Anda di halaman 1dari 34

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA KHILAFAH BANI

UMAYYAH
(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam
Awal)

Dosen Pengampu: Ahmad Irfan Mufid, S.Ag. M.A.

Semester : 5 D

Disusun Oleh : Kelompok 1


Raihan Putra Kharisma (11200110000034)
Filza Farosatul Faradis (11200110000082)
Nabilah Dhiya Ulhaq (11200110000098)
Djunaidi Mubaroq (11200110000125)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022 M/1443 H

1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya penulis
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW. yang kita harapkan
syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT. atas limpahan nikmat iman dan sehat,
sehingga penulis mampu menyelesaikan pembuatan makalah ini. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Bapak Ahmad Irfan Mufid, S.Ag. M.A. selaku dosen mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam AwalPertengahan yang telah memberikan kepercayaan kepada kami dalam membuat
makalah dengan judul “Perkembangan Peradaban Islam Pada Masa Khilafah Bani Umayah”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk
perbaikan makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat dikembangkan dan bermanfaat bagi
pembaca. Terima kasih.

Jakarta, 26 September 2022

Pemakalah

2
DAFAR ISI
DAFTAR ISIi
BAB I PENDAHULUANii
1.1 Latar Belakang1
1.2 Rumusan Masalah2
1.3 Tujuan Makalah2
BAB II PEMBAHASAN5
2.1 Proses pembentukan khilafah Bani Umayah dari peristiwa Ammul Jamaah5
2.2 Pemerintahan Bani Umayyah 18
2.3 Kemajuan Peradaban dan Kebudayaan Islam Pada Masa Bani Umayah dan Faktor
Pendukungnya21
2.4 perluasan wilayah Islam dan pengaruhnya terhadap kemajuan Islam .................................. 23
2.4 perluasan Sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Daulah Bani Umayyah ..................... 23
BAB III PENUTUP26
3.1 Kesimpulan26
3.2 Saran26
DAFTAR PUSTAKA27

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang
berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih
menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses
musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang
berkembang sesudahnya. Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat
kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur
otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan
hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan
gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaurrasyiidin.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan proses pembentukan khilafah Bani Umayah dari peristiwa Ammul Jamaah
2. Menjelaskan sistem pemerintahan Bani Umayah
3. Menjelaskan kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa Bani Umayah dan
faktor pendukungnya.
4. Mengidentifikasi perluasan wilayah Islam dan pengaruhnya terhadap kemajuan Islam.
5. Mengidentifikasi sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Daulah Bani Umayah

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui proses pembentukan khilafah Bani Umayah dari peristiwa Ammul Jamaah
2. Mengetahui sistem pemerintahan Bani Umayah
3. Mengetahui kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa Bani Umayah dan
faktor pendukungnya
4. Mengetahui perluasan wilayah Islam dan pengaruhnya terhadap kemajuan Islam
5. Mengetahui sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Daulah Bani Umayah

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Terbentuknya Kekhalifahan Bani Umayyah
Di akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam mulai bergejolak dan muncul
menjadi tiga kekuatan politik yang dominan kala itu, yaitu Syiah, Muawiyah, dan Khawarij.
Keadaan ini tentunya tidak menguntungkan bagi Ali, akibatnya posisi Ali semakin lemah,
sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Dan pada tahun 40 H (660 M), Ali terbunuh karena
tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah oleh salah seorang anggota
Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup
berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi'ah).

Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal, kedudukannya sebagai khalifah dijabat oleh
anaknya, Hasan. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia (bai'at) adalah Qays bin
Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Pengangkatan
Hasan bin Ali di hadapan sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat
itu. tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengakuan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan
para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur
Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah
sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
Islam.
Namun Hasan bin Ali sosok yang jujur  dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak
ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal
ini dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at
terhadap Hasan Bin Ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan
– pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan
kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada
Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661.

Muawiyah masuk ke kota Kufah. Setelah masyarakat Kufah membaiatnya, dia berpidato
kepada mereka dengan pidato yang jelas dan indah bahasanya.1 Isi dari pidatonya yaitu:
1
Muhammad Ibnu Ahmad Kan’an, Daulah Bani Umayyah (Solo : Al-Qowam, 2015) hlm. 9.

5
“Wahai sekalian manusia, aku bukan yang terbaik dari kalian. Masih ada yang lebih
bailk dariku, Abdullah ibn Umar dan lainnya. Tetapi semoga aku bisa lebih berguna bagi
perluasan wilayah kekuasaan kalian dan lebih dapat mengalahkan musuh-musuh kalian.”2

Para mantan budak, baik yang ada di wilayah timur maupun barat, yang jauh maupun
dekat, mengikat perjanjian kuat kepadanya. Tahun itu kemudian disebut dengan nama Amul
Jama'ah (tahun persatuan), karena semua bersatu pada satu pemimpin saja sesudah terjadinya
perpecahan. 3
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak
Muawiyah. Untuk  itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi
pesan perdamaian.

Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirimkan sebuah surat dan kertas kosong
yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku
mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan
sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas
kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.” Itulah salah satu kehebatan
Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak.
Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin
sebelumnya. Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi
tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama,
Muawiyah ibn Abu Sufyan. Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi
Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah
setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat
Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah. Meskipun Muawiyah tidak
mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya
dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat
Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M).
Nama Dinasti Umayyah dinisbahkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Silsilah
2
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, (Jakarta: Zaman, 2014) hlm.
239-240
3
Muhammad Ibnu Ahmad Kan’an, Daulah Bani Umayyah (Solo : Al-Qowam, 2015) hlm. 9.

6
keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf nya. Jika keturunan Nabi dipanggil
dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), maka keturunan Umayyah disebut dengan keluarga
Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu, Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun atau
tokoh utama Dinasti Bani Umayyah.

Berikut ini daftar nama Raja pada masa Dinasti Umayyah:


1. Muawiyah bin Sofyan (661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (681-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (683-684 M)
4. Marwan bin Al-Hakam (684-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan(685-705M)
6. Al-walid bin Abdul Malik (705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (717-720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik (720-724 M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M)
11. Walid bin Yazid (743-744 M)
12. Yazid bin Walid (Yazid II) (744 M)
13. Ibrahim bin Malik (744 M)
14. Marwan bin Muhammad (745-750 M)4
Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah pertama dinasti Bani Umayah setelah Hasan
bin Ali bin Abu Thalib menyerahkan kekhalifahannya kepada Muawiyah. Sebelumnya,
Muawiyah menjabat sebagai gubernur syiria. Selama berkuasa di Syiria, Muawiyah
mengandalkan orang-orang Syiria dalam mempeluas batas wilayah Islam. Ia mampu membentuk
pasukan Syria menjadi satu kekuatan  militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi. ia
membangun sebuah Negara yang stabil dan terorganisir.

Demikianlah. Muawiyah menjalankan kekuasaannya hampir selama dua puluh tahun.


