0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
16 tayangan87 halaman
Dokumen tersebut membahas sejarah perpecahan agama Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga munculnya berbagai aliran seperti Syi'ah dan Khawarij. Perpecahan dimulai setelah terbunuhnya khalifah ketiga Usman bin Affan yang menyebabkan timbulnya konflik antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berujung pada perang saudara.
Dokumen tersebut membahas sejarah perpecahan agama Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga munculnya berbagai aliran seperti Syi'ah dan Khawarij. Perpecahan dimulai setelah terbunuhnya khalifah ketiga Usman bin Affan yang menyebabkan timbulnya konflik antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berujung pada perang saudara.
Dokumen tersebut membahas sejarah perpecahan agama Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga munculnya berbagai aliran seperti Syi'ah dan Khawarij. Perpecahan dimulai setelah terbunuhnya khalifah ketiga Usman bin Affan yang menyebabkan timbulnya konflik antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berujung pada perang saudara.
umat islam bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Pada saat wafatnya Rasulullah, aqidah Islamiyyah telah melekat dengan kokohnya dalam setiap hati muslim. Mereka hidup dalam ikatan persatuan yang sangat kokoh, penuh kesucian dan kemuliaan. Sepeninggal Rasulullah, mulailah bermunculan fitnah. Adapun yang dianggap sebagai sumber fitnah itu adalah masalah penentuan pemimpin, sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah. Perselisihan pertama yang terjadi adalah antara
kaum Muhajirin dengan Anshar. Namun,
karena mantapnya pemahaman Islam yang telah melekat dalam hati mukminin pada saat itu, serta jauhnya ambisi pribadi pada para sahabat, maka mereka pun dapat mengubur dalam-dalam perselisihan itu. Yang yang tak kalah penting adalah, ada satu unsur yang sangat membantu meredam perselisihan yang terjadi, yaitu pengakuan kaum Muhajirin terhadap keutamaan Anshar, dan sebaliknya, pengakuan kaum Anshar terhadap keutamaan Muhajirin. Saad bin Ubadah, pemimpin kaum Anshar, dengan tulus menyampaikan pengakuan keutamaan Muhajirin dengan mengatakan: “Kamilah (Anshar) sebagai menteri, dan kalian (Muhajirin) sebagai pemimpin”. Dikalangan Muhajirin sendiri sebenarnya terjadi sedikit perbedaan dalam menentukan bai’at kepemimpinan itu. Umar bin Khattab misalnya, segera menuju Abu Ubaidah sambil mengatakan, ”Bukalah tanganmu, aku akan membai’atmu . engkaulah orang yang paling dipercaya (amin) diantara umat Muhammad, seperti yang diucapkan Rasulullah di hadapan orang banyak”. Abu Ubaidah menjawab : “Engkau akan membai’atku sedang diantara kita ada seorang ash-Shidiq ( Abu Bakar) , orang yang berdua bersama Rasul di dalam gua ?” Umar merasakan menemukan kebenaran pada jawaban Abu Ubaidah, maka ia segera menghampiri Abu Bakar, dan berkata kepadanya, “Bukalah tanganmu, aku akan membai’atmu, engkau jauh lebih utama dariku.” Abu Bakar Menjawab: “Engkau lebih kuat dari aku.” Jawab Abu Bakar berulang-ulang. Akan tetapi, dengan bijak, seperti bijaknya Abu Ubaidah, Umar pun menukas, ”seluruh kekuatan yang ada padaku adalah keutamaan yang ada padamu.” Akhirnya terjadilah pelaksanaan bai’at oleh Umar kepada Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama, kemudian diikuti oleh seluruh kaum Muhajirin dan Anshar. Diantara para sahabat, tercatat hanya Ali yang pada waktu itu terlihat masih sibuk mengurus Fatimah, istrinya, yang dirundung kesedihan atas meninggalnya ayahnya, yang menunda-nunda untuk berbai’at, walaupun ia pun pada akhirnya membai’at Abu Bakar dengan penuh keikhlasan dan kepercayaan. Sebelum Abu Bakar meninggal, kaum muslimin telah mengambil kata sepakat untuk memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti Abu Bakar. Pada saat pelaksanaan bai’at kepada Umar sebagai khalifah kedua, tidak seorang pun diantara para sahabat yang terlambat termasuk Ali. Bahkan Ali termasuk orang yang pertama yang membai’at Umar. Bahkan setelah itu, Ali adalah salah seorang sahabat yang paling banyak dimintai pertolongan oleh khalifah Umar dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Umar sendiri pernah mengatakan: “A’udzubillah, dalam suatu kesulitan saat tidak ada Abul Hasan (julukan Ali)”. Awal Perpecahan Dalam Islam Sebelum Khalifah Umar Ibn Al Khattab meninggal, beliau sudah menunjuk enam sahabat utama untuk menjadi dewan syuro, Umar berharap salah seorang dari mereka yang kelak menggantikannya. Ke enam sahabat tersebut adalah: Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, Zubeir bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf. Kemudian lewat dewan syuro tersebut, terpilihlah Usman sebagai khalifah ketiga Pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan, barulah fitnah dan perpecahan mulai merebak. Bahkan fitnah itu mengakibatkan terbunuhnya khalifah ketiga itu. ia dibunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H),
kondisi umat semakin kacau, sehingga dari hari ke hari ini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui pemimpin dari kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya disebabkan oleh masalah politik. Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang oleh banyak kalangan di duga sebagai agen yahudi pertama yang masuk dan mengobok-obok Islam rupanya mulai berhasil menjalankan misinya. Masyarakat kufah, basrah dan mesir berhasil dia pengaruhi, hingga tidak lagi percaya dengan khalifah Usman. Api hasutan semakin hari semakin besar, hingga pada akhirnya berbondong-bondong mereka bergerak menuju madinah Rasulullah saw jauh-jauh hari sudah pernah mewartakan akan hal ini, leawat sebuah hadis yang di ceritakan oleh Aisyah r.a. : “Wahai Usman, jika kelak Allah memberimu kepemimpinan, lalu kaum munafik hendak melepas baju yang di pakaikan Allah kepadamu, jangan kau lepaskan.” kalimat itu beliau ucapkan sebanyak tiga kali. