Anda di halaman 1dari 87

FAHAM-FAHAM KEAGAMAAN DALAM ISLAM

Sejarah kelahiran dan perkembangannya

H. Aunullah A’la Habib. Lc


Keadaan Umat Islam Sebelum Terjadi Perpecahan

 Pada masa Nabi SAW, dan para Khulafaurrasyidin,


umat islam bersatu, mereka satu akidah, satu
syariah dan satu akhlaqul karimah, kalau mereka
ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan
wahyu dan tidak ada perselisihan diantara mereka.
 Pada saat wafatnya Rasulullah, aqidah Islamiyyah
telah melekat dengan kokohnya dalam setiap hati
muslim. Mereka hidup dalam ikatan persatuan yang
sangat kokoh, penuh kesucian dan kemuliaan.
 Sepeninggal Rasulullah, mulailah bermunculan
fitnah. Adapun yang dianggap sebagai sumber
fitnah itu adalah masalah penentuan pemimpin,
sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah.
 Perselisihan pertama yang terjadi adalah antara

kaum Muhajirin dengan Anshar. Namun,


karena mantapnya pemahaman Islam yang
telah melekat dalam hati mukminin pada saat
itu, serta jauhnya ambisi pribadi pada para
sahabat, maka mereka pun dapat mengubur
dalam-dalam perselisihan itu.
 Yang yang tak kalah penting adalah, ada satu
unsur yang sangat membantu meredam
perselisihan yang terjadi, yaitu pengakuan kaum
Muhajirin terhadap keutamaan Anshar, dan
sebaliknya, pengakuan kaum Anshar terhadap
keutamaan Muhajirin. Saad bin Ubadah,
pemimpin kaum Anshar, dengan tulus
menyampaikan pengakuan keutamaan Muhajirin
dengan mengatakan: “Kamilah (Anshar) sebagai
menteri, dan kalian (Muhajirin) sebagai
pemimpin”.
 Dikalangan Muhajirin sendiri sebenarnya terjadi
sedikit perbedaan dalam menentukan bai’at
kepemimpinan itu. Umar bin Khattab misalnya,
segera menuju Abu Ubaidah sambil mengatakan,
”Bukalah tanganmu, aku akan membai’atmu .
engkaulah orang yang paling dipercaya (amin)
diantara umat Muhammad, seperti yang diucapkan
Rasulullah di hadapan orang banyak”.
 Abu Ubaidah menjawab : “Engkau akan
membai’atku sedang diantara kita ada seorang
ash-Shidiq ( Abu Bakar) , orang yang berdua
bersama Rasul di dalam gua ?”
 Umar merasakan menemukan kebenaran pada
jawaban Abu Ubaidah, maka ia segera
menghampiri Abu Bakar, dan berkata kepadanya,
“Bukalah tanganmu, aku akan membai’atmu,
engkau jauh lebih utama dariku.”
 Abu Bakar Menjawab: “Engkau lebih kuat dari
aku.” Jawab Abu Bakar berulang-ulang. Akan
tetapi, dengan bijak, seperti bijaknya Abu
Ubaidah, Umar pun menukas, ”seluruh kekuatan
yang ada padaku adalah keutamaan yang ada
padamu.”
 Akhirnya terjadilah pelaksanaan bai’at oleh Umar
kepada Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah
pertama, kemudian diikuti oleh seluruh kaum
Muhajirin dan Anshar.
 Diantara para sahabat, tercatat hanya Ali yang pada
waktu itu terlihat masih sibuk mengurus Fatimah,
istrinya, yang dirundung kesedihan atas
meninggalnya ayahnya, yang menunda-nunda untuk
berbai’at, walaupun ia pun pada akhirnya
membai’at Abu Bakar dengan penuh keikhlasan dan
kepercayaan.
 Sebelum Abu Bakar meninggal, kaum muslimin telah
mengambil kata sepakat untuk memilih Umar bin
Khattab sebagai pengganti Abu Bakar. Pada saat
pelaksanaan bai’at kepada Umar sebagai khalifah
kedua, tidak seorang pun diantara para sahabat yang
terlambat termasuk Ali.
 Bahkan Ali termasuk orang yang pertama yang
membai’at Umar. Bahkan setelah itu, Ali adalah salah
seorang sahabat yang paling banyak dimintai
pertolongan oleh khalifah Umar dalam menyelesaikan
berbagai persoalan. Umar sendiri pernah mengatakan:
“A’udzubillah, dalam suatu kesulitan saat tidak ada
Abul Hasan (julukan Ali)”.
Awal Perpecahan Dalam Islam
 Sebelum Khalifah Umar Ibn Al Khattab meninggal,
beliau sudah menunjuk enam sahabat utama untuk
menjadi dewan syuro, Umar berharap salah seorang
dari mereka yang kelak menggantikannya.
 Ke enam sahabat tersebut adalah: Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalhah
bin Ubaidillah, Zubeir bin Awwam dan
Abdurrahman bin Auf.
 Kemudian lewat dewan syuro tersebut, terpilihlah
Usman sebagai khalifah ketiga
 Pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan,
barulah fitnah dan perpecahan mulai merebak.
Bahkan fitnah itu mengakibatkan terbunuhnya
khalifah ketiga itu. ia dibunuh ketika sedang
membaca Al-Qur’an.

 Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H),


kondisi umat semakin kacau, sehingga dari hari ke
hari ini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin
yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok
mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak
mengakui pemimpin dari kelompok lain.
 Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya disebabkan
oleh masalah politik.
 Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang oleh banyak
kalangan di duga sebagai agen yahudi pertama yang
masuk dan mengobok-obok Islam rupanya mulai
berhasil menjalankan misinya.
 Masyarakat kufah, basrah dan mesir berhasil dia
pengaruhi, hingga tidak lagi percaya dengan khalifah
Usman.
 Api hasutan semakin hari semakin besar, hingga pada
akhirnya berbondong-bondong mereka bergerak
menuju madinah
 Rasulullah saw jauh-jauh hari sudah pernah mewartakan
akan hal ini, leawat sebuah hadis yang di ceritakan oleh
Aisyah r.a. : “Wahai Usman, jika kelak Allah memberimu
kepemimpinan, lalu kaum munafik hendak melepas baju
yang di pakaikan Allah kepadamu, jangan kau lepaskan.”
kalimat itu beliau ucapkan sebanyak tiga kali. (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
 Rasulullah saw juga bersabda: “Sepeninggalku kalian
akan menghadapi fitnah dan perpecahan, seorang
bertanya: lalu kami harus mengikuti siapa? Beliau
bersabda: kalian harus mengikuti Al Amin dan para
sahabatnya”, (sahabat yang di juluki Al Amin adalah
Usman. (HR. Ahmad)
 Adapun masalah yang di hembuskan oleh para
musuh Islam salah satunya yang terbesar adalah
masalah nepotisme, kelompok pemberontak yang
tidak senang dengan para gubernur-gubernur yang
diangkat oleh Usman yang banyak di isi oleh kaum
kerabat Usman.
 Para pemberontak menuntut agar khalifah ketiga itu
meletakkan jabatan, tetapi Usman jelas enggan
melakukannya.
 Keengganan Usman melakukan tuntutan kelompok
tersebut membuat mereka marah dan akhirnya
Usman terbunuh di rumah ketika sedang membaca
Al-Qur`an.
 Kematian Usman menjadi titik tolak bagi
perpecahan umat Islam.
 Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al-
Farq bayna al-Firaq mengatakan: “Tsumma
ikhtalafu bada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi
ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza”.
(Kemudian mereka (para shahabat) berselisih
setelah terbunuhnya (Usman) dalam masalah
orang-orang yang telah membunuhnya dan orang-
orang yang membiarkannya terbunuh, perselisihan
yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman)kita
ini).
 Sepeniggal Ustman, sebagian besar kaum
muslimin membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah ke-empat.
 Namun, kematian Ustman, dan terpilihnya
khalifah baru, bukanlah akhir masalah.
 Sisa-sisa kefanatikan terhadap kabilah, serta

ambisi untuk mendapatkan tampuk kepemimpin,


mulai meraup ke permukaan. Sejumlah
golongan atau blok lahir, masing-masing
kelompok menunjuk pemimpinnya.
 Salah satu kelompok itu adalah kelompok yang
dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, yang
menempatkan diri sebagai oposan Ali. Pendukung
utama khalifah Ali pun kemudian menggalang diri.
 Dari sinilah berawal kelahiran dua syi’ah (pengikut).
Adapun pendukung Ali dan anak cucunya, yang
kemudian lebih dikenal dengan kelompok Syi’ah.
 Syi’ah pada mulanya adalah aliran politik. Demikian
pula halnya dengan Bani Umayah yang dipimpin
oleh Muawiyah. Perbedaan pandangan politik antara
Ali dan Muawiyah berlangsung terus menerus, dan
diperuncing oleh pengikut masing-masing.
 Perselisihan ini terus berlangsung, hingga suatu
ketika diadakan tahkim (perundingan) untuk
mencari titik temu diantara dua kelompok itu.
 Namun, umat Islam yang telah terpecah dua ini,
masih harus pula menampung satu pecahan lagi,
yaitu kelompok yang menentang dua kelompok
terdahulu yang diawali dengan ketidak setujuan
mereka terhadap dilaksanakannya perundingan
itu.
 Kelompok yang ketiga itu kemudian lazim disebut
dengan kelompok Khawarij.
 Perang saudara pun mulai tidak bisa di hindari.
 Perang pertama yang terjadi adalah perang unta (perang
jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang dipimpin oleh
Aisyah r.a, isteri Rasul saw, yang menuntut bela atas
kematian Usman, dengan kelompok Ali bin Abi Talib yang
diangkat menjadi khalifah sesudah Usman.
 Kelompok pemberontak terhadap Usman setelah
membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya
kelompok Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan
menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap mereka.
 Tetapi Ali mengalami kesulitan dan tidak dapat segera
melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisis
politik yang berpanjangan.
 Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali
semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya
perang Siffin.
 Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka
mengajak untuk bertahkim (perundingan) bagi
menyelesaikan konflik yang terjadi.
 Perundingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul Jandal
pada bulan Ramadhan tahun 37 H.
 Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat
th.43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-
Asy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya bertindak
sebagai hakim dari kelompok masing-masing .
 Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan
jujur. Amru membuat manuver politik terhadap Abu Musa
dengan mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah
disebabkan oleh dua orang, yaitu Ali dan Muawiyah, maka untuk
menciptakan perdamaian kedua orang itu harus dipecat dan
kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah
baru.
 Manuver politik itu berhasil. Amru memberikan kesempatan
pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar, Abu Musa
manusia yang penuh dengan kejujuran itu mengumumkan
pemecatan Ali.
 Sesudah itu Amru naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali
dan kerana Ali sudah dipecat khalifah tinggal seorang saja lagi,
yaitu Muawiyah, lalu Amru menetapkan Muawiyah sebagai
khalifah umat Islam seluruhnya.
 Perundingan tersebut bukan saja tidak
menyelesaikan konflik, tetapi justru memperbesar
konflik. Bahkan malah menimbulkan kelompok
baru.
 Kelompok Ali terpecah menjadi dua: Pertama,
yang tetap setia kepadanya (belakang hari disebut
syiah). Kedua, yang memberontak, keluar dari
kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya,
karena tidak puas dengan keputusan Ali untuk
mengikuti perundingan diatas (kelompok ini
disebut Khawarij).
 Kelompok ini pada mulanya memaksa Ali untuk ikut
bertahkim, tetapi setelah Ali menerima tahkim mereka
menolaknya. Mereka memakai semboyan “La hukma illa
lillah” (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi
Allah semata).
 Mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak

sependapat dengan mereka.


 Mereka memerangi kelompok Pertama dan Kedua,

bahkan mereka mengirim utusan rahasia untuk


membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash.
Muawiyah dan Amru selamat dari pembunuhan,
sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin
Muljam pada tahun 40 H.
 Kematian Ali membuat duka dan dendam bagi
pengikutnya. Hasan, Putra Ali pertama, diangkat
menjadi khalifah menggantikan ayahnya.
 Hasan melihat bahwa pertentangan politik ini

hanya akan merugikan umat Islam secara


keseluruhan. Oleh karena itu dia mengadakan
perdamaian dengan Muawiyah, untuk menjaga
agar darah kaum Muslimin tidak tertumpah
lebih banyak lagi.
 Hasan meletakkan jawatan pada tahun 41 H dan

menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah.


 Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan
khilafah kepada kaum Muslimin bila ia meninggal
nanti, hal itu di setujui oleh Muawiyah.
 Hasan juga meminta agar kelompok Muawiyah
berhenti menghina Ali di dalam khutbah-khutbahnya.
 Gerakan perdamaian ini disokong oleh masyarakat
Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai Tahun
Persatuan ('am al-Jama'ah).
 Tetapi perjanjian tersebut tidak ditepati kemudiannya.
 Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun
pada tahun 50 H. Kelompok Syiah mengangkat
Husein, putra Ali kedua, menjadi khalifah.
 Sebelum Muawiyah meninggal (tahun 60 H) ia mengangkat
putranya Yazid sebagai putra Mahkota untuk
menggantikannya.
 Hal itu membuatkan bukan saja kelompok Syiah marah
tetapi juga seluruh kaum Muslimin, kerana jelas melanggar
perjanjian damai yang telah dipersetujui dengan Hasan kala
itu.
 Di zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H) permusuhan
kelompok Umawi terhadap Syiah semakin menjadi-jadi.
 Kelompok Syiah diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di
Karbala (10 Muharram th. 61 H) dalam pertempuran yang
tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke hadapan
Yazid sebagai persembahan.
 Penguasa demi penguasa di kalangan Bani Umayah
terus berganti, tetapi pertentangan di antara kedua
kelompok tadi tidak juga reda. Ali dan pengikutnya
terus dihina di setiap mimbar. Kelompok Syiah
membalas dan menghina Kelompok Bani Umayah.
 Di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan
(khalifah kelima Bani Umayah, memerintah tahun 65
s/d 86 H) membuat usaha untuk membina persatuan.
 Dia menggunakan slogan Nahnu Jama'ah Wahidah
Tahta Rayah Dinillah (kita semua adalah satu jamaah
dibawah naungan bendera agama Allah).
 Abdul Malik juga mengadakan konsep tarbi', yaitu
dengan menyebut nama empat khalifah: Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali didalam khutbah-khutbah.
Konsep ini merupakan kaedah untuk
mempersatukan umat Islam juga.
 Sebelum ini kelompok Umawi hanya mengakui
Abu Bakar, Umar, Usman dan Muawiyah, tetapi
mereka tidak mengakui Ali.
 Manakala Kelompok Khawarij hanya mengakui
Abu Bakar dan Umar.
 sedangkan kelompok Syiah hanya mengakui Ali saja
dengan alasan masing-masing. Setiap kelompok
menghina kelompok lain di mimbar-mimbar dan
mendoakan keselamatan bagi pemimpin mereka.
 Abdul Malik mendapat sokongan dari masyarakat
Islam. Di antara tokoh besar yang masih hidup dan
menyokong Abdul Malik adalah Ibnu Umar (wafat
th. 74 H). Umat Islam yang menyokong persatuan ini
disebut Ahlu Al-Jama'ah Wa al-Sunnah.
 Tetapi usaha untuk mempersatukan umat itu tidaklah
berhasil sebagaimana yang diharapkan, persaingan
antara kelompok tetap juga berjalan.
 Kelompok Syiah, misalnya, tetap tidak dapat
bergabung dalam persatuan itu, sebab menurut
keyakinan mereka hak untuk memegang kekuasaan
khalifah hanyalah untuk Ali dan keturunannya.
 Kerana jamaah tadi merupakan inisiatif dari
kelompok Umawi yang sebenarnya adalah musuh
politik mereka, itulah sebabnya kelompok Syiah
sampai hari ini tetap tidak bersimpati kepada kaum
Muslimin dari golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Mereka menganggap Ahlussunnah Wal-Jamaah
hanyalah penyokong dari kelompok Umawi.
 Dari pembahasan diatas, jelas sekali terlihat
bahwa latar belakang lahirnya firqah-firqah
dalam tubuh islam, pada mulanya adalah
perbedaan kepentingan dan paham politik,
bukan disebabkan perbedaan paham dalam
masalah diniyah. Dengan kata lain, perbedaan
itu tidak berpangkal pada perbedaan dalam
masalah inti ajaran Islam, yaitu masalah aqidah,
tetapi perbedaan pandangan dalam menentukan
kepemimpinan, atau dalam proses pemilihan
khalifah.
 Adanya ketiga pecahan dalam tubuh umat Islam
itu agaknya belum cukup menampung aspirasi
umat, sehingga sejarah masih harus
memperpanjang catatan daftar nama-nama firqah
yang lahir susul-menyusul.
 Setiap firqah bahkan kemudian terpecah pula
menjadi beberapa firqah baru.
 Firqah Syi’ah misalnya, terserak menjadi sekian
banyak firqah. Ada Sabai’iyah, Zaidiyyah,
Islamiyyah, Itna Asyariyyah, al-Kisaniyyah, al-
Mukhtariyyah, Karbiyyah, Hasyimiyyah, al-
Mansyuriyah, al-Khitabiyyah dsb.
 Sebagian dari firqah itu bersikap sangat berlebih-
lebihan dan telah sedemikian jauh menyempal
dari ajaran tauhid yang murni, bahkan ada yang
menuhan kan Ali bin Abi Thalib, disamping masih
ada pula pecahan yang tetap memegang teguh
keyakinan atau aqidah yang lurus dan pemikiran
yang jernih.
 Sebagaimana Syi’ah, Khawarij pun terbagi
menjadi sejumlah firqah, diantaranya Az-Zariqah,
ash-Shafriyyah, al-Ibadiyyah, al-Jaridah, dan ast
Tsa’alibah. Firqah-firqah itu masih pula terbagi
menjadi beberapa firqah lagi.
 Selanjutnya, seiring dengan bertambahnya bilangan
tahun, bertambah pula bilangan firqah-firqah baru
dalam Islam, dengan ditandai lahirnya kelompok
seperti Mu’tazilah, sebagainya, yang satu dengan
yang lainnya saling bermusuhan dan saling
membenci.
 Diantara kelompok-kelompok itu, agaknya Ahlus
Sunnah adalah yang paling mendekati pemahaman
aqidah islam yang benar, tidak dilandasi sikap
fanatik atau taqlid. (DR. Mustafa Muhammad As
Syak'ah/Islam Bila Madzahib)
Kelompok Khawarij
 Firqoh ini mucul pada saat terjadiya perselisihan
antara Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Ali bi Abi
Tholib, yang mecapai puncaknya dengan pecahya
perang siffin pada tahun 37 H.
 Kedua kelompok yang bertikai itu ahirnya sepakat
untuk mengadakan perundingan, dan keduanya
sepakat pula untuk kembali kepada kitabullah. Pihak
Ali diwakili oleh Abu Musa al Asya`ri da pihak
mu`awiyah diwakili oleh Amr ibnul Ash. Dalam
perundingan itu terjadi pengelabuan yang dilakukan
Amr ibnul ash terhadap Abu Musa al Asy`ari.
 Kejadian ini menimbulkan krisis baru dan
pembangkangan yang dilakukan sekelompok
muslim yang kebanyakan berasal dari bani tamim.
Mereka kemudian meyatakan ketidakpuasan
terhadap proses dan hasil perundingan itu dengan
menyatakan, ``Laa Hukma illallaah.``
 Ali-pun memberi komentar dengan ucapanya yang
masyhur, “kata-kata haq yang dimaksudkan batil
sungguh mereka tidak ingin adaya pemimpin. dan
harus ada pemimpin yang baik ataupun yang jahat”.
 Sekelompok yang membangkang tadi lalu
berkumpul menuju haruraa’, suatu tempat tidak
jauh dari kufah, sehingga Ali meyusul mereka ,
bermaksud utuk meluruskan mereka dan kembali
kepadanya kembali dalam satu barisan.

