Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BANI UMAYYAH DAN ABBASIYAH


Tugas ini disusun sebagai salah satu syarat memenuhi tugas
Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia

Dosen: Yani Nuraeni, S.Pd., M.Si.

Disusun Oleh:
Firdaus Ailuli Pirmansyah NPM : 6120619010
Ananda Putri Ranidewi NPM : 61220620009

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
CIANJUR

2020
BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah tak ubahnya kacamata masa lalu yang menjadi pijakan dan langkah setiap
insan di masa mendatang. Hal ini berlaku pula bagi kita siswa MTs Ulumuddin untuk tidak
hanya sekedar paham sains tapi juga paham akan sejarah kebudayaan islam di masa lalu
untuk menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi. Seperti
yang kita ketahui setelah sepeninggalnya khulafaurrasyidin terakhir yaitu Ali bin Abu Thalib,
gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Sistem pemerintahan Islam pada
masa itu menjadi masa daulah. Dalam makalah ini akan disajikan sedikit tentang masa
Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah.
Dengan segala keterbatasan penulis, maka dalam makalah ini tidak akan dijabarkan
satu persatu secara rinci, tapi akan dibahas inti dari masa daulah Umayyah dan Abbasiyah
pada waktu itu, yaitu mengenai sub pokok bahasan seperti yang telah tertuang dalam kata
pengantar, meliputi:
1.      Bagaimana kemunculan daulah Abbasiyah dan Umayyah, dimana akan diuraikan bagaimana
sejarah berdirinya daulah Abbasiyah dan Umayyah.
2.      Masa kejayaaan daulah Umayyah dan Abbasiyah, yaitu membahas mengenai pada masa
khalifah siapakah masa kejayaan itu terjadi dan prestasi apa saja yang pernah diraih.
3.      Runtuhnya daulah Abbasiyah, yaitu menjelaskan sebab-sebab mengapa daulah umayyah
runtuh.
Demikianlah sedikit gambaran mengenai isi makalah ini yang penulis buat dengan
metode literatur kaji pustaka terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah
yang penulis buat. 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Daulah Bani Umayyah


1.      Sejarah berdirinya
Nama Daulah Amawiyah tidak lain adalah Bani Umayyah. Daulah Amawiyah berasal
dari nama Umayyah ibnu ‘Abdi Syam ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-
pemimipin kabilah Quraisy dizaman Jahiliyah. Umayyah senantiasa bersaing dengan
pamannya, Hasyim ibnu ‘Abdi Manaf. Persaingan ini terjadi karena sama-sama ingin
merebut pengaruh (kehormatan) di tengah-tengah masyarakatnya. Pada waktu itu, siapa yang
memiliki pengaruh paling besar, maka ia langsung diangkat menjadi pemimpin di tengah-
tengah masyarakat. Begitulah persaingan antara keduanya terus berlanjut hingga saling
mengalahkan. Jadi tak mengherankan bila dalam persaingan ini berujung pada permusuhan.
Dalam persaingan tersebut, Umayyah memperoleh kemenangan dan dapat merebut
kekuasaan. Sebab ia merupakan salah satu kabilah yang sangat terhormat dan disegani,
mempunyai banyak harta kekayaan dan juga banyak memiliki keturunan sepuluh orang putra
yang kesemuanya terpandang. Ketiga unsur ini merupakan potensi besar yang membawa
keturunan Umayyah menjadi penguasa bangsa Arab Quraisy saat itu.
Setelah agama Islam datang hubungan antara Bani Umayyah dengan saudara-saudara
sepupu mereka Bani Hasyim semakin tegang. Persaingan-persaingan untuk merebut
kehormatan dan kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani
Umayyah dengan tegas menentang Rasulullah saw dalam mengembangkan agama Islam.
Sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah saw, baik mereka
yang sudah masuk Islam ataupun yang belum masuk Islam sama sekali. Pada waktu
Rasulullah saw bersama ribuan kaum muslimin menduduki kota Mekkah, pada saat itulah
Bani Umayyah menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Rasulullah.
Walaupun Bani Umayyah pernah memusuhi Rasulullah saw dengan tindakannya yang
keras, namun setelah masuk Islam mereka dengan segera dapat menunjukkan semangat
kepahlawanan yang sulit dicari tandingannya. Mereka telah banyak sekali mencatat prestasi
dalam penyiaran agama Islam, antara lain peperangan yang dilancarkan dalam memerangi
orang murtad, orang-orang yang mengaku dirinya nabi atau rasul, dan orang yang enggan
membayar zakat (ketika Umayyah bergabung dengan khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq).