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Rasulullah saw juga bersabda: “Sepeninggalku kalian akan menghadapi fitnah dan perpecahan, seorang bertanya: lalu kami harus mengikuti siapa? Beliau bersabda: kalian harus mengikuti Al Amin dan para sahabatnya”, (sahabat yang di juluki Al Amin adalah Usman. (HR. Ahmad) Adapun masalah yang di hembuskan oleh para musuh Islam salah satunya yang terbesar adalah masalah nepotisme, kelompok pemberontak yang tidak senang dengan para gubernur-gubernur yang diangkat oleh Usman yang banyak di isi oleh kaum kerabat Usman. Para pemberontak menuntut agar khalifah ketiga itu meletakkan jabatan, tetapi Usman jelas enggan melakukannya. Keengganan Usman melakukan tuntutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Usman terbunuh di rumah ketika sedang membaca Al-Qur`an. Kematian Usman menjadi titik tolak bagi perpecahan umat Islam. Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al- Farq bayna al-Firaq mengatakan: “Tsumma ikhtalafu bada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza”. (Kemudian mereka (para shahabat) berselisih setelah terbunuhnya (Usman) dalam masalah orang-orang yang telah membunuhnya dan orang- orang yang membiarkannya terbunuh, perselisihan yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman)kita ini). Sepeniggal Ustman, sebagian besar kaum muslimin membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke-empat. Namun, kematian Ustman, dan terpilihnya khalifah baru, bukanlah akhir masalah. Sisa-sisa kefanatikan terhadap kabilah, serta
ambisi untuk mendapatkan tampuk kepemimpin,
mulai meraup ke permukaan. Sejumlah golongan atau blok lahir, masing-masing kelompok menunjuk pemimpinnya. Salah satu kelompok itu adalah kelompok yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menempatkan diri sebagai oposan Ali. Pendukung utama khalifah Ali pun kemudian menggalang diri. Dari sinilah berawal kelahiran dua syi’ah (pengikut). Adapun pendukung Ali dan anak cucunya, yang kemudian lebih dikenal dengan kelompok Syi’ah. Syi’ah pada mulanya adalah aliran politik. Demikian pula halnya dengan Bani Umayah yang dipimpin oleh Muawiyah. Perbedaan pandangan politik antara Ali dan Muawiyah berlangsung terus menerus, dan diperuncing oleh pengikut masing-masing. Perselisihan ini terus berlangsung, hingga suatu ketika diadakan tahkim (perundingan) untuk mencari titik temu diantara dua kelompok itu. Namun, umat Islam yang telah terpecah dua ini, masih harus pula menampung satu pecahan lagi, yaitu kelompok yang menentang dua kelompok terdahulu yang diawali dengan ketidak setujuan mereka terhadap dilaksanakannya perundingan itu. Kelompok yang ketiga itu kemudian lazim disebut dengan kelompok Khawarij. Perang saudara pun mulai tidak bisa di hindari. Perang pertama yang terjadi adalah perang unta (perang jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang dipimpin oleh Aisyah r.a, isteri Rasul saw, yang menuntut bela atas kematian Usman, dengan kelompok Ali bin Abi Talib yang diangkat menjadi khalifah sesudah Usman. Kelompok pemberontak terhadap Usman setelah membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya kelompok Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap mereka. Tetapi Ali mengalami kesulitan dan tidak dapat segera melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisis politik yang berpanjangan. Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya perang Siffin. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (perundingan) bagi menyelesaikan konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat th.43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al- Asy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing . Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amru membuat manuver politik terhadap Abu Musa dengan mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh dua orang, yaitu Ali dan Muawiyah, maka untuk menciptakan perdamaian kedua orang itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru. Manuver politik itu berhasil. Amru memberikan kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar, Abu Musa manusia yang penuh dengan kejujuran itu mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu Amru naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali dan kerana Ali sudah dipecat khalifah tinggal seorang saja lagi, yaitu Muawiyah, lalu Amru menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam seluruhnya. Perundingan tersebut bukan saja tidak menyelesaikan konflik, tetapi justru memperbesar konflik. Bahkan malah menimbulkan kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua: Pertama, yang tetap setia kepadanya (belakang hari disebut syiah). Kedua, yang memberontak, keluar dari kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya, karena tidak puas dengan keputusan Ali untuk mengikuti perundingan diatas (kelompok ini disebut Khawarij). Kelompok ini pada mulanya memaksa Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah Ali menerima tahkim mereka menolaknya. Mereka memakai semboyan “La hukma illa lillah” (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata). Mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak
sependapat dengan mereka.
Mereka memerangi kelompok Pertama dan Kedua,
bahkan mereka mengirim utusan rahasia untuk
membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah dan Amru selamat dari pembunuhan, sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada tahun 40 H. Kematian Ali membuat duka dan dendam bagi pengikutnya. Hasan, Putra Ali pertama, diangkat menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Hasan melihat bahwa pertentangan politik ini
hanya akan merugikan umat Islam secara
keseluruhan. Oleh karena itu dia mengadakan perdamaian dengan Muawiyah, untuk menjaga agar darah kaum Muslimin tidak tertumpah lebih banyak lagi. Hasan meletakkan jawatan pada tahun 41 H dan
menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah.
Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan khilafah kepada kaum Muslimin bila ia meninggal nanti, hal itu di setujui oleh Muawiyah. Hasan juga meminta agar kelompok Muawiyah berhenti menghina Ali di dalam khutbah-khutbahnya. Gerakan perdamaian ini disokong oleh masyarakat Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai Tahun Persatuan ('am al-Jama'ah). Tetapi perjanjian tersebut tidak ditepati kemudiannya. Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun pada tahun 50 H. Kelompok Syiah mengangkat Husein, putra Ali kedua, menjadi khalifah. Sebelum Muawiyah meninggal (tahun 60 H) ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra Mahkota untuk menggantikannya. Hal itu membuatkan bukan saja kelompok Syiah marah tetapi juga seluruh kaum Muslimin, kerana jelas melanggar perjanjian damai yang telah dipersetujui dengan Hasan kala itu. Di zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H) permusuhan kelompok Umawi terhadap Syiah semakin menjadi-jadi. Kelompok Syiah diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di Karbala (10 Muharram th. 61 H) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke hadapan Yazid sebagai persembahan. Penguasa demi penguasa di kalangan Bani Umayah terus berganti, tetapi pertentangan di antara kedua kelompok tadi tidak juga reda. Ali dan pengikutnya terus dihina di setiap mimbar. Kelompok Syiah membalas dan menghina Kelompok Bani Umayah. Di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima Bani Umayah, memerintah tahun 65 s/d 86 H) membuat usaha untuk membina persatuan. Dia menggunakan slogan Nahnu Jama'ah Wahidah Tahta Rayah Dinillah (kita semua adalah satu jamaah dibawah naungan bendera agama Allah). Abdul Malik juga mengadakan konsep tarbi', yaitu dengan menyebut nama empat khalifah: Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali didalam khutbah-khutbah. Konsep ini merupakan kaedah untuk mempersatukan umat Islam juga. Sebelum ini kelompok Umawi hanya mengakui Abu Bakar, Umar, Usman dan Muawiyah, tetapi mereka tidak mengakui Ali. Manakala Kelompok Khawarij hanya mengakui Abu Bakar dan Umar. sedangkan kelompok Syiah hanya mengakui Ali saja dengan alasan masing-masing. Setiap kelompok menghina kelompok lain di mimbar-mimbar dan mendoakan keselamatan bagi pemimpin mereka. Abdul Malik mendapat sokongan dari masyarakat Islam. Di antara tokoh besar yang masih hidup dan menyokong Abdul Malik adalah Ibnu Umar (wafat th. 74 H). Umat Islam yang menyokong persatuan ini disebut Ahlu Al-Jama'ah Wa al-Sunnah. Tetapi usaha untuk mempersatukan umat itu tidaklah berhasil sebagaimana yang diharapkan, persaingan antara kelompok tetap juga berjalan. Kelompok Syiah, misalnya, tetap tidak dapat bergabung dalam persatuan itu, sebab menurut keyakinan mereka hak untuk memegang kekuasaan khalifah hanyalah untuk Ali dan keturunannya. Kerana jamaah tadi merupakan inisiatif dari kelompok Umawi yang sebenarnya adalah musuh politik mereka, itulah sebabnya kelompok Syiah sampai hari ini tetap tidak bersimpati kepada kaum Muslimin dari golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah. Mereka menganggap Ahlussunnah Wal-Jamaah hanyalah penyokong dari kelompok Umawi. Dari pembahasan diatas, jelas sekali terlihat bahwa latar belakang lahirnya firqah-firqah dalam tubuh islam, pada mulanya adalah perbedaan kepentingan dan paham politik, bukan disebabkan perbedaan paham dalam masalah diniyah. Dengan kata lain, perbedaan itu tidak berpangkal pada perbedaan dalam masalah inti ajaran Islam, yaitu masalah aqidah, tetapi perbedaan pandangan dalam menentukan kepemimpinan, atau dalam proses pemilihan khalifah. Adanya ketiga pecahan dalam tubuh umat Islam itu agaknya belum cukup menampung aspirasi umat, sehingga sejarah masih harus memperpanjang catatan daftar nama-nama firqah yang lahir susul-menyusul. Setiap firqah bahkan kemudian terpecah pula menjadi beberapa firqah baru. Firqah Syi’ah misalnya, terserak menjadi sekian banyak firqah. Ada Sabai’iyah, Zaidiyyah, Islamiyyah, Itna Asyariyyah, al-Kisaniyyah, al- Mukhtariyyah, Karbiyyah, Hasyimiyyah, al- Mansyuriyah, al-Khitabiyyah dsb. Sebagian dari firqah itu bersikap sangat berlebih- lebihan dan telah sedemikian jauh menyempal dari ajaran tauhid yang murni, bahkan ada yang menuhan kan Ali bin Abi Thalib, disamping masih ada pula pecahan yang tetap memegang teguh keyakinan atau aqidah yang lurus dan pemikiran yang jernih. Sebagaimana Syi’ah, Khawarij pun terbagi menjadi sejumlah firqah, diantaranya Az-Zariqah, ash-Shafriyyah, al-Ibadiyyah, al-Jaridah, dan ast Tsa’alibah. Firqah-firqah itu masih pula terbagi menjadi beberapa firqah lagi. Selanjutnya, seiring dengan bertambahnya bilangan tahun, bertambah pula bilangan firqah-firqah baru dalam Islam, dengan ditandai lahirnya kelompok seperti Mu’tazilah, sebagainya, yang satu dengan yang lainnya saling bermusuhan dan saling membenci. Diantara kelompok-kelompok itu, agaknya Ahlus Sunnah adalah yang paling mendekati pemahaman aqidah islam yang benar, tidak dilandasi sikap fanatik atau taqlid. (DR. Mustafa Muhammad As Syak'ah/Islam Bila Madzahib) Kelompok Khawarij Firqoh ini mucul pada saat terjadiya perselisihan antara Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Ali bi Abi Tholib, yang mecapai puncaknya dengan pecahya perang siffin pada tahun 37 H. Kedua kelompok yang bertikai itu ahirnya sepakat untuk mengadakan perundingan, dan keduanya sepakat pula untuk kembali kepada kitabullah. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al Asya`ri da pihak mu`awiyah diwakili oleh Amr ibnul Ash. Dalam perundingan itu terjadi pengelabuan yang dilakukan Amr ibnul ash terhadap Abu Musa al Asy`ari. Kejadian ini menimbulkan krisis baru dan pembangkangan yang dilakukan sekelompok muslim yang kebanyakan berasal dari bani tamim. Mereka kemudian meyatakan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil perundingan itu dengan menyatakan, ``Laa Hukma illallaah.`` Ali-pun memberi komentar dengan ucapanya yang masyhur, “kata-kata haq yang dimaksudkan batil sungguh mereka tidak ingin adaya pemimpin. dan harus ada pemimpin yang baik ataupun yang jahat”. Sekelompok yang membangkang tadi lalu berkumpul menuju haruraa’, suatu tempat tidak jauh dari kufah, sehingga Ali meyusul mereka , bermaksud utuk meluruskan mereka dan kembali kepadanya kembali dalam satu barisan.