Ketika merasa ajalnya mendekat, Mu'awiyah menyiapkan pengalihan kekuasaan ke tangan anak
nya, Yazid. Ia mengumpulkan semua orang untuk membaiat Yazid. Mereka melakukan baiat.
4
Prof. Dr. Abu Su’ud, Sejarah Ajaran dan Perannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta. 2003),
Hal. 66-67

7
Sesaat sebelum meninggal, Mu'awiyah berpesan kepada Yazid untuk mewaspadai empat orang:
Husain ibn Ali, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Zubayr, dan Abdurrahman ibn Abu Bakr.5

Muawiyah wafat pada Rajab 60 H, saat mayoritas umat sudah membaiat Yazid sebagai
khalifah. Artinya, Yazid dibaiat ketika Mu'awiyah masih hidup. Inilah yang ditolak sejumlah
tokoh Madinah. Menurut mereka, baiat tak boleh dilakukan untuk dua orang berbeda dalam satu
waktu. Setelah Mu'awiyah wafat, pembaiatan Yazid diulangi lagi. Semua membaiat, kecuali
empat orang yang pernah dipesankan Mu'awiyah pada Yazid. Tapi, akhirnya, Abdullah ibn Umar
memberikan baiatnya dan menasihati orang-orang agar mendukung penuh kekhalifahan Yazid
sembari berkata, "Kalian mengatakan bahwa Yazid in Mu'awiyah bukanlah orang terbaik dari
umat Muhammad, bukan pula orang paling fakih dan paling mulia di antara mereka. Aku
memang setuju dengan itu semua. Tapi, demi Allah, persatuan umat Muhammad jauh lebih aku
sukai ke timbang perpecahannya."6

Lalu, saat pembaiatan Yazid, Abdullah ibn Umar berkata, "Jika ia baik maka kami rida,
tapi jika tidak maka kami akan bersabar." Baiat sudah diberikan Abdullah ibn Umar dan
Abdurrahman ibn Abi Bakr. Tinggal Husain ibn Ali dan Abdullah ibn Zubayr yang belum.

Apakah tindakan Mu'awiyah bisa dibenarkan ketika menentukan khalifah penggantinya


saat dirinya masih hidup dan memilih anaknya sendiri? Untuk menjawab pertanya an ini kami
mengemukakan beberapa pendapat sejumlah sejarawan:

Syekh Khudhari mengatakan, "Saat itu, cara tersebut sangat dibutuhkan demi kebaikan
umat muslim. Alasannya, orang orang yang ingin menduduki kursi khalifah sangat banyak dan
semuanya pantas mendudukinya. Wilayah kekuasaan Islam juga sangat luas sehingga membuat
komunikasi antarpenjuru sulit dilakukan, di samping tidak ada dewan pemilihan khalifah yang
disepakati. Jadi, perseteruan dan perdebatan mustahil dihindari. Superioritas Bani Abd Manaf
dibandingkan suku-suku Quraisy lain, juga pengakuan orang-orang terhadapnya, sementara
jumlah mereka hanya sedikit, membuat mereka saling bersaing memperebutkan kursi khalifah
dan menyulut pertikaian antar umat. Seandainya umat meridai satu keluarga tertentu, memilih
patuh kepadanya, dan mengakui hak kepemimpinannya, itu menjadi tindakan terbaik untuk

5
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, (Jakarta: Zaman, 2014) hlm.
246.
6
Ibid, 246-247

8
menyatukan kelompok tentu kelompok bertikai. Kelompok yang paling getol menentang
penunjukan Yazid sebagai khalifah oleh Mu'awiyah. Mereka menganggap bahwa hak khalifah
hanya dimiliki ke diwarisi keluarga Ali dan bersifat hierarki (Begitu pula Bani Abbas). Mereka
berkeyakinan bahwa hak khalifah hanya dimiliki keluarga mereka sendiri dan bukan keluarga
lain. Kesimpulannya, tindakan Mu'awiyah mengangkat putranya sendiri menjadi khalifah adalah
sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan di tengah situasi yang sedang melingkupi umat
Islam."7

Ibnu Khaldun mengatakan, "Mu'awiyah menahbiskan putra nya sendiri sebagai khalifah
karena ingin menjaga keutuhan dan persatuan umat. Itu pun dilakukan dengan persetujuan dewan
tinggi (ahl al-hill wa al-aqd) bentukannya di Bani Umayyah. Waktu itu, Bani Umayyah tidak
menyetujui nama lain selain Yazid. Selain itu, mereka kelompok Quraisy yang paling disegani.
Itulah yang mendorong Mu'awiyah meminggirkan nama lain, meskipun lebih tinggi
keutamaannya. Mu'awiyah lebih mendahulukan al-mafdhul (Yazid, putranya) ketimbang al-
fadhil (Abdullah ibn Umar dan selainnya). Mu'awiyah mengambil jalan ini untuk menjaga
keutuhan dan persatuan umat yang merupakan perkara terpenting di mata agama. Seandainya
bukan itu yang menjadi alasan Mu'awiyah, tentu keadilan dan shubbah-nya sudah cukup untuk
menjadi alasan yang meminggirkan alasan-alasan lain. Hadirnya sahabat sahabat terkemuka dan
diamnya mereka adalah bukti hilangnya kebimbangan dan kecurigaan."8 Dan pada akhirnya
sistem yang diterapkan Mu’awiyah mengakhiri bentuk demokrasi. Kekhalifahan
menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun), yang di peroleh tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata khalifah untuk
mengagungkan jabatannya. Dia menyebutkan “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa”
yang dipilih Allah.9 Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibu kota negara dipindahkan muawiyah
dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.

Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada
Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Mereka Mengangkat Husein
sebagai Khalifah. Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini
dimulai oleh Husein ibn Ali, Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah,

7
Ibid, 247.
8
Ibid, 248.
9
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada:2008) hal 42

9
memintanya untuk memaksa Husain ibn Ali dan Abdullah ibn Zubayr mengucapkan bai’at,
bagaimanapun caranya. Waktu itu penduduk Kufah mengirim surat kepada Husain, "Kami sudah
mempersiapkan diri kami sebagai pembela terdepanmu!" Husain mengutus sepupunya, Muslim
ibn 'Uqayl ke Kufah untuk mengecek kebenaran surat tersebut. Muslim ibn 'Uqayl tinggal di
Kufah selama beberapa saat, lalu mencoba menyeru orang-orang di sana untuk menyatakan
bai’at terhadap Husain. Ribuan orang seketika menerima seruannya dan berjanji melindungi
Husain. Akibat peristiwa ini, Gubernur Kufah Nu'man ibn Basyir dipecat dari jabatannya. Sehari
sebelum Nu'man ibn Basyir dipecat, Husain dan pasukannya bergerak menuju Kufah dari
Makkah. Sebenarnya banyak sahabat yang melarangnya pergi karena itu bisa memicu
perpecahan dan pertikaian. Namun, Husain bersikeras pergi. Dengan maksud memenuhi
undangan masyarakat Kufah yang meminta untuk memimpin mereka, Husain berhijrah dari
Mekah menuju Kufah. atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di daerah
ini tidak mrngakui Yazid. Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah
daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya
dipengal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.