 Akhirnya mereka pun kembali ke kuffah. Namun


kesadaran itu tidak lama mengendap dalam hati
mereka, sehingga mereka kembali kepada
pemikiran mereka semula.
 Ali kemudian mengutus Abdullah ibu Abas untuk
menyadarkan mereka kembali, agar tidak terjadi
fitnah yang lebih besar dalam tubuh umat islam.
Namun, mereka tetap pada pendirian semula,
ingin keluar dari kelompok Ali.
 Akhirnya mereka sepakat untuk membai’at
Abdullah bin Wahab Ar Rasibi sebagai pimpinan
mereka. Bahkan banyak orang dari kalangan Ali
yang keluar dan bergabung dengan jama’ah tadi.
 Pandangan dan pemikiran mereka mulai
menyimpang dari kebenaran.
 Mereka mengecam Ali, menjelekanya, serta
mengajukan protes terhadap kepemimpinanya Ali,
mereka juga mengecam kepemimpinanya yang
dahulu, Usman bin Affan, serta mencela semua
orang yang tidak mau memusuhi Ali dan orang-
orang yang tidak mau menyalahkan Usman.
 Salah satu perlakuan mereka yang buruk adalah
perlakuan mereka terhadap muslim dan nonmuslim.
Mereka membunuh muslim namun orang-orang
nonmuslim mereka biarkan hidup.
 Mereka berkilah, “peliharalah kehormatan
Nabimu.” pernyataan ini adalah pemutar balikan
yang nyata. Seharusnya, kehormatan semua orang,
baik muslim maupun dzimmi, hendaknya
dilindungi. Dan tentu, darah dan kehormatan
muslim harus diutamakan dari pada dzimmi.
 Dalam menghadapi pembangkangan tersebut, Ali
mengambil sifat defensif, ia tidak memerangi
mereka, selama mereka tidak memulai
penyerangan. Setelah nyata mereka menggunakan
kekerasan, barulah Ali memerangi mereka.
 Pemimpin mereka, Ibnu Wahab termasuk yang tewas
terhadap bentrokan tersebut, peristiwa itu dikenang
dengan sebutan Nahrawan. Sebenarnya,
 Ali sebenarnya memiliki kesempatan untuk menghabisi
khawarij secara tuntas, namun khawarij segera mengirim
Abdurrohman bin muljam Al muradi untuk membunuh
Ali bin Abi tholib. Usahanya berhasil, Ali terbunuh.
 Setelah Ali wafat, kegiatan kaum khawarij semakin
merajalela, mereka selalu melibatkan diri terhadap
fitnah, terutama pada masa khilafah Muawiyah. Mereka
melancarkan perang urat saraf, karna mereka merasa
tidak mempunyai kemampuan untuk melawan pasukan
pemerintah yang terlatih dan mahir dalam peperangan.
 Sepeninggal mu’awiyah, khawarij berkembang pesat.
 Kegiatan mereka semakin menonjol pada ahir masa

kekhilafan Yazid bin Mu’awiyah.

 Mereka berusaha untuk menerik Abdullah bin Zubair


kedalam barisannya atau setidaknya menyetujui
pemikira mereka. Tetapi karena mendapat jawaban
yang mengecewakan dari Abdullah, maka kemudian
mereka membuat hasutan dan adu domba yang
mengakibatkan terbunuhnya Abdullah bin Zubair.
 Di jazirah Arab, gerakan khawarij berkembang
pesat pada tahun 65-72 H. Pada masa itu
mereka hampir menguasai seluruh Hadramaut,
Yamamah, Thaif dan Yaman.

 Dalam mengajak umat Islam mengikuti garis


pemikiran mereka, mereka sering kali
menggunakan cara kekerasan dan
pertumpahan darah.
 Khawarij terbagi menjadi delapan kelompok
besar, diantaranya Az-Zariqah, ash-Shafriyyah,
al-Ibadiyyah, al-Jaridah, dan ast Tsa’alibah.
Firqah-firqah itu masih pula terbagi menjadi
beberapa firqah kecil-kecil lagi. Hal inilah
yang akhirnya menyebabkan mereka lemah,
dan terus menerus kalah melawan kekuatan
dinasti bani umayyah.
Kelompok Syi’ah
 Kata Syi’ah bermakna “pengikut” atau “penolong”.
istilah ini di ambil dari sejarah masa lalu, yaitu ketika
khalifah ketiga, Usman bin Affan terbunuh, yang
menjadikan kaum muslimin berubah menjadi dua
golongan. Sebagian besar menjadi syi’ah (pengikut)
Ali, dan sebagian kecil sebagai syi’ah Muawiyah.
 Selanjutnya seiring dengan perkembangan zaman,
istilah syi’ah lebih dinobatkan kepada kelompok
pengikut Ali,dan pemihakan kepada Ali berubah
menjadi pengutamaan Ali dan anak cucunya.
 Sehingga lambat laun tumbuh keyakinan bahwa
khilafah dan kepemimpinan umat adalah hak
mutlak bagi keturunan Ali.
 Kaum muslimin masih berbeda pandangan dalam

