Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

Menganalisis Sejarah Berdirinya Daulah Umayyah di


Damaskus
Diajukan untuk melengkapi tugas Sejarah Kebudayaan Islam

Disusun oleh :
Aisya Alma Khaira

MAN 1 MAGELANG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat
serta karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul 'Menganalisis Sejarah
Berdirinya Daulah Umayyah di Damaskus' dapat selesai.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas akhir semester 2 kelas X
dari Bapak Nurkholis pada bidang studi Sejarah Kebudayaan Islam. Selain itu,
penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang
sejarah berdirinya Daulah Umayyah di Damaskus.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Nurkholis selaku


guru mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Berkat tugas yang diberikan ini,
dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan


banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan
ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga
mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan
kesalahan dalam makalah ini.

Magelang, 25 Februari 2023

Penulis
A. Lahirnya Daulah Umayyah di Damaskus

1. Asal-Usul Bani Umayyah


Daulah Umayyah merupakan lanjutan dari Daulah Khulafaur Rasyidin. Bani
Umayyah diambil dari nama Umayyah, kakeknya Abu Sufyan bin Harb, atau
moyangnya Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Umayyah hidup pada masa sebelum
Islam, ia termasuk bangsa Quraisy. Daulah Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah
bin Abu Sufyan dengan pusat pemerintahannya di Damaskus dan berlangsung
selama 90 tahun (41-132H/661-750M).

2. Perang Siffin dan Tahkim


Akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib diwarnai dengan serangkaian
pemberontakan. Pemberontakan muncul karena ketidakpuasan sekelompok
masyarakat atau sikap Ali bin Abi Thalib terhadap para pembunuh Utsman bin
Affan. Dari peristiwa itu muncullah Perang Jamal yang diprakarsai oleh
beberapa sahabat di antaranya Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan
Aisyah r.a. Perang Jamal berakhir dengan damai.
Kebijakan Ali bin Abi Thalib yang mengganti beberapa gubernur yang
diangkat oleh Utsman bin Affan sedikit banyak menimbulkan gejolak di
beberapa wilayah. Mu’awiyah sebagai gubernur Syam waktu itu termasuk
yang terkena imbas dari kebijakan Ali bin Abi Thalib. Mu’awiyah tidak mau
melepaskan jabatannya sebagai gubernur Syam sebelum Ali bin Abi Thalib
menghukum para pembunuh Utsman. Sementara Ali bin Abi Thalib sebagai
seorang khalifah menganggap berhak memecat Mu’awiyah dan belum saatnya
menghukumi para pembunuh Utsman dengan alasan meredam gejolak umat
Islam yang sedang dalam masa transisi. Masing-masing pihak bersikukuh
dengan sikapnya hingga muncullah Perang Siffin.
Perang Siffin berlangsung selama beberapa hari pada bulan Dzulhijjah tahun
36 H dan pada saat pasukan Ali bin Abi Thalib yang dipimpin oleh Aystar mulai
menampakkan tanda-tanda kemenangan muncullah beberapa orang dari
pihak Mu’awiyah mengangkat mushaf Al-Qur’an sebagai tanda perdamaian.
Setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya pasukan Ali bin Abi Thalib
menerima tawaran damai tersebut dengan pertimbangan agar tidak
bertambah lagi korban berjatuhan dari kedua pihak. Kedua pihak bersepakat
untuk mengembalikan keputusan kepada kitabullah dan menunjuk utusan
masing-masing pihak untuk mengadakan perundingan. Dari pihak Ali bin Abi
Thalib ditunjuklah Abu Musa Al Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah ditunjuklah
Amr bin Ash. Mereka bersepakat dengan sebuah Perjanjian Takhim yang salah
satu keputusannya adalah sepakat untuk gencatan senjata dan memutuskan
untuk mengembalikan persoalan umat kepada kitabullah.
Ketika tiba saat yang ditentukan kedua pihak berkumpul untuk memutuskan
perdamaian di kalangan umat Islam dengan masing-masing kubu membawa
400 pasukan. Mereka berkumpul di sebuah tempat bernama Daumatul Jandal
tepatnya di Adzruh. Abu Musa Al Asy'ari diberi kesempatan oleh Amr bin Ash
untuk menyampaikan pidatonya di hadapan pasukan: “Saudara-saudara kami
telah mengkaji persoalan ini, maka kami tidak melihat keputusan yang paling
tepat dan paling bisa menghindarkan kekacauan sekarang ini yang sama-sama
disepakati oleh ku dan oleh Amr selain itu saja, kita mencopot Ali dan
Mu’awiyah dari jabatannya, hadapilah urusan ini dan angkatlah orang yang
menurut kalian berhak menjadi kepala negara kalian.”
Abu Musa mundur dari mimbar dan kemudian Amr bin Ash maju dan berdiri
di mimbar lalu menyampaikan pidatonya: “Abu Musa telah menyampaikan
pernyataan seperti yang telah kalian dengar tadi, ia telah mencopot
sahabatnya (Ali bin Abi Thalib) dan aku pun mencopot sahabatnya itu seperti
yang ia lakukan. Dan aku kukuhkan kedudukan sahabatku, karena dialah ahli
waris Utsman dan pihak yang paling berhak menggantikan kedudukan Utsman.
Demikianlah pada akhirnya tahkim tidak dapat memuaskan kedua pihak
terutama dari pihak Ali bin Abi Thalib dan para pendukungnya. Walaupun
pihak Mu’awiyah tidak mendapatkan dukungan dari kubu Ali namun paling
tidak dalam keputusan tersebut terdapat pernyataan bahwa kekuasaan tidak
lagi berada di tangan Ali dan kemudian diserahkan kepada kaum muslim untuk
memilih pemimpin yang mereka inginkan. Pada saat itu Mu’awiyah memiliki
pasukan yang cukup besar dan tidak ada seorang pun yang bisa menandingi
kekuatannya sehingga keinginannya untuk menjadi khalifah kaum muslimin
pun semakin besar. Dengan keputusan tahkim tersebut posisi Mu’awiyah
menjadi kuat, ia di baiat menjadi khalifah oleh penduduk Syam. Ia pun mencari
kekuatan dukungan dari Mesir dan memberangkatkan pasukan ke beberapa
wilayah yang dikuasai Ali bin Abi Thalib. Kekecewaan pun muncul dari
pendukung Ali yang kemudian keluar dari golongan Ali dan menamakan dirinya
sebagai golongan Khawarij.