 Peristiwa Karbala

Pada 10 Muharram 61 H (Hari Asyura), Husain dibunuh di Karbala oleh Ubaydillah ibn
Ziyad yang membawa pasukan Irak. Ya! Semua pasukan berasal dari penduduk Irak. Mereka
tidak memberi Husain kesempatan membela diri atau mengemukakan pendapatnya. Kepala
Husain dibawa ke hadapan Khalifah Yazid. Yazid pun menangisi kematian Husain dan
memuliakan sisa-sisa Ahlu Bait yang masih hidup. Yazid sebenar nya tidak ingin membunuh
Husain.10

Terkait peristiwa Karbala ini Syekh Hudhari berkomentar, "Bentuk memilukan itu
menjadi akhir tragedi yang dipicu ketidakpedulian dan ketidakcermatan membaca akibat-akibat
yang mungkin terjadi. Husain mengabaikan saran semua penasihatnya dan menganggap
penduduk Irak akan berlaku baik terhadapnya. Husain tertipu beberapa pucuk surat yang ditulis
pakar-pakar fitnah dan penyuka keburukan. Ia membawa dirinya dan keluarganya menuju satu
kaum yang belum bisa dipercaya. Lihatlah susunan pasukan yang memeranginya! Bukankah

Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, (Jakarta: Zaman, 2014) hlm.
10

249

10
semuanya berasal dari penduduk Irak yang lantang menyuarakan bahwa mereka pendukung
(Syiah) keluarga Ali ibn Abi Thalib. Kesimpulannya, keluarnya Husain adalah ke salahan fatal
yang menyebabkan umat terpecah belah, ber gejolak, dan terus bertikai hingga sekarang."

Syekh Hudhari melanjutkan, "Intinya, Husain menuntut sesuatu yang belum pantas ia
dapatkan dan ia pun belum punya kesiapan untuk merebutnya. Jadi, terdapat jarak sangat jauh
antara apa yang ia inginkan dan kemampuan meraihnya. Hanya Tuhan yang berhak menilai
tindakan mereka yang membunuh Husain. Sejarah telah mengambil satu pelajaran berharga dari
tragedi memilukan ini: orang yang menginginkan perkara agung hendaknya tidak berupaya
meraihnya jika tidak memiliki ke siapan dan kemampuan cukup. Ia hendaknya tidak mengangkat
senjata kecuali sudah memiliki kekuatan yang bisa menjamin keberhasilannya atau paling tidak
mendekati keberhasilan. Itu sebagaimana keharusan adanya sebab hakiki bagi kemashlahat an
umat, seperti jika terdapat kelaliman penguasa dan penin dasan terhadap umat. Tapi, Husain
keluar untuk memerangi Yazid pada saat Yazid sudah dibaiat orang-orang, selain bahwa Yazid
tidak terbukti berbuat zalim atau menindas umat."

Di antara sahabat yang menasihati Husain untuk tidak pergi ke Kufah adalah Abdullah
ibn Abbas "Penduduk Irak gemar mengingkari janji. Jangan sekali-kali memercayai mereka.
Tetaplah di negeri ini karena engkau pemimpin penduduk Hijaz. Jika penduduk Irak
menginginkanmu seperti yang mereka mau, tulislah surat kepada mereka untuk mengusir musuh-
musuh mereka terlebih dahulu, baru engkau pergi ke sana. Tapi, jika engkau bersikeras pergi,
pergilah ke negeri Yaman. Di sana terdapat kemananan dan pengikut. Itu negeri yang luas dan
ayahmu memiliki banyak pengikut di sana. Engkau pun akan jauh dari jangkauan musuh-
musuhmu. Tulislah surat kepada orang-orang di sana dan serukanlah ajakanmu. Dengan cara itu,
aku berharap engkau mendapatkan apa yang engkau ingin kan dalam keadaan selamat.

Abdullah ibn Muthi juga menasihati Husain, "Semoga Allah mengingatkanmu tentang
kehormatan Islam yang akan ter cemar, wahai cucu Rasulullah! Semoga Allah mengingatkanmu
tentang kehormatan Rasulullah! Semoga Allah mengingatkanmu tentang kehormatan bangsa
Arab! Demi Allah, seandainya engkau menuntut apa yang ada di genggaman Bani Umayyah,
mereka pasti membunuhmu! Dan, jika berhasil membunuhmu, mereka selamanya takkan pernah

11
takut kepada siapa pun! Demi Allah, kehormatan Islam akan tercemar. Jangan lakukan itu!
Jangan pergi ke Kufah."11

Namun, Husain tetap bersikeras pergi. Orang-orang masih menasihatinya, tapi ia tetap
memegang ijtihad dan pendapatnya sendiri. Belakangan terbukti bahwa ijtihadnya salah dan
ijtihad mereka benar.12

Ibnu Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah mengatakan, "Keluarnya Husain tidak membawa
kemashlahatan sedikit pun, baik bagi agama maupun dunia. Keluar dan terbunuhnya Husain
termasuk kerusakan yang takkan terjadi bila ia tetap tinggal di negerinya. Keinginannya meraih
kebaikan dan mencegah ke burukan tak terwujud sama sekali. Keputusannya untuk keluar dan
akhirnya terbunuh justru menambah keburukan dan per pecahan."

Syekh Muhibbuddib al-Khathib mengatakan, "Saya tidak tahu apa alasan rasional yang
mendasari tindakan membesar besarkan tragedi ini setelah Bani Umayyah dan kekuasaannya
runtuh? Tragedi ini, sepilu apa pun, bukanlah sesuatu yang pantas disebut jika disandingkan
dengan musibah kesyahidan khalifah Umar dan Utsman. Jika demikian, mengapa orang orang
tak mengadakan upacara peringatan untuk keduanya setiap tahun, sebagaimana yang mereka
adakan untuk kematian Husain pada Hari Asyura?"

Konflik antara Abdullah ibn Zubayr dan Bani Umayyah mulai memanas pada 63 H. Sesudah
mendengar berita kematian Husain, Ibnu Zubayr segera mengumumkan pelengseran Yazid dan
mengajak orang-orang untuk membaiat dirinya. Yazid mengirimkan pasukan untuk mengepung
kota Madinah. Penduduk Madinah bersikeras melawan. Perang yang dikenal dengan Harrah pun
terjadi dan menewaskan banyak tokoh Madinah. Peristiwa ini terjadi pada Zulhijjah 63 H.
Pasukan Yazid bergerak menuju Makkah dan mengepungnya, tempat Abdullah ibn Zubayr
bersembunyi. Namun, kematian Yazid membuat pasukan kembali pulang ke Syam. Yazid bin
Muawiah meninggal dunia pada bulan Rabiul Awal tahun 64 H. Saat itu dia berusia 39 tahun.
Dia dikebumikan di pemakaman Shaghir. Kekhalifahannya berlangsung selama 3 tahun 9 bulan.