2.       Proses dan sebab-sebab berdirinya Dinasti Bani Umayyah


Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin
Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan
Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah
dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi
khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan
pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia
tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para
shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at)
kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan
pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan
khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah
dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok
orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Syiria dan
Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris
khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke
Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah
khalifah Utsman yang berlumur darah. Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya
terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah
pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin 38 H/657 M. Muawiyah tidak
menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik
yang ada di Madinah, Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan
lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan
mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin
Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib
sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan
menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah
Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil
individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daeraha seperti Kuffah, Bashrah, dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata
juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah
mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti
Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan,
dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah
Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu
bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis
untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi
Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut. Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak
benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husain serta
para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi
khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan
pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini
tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan
mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Kemelut yang di hadapi khalifah Utsman bin Affan sebenarnya telah tercium jauh-
jauh hari sebelumnya. Bahkan dengan perantara kurir bernama Mussawir bin Makharramah,
pesan dari khalifah Utsman bin Affan ini tidak dilaksanakan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan
yang datang dikawal oleh dua orang kepercayaannya yaitu Muawiyah bin Khudaj dan
Muslim bin Uqbah serta menyarankan agar khalifah Utsman pindah ke Syam dengan alasan
karena ia akan di kelilingi oleh orang-orang Muawiyah yang setia.
Usulan yang diajukan Muawiyah ini tidak diterima oleh khalifah Utsman bin Affan
yang berpendapat bahwa Madinah adalah ibukota kekhalifahan dan masih banyak para
shahabat yang setia serta disana pula ada makam Nabi. Sebelum menguraikan sejarah sejarah
lebih lanjut tentang prose terbentuknya Dinasti Umayyah ini, terlebih dahulu marilah kita
tengok proses terbentuknya kejadian yang menyebabkan proses terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah wafatnya Rasulullah saw.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak
menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu
gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur
Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak
ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat
resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir
untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir,
Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad
yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh
khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat.
Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah
Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas system pemerintahan yang sangat
sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan
segeras menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan
kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat
itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah,
sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Meninggalnya khalifah Utsman bin Affan pada tahun 35 H/656 M dan terpilihnya Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah baru sangat mengguncangkan keluarga Bani Umayyah.
Mereka berusaha mencari informasi siapa pembunuh Utsman sebenarnya dan mereka akan
menuntut kematian khalifah dengan cara melakukan balas dendam.
Akhirnya mereka mendapat informasi bahwa orang yang patut di curigai membunuh
khalifah Utsman bin Affan adalah Muhammad bin Abu Bakar. Mereka menuntut khalifah Ali
bin Abi Thalib agar Muhammad bin Abu Bakar segera di tangkap dan di adili. Tuntutan itu
tentu saja tidak segera dikabulkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, karena tuntutan itu tidak
jelas maka khalifah Ali bin Abi Thalib menolak tuntutan yang di ajukan oleh Muawiyah bin
Abi Sufyan.
Tuduhan yang di arahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar dan khalifah Ali bin Abi
Thalib sebenarnya menjatuhkan kekuasaan khalifah yang sah. Keadaan ini jelas sangat jauh
berbeda dengan gaya kepemimpina khalifah Ali bin Abi Thalib yang tegas, lugas, dan jujur.
3.      Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib karena terbunuh oleh kelompok khawarij yaitu
Abdurrahman bin Muljam pada tahun 661 M menimbulkan dampak politis yang cukup berat
bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali. Oleh karena itu, tidak lama
berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at)
atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan
sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran
pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad,
kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja
tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Hal
ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk
menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam. Perdebatan apapun yang terjadi pada saat itu,
yang jelas realitas politik menunjukkan bahwa sepeninggalan Ali bin Abi Thalib, sebagian
penduduk besar Kuffah, Bashrah dan Madinah sudah melakukan sumpah setia.
Inilah yang menjadi puncak-puncak persoalan politik Islam setelah kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abi Sufyan yang tidak menyayangi keputusan pengangkatan