menilai golongan itu, diantara mereka aa yang


berpendapat bahwa syi’ah merupakan kelompok
pemahaman aqidah saja. Sedangkan sebagian yang
lain berpendapat bahwa syi’ah adalh paham politik,
bahkan sebagian lagi ada yang berpeendapat bahwa
syi’ah tidak lebih dari perwujudan rasa simpati
terhadap Ali bin Abi Tholib.
 Syi’ah berkeyakinan bahwa suksesi khalifah adalah
merupakan proses wasiat. Hal ini mengandung arti
bahwa jika Rasullah telah mewasiatkan kepada Ali,
maka sudah seharusnya Ali mewasiatkannya
Kepada Hasan. Dan begitu seterusnya seperti
pewarisan tahta.
 Hal tersebut berdasarkan perkataan Rasulullah:
“Siapa saja yang menjadikan aku sebagai
pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinya”. (HR.
Tirmidzi dan Hakim)
 Itulah salah satu nash hadis yang dijadikan sandaran
bagi pengikut syi’ah, bagi mereka khalifah itu di
wariskan, dan pewarisnya adalah Ali bin Abi Thalib.
 Padahal menurut sejarah munculnya hadis itu adalah:
pada tahun 10 H Rasulullah dan para sahabat
berangkat ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Bersamaan itu pasukan yang tadinya di kirim ke
yaman bergerak menuju makkah yang di pimpin oleh
Ali bin Abi Thalib.
 Begitu rombongan sudah mendekati rombongan
Rasulullah Ali berpamitan kepada rombongannya
untuk lebih dulu menemui Rasulullah guna melapor.
 Sepeninggal Ali, seorang sahabat yang bernama
Buraidah membagi-bagikan pakaian hasil rampasan
perang, dengan maksud agar ketika memasuki
makkah dan bertemu dengan Rasulullah terlihat rapi.
 Namun ketika Ali kembali ke rombongan beliau
terkejut dan marah, karena menurut Ali yang berhak
membagi-bagikan harta rampasan perang adalah
Rasulullah. Tindakan Ali ini menjadikan perselisihan
diantara mereka.
 Kemudian ketika mereka sampai ke makkah,
Buraidah segera menghadap Rasulullah dan
melaporkannya, bahkan terkesan mengejek Ali.
 Mendengar laporan itu Rasulullah agak berubah
raut wajahnya, karena beliau tahu bahwa
tindakan Ali adalah benar.
 Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Hai
Buraidah, apakah aku tidak lebih utama di ikuti
dan di cintai oleh mukminin daripada diri
mereka sendiri? Buraidah menjawab: Benar ya
Rasulullah. Lalu Rasulullah bersabda: Barang
siapa menganggap aku pemimpinnya, maka
terimalah Ali sebagai pemimpinnya”. (HR.
Tirmidzi dan Hakim)
 Maka jika kaum muslimin menganggap
Rasulullah sebagai pemimpinnya, maka Ali bin
Abi Thalib harus juga di terima sebagai
pemimpinnya. Karena yang mengutus Ali
memimpin rombongan ke yaman adalah
Rasulullah. (Bidayah wan Nihayah oleh Ibnu
Katsir)

 Sementara di lain pihak, mereka yang


berpendapat bahwa syi’ah adalah pemahaman
politik semata, juga memiliki argumen yang kuat.
 Diantara argumen itu ialah: Bahwa tampuk
kepemimpian umat bukanlah sesuatu yang
dapat diwariskan, atau dengan kalimat lain,
pewarisan kepemipinan adalah salah satu hal
yang tidak bisa dibenarkan, dan diakui dalam
islam. Para Nabi terdahulu juga tidak
mewariskan kenabianya. Kalau saja Allah
menghendaki dan membenarkan, niscaya ia
akan memberikan kepada Muhammad seorang
anak lelaki untuk mewarisinya.
 Dari pejelasan tersebut, dapat dilihat bahwa syi’ah pada
awalnya bukan merupakan mazhab atau paham dalam
Agama, namun merupakan salah satu pandangan politik
yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Tholib Adalah
seorang yang lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan disbanding Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
 Pada masa kepemimpian Ali, umat islam benar-benar
dilanda keidakpastian. Mereka yang cenderung
berpihak Ali berkeyakinan bahwa Mu’awiyah tidaklah
bersungguh-sungguh marah menutut kematian Usman.
Hal itu sengaja di munculkan untuk meraih
memperkeruh kepemimpinan Ali.
 Tentutan terhadap kematian Usman sengaja
diangkat sebagai isu politik untuk mengbarkan
ketidakpusan umat. Sehingga akan tercipta
kesenjangan antara umat dan khalifah Ali,
sehingga khalifah akan beralih ke tangannya.
 Dan agaknya nasib mujur ada di tangan

Mu’awiyah. Ia berhasil memenuhi ambisiya, ia


mampu menggunakan tragedi berdarah yang
menimpa usman sebagai tunggangan politik
menuju puncak kepemimpinan.
 Peristiwa-peristiwa di atas memperjelas
kenyataan bahwa kemenangan dalam
menggulingkan khalifah Ali adalah
kemenangan politik, bukan kemenangan
mazhab agama.
 Kenyataan lain adalah bahwa pandangan umat

terhdap Ali yang berhak atas kekhilafahan


karena keutamaanya, ilmunya,kebijaksanaanya,
serta karena ia tergolong orang yang pertama
masukislam diantara mereka.
 “Para pendukung dan pembela Ali,
sepeninggalnya, menyatakan dukungan dan
pembelaanya kepada Ali karena Alasan-alasan
di atas, buka karna Ali Adalah pewaris
khalifah sah kekhalifahan dari Rasullah
SAW”.
 Pembelaan yang dinyatakan Hajar bin Adi