2.2 Sistem Pemerintahan Bani Umayyah


Dinasti Umayah selalu terbagi menjadi dua: Dinasti Umayah yang didirikan di
Andalusia/Cordoba (Spanyol) dan didirikan oleh Mu'awiyah Ibn Abi Sufyan yang bermarkas di
11
Ibid, 251
12
Ibid, 251

12
Damaskus (Syria). Sebelumnya Muawiyah menjabat sebagai gubernur Syiria. Selama berkuasa
di Syiria, Muawiyah mengandalkan orang-orang Syiria dalam mempeluas batas wilayah Islam.
Ia mampu membentuk pasukan Syria menjadi satu kekuatan militer Islam yang terorganisir dan
berdisiplin tinggi. ia membangun sebuah Negara yang stabil dan terorganisir. Fase ini
berlangsung selama kurang lebih 1 abad (sekitar 90 tahun) dan merubah sistem pemerintahan
dari sistem khilafah menjadi sistem mamlakat (kerajaan atau monarki. 13 Dalam sejarah
peradaban Islam, Muawiyah muncul sebagai penguasa pertama yang mengubah sistem
pemerintahan dalam Islam, dari sistem pemerintahan yang demokrasi konsensus menjadi
monarki.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat Monarchi
heridities (kepemimpinan secara turun-temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin
Muawiyah. Pada 679 M, Mu‟awiyah menunjuk puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya.
Muawiyah bin Abu Sufyan menerapkan sistem monarki dipengaruhi oleh sistem monarki yang
ada di Persia dan Byzantium. Dalam perkembangan selanjutnya, setiap khalifah menobatkan
salah seorang anak atau kerabat sukunya yang dipandang sesuai untuk menjadi penerusnya.
Sistem yang diterapkan Mu’awiyah mengakhiri bentuk demokrasi. Kekhalifahan menjadi
Monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak.
Dinasti Umayyah memerintah selama kurang lebih 90 tahun, yaitu dari tahun 661 M / 14 H
s / d 750 M / 132 H, selama kurun waktu itu ada 14 khalifah yang pernah memerintah, yaitu :
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679 M)

Nama lengkapnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Syams bin
Abdul Manaf, biasa dipanggil Abu Abdurrahman. Ia masyhur dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Ia lahir di Mekkah tahun 20 sebelum hijrah. Ayahnya adalah Abu Sufyan, dan ibunya adalah
Hindun binti Utbah. Ia adalah sosok yang terkenal fasih, penyabar, berwibawa, cerdas, cerdik,
badannya tinggi besar, dan kulitnya putih. ia masuk Islam bersama ayah, ibu, dan saudaranya
Yazid pada saat pembukaan kota Makkah tahun 8 H. Ia pernah ikut perang Hunain dan ia adalah
seorang juru tulis Al-Qur’an. Karir politiknya diawali ketika Umar bin Khattab pernah
menugaskan sebagai gubernur Yordania dan pada masa Utsman bin Affan, dia ditugaskan
menjadi gubernur Syiria.
Muawiyah menjadi Khalifah pada tahun 41 H setelah Hasan bin Ali menyerahkan Khalifah
kepadanya. Muawiyah bin Abi Sufyan mendirikan dinasti Bani Umayyah dan sebagai Khalifah
pertama. Ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah
Usman dan Ali. Muawiyah bin Abu Sufyan berkuasa selama 20 tahun. Ia meninggal dunia dalam
usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier. Di tangannya, seni

13
Rachman, T. (2018). Bani Umayyah di Lihat dari Tiga Fase. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban
Islam)
13
berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya,
politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni
berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah. Kebijakan-kebijakannya :
a) Mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun
temurun), sistem pemerintahan ini diadopsi dari Persia dan Byzantium. Langkah awal yang
diambil dalam menggunakan sistem pemerintahan adalah mengangkat putranya Yazid
sebagai putra mahkota.
b) Memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
c) Menarik pasukan pengepungan Konstantinopel.
d) Membentuk Departemen Catatan (Diwanul Khatam).
e) Mendirikan jasa pos (Diwanul Barid)
Membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman pos.
f) Memisahkan urusan keuangan dari urusan pemerintahan dengan mengangkat pejabat
khusus yang diberi gelar sahibul kharaj.
g) Mendirikan Kantor Stempel (Pencetakan Mata Uang).

Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah
juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masapemerintahan Khulafaur
Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat,dimana setiap warga Negara
memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin
Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh
penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M).

2. Yazid bin Muawiyah (60-64 H / 680-683 M)


Nama lengkapnya adalah Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dilhirkan pada tanggal
23 Juli 645 M. Pada masa kekhalifahan ayahnya, beliau menjadi seorang pangglima yang cukup
penting. Yazid menjadi khalifah pada usia 34 tahun. Pengangkatnyan berdasarkan kebijakan
Khalifah Muawiyah menerapkan sistem Monarki. Ketika Yazid naik tahta, Penunjukan ini
dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan
konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Proses penaklukan militer muslim terhenti pada masa pemerintahan Yazid, akibat konflik
dan pemberontakan-pemberontakan intern melawan Yazid. Dia lebih memilih berdamai dengan
orang-orang Kristen Eropa dan bahkan mundur dari sebagian titik, yang ditaklukan pada masa
Muawiyah dengan anggaran dan biaya yang sangat banyak dan dengan mendapat suapan,
mereka menarik mundur pasukannya dari Siprus. Demikian juga, Yazid bin Junadah bin Abi
Umayyah diperintahkan supaya merusak benteng muslim di kepulauan Arwad dan kembali ke

14
Syam. Demikian juga, Yazid menarik pasukannya dari Rhodes. Meski demikian, dia mengirim
Malik bin Abdullah Khats'ami pada tahun 61, untuk memerangi orang-orang Romawi, yang
mana perang ini terkenal dengan perang Soraya. Yazid mengirim Salim bin Ziyad (gubernur
Khurasan) di timur dan di sebelah Kharazmi sampai di wilayah Samarkand. Dia telah
menaklukan Sughd dan Bukharadan berdamai dengan penduduk Kharazm, dengan 400 ribu
Dinar pada tahun 62 H. Saat di Sughd, Salim bin Ziyad juga mengirim pasukannya ke Khujand,
namun mereka kalah. Lantas, Salim pergi ke Marw dan berperang dengan penduduk Sughd,
sampai akhirnya mendapat berita Yazid telah mati. Uqbah bin Nafi' juga telah menaklukan Sous
di Afrika Utara.