Hasan bin Ali segera menyusun kekuatan khalifah Hasan. Mendengar rencana yang telah
dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan tersebut, maka Qays bin Sa’ad dan Abdullah bin
Abbas menyarankan kepada Hasan untuk melakukan penyerangan ke Damaskus. Sebelum
pasukan Muawiyah menyerang, stategi yang dilakukan Muawiyah yang melakukan urat saraf
(psywar) ini memang sangat efektif. Menurut sejarawan Muslim Al-Thabari, karena
kecewanya para pendukung Hasan atas perhentian perang menyebabkan mereka melakukan
tindakan kekerasan dengan menyerbu masuk kerumah Hasan dan merusak kehormatan serta
merampas harta bendanya.
Untuk mengetahui persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai
pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat
melalui Amr bin Salmah Al-Arhabiyang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia
menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antara lain:
a.       Muawiyah menyerahkan harta Baitul mal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya
kepada pihak lain.
b.      Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalin
beserta keluarganya.
c.       Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap
tahun.
d.      Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus
diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
e.       Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena
hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya
bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada
Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat
yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir
bin Habib bin Abdi Syama.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di
suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan
demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam
menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota
Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya
secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi
Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M)
yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja
Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun.
Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas
“demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.
4.      Gaya Dan Corak Kepemimpinan Muawiyah Bin Abi Sufyan
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda
dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan
kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah
diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi
Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Hal itu, karena
proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana
pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik
dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi
beberapa perubahan prinsif dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi
kekuasaan dan perkembangan umat Islam.
Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh
khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah
berikutnya. Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi
Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa
(661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang
mempelopori proses dan system kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota
yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas
saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat
Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Sistem pemerintahan yang
diterapkan Muawiyah meniru sistem pemerintahan kerajaan Romawi dan Persia yang
mewariskan.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi
musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para
penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk
melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para
penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran
permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selama masa pemerintahan demokratis Khulafaur Rasyidin, para khalifah selalu di
dampingi oleh dewan penasihat yang terdiri dari para pemuka Islam. Seluruh kebijakan yang
penting selalu di musyawarahkan secara terbuka. Bahkan rakyat biasa mempunyai hak untuk
menyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Kebebasan berpendapat dan kebebasan
menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah merupakan corak yang sangat menonjol
dalam pola pemerintahn Khulafaur Rasyidin.
Tradisi musyawarah dan menyampaikan pendapat ini tidak berlaku dalam
pemerintahan Bani Umayyah. Dewan permusyawaratan dan dewan penasihat tidak berfungsi
secara baik. Kebebasan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah tidak diperbolehkan.
Hal itu terjadi karena penguasa Bani Umayyah benar-benar telah menganggap dirinya
sebagai raja yang tidak dipilih dan diangkat oleh rakyat dan rakyat tidak dibolehkan
melakukan kritik.
Ajaran dan usaha nabi Muhammad saw yang telah menghapuskan fanatisme kesukuan
tidak dapat dipertahankan pada masa Bani Umayyah. Mereka memperjuangkan kepentingan
kelompok tertentu dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kelompok tersebut
dan menutup kesempatan kelompok lain.
Pada masa pemerintahan Khulafaur arasyidin sangat serius dan peduli terhadap
tanggung jawab dan tugas mereka. Mereka sering keluar malam untuk melihat keadaan
masyarakat yang sebenarnya. Mereka menjalani hidup dan tugas-tugas sesuai dengan prinsip
ajaran Islam. Mereka tidak membangun gedung/istana megah. Tidak ada pengawalan khusus
bagi para khalifah. Sementara para penguasa Bani Umayyah hidup dalam kemewahan dan
dijaga ketat oleh pengawal, karena mereka khawatir keamanan diri mereka.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani
Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga
Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan
Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan
keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-
729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
1.        Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.        Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3.        Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.        Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.        Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.        Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.        Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.        Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.        Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10.    Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.    Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12.    Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13.    Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14.    Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)