Akhirnya mereka pun kembali ke kuffah. Namun
kesadaran itu tidak lama mengendap dalam hati mereka, sehingga mereka kembali kepada pemikiran mereka semula. Ali kemudian mengutus Abdullah ibu Abas untuk menyadarkan mereka kembali, agar tidak terjadi fitnah yang lebih besar dalam tubuh umat islam. Namun, mereka tetap pada pendirian semula, ingin keluar dari kelompok Ali. Akhirnya mereka sepakat untuk membai’at Abdullah bin Wahab Ar Rasibi sebagai pimpinan mereka. Bahkan banyak orang dari kalangan Ali yang keluar dan bergabung dengan jama’ah tadi. Pandangan dan pemikiran mereka mulai menyimpang dari kebenaran. Mereka mengecam Ali, menjelekanya, serta mengajukan protes terhadap kepemimpinanya Ali, mereka juga mengecam kepemimpinanya yang dahulu, Usman bin Affan, serta mencela semua orang yang tidak mau memusuhi Ali dan orang- orang yang tidak mau menyalahkan Usman. Salah satu perlakuan mereka yang buruk adalah perlakuan mereka terhadap muslim dan nonmuslim. Mereka membunuh muslim namun orang-orang nonmuslim mereka biarkan hidup. Mereka berkilah, “peliharalah kehormatan Nabimu.” pernyataan ini adalah pemutar balikan yang nyata. Seharusnya, kehormatan semua orang, baik muslim maupun dzimmi, hendaknya dilindungi. Dan tentu, darah dan kehormatan muslim harus diutamakan dari pada dzimmi. Dalam menghadapi pembangkangan tersebut, Ali mengambil sifat defensif, ia tidak memerangi mereka, selama mereka tidak memulai penyerangan. Setelah nyata mereka menggunakan kekerasan, barulah Ali memerangi mereka. Pemimpin mereka, Ibnu Wahab termasuk yang tewas terhadap bentrokan tersebut, peristiwa itu dikenang dengan sebutan Nahrawan. Sebenarnya, Ali sebenarnya memiliki kesempatan untuk menghabisi khawarij secara tuntas, namun khawarij segera mengirim Abdurrohman bin muljam Al muradi untuk membunuh Ali bin Abi tholib. Usahanya berhasil, Ali terbunuh. Setelah Ali wafat, kegiatan kaum khawarij semakin merajalela, mereka selalu melibatkan diri terhadap fitnah, terutama pada masa khilafah Muawiyah. Mereka melancarkan perang urat saraf, karna mereka merasa tidak mempunyai kemampuan untuk melawan pasukan pemerintah yang terlatih dan mahir dalam peperangan. Sepeninggal mu’awiyah, khawarij berkembang pesat. Kegiatan mereka semakin menonjol pada ahir masa
kekhilafan Yazid bin Mu’awiyah.
Mereka berusaha untuk menerik Abdullah bin Zubair
kedalam barisannya atau setidaknya menyetujui pemikira mereka. Tetapi karena mendapat jawaban yang mengecewakan dari Abdullah, maka kemudian mereka membuat hasutan dan adu domba yang mengakibatkan terbunuhnya Abdullah bin Zubair. Di jazirah Arab, gerakan khawarij berkembang pesat pada tahun 65-72 H. Pada masa itu mereka hampir menguasai seluruh Hadramaut, Yamamah, Thaif dan Yaman.