alkindi tersebut dapat dikatakan sebagai bukti


yang paling nyata kebenaran itu.
 Dalam perkembangan Syiah terpecah menjadi beberapa
kelompok, Ada Saba’iyyah, Zaidiyyah, Islamiyyah,
Itna Asyariyyah, al-Kisaniyyah, al-Mukhtariyyah,
Karbiyyah, Hasyimiyyah, al-Mansyuriyah, al-
Khitabiyyah dan banyak kepingan lagi.
 Diantar kelompok-kelompok itu ada yang wajar dan
ada yang berlebihan. Bahkan ada pula yang sampai
menuhankan Ali, kelompok ini di pelopori oleh
seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’.
Banyak yang menduga dialah agen pertama yahudi
yang masuk dalam Islam dan berhasil mengobok-obok
Islam.
Kelompok Mu’tazilah
 Mu’tazilah merupakan salah satu firqah
Islamiyah yang memiliki ciri metode tersendiri
dalam beraqidah. Dalam memahami masalah-
masalah aqidah, mereka sangat cenderung untuk
menggunakann akal pikiran. Metode berpikir
mereka sangat dipengaruhi filsafat Yunani.
Kecenderungan-kecenderungan ini tampak
dalam perdebatan-perdebatan yang mereka
lakukan, serta dalam menetapkan sandaran dan
pembenaran.
 Namun perbedaan yang mencolok antara
Mu’tazilah dengan firqah lainnya ialah bahwa
firqah ini tidak bermotivasi politik, berbeda
dengan syi’ah, khawarij, misalnya. Dengankata
lain, firqah Mu’tazilah pada awal pemunculannya,
bukan merupakan firqah politik atau firqah yang
tumbuh dari hasil perjuangan politik. Mereka
lebih dikenal sebagai kelompok yang banyak
mentakwilkan ajaran agama, bahkan dapat
dikatakan mendekati seratus persen dalam
mengunakan akal pikiran.
 Kemudian dengan berlalunya waktu, mereka
makin terseret kearus pergolakan politik dan
bahkan akhirnya tenggelam dalam pusaran
tersebut.keterlibatan mereka dalam dunia politik
terlihat ketika mereka mulai mendekati para
khalifah dari Dinasti Abbasiyyah, sehingga pada
akhirnya khalifah al-Ma’mun dan khalifah al-
Mu’tashim berhasil mereka pengaruhi untuk
memeluk madzhabnya.
 Sejarah awal perkembangan Mu’tazilah tak
terlepas dari nama Washil bin Atho. Dialah
pemimpin pertama Mu’tzilah. Washil adalah
seorang murid Hasan Bashri. Ia selalu menghadiri
pengajian yang diselenggarakan Hasan Bashri di
sebuah masjid di Bashrah.
 Suat ketika salah satu seorang murid Hasan Bashri
menanyakan tentang pandangan agama terhadap
seseorang yang melakukan dosa besar. Hasan
Bashri memberikan jawaban bahwa pelaku dosa
besar tersebut dikategorikan sebagai munafik.
 Washil yang saat itu hadir merasa tidak puas
dengan jawaban tersebut. Ia pun meyanggah dan
mengemukakan pendapatnya, bahwa orang yang
melakukan dosa besar berarti bukan lagi seorang
mukmin secara muthlak, dan bukan pula kafir
secara muthlak. Pelaku dosa besar tersebut antara
dua kedudukan itu.
 Berawal dari ketidakpuasan atas jawaban itu,
Washil kemudian memisahkan diri dari halaqah
Hasan Bashri, dan membuat halaqah tersendiri
dibagian lain dari masjid yang sama.
 Orang-orang yang merasa cocok dengan nya
bergabung dengan Washil, bahkan akhirnya menjadi
muridnya dan pembelanya. Sejak itulah, muncul
kelompok baru yang kemudian dinamakan
Mu’tazilah, yang dipimpin oleh Washil bin Atho al-
Ghozzal.
 Runtuhnya Daulah Umayah dan bagkitnya Daulah
Abbasiyyah ternyata tidak membuat surut langkah
politik Mu’tazilah. Bahkan sebaliknya mereka justru
melangkah lebih jauh dalam arena politik hingga
mereka dimusuhi oleh sebagian khalifah Daulah
Abbasiyyah, seperti Harun ar Rasyid.
 Ketika Basyir al Muraysi, seorang tokoh
Mu’tazilah, menyatakan pendapatnya yang
kontroversial tentang al-Qur’an, dengan
menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk,
Harun ar Rasyid mengancam membunuhnya.
 Namun konflik antara pengikut Mu’tazilah dan elit
penguasa tidak berlangsung lama. Mu’tazilah dapat
menguasai para khalifah Bani Abbas, seperti halnya
mereka dahulu menguasai sebagian khalifah al-
Ma’mun dan Khalifah al-Mu’tashim ke dalam
paham Mu’tazilah. Sehingga mempermudah dalam
pengembangan madzhabnya.
 Bahkan Mu’tazilah telah menyeret banyak khalifah
Daulah Abbasiyyah ke kancah peperangan dan
pertumpahan darah, karena membela madzhab
Mu’tazilah.
 Madzhab Mu’tazilah berdiri atas dasar akal pikiran
dan perdebatan.
 Aqidah mereka dapat disimpulkan dalam beberapa
masalah besar yang antara sebagai berikut:
 Sifat Adil, artinya Maha Adil, dan keadilan-Nya
itu mengharuskan manusia memiliki kekuasaan
untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya
sendiri.
 Sedangkan Allah tidak menciptakan perbuatan manusia.
Sehigga, karena manusia itu menciptakan perbuatannya
sendiri, maka manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya, baik berupa perbuatan baik maupun
perbuatan buruk. Jika manusia melakukan perbuatan baik,
maka ia mendapatkan pahala, dan sebaliknya bila manusia
melakukan perbuatan buruk, maka ia akan menerima siksa.

 Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia bebas


memilih, bebas berkehendak, dan bertanggung jawab
atas pilihan atau kehendaknya itu. inilah yang menurut
Mu’tazilah merupakan wujud keadilan Allah.
 Pandangan Mu’tazilah yang sangat kontroversial
terhadap konsep ikhtiar manusia dan keadilan ini
tentu saja mengundang reaksi keras jumhur
ulama. Bahkan sebagian umat Islam ada yang
menyebut firqah Mu’tazilah ini sebagai majusinya
umat Islam.