5.      Prestasi Dinasti Bani Umayyah


a.       Perkembangan bangunan berupa fisik
1)      Kordova
Kota ini terletak di sebelah selatan lereng gunung Sierre de Cordova dan di tepi
sungai Guadalquivir. Sebelum Spanyol ditaklukkan oleh tentara Islam tahun 711 M, Kordova
adalah ibukota kerajaan Kristen Visigoth, sebelum dipindahkan ke Toledo. Penaklukan
Spanyol oleh pasukan Islam terjadi pada masa khalifah Al-Wahid banal-Malik, di bawah
pimpinan Tarikh bin Ziyad dan Musa bin Nusair. Di bawah pemerintahan kerajaan Visigoth,
Kordova yang sebelumnya makmur menjadi mundur. Kemakmurannya bangkit kembali di
masa kekuasaan Islam.
Pada tahun 756 M, kota ini menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan Bani Umayyah
di Spanyol, setelah Bani Umayyah di Damaskus jatuh ke tangan Bani Abbas tahun 750 M.
Penguasa Bani Umayyah pertama di Spanyol adalah Abd Al-Rahman Al-Dakili. Kekuasaan
Bani Umnayyah di Andalusia ini berlangsung dari tahun 756 M sampai 1031 M.
Pada zaman pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, Kordova menjadi pusat ilmu
pengetahuan. Di kota itu berdiri Universitas Kordova. Banyak ilmuan dari dunia Islam bagian
timur yang tertarik untuk mengajar di universitas ini. Di samping itu, di kota ini terdapat
sebuah perpustakaan besar yang mempunyai koleksi buku kira-kira 400.000 judul. Daftar
bagian dari buku-buku itu terkumpul dalam 44 jilid buku. Kemajuan ilmu pengetahuan disana
tidak terlepas dari dua orang khalifah pencinta ilmu, Abd Al-Rahman Al-Nashir dan anaknya
Al-Hakam. Yang disebut terakhir ini memerintahkan untuk mencari dan membeli buku-buku
ilmu pengetahuan, baik klasik maupun kontemporer. Bahkan, ia ikut langsung dalam
pengumpulan buku itu. Ia menulis surat kepada penulis-penulis terkenal untuk mendapatkan
karyanya dengan imbalan yang tinggi. Pada masanyalah tercapai apa yang dinamakan masa
keemasan ilmu pengetahuan dan sastra Spanyol Islam.
2)      Granada
Kota Granada terletak di tepi sungai Genil di kaki gunung Sierra Nevada, berdekatan
dengan pantai laut mediterania (Laut Tengah). Granada semula adalah tempat tinggal Liberia,
kemudian menjadi kota orang Romawi dan baru terkenal setelah ada di tangan orang Islam.
Kota ini berada di bawah kekuasaan Islam hampir bersamaan dengan kota-kota lain di
Spanyol yang ditaklukkan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Tarikh bin Ziyad
dan Musa bin Nushair tahun 711 M. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol,
kota ini disebut Andalusia Atas.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia, Granada mengalami
perkembangan pesat. Setelah Bani Umayyah mengalami kemunduran tahun 1031 M, dalam
jangka waktu 60 tahun, Granada diperintah oleh dinasti setempat, yaitu dinasti Zirids. Setelah
itu Granada jatuh kebawah pemerintahan Al-Murabithun, sebuah dinasti Barbar dari Afrika
Utara pada tahun 1090 M. Al-Murrabithun berkuasa disana sampai tahun 1149 M. Pada masa
pemerintahannya, banyak istana dibangun disana.