Dalam mengajak umat Islam mengikuti garis
pemikiran mereka, mereka sering kali menggunakan cara kekerasan dan pertumpahan darah. Khawarij terbagi menjadi delapan kelompok besar, diantaranya Az-Zariqah, ash-Shafriyyah, al-Ibadiyyah, al-Jaridah, dan ast Tsa’alibah. Firqah-firqah itu masih pula terbagi menjadi beberapa firqah kecil-kecil lagi. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan mereka lemah, dan terus menerus kalah melawan kekuatan dinasti bani umayyah. Kelompok Syi’ah Kata Syi’ah bermakna “pengikut” atau “penolong”. istilah ini di ambil dari sejarah masa lalu, yaitu ketika khalifah ketiga, Usman bin Affan terbunuh, yang menjadikan kaum muslimin berubah menjadi dua golongan. Sebagian besar menjadi syi’ah (pengikut) Ali, dan sebagian kecil sebagai syi’ah Muawiyah. Selanjutnya seiring dengan perkembangan zaman, istilah syi’ah lebih dinobatkan kepada kelompok pengikut Ali,dan pemihakan kepada Ali berubah menjadi pengutamaan Ali dan anak cucunya. Sehingga lambat laun tumbuh keyakinan bahwa khilafah dan kepemimpinan umat adalah hak mutlak bagi keturunan Ali. Kaum muslimin masih berbeda pandangan dalam
menilai golongan itu, diantara mereka aa yang
berpendapat bahwa syi’ah merupakan kelompok pemahaman aqidah saja. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa syi’ah adalh paham politik, bahkan sebagian lagi ada yang berpeendapat bahwa syi’ah tidak lebih dari perwujudan rasa simpati terhadap Ali bin Abi Tholib. Syi’ah berkeyakinan bahwa suksesi khalifah adalah merupakan proses wasiat. Hal ini mengandung arti bahwa jika Rasullah telah mewasiatkan kepada Ali, maka sudah seharusnya Ali mewasiatkannya Kepada Hasan. Dan begitu seterusnya seperti pewarisan tahta. Hal tersebut berdasarkan perkataan Rasulullah: “Siapa saja yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinya”. (HR. Tirmidzi dan Hakim) Itulah salah satu nash hadis yang dijadikan sandaran bagi pengikut syi’ah, bagi mereka khalifah itu di wariskan, dan pewarisnya adalah Ali bin Abi Thalib. Padahal menurut sejarah munculnya hadis itu adalah: pada tahun 10 H Rasulullah dan para sahabat berangkat ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Bersamaan itu pasukan yang tadinya di kirim ke yaman bergerak menuju makkah yang di pimpin oleh Ali bin Abi Thalib. Begitu rombongan sudah mendekati rombongan Rasulullah Ali berpamitan kepada rombongannya untuk lebih dulu menemui Rasulullah guna melapor. Sepeninggal Ali, seorang sahabat yang bernama Buraidah membagi-bagikan pakaian hasil rampasan perang, dengan maksud agar ketika memasuki makkah dan bertemu dengan Rasulullah terlihat rapi. Namun ketika Ali kembali ke rombongan beliau terkejut dan marah, karena menurut Ali yang berhak membagi-bagikan harta rampasan perang adalah Rasulullah. Tindakan Ali ini menjadikan perselisihan diantara mereka. Kemudian ketika mereka sampai ke makkah, Buraidah segera menghadap Rasulullah dan melaporkannya, bahkan terkesan mengejek Ali. Mendengar laporan itu Rasulullah agak berubah raut wajahnya, karena beliau tahu bahwa tindakan Ali adalah benar. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Hai Buraidah, apakah aku tidak lebih utama di ikuti dan di cintai oleh mukminin daripada diri mereka sendiri? Buraidah menjawab: Benar ya Rasulullah. Lalu Rasulullah bersabda: Barang siapa menganggap aku pemimpinnya, maka terimalah Ali sebagai pemimpinnya”. (HR. Tirmidzi dan Hakim) Maka jika kaum muslimin menganggap Rasulullah sebagai pemimpinnya, maka Ali bin Abi Thalib harus juga di terima sebagai pemimpinnya. Karena yang mengutus Ali memimpin rombongan ke yaman adalah Rasulullah. (Bidayah wan Nihayah oleh Ibnu Katsir)
Sementara di lain pihak, mereka yang
berpendapat bahwa syi’ah adalah pemahaman politik semata, juga memiliki argumen yang kuat. Diantara argumen itu ialah: Bahwa tampuk kepemimpian umat bukanlah sesuatu yang dapat diwariskan, atau dengan kalimat lain, pewarisan kepemipinan adalah salah satu hal yang tidak bisa dibenarkan, dan diakui dalam islam. Para Nabi terdahulu juga tidak mewariskan kenabianya. Kalau saja Allah menghendaki dan membenarkan, niscaya ia akan memberikan kepada Muhammad seorang anak lelaki untuk mewarisinya. Dari pejelasan tersebut, dapat dilihat bahwa syi’ah pada awalnya bukan merupakan mazhab atau paham dalam Agama, namun merupakan salah satu pandangan politik yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Tholib Adalah seorang yang lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan disbanding Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada masa kepemimpian Ali, umat islam benar-benar dilanda keidakpastian. Mereka yang cenderung berpihak Ali berkeyakinan bahwa Mu’awiyah tidaklah bersungguh-sungguh marah menutut kematian Usman. Hal itu sengaja di munculkan untuk meraih memperkeruh kepemimpinan Ali. Tentutan terhadap kematian Usman sengaja diangkat sebagai isu politik untuk mengbarkan ketidakpusan umat. Sehingga akan tercipta kesenjangan antara umat dan khalifah Ali, sehingga khalifah akan beralih ke tangannya. Dan agaknya nasib mujur ada di tangan
Mu’awiyah. Ia berhasil memenuhi ambisiya, ia
mampu menggunakan tragedi berdarah yang menimpa usman sebagai tunggangan politik menuju puncak kepemimpinan. Peristiwa-peristiwa di atas memperjelas kenyataan bahwa kemenangan dalam menggulingkan khalifah Ali adalah kemenangan politik, bukan kemenangan mazhab agama. Kenyataan lain adalah bahwa pandangan umat
terhdap Ali yang berhak atas kekhilafahan