3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H / 683-683 M)


Beliau adalah putera Yazid yang lemah dan sakit-sakitan, di samping itu dia adalah seorang
ahli Kimia pada masa pemerintahan Kakeknya Muawiyah bin Abu Sufyan. Muawiyah bin Yazid
menjadi khalifah atas wasiat ayahnya pada bulan Rabiul Awal tahun 64 Hijriah atau berkenaan
tahun 683 M. Muawiyah bin Yazid diangkat menjadi khalifah pada usia 23 th. Dia adalah
seorang pemuda yang shalih. Ketika dia diangkat menjadi Khalifah dia sedang menderita sakit.
Ia menjabat khalifah selama empat puluh hari. Disebutkan juga bahwa dia menjadi khalifah
kurang lebih selama 5 bulan, namun sakitnya semakin keras, akhirnya dia meninggal dunia. Dia
bahkan tidak pernah keluar pintu sejak dia diangkat menjadi Khalifah.
4. Marwan bin Hakam (64-65 H / 684-685 M)
Nama lengkapnya Marwan bin Hakam bin Abul Ash. Merupakan khalifah ke-empat. Ia
dibai’at menjadi khalifah di sebuah tempat bernama Jabiyah. Marwan menjadikan keluarga dan
kerabatnya sebagai landasan kekuatan di pemerintahan, seperti yang pernah dilakukan Khalifah
Utsman, dan bertentangan dengan gaya Muawiyah yang menjaga jarak dari kerabat-kerabatnya.
Ia memberikan posisi militer penting kepada putranya Muhammad dan Abdul Aziz, dan
memastikan putranya Abdul Malik sebagai khalifah selanjutnya. Walaupun awalnya dipenuhi
tantangan, trah "Marwani" (keturunan Marwan) menjadi wangsa penguasa Kekhalifahan
Umayyah dan menggantikan trah "Sufyani" (keturunan Abu Sufyan).
Menurut penilaian Bosworth, Marwan "jelas sekali adalah pemimpin militer dan negarawan
yang memiliki kecakapan dan ketegasan, dipenuhi dengan sifat ḥilm (kesabaran) dan dahiya
(kecerdikan), seperti tokoh-tokoh Umayyah terkemuka lainnya." Meski ia tidak memiliki basis
kekuatan di Syam sebelum menjadi khalifah dan wilayah tersebut cukup asing baginya, ia
berhasil mengambil kendali. Kukuhnya kekuasaan Umayyah di Syam menjadi landasan bagi
anaknya, Abdul Malik, yang kelak akan berhasil menyatukan kembali kekhalifahan di bawah
dinasti Umayyah. Kekhalifahan Umayyah akan berlanjut selama sekitar 65 tahun selanjutnya,
hingga digulingkan Dinasti Abbasiyah pada 750. Menurut sejarawan Wilferd Madelung, naiknya

15
Marwan ke posisi khalifah adalah sebuah "politik tingkat tinggi", puncak dari intrik-intrik yang
dimulai dari awal kariernya. Di antara siasat Marwan menurut Madelung adalah menempatkan
diri sebagai "yang pertama membalaskan darah (Utsman)" dengan membunuh Thalhah dalam
Pertempuran Jamal, serta upaya diam-diam melemahkan kekuasaan para khalifah Sufyani
walaupun secara terbuka mendukungnya.
Dalam sebagian riwayat Muslim, Marwan dikenal sebagai pribadi yang kasar kata-katanya
(fāḥisy) dan kurang memiliki adab. Luka-luka yang ia derita dalam pertempuran tampaknya
sangat berdampak terhadap kondisi fisiknya. Ia memiliki tubuh kurus dan tinggi sehingga
dijuluki khayṭ bāṭil (benang tipis). Riwayat-riwayat anti-Umayyah memberinya julukan ṭarid ibn
ṭarid ("sang terusir, putra dari sang terusir") karna ia diusir dari Madinah oleh Ibnu az-Zubair,
dan ayahnya al-Hakam juga konon pernah diusir Muhammad ke Thaif. Pihak anti-Umayyah juga
menjulukinya Abu-jababirah (Bapak para tiran) karena anak cucunya kelak berturut-turut
menguasai kekhalifahan.
Beberapa riwayat yang dikutip sejarawan Ahmad al-Baladzuri (meninggal 892) dan Ibnu
Asakir (meninggal 1176) menunjukkan kesalehan Marwan, misalnya riwayat dari Al-Madaini
yang menyebut bahwa Marwan adalah salah seorang yang terbaik dalam membaca Al-Qur'an,
dan pernyataan Marwan sendiri bahwa ia telah membaca Al-Qur'an selama 40 tahun sebelum
Pertempuran Marj Rahith. Karena Marwan diketahui menamai banyak anaknya dengan nama-
nama khas Islam (dan bukan nama tradisional Arab yang umum ketika itu), Fred Donner juga
berspekulasi bahwa agaknya Marwan "sangat religius" dan "sangat terkesan" dengan pesan Al-
Qur'an untuk memuliakan Allah dan para nabi, termasuk Muhammad. Namun, Donner
menyatakan bahwa cukup sulit untuk membuat "penilaian Marwan yang benar-benar sahih",
karena kurangnya bukti arkeologi ataupun tulisan langsung, dan banyaknya informasi yang
berasal dari sumber-sumber barat.
5. Abdul Malik Bin Marwan
Nama lengkapnya Abdul Malik bin Marwan bin Hakam bin Abul „Ash. Ia dilantik
sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Abdulmalik, sebelum menjadi
khalifah, adalah seorang ahli ibadah dan rajin beribadah. Dia juga seorang alim dan fukaha yang
luas ilmunya. Dia adalah orang yang berleher jenjang, wajahnya lembut, dan giginya diikat
dengan emas, kuat kemauannya, tidak pernah mewakilkan urusannya kepada orang lain. Abdul
Malik bin Marwan meninggal dunia pada bulan Syawal, tahun 86. Saat itu dia berusia 63 tahun.
Di bawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian.
Kebijakan- kebijakannya :
a) Menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam pemerintahan di seluruh wilayah
Umayyah. Arabisasinya termasuk Arabisasi kantor pajak dan kantor keuangan.
b) Mencetak mata uang secara teratur.

16
c) Penunjukan gubernur dari kalangan Bani Umayyah, yaitu teman, kerabat dan keturunan.
Gubernur tidak diberi kekuasaan mutlak.
d) Untuk memperlancar pemerintahannya ia mendirikan kantor pos dan membuka jalan untuk
kelancaran pengiriman surat.
e) Membangun beberapa gedung, masjid dan saluran air.14

6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H / 705-715 M)

Berikutnya yang menjalankan kendali kekhalifahan sepeninggal Abdulmalik bin Marwan


adalah putranya, Walid. Dialah yang ditunjuk oleh ayahnya sebagai putra mahkota. Dia dibaiat
sebagai khalifah pada hari kematian ayahnya. Saat itu dia tidak masuk ke dalam rumah sampai
dia naik mimbar terlebih dahulu, lalu berpidato, "Segala puji milik Allah, sesungguhnya kita
adalah milik Allah dan sesungguhnya kita pasti kembali kepada-Nya. Allah adalah Yang kita
mintai pertolongan atas musibah yang menimpa kita berupa kedudukan Amirul Mukminin, dan
segala puji milik Allah atas apa yang Dia anugerahkan sebagai nikmat bagi kita berupa
kekhalifahan." Bangkitlah kalian dan berbaiatlah!"