b.      Perkembangan Politik
1)      Kemajuan-kemajuan yang dicapai bidang politik
2)      Kemajuan-kemajuan yang dicapai di bidang ilmu pengetahuan
3)      Kemajuan Intelektual
4)       Kemajuan di bidang Filsafat
a)      Kemajuan dalam ilmu agama yang disebut Al-Ulum Islamiyah
- Ilmu qiraat
- Ilmu Tafsir
- Ilmu Hadits, dll
b)      Kemajuan dalam ilmu pengetahuan umum yang disebut Al-Ulumud Dakhliyah
- Ilmu Kimia
-Ilmu Kedokteran
-Ilmu Bumi (geografi)
-Ilmu Astonomi
c)      Bidang Seni
- Seni Sastra
- Seni Lukis
- Seni Ukir
- Seni Pahat, dll

6.      Keruntuhan Bani Umayah


a.       Faktor Internal
Beberapa alasan mendasar yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti
Umayah adalah karena kekuasaan wilayah yang sangat luas tidak dibarengi dengan
komunikasi yang baik, sehingga menyebabkan suatu kejadian yang mengancam keamanan
tidak segera diketahui oleh pusat.
Selanjutnya mengenai lemahnya para khalifah yang memimpin. Di antara empat belas
khalifah yang ada, hanya beberapa saja khalifah yang cakap, kuat, dan pandai dalam
mengendalikan stabilitas negara. Selain itu, di antara mereka pun hanya bisa mengurung diri
di istana dengan hidup bersama gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya.
Situasi semacam ini pun mengakibatkan munculnya konflik antar golongan, para wazir dan
panglima yang sudah berani korup dan mengendalikan negara.

b.      Faktor Eksternal
Intervensi luar yang berpotensi meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal
pada saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun
Syiah tak ada yang memusuhinya. Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut
mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap keamanan pemerintahannya. Semasa
pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas mampu
berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan Syiah yang
tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah Umar II wafat, barulah
gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti Umayah.
Gerakan yang dilancarkan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah semakin
kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamirkan berdirinya pemerintah Abbasyiah, namun
Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh,
pucuk gerakan diambil alih oleh seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah yang
berangkat bersama-sama dengan keluarganya menuju Kuffah. Abbasyiah berkewajiban untuk
menundukkan dua kekuasaan Bani Umayah yang besar, yang satu dipimpin oleh Marwan bin
Muhammad dan satu lagi oleh Yazid bin Umar bin Hubairah yang berpusat di Wasit.
Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah
tersebut dijatuhkan terlebih dahulu.
As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan untuk
menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin tentara
tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur dengan begitu
sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang sampai akhirnya pasukan Marwan pun kalah pada
pertempuran itu.
Setelah kekalahan itu, Marwan pun tak kuasa lagi menyusun kekuatan, sehingga
negeri Syam pun satu demi satu jatuh ke tangan Abbasyiah. Ketika Syam ditaklukkan,
Marwan melarikan diri ke Palestina dan berujung pada mautnya di daratan Mesir. Marwan
tewas dipenggal kepalanya oleh pasukan Abbasyiah lalu dibawanya ke hadapan Khalifah
Abu Abbas as-Saffah lantas bersujud.
Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah
pun tertuju kepada Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat itu Yazid
mengambil sikap damai setelah mendengar berita kematian Marwan. Di tengah pengambilan
sikap damai itu lantas Yazid ditawari jaminan keselamatan oleh Abu Ja’far al-Mansur yang
akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan disahkan oleh as-Saffah sebagai
jaminannya. Namun, ketika Yazid dan pengikut-pengikutnya telah meletakkan senjata, Abu
Muslim al-Khurasani menuliskan sesuatu kepada as-Saffah yang menyebabkan Khalifah Bani
Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.
B.     Daulah Abbasiyah
1.      Kelahiran Daulah Abbasiyah
Khalifah abbasiyah yang pertama adalah Abu Abbas, dialah yang diberi kepercayaan
kepada pamannya Abdullah dalam perang melawan Marwan II, khalifah terakhir Bani
Umayyah. Hingga akhir khalifah Abbas memberi kepercayaan kepada Salih Bin Ali untuk
membunuh Marwan, yang kemudian kepala Marwan dikirim ke khalifah Abbas.
As-Saffah kemudian dipindah ke Anbar, dia menggunakan sebagian besar dari masa
pemerintahannya untuk memerangi pemimpin-pemimpin arab yang membantu Umayyah. Dia
mengusir mereka kecuali Abdurrahman yang tidak berapa lama kemudian mendirikan dinasti
Umayyah di Spayol. Saffah juga memutuskan untuk menghabisi nyawa beberapa orang
pembantu bani Umayyah. Ia membunuh Abu Salama, dikenal sebagai menteri (Wadi’) dari
keluarga Nabi Muhammad, seperti halnya dia membunuh Abu Hubayra, salah satu dari
pemimpin bani Umayyah zaman Marwan II setelah memberi kebebasan kepadanya.
Kekhalifahan Saffah bertahan selama 4 tahun sembilan bulan. Dia wafat pada tahun
136 H di Anbar, satu kota yang telah dijadikan sebagai tmpat kedudukan pemerinyahannya.

