
Perang jamal mengakibatkan gugurnya ribuan tentara Ali, berarti dia kehilangan tenaga yang
baik. Sementara itu Muawiyah memperkuat laskarnya dengan membagi-bagi uang kepada merak
dan pengikutnya, sehingga ikatan kesatuan mereka menjadi kuat.
Mereka dapat dihasut Muawiyah menantang pembunuh-pembunuh Utsman. Baju gamis Utsman
yang berlumuran darah dibentangkan Muawiyah di mimbar masjid. Berapa buah anak jari tangan
isteri Utsman yang telah terpotong waktu dia menghambat pukulan-pukulan kaum pemberontak
atas suaminya, ikut pula digantungkan Muawiyah pada baju gamis Utsman itu.[8]
Penduduk Syam menolak memberikan jabatan khalifah kepada Ali, karena hal itu menurut
mereka berarti menyerahkan jabatan itu kepada Bani Hasyim untuk selamanya. Mereka
berpendapat bahwa jabatan khalifah itu hak kaum muslimin. Dan mereka memihak kepada
Muawiyah karena kehidupan mereka bertambah baik dan makmur dibawah pemerintahannya.
Dalam keadaan demikian, Ali maju dengan tentaranya ke Syam. Kedatangan Ali disambut oleh
laskar Muawiyah. Kedua laskar bertemu di sebuah tempat dekat sungai Furat. Ali sudah berkali-
kali meminta Muawiyah membai’ahnya dan bersatu dengannya, tapi Muawiyah tidak
mendengarkan.[9]
Pertempuran terjadi di antara kedua laskar. Ali dengan keberaniannya dapat membangkitkan
semangat dan kekuatan laskarnya, sehingga kemenangan sudah membayang baginya. Muawiyah
yang sudah cemas, buru-buru memanggil Amr bin Ash. Dalam kondisi yang betul-betul kritis
tersebut, Amr bin Ash mengusulkan mengangkat al-Quran tinggi-tinggi sebagai pertanda
mengajak mengajak laskar lawan untuk melakukan tahkim kepada kitabullah.[10]
Laskar Ali menyambut dan mendukung rencana tahkim kepada al-Quran tersebut dan
mendinginkan semangat untuk berperang. Akan tetapi berbeda halnya dengan Amirul mu’minin,
beliau tetap bersikeras memberikan semangat kepada pasukannya agar tetap berperang dan dan
tidak menghiraukan seruan musuh. Ali memberikan peringatan kepada laskarnya akan tipu-daya
yang yang dilakukan Amr bin Ash. Tetapi seruan Ali tidak mendapat perhatian, malahan mereka
memaksa Ali supaya mengumumkan bahwa perang dihentikan. Ali terpaksa mengikuti.

D.    Tahkim

Kedua laskar memutuskan untuk memilih dua orang pelaku perdamaian (hakamain) dari kedua
belah pihak. Muawiyah menugaskan Amr bin Ash sebagai perwakilan perdamaian dari pihaknya.
Sedangkan dari pihak Ali ditunjuklah Abdullah bin Abbas,hanya saja kaum Khawarij dan
penduduk Yaman menolak, mereka malah meminta Abu Musa al-Asy’ari untuk menjadi
perwakilan perdamaian. Ali terpaksa menerima hal ini karena Abu Musa al-Asy’ari dipilih oleh
suara terbanyak.
Kedua perwakilan ini berkumpul pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya tidak terdapat
keseimbangan dalam pertahkiman ini. Mereka bersepakat untuk menanggalkan pemimpin kedua
belah pihak, yakni Ali dan Muawiyah. Maka tampillah Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash
untuk mengumumkan hasil tahkim mereka ke hadapan khalayak. Amr bin Ash mempersilakan
Abu Musa al-Asy’ari untuk maju terlebih dahulu. Maka majulah Abu Musa mengumumkan
bahwa dia telah menurunkan Ali dari jabatannya. Tetapi setelah itu, Amr bin Ash maju
mengumumkan bahwa dia setuju memperhentikan Ali, kemudian diumumkannya bahwa dia
menetapkan Muawiyah.
Peristiwa tahkim menimbulkan perpecahan pada laskar Ali. Kaum Khawarij mulailah
memberontak dan meninggalkan Ali, dengan alasan Ali menerima tahkim, padahal kebanyakan
kaum khawarij tadinya memaksa Ali supaya menerima tahkim. Mereka bukan tidak mengakui
bahwa mereka tadinya mendesak Ali supaya menerima tahkim. Tetapi mereka masih
menyalahkan Ali, kata mereka : “Kami telah salah, tetapi mengapa engkau ikut pekataan kami,
padahal engkau tahu bahwa kami salah. Sebagai seorang khalifah, harus mempunyai pandangan
yang jauh, melebihi pandangan kami, dan pandangan yang lebih tepat dari pendapat kami.” [11]
Kaum Khawarij tidak hanya meninggalkan Ali, malahan mereka juga melakukan berbagai
pemberontakan dan pelanggaran di Irak.
Ali masih berusaha mengembalikan mereka kepada kebenaran dengan berbagai cara, tapi tidak
berhasil. Akhirnya Ali mengambil keputusan memerangi mereka. Walaupun diperangi, namun
mereka tidak dapat dihancurkan. Karena kalau Ali dapat menghancurkan mereka pada satu
waktu atau tempat, lantas di wktu atau di tempat lain timbul lgi laskar mereka yang baru.
Demikian seterusnya. Maka merosotlah kekuatan dan kekuasaan Ali.
Sementara di Syam kekuasaan dan kekuatan Muawiyah semakin kuat, ditambah lagi Sa’ad bin
Abi Waqas dan Abdullah bin Umar juga menggabungkan diri dengan Muawiyah.

E.     Akhir Riwayat Ali

Pada tahun 40H, tiga orang Khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, Barak bin Abdillah at-
Tamimy dan Amr bin Bakr at-Tamimy, berkomplot untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amr
bin Ash. Karena menurut tiga orang Khawarij ini ketiga pemimpin inilah yang menyebabkan
banyaknya pertikaian, perselisihan dan peperangan.
Maka Abdurrahman bin Muljam berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali. Dia berhasil
membunuh Ali dengan pedangnya pada saat Ali sedang memanggil orang untuk sholat. Orang-
orang yang sholat di masjid itu dapat menangkap ibnu muljam, yang kemudian setelah Ali
berpulang ke rahmatullah dia dibunuh.
Adapun Barak dapat menikam Muawiyah, tetapi tidak sampai membawanya mati. Sedangkan
Amr bin Bark telah menantikan Amr bin Ash keluar untuk sholat subuh, tetapi beliau tidak
keluar, karena kesehatannya terganggu.[12]
Dengan berpulangnya Ali ke rahmatullah habislah masa pemerintahan al Khulafaur Rasyidin.

Anda mungkin juga menyukai