Masa pemerintahan Walid bin Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan
ketertiban. Al-Hafizh Ibnu Asakir berkata:

"Walid di kalangan penduduk Syam dikenal sebagai khalifah mereka yang paling utama. Dialah
yang membangun masjid di Damaskus, membuat banyak menara, memberi santunan kepada
rakyat, memberi tunjangan kepada para penderita penyakit lepra seraya berkata kepada mereka.
"Kalian jangan meminta-minta kepada orang lain. Walid juga memberikan seorang pelayan bagi
setiap penderita cacat, dan memberikan seorang penuntun bagi setiap orang yang buta." Dia
berbuat baik kepada para penghapal dan pengajar Al Qur'an, serta membayar lunas hutang
mereka. Walid juga membangun masjid Jami' Umawi, serta merobohkan gereja Merriyohana lalu
menambahkannya sebagai bagian dari masjid Jami. Tindakan ini dilakukan pada bulan
Dzulqa'dah tahun 86 H. Walid meninggal dunia dan pembangunan masjid Jami' itu belum selesai
sempurna. Akhirnya pembangunannya dilanjutkan dan diselesaikan secara sempurna oleh
Sulaiman, saudaranya. Jumlah harta yang dia infakkan untuk pembangunan masjid Jami' Umawi
adalah 400 peti uang, yang setiap peti berisi 18.000 dinar. Di dalam masjid tersebut terdapat
seutas rantai emas untuk lampu gantung. Rantai emas itu masih bertahan sampai pada masa

14
Ibid

17
pemerintahan Umar bin Abdulaziz. Umar mengambilnya dan menempatkannya di Baitulmal,
sebagai gantinya dipasanglah rantai besi.

Walid membangun kubah batu (qubbatush shakhra) di Baitulmaqdis. Dia juga


membangun Masjid Nabawi, dan memperluasnya sehingga memasukkan kamar Nabi ke
dalamnya. Dia juga mempunyai banyak peninggalan yang indah dan banyak. Pada masa
kekhalifahannya banyak dibebaskan negeri yang luas, misalnya Sindi, India, Andalusia serta
negeri-negeri lainnya yang termasyhur. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa
besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua
Eropa pada tahun 711 M. Perluasan ke arah Barat dipimpin oleh Thariq bin Ziyad.dan berhasil
menaklukan Andalusia.

Walid bin Abdulmalik meninggal dunia pada tanggal 15 Jumadal Akhir, tahun 96 H,
dalam usia empat puluh enam tahun. Dikatakan juga bahwa umurnya adalah 48 tahun. Sebagian
ahli tarikh menyatakan bahwa usianya adalah 50 tahun. Dia meninggalkan 14 orang anak.
Jasadnya dipikul di atas tengkuk orang-orang, lalu dikuburkan di pemakaman Bab Shaghir. Yang
mengurusi penguburannya adalah Umar bin Abdulaziz. Masa kekhalifahan Walid berlangsung
selama sembilan tahun 8 bulan, tetapi ada yang menyatakan bahwa masa pemerintahannya
adalah 10 tahun.

7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H / 715-717 M)

Nama lengkapnya Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan bin Hakam bin Ash,
panggilanya Abu Ayub. Lahir di Madinah pada tahun 54 H. Ia merupakan saudara dari Walid bin
Abdul Malik, khalifah sebelumnya. Dia diangkat sebagai Khalifah pada tahun 96 H pada usia 42
tahun. Sulaiman dibaiat sebagai khalifah pada hari kematian saudaranya, Walid. Sulaiman saat
itu berada di Ramlah (Ramallah). Tatkala jabatan khalifah itu datang menghampiri dirinya, dia
bertekad untuk menegakkan kebenaran dengannya, kemudian dia segera berangkat menuju
Damaskus. Dia menyempurnakan pembangunan dan pemakmuran masjid jami' Umawi,
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Dia mempersiapkan saudaranya, Maslamah bin
Abdulmalik, pada tahun 97 H, untuk berperang melawan Romawi, hingga dia Maslamah sampai
ke Konstantinopel, lalu dia tinggal di kota itu.
Sulaiman adalah orang yang fasih bahasanya, indah gaya bahasanya, serta ahli sastra,
sangat mengutamakan keadilan, menyukai perang, pandai dalam ilmu bahasa Arab, kembali
kepada din dan kebaikan, mengikuti Al Qur'an dan menampakkan syiar-syiar Islam, menjaga diri
dari penumpahan darah. Dia adalah orang yang rakus dalam makan dan pernikahan. Ibnu
Khalkan bertutur dalam biografi Sulaiman, "Sesungguhnya dia memakan makanan dalam sehari
seberat sekitar seratus pon Syam."

18
Oleh karena itulah Muhammad bin Sirin berkata, "Sulaiman telah membuka masa
kekhalifahannya dengan kebaikan dan menutupnya juga dengan kebaikan, dan mengakhiri
kekhalifahannya dengan menunjuk Umar bin Abdulaziz sebagai penggantinya.
Ibnu Khalkan berujar, "Dia sakit panas demam, dan meninggal dunia pada malam harinya
itu." Dikatakan juga bahwa dia meninggal dunia karena penyakit yang menyerang lambung
(dzatul janbi). Dia meninggal pada bulan Shafar, yakni pada tanggal sepuluh, tahun 98 H.
Disebutkan pula pada tahun 99 H. Di padang rumput Dabiq (maraj Dabiq) yang termasuk bagian
negeri Qinnasrin, dalam usia tiga puluh sembilan tahun. Dituturkan juga bahwa usianya adalah
45 tahun. Masa kekhalifahannya berlangsung selama 2 tahun dan 8 bulan, semoga Allah
menyayanginya.

8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H / 717-720 M)


Nama lengkapnya adalah Umar bin Abdul Aziz Bin Marwan Bin Hakam Bin Al-Ash. Ia
terkenal adil dan sederhana. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan dunia yang
selalu ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah. Ketakwaan dan kesalehannya patut menjadi
teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720
M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Dair Sam’an
Khalifah Umar bin Abdul Aziz selama kepemimpinannya meraih masa kejayaan dalam
mensejahterakan masyarakat saat itu. Keinginan untuk mewujudkan negara adil dan makmur
diraih oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan beberapa strategi kebijakan baru, termasuk
melarang pejabat negara dan pejabat untuk memanfaatkan masyarakat. Selain itu, Khalifah Umar
bin Abdul Aziz pernah menghabiskan seluruh kekayaan Baitul Maal di Irak untuk membayar
ganti rugi kepada orang-orang yang dirugikan oleh penguasa sebelumnya. Bahkan ketika dia
diangkat menjadi khalifah, dia mengumpulkan orang-orangnya dan mengumumkan serta
menyerahkan semua harta kekayaan dirinya dan keluarganya kepada Baitul Maal.15
Umar Bin Abdul Azis adalah salah satu khalifah dinasti Umayyah yang menegakkan
aturan Kharj sebagai sumber pendapatan negara, hasil pungutan kharj dipungut dalam satu
pengelolaan baitul maal. Administrasi perpajakan dihidupkan kembali seperti pada masa Umar
bin Khattab. Salah satu kebijakan Umar adalah Umar melarang seorang muslim memiliki tanah
di luar negeri, terutama tanah yang telah dirusak oleh pemiliknya, karena mereka (militer) telah
menerima gaji dari baitul maal. Sebagai gantinya, pemilik tanah diwajibkan membayar kharj
kepada pemerintah.16
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H / 720-724 M)