2.      Sistem Kekhalifahan Abbasiyah


Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar
pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system
politik. Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap
bani Umayyah di dalam masalah sosial dan pilitik diskriminasi. Khalifah-khalifah Abbasiyah
yang memakai gelar “Imam” pemimpin masyarakat muslim untuk menekankan arti
keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam mengumumkan
lebih dari satu putra mahkota raja.
Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di Masa
pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibukota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat
perdagangan dan kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia
pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade dinasti
Abbasiyah mencapai masa kejayaan.

3.      Kejayaan Daulah Abbasiyah


a.       Gerakan penerjemahan
Meski kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak Daulah Umayyah, upaya untuk
menerjemahkan dan menskrinsip berbahasa asing terutama bahasa yunani dan Persia ke
dalam bahasa arab mengalami masa keemasan pada masa Daulah Abbasiyah. Para ilmuan
diutus ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah yunani dalam berbagai ilmu
terutama filasafat dan kedokteran. Sedangkan perburuan manuskrip di daerah timur
seperti Persia adalah terutama dalam bidang tata Negara dan sastra.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan daulah Abbasiyah adalah
Khalifah Al-Mansyur yang juga membangun Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan,
naskah yang diterjemahkan terutama dalambidang astrologi, kimia dan kedokteran.
Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam
masa keemasan, karya yang banyak diterjemahkan tentang ilmu-ilmu pramatis seperti
kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan namun, karya-karya
berupa puisi, drama, cerpen dan sejarah jarang diterjemakan karena bidang ini dianggap
kurang bermanfa’at dan dalam hal bahasa, arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah
sangat maju.
1)      Baitul hikmah
Baitul hikmah merupakan perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembagan
ilmu pengetahuan.
a)      Pada masa harun ar-rasyid
Institusi ini bernama Khizanahal-Hikmah (Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi
sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
b)      Pada masa al-ma’mun
Lembaga ini dikembangkan sejak tahun 815 M dan diubah namanya menjadi Bait al-
Hikmah, yang dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku
kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan dari Ethiopia dan India. Direktur
perpustakaannya seorang nasionalis Persia dan ahli pahlewi, Sahl Ibn Harun. Di bawah
kekuasaan Al-Ma’mun, lembaga ini sebagai perpustakaan juga sebagai pusat kegiatan study
dan riset astronomi dan matematika.
b.      Dalam bidang filasafat
Pada masa ini pemikiran filasafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti
logika, geometri, astronomi, dan musik yang dipergunakan untuk menjelaskan pemikiran
abstrak, garis dan gambar, gerak dan su ibn Ishaq al-Kinemasa abbasiyah seperti Ya’kub ibn
Ishaq al-Kinl-Farabi,Ibn Bajah, Ibnu Tufaildan Ibn Rushd menjelaskan pemikiran-
pemikirannya dengan menggunakan contoh, metamor, analogi, dan gambaranimajinatif.
c.       Dalam bidang hukum Islam
Karya pertama yang diketahui adalah Majmu’ al Fiqh karya Zaid bin Ali (w.122
H/740 M)yang berisi tentang fiqh Syi’ah Zaidiyah. Hakimagung yang pertama adalah Abu
Hanifah (w.150/767).meskidiangap sebagai pendiri madzhab hanafi,karya-karyanya sendiri
tidakada yang terselamatkan. Dua bukunya yang berjudul Fiqh alAkbar (terutama berisi
artikel tentang keyakinan) dan Wasiyah Abi Hanifah berisi pemikiran-pemikirannya
terselamatkankarena ditulis oleh para muridnya.
d.      Perkembangan Ekonomi
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah terdapat berbagai
macamindustri sepertikain linen di mesir, sutra darisyiria dan irak, kertas dari samarkand,
serta berbagai produk pertanian sepertigandum dari mesir dan kurma dari iraq. Hasil-hasil
industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyahdan
Negara lain.
Karena industralisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung
lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang
dari Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Perdagangan dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yang sangat penting. Secara
bersamaan dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa
puncak kejayaan sehingga hubungan erdagangan antara keduanya menambah semaraknya
kegiatan perdagangan dunia.
e.       Dalam bidang Peradaban
Masa Abbasiyah menjadi tonggak puncak peradaban Islam. Khalifah-khalifah Bani
Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dengan
mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya untuk
kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di dunai Islam. Para ulama’ muslim yang
ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan baik agama maupun non agama juga muncul pada
masa ini. Pesatnya perkembangan peradaban juga didukung oleh kemajua ekonomi imperium
yang menjadi penghubung dunua timur dan barat. Stabilitas politik yang relatif baik terutama
pada masa Abbasiyah awal ini juga menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam

4.      Runtuhnya Daulah Abbasiyah


Sebab-sebab keruntuhan daulah Abbasyiah
a.       Keruntuhan dari segi internal ( dari dalam )
1)      Mayoritas kholifah Abbasyiah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan
melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap negara.
2)      Luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Abbasyiah, sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukuan.
3)      Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki, mengakibatkan kelompok Arab dan Persia
menaruh kecemburuan atas posisi mereka.
4)      Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata ketergantungan khalifah kepada mereka sangat
tinggi.
5)      Permusuhan antar kelompok suku dan kelompok agama.
6)      Merajalelanya korupsi dikalangan pejabat kerajaan.

b.      Keruntuhan dari segi eksternal (dari luar )


1)      Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
2)      Penyerbuan Tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan yang
menghancurkan Baghdad. Jatuhnya Baghdad oleh Hukagu Khan menanandai berakhirnya
kerajaan Abbasyiah dan muncul: Kerajaan Syafawiah di Iran, Kerajaan Usmani di Turki, dan
Kerajaan Mughal di India.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Khilafah Bani Umayyah
Dengan latar belakang keluarga Umayah yang sangat lihai dalam urusan politik pada
masa jahiliyah, keberadaan Muawiyah sebagai khalifah pertama Dinasti Umayah di tengah-
tengah masyarakat muslim kala itu sangatlah banyak menuai berbagai kecaman dari berbagai
kalangan di bawahnya.
Beberapa golongan dengan terang-terangan menentang dan tidak mengakui
kedaulatan Bani Umayah ini sebagai kedaulatan yang Islami. Hal itu terbukti dengan kinerja
Muawiyah dalam membangun Dinastinya yang mendiskreditkan keberadaan Syiah (pengikut
Ali), dengan mengambil sebuah tindakan untuk membunuh mereka semua, sekalipun masih
dicurigai. Ditambah lagi dengan ulah khalifah penerusnya yang kebanyakan tak bermoral.
Terhitung hanyalah beberapa khalifah saja yang berkompeten dalam memangku
jabatan khalifah yang disematkan kepada mereka. Dengan kecakapan, kepandaian, dan
kepiawaian mereka dalam memimpin, mereka mampu menghadirkan berbagai kemajuan
dengan sebuah pencapaian gemilang yang sangat berarti bagi perkembangan Islam waktu itu.
Namun, sikap amoral yang ditunjukan oleh khalifah-khalifah yang tak bertanggung
jawab dalam mengemban amanat, membuat kedaulatan Bani Umayah berada pada ambang
kehancuran. Ketidak sigapan sistem keamanan menangkal intervensi luar, memudahkan
berbagai serangkaian usaha untuk melancarkan kudeta. Sampai akhirnya Dinasti Umayah pun
jatuh ditumpas Abbasyiah.