karena keutamaanya, ilmunya,kebijaksanaanya, serta karena ia tergolong orang yang pertama masukislam diantara mereka. “Para pendukung dan pembela Ali, sepeninggalnya, menyatakan dukungan dan pembelaanya kepada Ali karena Alasan-alasan di atas, buka karna Ali Adalah pewaris khalifah sah kekhalifahan dari Rasullah SAW”. Pembelaan yang dinyatakan Hajar bin Adi
alkindi tersebut dapat dikatakan sebagai bukti
yang paling nyata kebenaran itu. Dalam perkembangan Syiah terpecah menjadi beberapa kelompok, Ada Saba’iyyah, Zaidiyyah, Islamiyyah, Itna Asyariyyah, al-Kisaniyyah, al-Mukhtariyyah, Karbiyyah, Hasyimiyyah, al-Mansyuriyah, al- Khitabiyyah dan banyak kepingan lagi. Diantar kelompok-kelompok itu ada yang wajar dan ada yang berlebihan. Bahkan ada pula yang sampai menuhankan Ali, kelompok ini di pelopori oleh seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’. Banyak yang menduga dialah agen pertama yahudi yang masuk dalam Islam dan berhasil mengobok-obok Islam. Kelompok Mu’tazilah Mu’tazilah merupakan salah satu firqah Islamiyah yang memiliki ciri metode tersendiri dalam beraqidah. Dalam memahami masalah- masalah aqidah, mereka sangat cenderung untuk menggunakann akal pikiran. Metode berpikir mereka sangat dipengaruhi filsafat Yunani. Kecenderungan-kecenderungan ini tampak dalam perdebatan-perdebatan yang mereka lakukan, serta dalam menetapkan sandaran dan pembenaran. Namun perbedaan yang mencolok antara Mu’tazilah dengan firqah lainnya ialah bahwa firqah ini tidak bermotivasi politik, berbeda dengan syi’ah, khawarij, misalnya. Dengankata lain, firqah Mu’tazilah pada awal pemunculannya, bukan merupakan firqah politik atau firqah yang tumbuh dari hasil perjuangan politik. Mereka lebih dikenal sebagai kelompok yang banyak mentakwilkan ajaran agama, bahkan dapat dikatakan mendekati seratus persen dalam mengunakan akal pikiran. Kemudian dengan berlalunya waktu, mereka makin terseret kearus pergolakan politik dan bahkan akhirnya tenggelam dalam pusaran tersebut.keterlibatan mereka dalam dunia politik terlihat ketika mereka mulai mendekati para khalifah dari Dinasti Abbasiyyah, sehingga pada akhirnya khalifah al-Ma’mun dan khalifah al- Mu’tashim berhasil mereka pengaruhi untuk memeluk madzhabnya. Sejarah awal perkembangan Mu’tazilah tak terlepas dari nama Washil bin Atho. Dialah pemimpin pertama Mu’tzilah. Washil adalah seorang murid Hasan Bashri. Ia selalu menghadiri pengajian yang diselenggarakan Hasan Bashri di sebuah masjid di Bashrah. Suat ketika salah satu seorang murid Hasan Bashri menanyakan tentang pandangan agama terhadap seseorang yang melakukan dosa besar. Hasan Bashri memberikan jawaban bahwa pelaku dosa besar tersebut dikategorikan sebagai munafik. Washil yang saat itu hadir merasa tidak puas dengan jawaban tersebut. Ia pun meyanggah dan mengemukakan pendapatnya, bahwa orang yang melakukan dosa besar berarti bukan lagi seorang mukmin secara muthlak, dan bukan pula kafir secara muthlak. Pelaku dosa besar tersebut antara dua kedudukan itu. Berawal dari ketidakpuasan atas jawaban itu, Washil kemudian memisahkan diri dari halaqah Hasan Bashri, dan membuat halaqah tersendiri dibagian lain dari masjid yang sama. Orang-orang yang merasa cocok dengan nya bergabung dengan Washil, bahkan akhirnya menjadi muridnya dan pembelanya. Sejak itulah, muncul kelompok baru yang kemudian dinamakan Mu’tazilah, yang dipimpin oleh Washil bin Atho al- Ghozzal. Runtuhnya Daulah Umayah dan bagkitnya Daulah Abbasiyyah ternyata tidak membuat surut langkah politik Mu’tazilah. Bahkan sebaliknya mereka justru melangkah lebih jauh dalam arena politik hingga mereka dimusuhi oleh sebagian khalifah Daulah Abbasiyyah, seperti Harun ar Rasyid. Ketika Basyir al Muraysi, seorang tokoh Mu’tazilah, menyatakan pendapatnya yang kontroversial tentang al-Qur’an, dengan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, Harun ar Rasyid mengancam membunuhnya. Namun konflik antara pengikut Mu’tazilah dan elit penguasa tidak berlangsung lama. Mu’tazilah dapat menguasai para khalifah Bani Abbas, seperti halnya mereka dahulu menguasai sebagian khalifah al- Ma’mun dan Khalifah al-Mu’tashim ke dalam paham Mu’tazilah. Sehingga mempermudah dalam pengembangan madzhabnya. Bahkan Mu’tazilah telah menyeret banyak khalifah Daulah Abbasiyyah ke kancah peperangan dan pertumpahan darah, karena membela madzhab Mu’tazilah. Madzhab Mu’tazilah berdiri atas dasar akal pikiran dan perdebatan. Aqidah mereka dapat disimpulkan dalam beberapa masalah besar yang antara sebagai berikut: Sifat Adil, artinya Maha Adil, dan keadilan-Nya itu mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sedangkan Allah tidak menciptakan perbuatan manusia. Sehigga, karena manusia itu menciptakan perbuatannya sendiri, maka manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, baik berupa perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jika manusia melakukan perbuatan baik, maka ia mendapatkan pahala, dan sebaliknya bila manusia melakukan perbuatan buruk, maka ia akan menerima siksa.
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia bebas
memilih, bebas berkehendak, dan bertanggung jawab atas pilihan atau kehendaknya itu. inilah yang menurut Mu’tazilah merupakan wujud keadilan Allah. Pandangan Mu’tazilah yang sangat kontroversial terhadap konsep ikhtiar manusia dan keadilan ini tentu saja mengundang reaksi keras jumhur ulama. Bahkan sebagian umat Islam ada yang menyebut firqah Mu’tazilah ini sebagai majusinya umat Islam.