3. Amul Jamaah
Setelah Ali bin Abi Thalib wafat atas kekejaman Khawarij maka dibaiatlah
Hasan bin Ali menjadi khalifah selanjutnya. Hasan bin Ali memiliki pandangan
yang tepat terkait beberapa kondisi yang ada di sekelilingnya. Ia melihat
tentaranya tidak bisa dipercaya, musuhnya pun sedemikian kuat. Hasan sendiri
tidak menyukai kekacauan dan lebih menginginkan persahabatan dan
perdamaian bagi kaum muslim. Maka ia tidak memiliki pilihan yang lebih bijak
untuk diri dan umatnya selain turun dari jabatannya, membuat perjanjian
damai dengan sejumlah syarat yang dapat disetujui oleh kedua pihak, lalu ia
menulis pembaiatannya kepada Mu’awiyah dan menyerahkan kota Kufah
kepada Mu’awiyah pada akhir Rabiul Awal tahun 41 H. Ketegangan pun mulai
mereda dan kaum muslim menyebut tahun itu sebagai Amul Jamaah (Tahun
Persatuan).
4. Corak Khas Pemerintahan Daulah Umayyah
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah berbeda
dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya, yaitu masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, khalifah adalah sosok pemimpin yang alim
dalam ilmu agama, sederhana dalam hidup, dan tanggung jawab kepada
rakyatnya. Ia menjadi imam di masjid, sekaligus komandan di medan perang.
Ia hidup sederhana dan jauh dari sikap mewah. Bahkan, kepala negara tidak
ada pengawal yang menjaga di sekitarnya selain Allah SWT. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah sangat serius dan peduli terhadap
tanggung jawab dan tugas mereka. Mereka sering keluar malam untuk melihat
keadaan masyarakat yang sebenarnya. Mereka menjalani hidup dan tugas-
tugas sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Mereka tidak membangun gedung
atau istana megah. Tidak ada pengawalan khusus bagi para khalifah.
Sementara para penguasa Bani Umayyah hidup dalam kemewahan dan dijaga
ketat oleh pengawal, karena mereka khawatir keamanan diri mereka.
Para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan sistem monarchihereditas, yaitu kepemimpinan yang
diwariskan secara turun-temurun. Proses berdirinya pemerintahan Bani
Umayyah tidak dilakukan secara demokratis, melainkan dengan cara-cara yang
tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali.
Akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru
yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Di
antaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan penunjukan langsung
oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota
yang menjadi khalifah berikutnya.

B. Perkembangan Islam
Pada masa al-Walid 1, prestasi yang lebih besar dicapai adalah di front Afrika Utara
dan sekitarnya. Selain keberhasilan tersebut, Bani Umayyah juga banyak berjasa
dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik atau tata pemerintahan maupun
sosial kebudayaan. Dalam bidang politik, Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan
yang sama sekali baru. Kemudian dalam bidang sosial, Bani Umayyah mulai membuka
hubungan dengan bangsa-bangsa lain seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya,
yang kemudian melahirkan asimilasi dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan. Dalam
bidang seni, yang berkembang adalah seni arsitektur (bangunan). Salah satu
pencapaiannya, yaitu dibangunnya Kubah as-Sakhra di Yerusalem yang hingga kini
masih ada dan menjadi bukti keemasan zaman Islam. Dalam bidang seni yang lain,
yaitu seni sastra yang mengeluarkan sastrawan-sastrawan terkemuka seperti al-Ahtal,
Farazdaq, Jurair dan lain-lain.
Kemajuan yang lain adalah dalam hal peradaban yang terbagi menjadi
pengembangan bahasa dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bidang ini, Bani
Umayyah telah menemukan jalur yang lebih luas dalam kancah pengembangan
bahasa dan ilmu pengetahuan dengan bahasa Arab sebagai pengantarnya. Berikut ini
akan dijelaskan beberapa perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan Dinasti
Bani Umayyah di Damaskus.

Anda mungkin juga menyukai