 Selain itu, Menurut mu’tazilah, kalam (ucapan)


Allah Adalah Makhluk. Berarti, Alqur’an yang
merupakan kalam Allah itu Adalah mahluk.
 Pemikiran mu’tazilah ini didukung sepenuhnya
oleh khalifah Al Ma’mun untuk itu ia menerbikan
selebaran untuk disebar luaskan diseluruh pelosok
wilayah kekuasaanya. Ia memerintah kepada
seluruh qadhi (hakim) dan gubernurnya untuk
mengimani khalqil Qur’an.
 Mereka yang menolak untuk
mengimaninya,segera dipecat dari jabatanya,
karena dianggap tidak lagi dapat dipercaya
kebenaran ajaran agamanya.
 Kematin Al Ma’mun Sedikit meredakan keresahan
umat islam. Umat menyangka, bahwa fitnah
khalqil Qur’an telah usai dengan wafatnya Al
Ma’mun. Namun, dugaan itu meleset, karena
sebelum wafat Al Ma’mun telah mewasiatkan
kepada saudaranya, Al-Mu’tashim untuk
meneruskan khiththahnya.
 Dan Al- Mu’tashim melaksanakan amanat itu
dengan baik. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal-pun
dipenjara, tubuhnya didera lecutan cambuk, bahkan
kulit tubuhnya tercabik-cabik karena tegas
menolak pemahaman tersebut.
 Fitnah Khalqil Qur’an terus berlanjut pada
masa kekhalifahan al-Mu’tashim hingga masa
kekhalifahan anaknya, yaitu al-Watsiq.
 Dan penganiayaan terhadap para fuqaha yang

menyanggahnya, juga terus berlanjut, hingga


akhirnya salah seorang yang tidak mengimani
Khalqil Qur’an berhasil membunuh al Watsiq.
 Dengan kematian al Watsiq, barulah fitnah itu
mereda kembali, khususnya setelah khalifah Al-
Mutawakkil berkuasa. Ia membebaskan
belenggu yang selama ini mengekang para
fuqaha dan ahli hadits.
 Dan dengan dukungan al-Mutawakkil kubu

AhlusSunnah kokoh kembali. Dan sejak itu pula


kekalahan dan kelemahan melanda Mu’tazilah.
 Bila kita perhatikan dengan seksama semua
alur pemikiran Mu’tazilah, maka kita dapat
menyatakan bahwa firqah ini merupakan
firqah yang paling banyak terpengaruh filsafat
Yunani.
 Kita dapat menemukan jejak ajaran filsafat

Yunani itu setiap kali kita memperhatikan


ucapan atau tulisan tokoh-tokoh Mu’tazilah,
misalnya teori metafisika Yunani dengan
pendekatan rasionalnya, serta dengan cara
mereka berdebat.
Kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah
 Pada masa banyaknya bermunculan berbagai
pemikiran dan kepercayaan yang sebagian
mengharuskan merujuk hanya kepada akal
pikiran dan merujuk kepada pokok-pokok
(ushul) ad din, munculah sekelompok orang
yang merujuk hanya kepada Qur’an dan hadis
nabawi dalam menyelesaikan segala masalah.
Disamping itu muncul pula sekelompok umat
yang banyak merujuk kepada ra’yun
( pendapat hasil ijtihad).
 Kecenderungan-kecenderungan itu wajar
terjadi, karena wilayah islam telah sedemikian
meluas. Pemeluk islam dalam berbagai bangsa
yang berbeda adat kebiasaan dan
pengetahuannya, banyak menimbulkan masalah
yang terkadang tidak kita jumpai dalam nash
ayat atau hadis secara jelas.
 Maka sejumlah sahabat dan juga para fuqoha’

selalu melakukan munaqasyah atau dialog dan


penyimpulan dalam berbagai masalah yang baru
timbul.
 Sebagai contoh, Umar Ibnul Khatab pernah
menghadapi kasus seorang wanita yang membunuh
suaminya dengan kekasih gelapnya. Masalahnya,
apakah dua orang (atau lebih) yang bersepakat
membunuh seseorang harus dihukum mati atau
tidak.
 Kemudian Ali bin Abi Thalib, yang dimintai
pendapat Umar, mengatakan, “semua yang ikut
andil dalam usaha pembunuhan harus mendapar
hukuman Qishos (hukuman mati),“ Umar pun
ahirnya mengambil pendapat Ali, dan
memerintahkan gubernurnya untuk membunuh
kedua orang itu.
 Itulah salah satu kebiasaan Umar ketika
menjabat sebagai khalifah, dalam menghadapi
masalah yang tidak didapatinya dalam kitabullah
dan sunnah. Ia selalu mengumpulkan para
fuqaha’ dari kalangan para sahabat untuk
dimintai pendapat. Ia lakukan hal itu
berdasarkan keluasan pandangan dan
pemahamanya terhadap ajaran Islam.
 Metode islami semacam itu dinamakan Ra’yun
( pendapat, Akal ), sedang orang yang
berkecimpung dalam hal itu di namakan Ahlur
Ra’yi.
 Kebiasaan semacam itu pada mulanya dilakukan
dimadinah, kemudian menyebar ke irak pada masa
pemerintahan (Dinasti) bani Umayyah dan Dinasti
Abasyah.
 Di irak, pemimpin dan pelopornya adalah imam Abu
Hanifah. Ia adalah seorang yang di kenal dengan
keluasan pengetahuanya, akurasinya dalam
menetapkan dalih, serta kecerdasannya dalam
menghadapi setiap masalah yang tidak ditetapkan
secara jelas dalam nas Al Qur’an dan sunnah, maka Ia
menggunakan Ra’yi dan memberi fatwa penuh dengan
penuh kearifan, fleksibel, dan mudah di fahami.
 Kebalikan dari pendekatan Ahlul Ra’yi, adalah
pendekatan fuqaha Ahlul hadis.
 Dalam menghadapi setiap masalah, mereka hanya
merujuk dalam Al Qur’an dan Sunah dan bila
mereka tidak menemukan nas yang jelas, mereka
enggan bahkan menolak memberikan fatwa.
 Diantara para ulama’ yang menggunakan
pendekatan ini, Adalah sejumlah sahabat, seperti
Zubair bin Awwam, Abdullah bin Umar, Abdullah
bun Amr Bin Ats. Pendekatan ini terus berkembang
hingga masa tabiin, dengan Asy Syi’bi sebagai
tokohnya yang terkemuka.
 Perbedaan dan pertentangan antara dua kubu ini tidak
berkepanjangan. Sebab, masing-masing pihak
mempunyai dasar keislaman yang baik sekali, jauh
dari unsur syahwati (mengikuti hawa nafsu) serta
selalu menjauhi pembelaan yang di dasari kedunguan
dan komentar yang tidak bermakna.
 Dalam situasi seperti itu, munculah pendekatan baru
yang berusaha menjadi penengah antara pendekatan
Ahlul Ra’yi dan pendekatan Ahlul Hadis. Pendekatan
yang ketiga, yang dipelopori oleh imam Malik bin
Anas dan imam Syafi’i ini, tidak mengamalkan
ajaran Ahlul Ra’yi, kecuali jika tidak mendapatkan
Nas (Al Qur’an dan Hadis)
 Imam-imam dalam Ahlussunnah wal Jama’ah
 Pengertian imam dalam pemahaman
Ahlussunnah dengan imam dalam mazhab
syi’ah sangat berbeda. Menurut Ahlussunnah,
imam bukan merupakan jabatan atau hasil
warisan, bukan merupakan masalah prinsip
dalam agama, dan bukan pula merupakan
kemuliaan yang mempunyai derajat tinggi.
Seorang imam tidak mempunyai sifat ma’sum
atau keistimewaan apapun seperti dalam
pandangan berbagai macam firqoh syi’ah.
 Pengertian imam dalam pandangan Ahlussunnah,
tidak lain hanya seorang muslim yang dikenal
istiqomah, mempuyai ilmu yang luas,adil,taqwa,
serta bertafaquh fiddiin Dari Al Qur’an Dan Hadis. Ia
juga mampu beristinbath (mengambil sari dari
sumber hukum) kemudian dapat menetabkan suatu
hukum dengan baik.
 Julukan imam dikalangan Ahlussunnah bisanya tidak
diberikan kepada mereka semasa mereka masih
hidup. Julukan itu biasanya diberikan murid-
muridnya, serta kaum mu’minin umumnya, setelah
imam itu meninggal.
 Sebutan imam tersebut sebagai penghormatan karna
sikap istiqomah, ketakwaan, keluasan ilmu dan
kepandaiannya serta tafaqquhnya dari Al Qur’an dan
sunnah nabi.
 Bagi ahlus sunnah, imam adalah salah seorang yang