Selain itu, Menurut mu’tazilah, kalam (ucapan)
Allah Adalah Makhluk. Berarti, Alqur’an yang merupakan kalam Allah itu Adalah mahluk. Pemikiran mu’tazilah ini didukung sepenuhnya oleh khalifah Al Ma’mun untuk itu ia menerbikan selebaran untuk disebar luaskan diseluruh pelosok wilayah kekuasaanya. Ia memerintah kepada seluruh qadhi (hakim) dan gubernurnya untuk mengimani khalqil Qur’an. Mereka yang menolak untuk mengimaninya,segera dipecat dari jabatanya, karena dianggap tidak lagi dapat dipercaya kebenaran ajaran agamanya. Kematin Al Ma’mun Sedikit meredakan keresahan umat islam. Umat menyangka, bahwa fitnah khalqil Qur’an telah usai dengan wafatnya Al Ma’mun. Namun, dugaan itu meleset, karena sebelum wafat Al Ma’mun telah mewasiatkan kepada saudaranya, Al-Mu’tashim untuk meneruskan khiththahnya. Dan Al- Mu’tashim melaksanakan amanat itu dengan baik. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal-pun dipenjara, tubuhnya didera lecutan cambuk, bahkan kulit tubuhnya tercabik-cabik karena tegas menolak pemahaman tersebut. Fitnah Khalqil Qur’an terus berlanjut pada masa kekhalifahan al-Mu’tashim hingga masa kekhalifahan anaknya, yaitu al-Watsiq. Dan penganiayaan terhadap para fuqaha yang
menyanggahnya, juga terus berlanjut, hingga
akhirnya salah seorang yang tidak mengimani Khalqil Qur’an berhasil membunuh al Watsiq. Dengan kematian al Watsiq, barulah fitnah itu mereda kembali, khususnya setelah khalifah Al- Mutawakkil berkuasa. Ia membebaskan belenggu yang selama ini mengekang para fuqaha dan ahli hadits. Dan dengan dukungan al-Mutawakkil kubu
AhlusSunnah kokoh kembali. Dan sejak itu pula
kekalahan dan kelemahan melanda Mu’tazilah. Bila kita perhatikan dengan seksama semua alur pemikiran Mu’tazilah, maka kita dapat menyatakan bahwa firqah ini merupakan firqah yang paling banyak terpengaruh filsafat Yunani. Kita dapat menemukan jejak ajaran filsafat
Yunani itu setiap kali kita memperhatikan
ucapan atau tulisan tokoh-tokoh Mu’tazilah, misalnya teori metafisika Yunani dengan pendekatan rasionalnya, serta dengan cara mereka berdebat. Kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah Pada masa banyaknya bermunculan berbagai pemikiran dan kepercayaan yang sebagian mengharuskan merujuk hanya kepada akal pikiran dan merujuk kepada pokok-pokok (ushul) ad din, munculah sekelompok orang yang merujuk hanya kepada Qur’an dan hadis nabawi dalam menyelesaikan segala masalah. Disamping itu muncul pula sekelompok umat yang banyak merujuk kepada ra’yun ( pendapat hasil ijtihad). Kecenderungan-kecenderungan itu wajar terjadi, karena wilayah islam telah sedemikian meluas. Pemeluk islam dalam berbagai bangsa yang berbeda adat kebiasaan dan pengetahuannya, banyak menimbulkan masalah yang terkadang tidak kita jumpai dalam nash ayat atau hadis secara jelas. Maka sejumlah sahabat dan juga para fuqoha’
selalu melakukan munaqasyah atau dialog dan
penyimpulan dalam berbagai masalah yang baru timbul. Sebagai contoh, Umar Ibnul Khatab pernah menghadapi kasus seorang wanita yang membunuh suaminya dengan kekasih gelapnya. Masalahnya, apakah dua orang (atau lebih) yang bersepakat membunuh seseorang harus dihukum mati atau tidak. Kemudian Ali bin Abi Thalib, yang dimintai pendapat Umar, mengatakan, “semua yang ikut andil dalam usaha pembunuhan harus mendapar hukuman Qishos (hukuman mati),“ Umar pun ahirnya mengambil pendapat Ali, dan memerintahkan gubernurnya untuk membunuh kedua orang itu. Itulah salah satu kebiasaan Umar ketika menjabat sebagai khalifah, dalam menghadapi masalah yang tidak didapatinya dalam kitabullah dan sunnah. Ia selalu mengumpulkan para fuqaha’ dari kalangan para sahabat untuk dimintai pendapat. Ia lakukan hal itu berdasarkan keluasan pandangan dan pemahamanya terhadap ajaran Islam. Metode islami semacam itu dinamakan Ra’yun ( pendapat, Akal ), sedang orang yang berkecimpung dalam hal itu di namakan Ahlur Ra’yi. Kebiasaan semacam itu pada mulanya dilakukan dimadinah, kemudian menyebar ke irak pada masa pemerintahan (Dinasti) bani Umayyah dan Dinasti Abasyah. Di irak, pemimpin dan pelopornya adalah imam Abu Hanifah. Ia adalah seorang yang di kenal dengan keluasan pengetahuanya, akurasinya dalam menetapkan dalih, serta kecerdasannya dalam menghadapi setiap masalah yang tidak ditetapkan secara jelas dalam nas Al Qur’an dan sunnah, maka Ia menggunakan Ra’yi dan memberi fatwa penuh dengan penuh kearifan, fleksibel, dan mudah di fahami. Kebalikan dari pendekatan Ahlul Ra’yi, adalah pendekatan fuqaha Ahlul hadis. Dalam menghadapi setiap masalah, mereka hanya merujuk dalam Al Qur’an dan Sunah dan bila mereka tidak menemukan nas yang jelas, mereka enggan bahkan menolak memberikan fatwa. Diantara para ulama’ yang menggunakan pendekatan ini, Adalah sejumlah sahabat, seperti Zubair bin Awwam, Abdullah bin Umar, Abdullah bun Amr Bin