15
Annisa dan Ghozali. (2019). Konsep Welfare State pada Kebijakan Umar Bin Abdul Aziziz
sebagai Khalifah Bani Umayyah. Laa Maisyir. 6(2), 282-296
16
Khoeroni, F. (2015). Kharj: Kajian Historis Pada Masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz.
19
Ia merupakan Khalifah kesembilan Daulah Umayyah pada usia 36 tahun. Khalifah yang
sering dipanggil dengan sebutan Abu Khalid ini lahir pada 71 H. Ia menjabat khalifah atas wasiat
saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik. Ia dilantik pada bulan Rajab 101 H.
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)
Nama lengkapnya Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan bin Hakam bin Abul „ash. Ia
menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan
ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi
tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani
Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius.
Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah
dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbas.
11. Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H / 743-744 M)
Pada masa pemerintahnya, Dinasti Umayyah mengalami kemunduran. Dia adalah khalifah
bani Umayah yang paling sempurna kemampuan sastranya, kefasihan tutur katanya, dan
kecerdasannya, orang yang paling paham ilmu Nahwu, bahasa, dan hadits di antara mereka.
Namun ia memiliki prilaku buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri
benci padanya. Dan ia mati terbunuh. Kebijakannya ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi
pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai
keluargauntuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan
menyediakan perawat untuk masing-masing orang. Dia menjadi orang yang dermawan dan
utama. Walaupun demikian, tiada seorang pun diantara bani Umayah yang lebih kecanduan
minuman keras dan mendengar nyanyian daripada dia, tiada pula yang lebih tidak tahu malu,
lebih hebat dalam melanggar larangan Allah, serta lebih meremehkan urusan umat daripada
Walid bin Yazid.
Tatkala penduduk Damaskus mencabut ketaatan mereka kepada Walid dan
melengserkannya dari kedudukan sebagai khalifah, mereka membaiat Saudara sepupunya yakni
Yazid bin Walid bin Abdul Malik. Pada waktu itu Walid sedang berada di Basrah. Para pengikut
Yazid mengepungnya. Pengikut Walid ingin berperang, tetapi Yazid melarangnya. Mereka pun
membubarkan diri dari sekelilingnya. Kemudian mereka masuk menyerbunya di istananya.
Walid berkata, "Hari ini seperti hari Utsman." Dikatakan kepadanya, "Tidak sama", lalu
kepalanya dipenggal dan diarak berkeliling kota Damaskus. Selanjutnya kepala itu dipancangkan
di atas istananya, lalu dipindahkan untuk ditancapkan di atas dinding benteng yang tertinggi di
Damaskus.

20
Ketika Walid terbunuh, negara gempar. Musuh bani Umayah menyerang dan
mengalahkan mereka. Tiada lagi pemimpin yang berdiri memimpin mereka sesudah Walid.
Walid terbunuh pada bulan Jumadal Ula tahun 126 H. Kekhalifahannya berlangsung dalam kurun
waktu satu tahun. Dikatakan juga bahwa masa kekhalifahannya adalah satu tahun lebih dua
bulan.

12. Yazid bin Walid bin Abdul Malik (126-127 / 744 M)


Yazid adalah Yazid bin Walid bin Abdulmalik. Dia dibaiat pada hari dilengserkannya
saudara sepupunya, Walid bin Yazid. Dia (Yazid bin Walid) adalah khalifah pertama yang
mempunyai ibu seorang budak. Bani Umayah menjaga rahasia ini rapat-rapat, untuk
mengagungkan kekhalifahan mereka. Yazid mengukuhkan dirinya sebagai khalifah ketika
berbagai urusan datang menghimpit dirinya. Dia sangat kuat dalam beribadah, membaca Al
Qur'an, dan mempraktikkan akhlak Umar bin Abdul Aziz. Dia adalah orang yang berkualitas
yang baik dan bersifat wara. Namun Yazid ini dijuluki dengan An-Naqish (si kurang). Dia
dijuluki dengan julukan tersebut karena pemerintahannya tidak mendapat dukungan dari rakyat
tindakannya seperti mengurangi pemberian dana untuk rakyat, dan menjadikan jumlah
pemberian itu sebagaimana dahulu pada zaman Hisyam. Dituturkan pula bahwa dia dijuluki
dengan An-Naqish karena adanya kekurangan pada jari jemari kedua kakinya. Orang pertama
yang menamainya dengan julukan itu adalah Marwan bin Muhammad. Ia meninggal dunia pada
tanggal 18 Jumadal Akhir126 H, di usia 40 tahun.
13. Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik (127 H / 744 M)
Dia diangkat menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat di dalam lingkungan keluarga
Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena penunjukan putra mahkota oleh saudaranya, Yazid bin
Walid. Akan tetapi, kepemimpinan belum stabil dan kukuh menjadi miliknya, karena sejumlah
orang mengangkatnya sebagai khalifah, sedang sebagian yang lainnya mengangkatnya sebagai
imam, sedang sebagian yang lainnya lagi tidak mengangkatnya baik sebagai khalifah maupun
sebagai imam. Urusan kepemimpinan ini terus menerus dalam keadaan tidak stabil baginya.
Maka keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia
menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Ia dengan
suka rela mengundurkan dirinya dari jabatan Khalifah dan mengangkat baiat terhadap Marwan
ibn Muhammad. Dia memerintah selama 2 bulan 10 hari dan wafat pada tahun 132 H.
Tatkala Marwan bin Muhammad Al-Himar mendengar kabar pembaiatan Ibrahim, sedang
saat itu dia menjadi gubernur Azerbaijan dan wilayah sekitarnya, serta berkedudukan sebagai
panglima yang banyak melakukan penaklukan wilayah, dia segera melakukan perjalanan dan
menyeru rakyat untuk membaiat dirinya. Dia datang ke Syam. Ibrahim mempersiapkan dua
orang saudaranya yakni Bisyr dan Masrur untuk menghadapi Marwan Al-Himar, lantas mereka

21
pun bertemu dan berperang, Marwan berhasil mengalahkan mereka. Dia segera bergerak cepat
hingga sampai di padang rumput. Sulaiman bin Hisyam bin Abdulmalik menghadangnya untuk
berduel, tetapi Sulaiman kalah. Khalifah Ibrahim bin Walid juga berperang tanding dengannya.
Dia mempersiapkan sepasukan tentara di belakang kota Damaskus. Akan tetapi tentaranya ini
mengkhianati dia dan memperdayainya, sesudah Ibrahim mendermakan perbendaharaan uang
kepada mereka. Ibrahim menyembunyikan tindakan mereka. Akhirnya rakyat membaiat Marwan,
dan mengukuhkan urusan kepemimpinan kepadanya. Ibrahim menampakkan diri dan masuk ke
istananya lalu dia mengundurkan diri dari kekhalifahan dan menyerahkannya kepada Marwan.
Ibrahim kemudian juga membaiat Marwan Al-Himar, sesudah Marwan memberinya jaminan
keamanan.