paling menonjol dari sekian banyak ulama muslimin


yang dikenal istiqomah, sempurna imannya, memahami
dengan detail masalah agama, berkemampuan
memahami jiwa syari’at dan dapat ber istinbath dengan
benar dan baik, dan setelah itu menyampaikan fatwa,
sementara umumnya kaum muslimin merasa tidak
berkemampuan untuk istimbath secara langsung dari
sumbernya, yakni Al Qur’an dan sunnah.
 Disamping itu, imam mampu melakukan qiyas
dengan benar dan baik, tidak seenaknya, dan
tidak disertai sikap fanatis.
 Imam ahlus sunnah banyak sekali. Diantaranya

yang paling masyhur dan pemahaman nya


masih banyak di minati sampai saat ini adalah :
Abu hanifah, Malik bin Annas, Idris Syafi’I,
Ahmad bin Hanbal.
 Mereka semua memiliki ijtihat, dan mampu

melakukan istinbad, dengan menyelami jiwa


syari’at islam.
Keadaan Saat Ini
 Selain faham-faham diatas yang terus berkembang,
saat ini kita juga mengalami fenomena yang nyata
diantara kita, bahwa muncul kecenderungan pada dua
hal, Radikal dan Liberal.
 Radikal itu mulai dari zaman Ali R.A yang bernama
khawarij.
 Sedang Liberal juga ada sejak zaman setelah Ali yang
menjadi semacam antitesa dari khawarij, dikenal
dengan kaum murji’ah. Lalu lebih digencarkan oleh
kaum Orientalis.
 Nah dua hal ini yang kita hadapi disekitar kita saat
ini.. Yang satu terlalu longgar, yang satu terlalu
ketat.
 Padahal... Rasul saw bersabda : “ yaa
ayyuhannaasu, iyyakum wal ghuluu fiiddini,
fainnama ahlaka man kana qoblakum al ghuluwuu
fiiddiini”. Artinya : Wahai manusia, hindarilah
sikap berlebihan ( melampaui batas) dalam
beragama, sebab umat-umat dahulu binasa karena
sikap melampaui batas dalam beragama” (HR. Ibnu
Majah)
 Al ghuluwu ( Berlebihan ) dalam beragama jelas
jauh dari karakter ummatan washatan, dapat
ditandai dengan beberapa sikap, antaraa lain :
 Pertama: Fanatisme berlebihan terhadap satu
pandangan. “Ainurridho an kulli aibin kaliilatun,
kamaa anna ainal suhti tubdi al masawiya”
 Para salafussholih bersepakat : bahwa setiap orang
dapat diambil dan ditinggalkan “pandangan nya”,
kecuali Rosulullah.
 Hal Seperti ini yang juga di ucapkan imam empat
madzhab dan para imam mujtahid.
 Kedua: Cenderung mempersulit.
 Memahami Islam dengan kurang bijak, kadang terlalu
ketat hingga akhirnya malah justru mempersulit diri
sendiri dan orang lain.
 Ketiga: Berperasangka buruk terhadap orang lain.
 Sikap merasa paling benar ini bahaya, menjadikan nya
berperasangka buruk terhadap orang lain.
 “Boleh jadi Allah membukakan pintu ketaatan kepada
seseorang, tetapi tidak di bukakan pintu diterimanya
sebuah amal kebaikan, dan boleh jadi seseorang
ditakdirkan berbuat maksiat, tetapi itu menjadi sebab
seseorang mencapai keridhaan Allah”. (Ibnu Atha’illah)
 Keempat: Mudah mengkafirkan orang lain.
 Seperti yang terjadi pada kaum “khawarij”, yang
mebunuh Ali R.A, bahkan sang pembunuh yang
bernama Abdurrahman bin muljam berkata setelah
membunuh mengatakan : Ya Allah terimalah
jihadku, Sesungguhnya saya melakukan ini karena
Engkau, dan dijalanMu.

Anda mungkin juga menyukai