Ats. Pendekatan ini terus berkembang hingga masa tabiin, dengan Asy Syi’bi sebagai tokohnya yang terkemuka. Perbedaan dan pertentangan antara dua kubu ini tidak berkepanjangan. Sebab, masing-masing pihak mempunyai dasar keislaman yang baik sekali, jauh dari unsur syahwati (mengikuti hawa nafsu) serta selalu menjauhi pembelaan yang di dasari kedunguan dan komentar yang tidak bermakna. Dalam situasi seperti itu, munculah pendekatan baru yang berusaha menjadi penengah antara pendekatan Ahlul Ra’yi dan pendekatan Ahlul Hadis. Pendekatan yang ketiga, yang dipelopori oleh imam Malik bin Anas dan imam Syafi’i ini, tidak mengamalkan ajaran Ahlul Ra’yi, kecuali jika tidak mendapatkan Nas (Al Qur’an dan Hadis) Imam-imam dalam Ahlussunnah wal Jama’ah Pengertian imam dalam pemahaman Ahlussunnah dengan imam dalam mazhab syi’ah sangat berbeda. Menurut Ahlussunnah, imam bukan merupakan jabatan atau hasil warisan, bukan merupakan masalah prinsip dalam agama, dan bukan pula merupakan kemuliaan yang mempunyai derajat tinggi. Seorang imam tidak mempunyai sifat ma’sum atau keistimewaan apapun seperti dalam pandangan berbagai macam firqoh syi’ah. Pengertian imam dalam pandangan Ahlussunnah, tidak lain hanya seorang muslim yang dikenal istiqomah, mempuyai ilmu yang luas,adil,taqwa, serta bertafaquh fiddiin Dari Al Qur’an Dan Hadis. Ia juga mampu beristinbath (mengambil sari dari sumber hukum) kemudian dapat menetabkan suatu hukum dengan baik. Julukan imam dikalangan Ahlussunnah bisanya tidak diberikan kepada mereka semasa mereka masih hidup. Julukan itu biasanya diberikan murid- muridnya, serta kaum mu’minin umumnya, setelah imam itu meninggal. Sebutan imam tersebut sebagai penghormatan karna sikap istiqomah, ketakwaan, keluasan ilmu dan kepandaiannya serta tafaqquhnya dari Al Qur’an dan sunnah nabi. Bagi ahlus sunnah, imam adalah salah seorang yang
paling menonjol dari sekian banyak ulama muslimin
yang dikenal istiqomah, sempurna imannya, memahami dengan detail masalah agama, berkemampuan memahami jiwa syari’at dan dapat ber istinbath dengan benar dan baik, dan setelah itu menyampaikan fatwa, sementara umumnya kaum muslimin merasa tidak berkemampuan untuk istimbath secara langsung dari sumbernya, yakni Al Qur’an dan sunnah. Disamping itu, imam mampu melakukan qiyas dengan benar dan baik, tidak seenaknya, dan tidak disertai sikap fanatis. Imam ahlus sunnah banyak sekali. Diantaranya
yang paling masyhur dan pemahaman nya
masih banyak di minati sampai saat ini adalah : Abu hanifah, Malik bin Annas, Idris Syafi’I, Ahmad bin Hanbal. Mereka semua memiliki ijtihat, dan mampu
melakukan istinbad, dengan menyelami jiwa
syari’at islam. Keadaan Saat Ini Selain faham-faham diatas yang terus berkembang, saat ini kita juga mengalami fenomena yang nyata diantara kita, bahwa muncul kecenderungan pada dua hal, Radikal dan Liberal. Radikal itu mulai dari zaman Ali R.A yang bernama khawarij. Sedang Liberal juga ada sejak zaman setelah Ali yang menjadi semacam antitesa dari khawarij, dikenal dengan kaum murji’ah. Lalu lebih digencarkan oleh kaum Orientalis. Nah dua hal ini yang kita hadapi disekitar kita saat ini.. Yang satu terlalu longgar, yang satu terlalu ketat. Padahal... Rasul saw bersabda : “ yaa ayyuhannaasu, iyyakum wal ghuluu fiiddini, fainnama ahlaka man kana qoblakum al ghuluwuu fiiddiini”. Artinya : Wahai manusia, hindarilah sikap berlebihan ( melampaui batas) dalam beragama, sebab umat-umat dahulu binasa karena sikap melampaui batas dalam beragama” (HR. Ibnu Majah) Al ghuluwu ( Berlebihan ) dalam beragama jelas jauh dari karakter ummatan washatan, dapat ditandai dengan beberapa sikap, antaraa lain : Pertama: Fanatisme berlebihan terhadap satu pandangan. “Ainurridho an kulli aibin kaliilatun, kamaa anna ainal suhti tubdi al masawiya” Para salafussholih bersepakat : bahwa setiap orang dapat diambil dan ditinggalkan “pandangan nya”, kecuali Rosulullah. Hal Seperti ini yang juga di ucapkan imam empat madzhab dan para imam mujtahid. Kedua: Cenderung mempersulit. Memahami Islam dengan kurang bijak, kadang terlalu ketat hingga akhirnya malah justru mempersulit diri sendiri dan orang lain. Ketiga: Berperasangka buruk terhadap orang lain. Sikap merasa paling benar ini bahaya, menjadikan nya berperasangka buruk terhadap orang lain. “Boleh jadi Allah membukakan pintu ketaatan kepada seseorang, tetapi tidak di bukakan pintu diterimanya sebuah amal kebaikan, dan boleh jadi seseorang ditakdirkan berbuat maksiat, tetapi itu menjadi sebab seseorang mencapai keridhaan Allah”. (Ibnu Atha’illah) Keempat: Mudah mengkafirkan orang lain. Seperti yang terjadi pada kaum “khawarij”, yang mebunuh Ali R.A, bahkan sang pembunuh yang bernama Abdurrahman bin muljam berkata setelah membunuh mengatakan : Ya Allah terimalah jihadku, Sesungguhnya saya melakukan ini karena Engkau, dan dijalanMu.