2.      Khalifah Bani Abbasiyah


Dinamakan khilafah bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya adalah
keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-
Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas.
Pada periode pertama pemerintahan bani Abbas mencapai masa keemasannya.Secara
politis, khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini
juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Namun setelah periode ini berakhir pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik meskipun filsafat dan ilmu ilmu pengetahuan terus berkembang.
Pada mulanya ibu kota negera adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun untuk lebih
memantapkan dan menjaga setabilitas Negara al-Mansyur memindahkan ibu kota Negara
keBagdad.
Dengan demikian pusat pemerintahan dinasti Abasiyah berada di tengah-tengah
bangsaPersia. Al-Mansyur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia
mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, dia
juga menbentuk protokol Negara, sekertaris, dan kepolisian Negara disamping membenahi
angkatan bersenjata. Jawatan pos yang sudah ada ditingkatkan peranannya dari
mengatar surat sampai menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga
administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar.
Puncak perkembangan dinasti Abbasiyah tidak seluruhnya berawal dari kreatifitas
penguasa Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian diantaranya sudah dimulai sejak awal
kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan misalnya di awal Islam, lembaga pendidikan
sudah mulai berkembang. Namun lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abas dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Rusyd. Al-Farabi menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan
interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang buku tentang
filsafat diantaranya adalah As-Syifa'.

B.     Saran
Dari penjelasan di atas kita sebagai umat Islam dapat mengambil pelajaran. Sebuah
sistem yang teratur akan menghasilkan pencapaian tujuan yang maksimal, seperti kisah
pendirian dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Mereka bisa mendirikan dinasti di dalam sebuah
negara yang dikuasai suatu dinasti yang menomorduakan mereka. Selain itu dari sejarah
kekuasaan dinasti Umayyah dan Abbasiyah ini kita juga bisa mengambil manfaat yang bisa
kita rasakan sampai saat ini, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan. Seharusnya kita yang
hidup pada zaman modern bisa meneruskan perjuangan para ilmuwan zaman daulah
Umayyah dan Abbasiyah dahulu.
Sebaliknya, kita juga dapat belajar dari kekurangan-kekurangan yang ada pada dinasti
besar ini agar tidak sampai terjadi pada diri kita dan anak cucu kita. Mereka telah dibutakan
oleh kekuasaan, sehingga mereka tega membantai hampir seluruh keluarga dinasti Umayyah
dan Abbasiyah yang notabene adalah sesama umat Islam. Selain itu kecerobohan yang terjadi
pada masa dinasti Umayyah terulang lagi pada masa dinasti Abbasiyah yang menyebabkan
runtuhnya kekuasaan dinasti Abbasiyah. Kebiasaan penguasa berfoya-foya menyebabkan
runtuhnya kekuasaan yang telah susah payah mereka dirikan.  

REFERENSI

Amrullah, Kusyana, Sejarah Kebudayaan Islam, tahun 1995. Diperoleh


dari :  http://www.emakalah.com/2013/01/makalah-sejarah-peradaban-islam_21.html
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, tahun 2008. Diperoleh
dari :  http://www.emakalah.com/2013/01/makalah-sejarah-peradaban-islam_21.html

Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam, tahun 1989. Diperoleh


dari:  http://tomat1610.blogspot.com/2013/04/contoh-makalah-ski.html

http://id.wikipedia.org

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2, tahun 1983. Diperoleh


dari:   http://tomat1610.blogspot.com/2013/04/contoh-makalah-ski.html

Tatang Ibrahim. Sejarah Kebudayaan Islam, tahun 2008. Diperoleh


dari :  http://www.emakalah.com/2013/01/makalah-sejarah-peradaban-islam_21.html

Anda mungkin juga menyukai