14. Marwan bin Muhammad (127-133 H / 744-750 M)


Nama lengkap Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam. Beliau seorang ahli
negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia
tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah dengan pendukung yang kuat. Pada masa
pemerintahannya muncullah Abu Muslim Al-Khurasani, sang penyeru bani Abbasiah. Pada
masanya, muncul pula As-Saffah di Kufah, yang kemudian juga dibaiat sebagai khalifah. Paman
As-Saffah, Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Abbas mempersiapkan diri untuk berperang
melawan Marwan bin Muhammad. Kedua pasukan akhirnya bertemu di Zab "Zabul Maushul",
dan mereka terlibat dalam sebuah pertempuran yang dahsyat dan hebat. Marwan mengalami
kekalahan. Banyak anggota pasukannya mati terbunuh, sedang yang tenggelam tak terhitung
jumlahnya.
Abdullah mengejar Marwan sampai tiba di dekat Sungai Yordan. Dia bertemu dengan
sejumlah orang dari kalangan bani Umayah, yang jumlahnya 80 sekian orang. Abdullah
membunuh mereka sampai habis total. Selanjutnya Abdullah memerintahkan tentaranya untuk
menyeret jasad orang-orang yang sudah mati maupun yang sedang sekarat tersebut. Lantas
mereka pun diseret dan dihamparkan sebuah tikar hamparan di atas jasad mereka, lalu Abdullah
dan pengikutnya duduk di atasnya. Abdullah minta disiapkan makanan, lalu dia dan tentaranya
makan di atas hamparan jasad manusia itu, sedang mereka masih mendengar suara rintihan
sebagian dari mereka di bawah hamparan. Abdullah berkata, "Ini seperti hari Husain, dan tidak
sama."
Selanjutnya As-Saffah mempersiapkan pamannya, Shalih bin Ali, untuk melintasi jalan
Samawah. Kemudian dia bertemu dengan saudaranya, yakni Abdullah yang sudah berada di
Damaskus. Abdullah menaklukkan Damaskus dengan paksa, dan menghalalkan kota itu untuk
pembunuhan dan penghancuran selama tiga hari. Abdullah meruntuhkan dinding bentengnya

22
satu batu demi satu batu. Marwan melarikan diri ke Mesir, lalu Shalih mengejarnya. Marwan
akhirnya terbunuh di Abu Shir, yakni sebuah kota di Sha'id. Marwan sebenarnya sudah bertekad
untuk masuk ke negeri Habsyi tetapi musuhnya berhasil menyerangnya pada waktu malam.
Marwan berkata pada saat-saat terakhirnya menjelang terbunuh, "Negara kita telah musnah."
Dia adalah seorang pahlawan yang kuat, pemberani, dan berwibawa. Dia memiliki
kewibawaan diri, berkulit putih, berperawakan sedang, bermata biru, gemuk, lebat jenggotnya.
Dia adalah orang yang teguh dalam berpendapat dan terlatih. Dengan kematiannya terkoyak
robeklah dinasti bani Umayah.
Terbunuhnya Marwan Al-Ja'di terjadi pada 132 H. Pada waktu itu Marwan berumur 56
tahun. Masa kekhalifahannya berjalan selama 5 tahun. Ada juga ahli tarikh yang mengatakan
bahwa masa ke-khalifahannya adalah 5 tahun, 2 bulan, 10 hari. Dia adalah khalifah terakhir bani
Umayah. Khalifah bani Umayah berjumlah 14 orang, yang pertama adalah Muawiah bin Abu
Sufyan bin Shakhr bin Harb bin Umayah bin Abdusyams bin Abdumanaf, sedangkan yang
terakhir adalah Marwan Al-Ja'di yang sering dipanggil dengan Marwan Al-Himar.
Dengan meninggalnya Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam musnahlah sudah
dinasti bani Umayah. Lalu munculah dinasti bani Abbasiah.
2.3 Kemajuan Peradaban dan Kebudayaan Islam Pada Masa Bani Umayah dan Faktor
Pendukungnya

- Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah

Kejayaan Islam di abad pertengahan merupakan pencapaian yang luar biasa yang mungkin
tidak akan bisa terulang kembali. Kejayaan Islam yang sangat pesat ini terjadi antara kurun
waktu abad ketiga sampai dengan abad kelima Hijriah, yaitu pada masa pemerintahan daulah
Abbasiyah. Dalm kurun waktu tersebut telah banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual dan
cendekiawan muslim yang berkompeten dalam berbagai bidang keilmuan, baik itu kelimuan
Islam maupun ilmu-ilmu umum. Olah karena itu, di periode ini disebut juga dengan periode
kabangkitan pemikiran,budaya, ilmu pengetahuan, dan peradaban.

Masa kejayaan Islam terjadi pada sekitar tahun 650-1250. Periode ini disebut periode
klasik. Pada kurun waktu itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Ummayah atau sering
disebut daulah Ummayah. Pada masa bani Ummayah, perkembangan Islam ditandai dengan
meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan berdirinya bangunan-bangunan sebagai pusat dakwah
Islam. Kemajuan Islam pada masa ini meliputi bidang politik, keagamaan, ekonomi, ilmu
bangunan (arsitektur), sosial, dan bidang militer. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa
kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:

1. Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan
menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
2. Menertibkan angkatan bersenjata.

23
3. Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia
yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659
M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
4. Jabatan khusus bagi seorang Hakim (Qodli) menjadi profesi sendiri.

Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi


pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705-
719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.

 Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat
 dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
 Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
 Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
 Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan
sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab
(Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan Alsunnah).
 Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab
yang sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis ataupun secara kronologis
tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih,
Ilmu Kalam dan Sirah/Tarikh.17

- Kondisi Sosial Politik Bani Umayyah

Berbeda dengan masa Khulafa ar Rasyidin yang suksesi kepemimpinanya banyak


menggunakan musyawarah, pada masa kekuasaan atau kepemimpinan Bani Umayyah kekuasaan
didapat atau diperoleh dengan jalan perang. Hal ini terbukti ketika Muawiyah bin Abu Sufyan
yang berperang dengan Ali yang salah satu alasanya adalah untuk memperoleh kekuasaan
(Seperti yang diuraikan sebelumnya). Ini menunjukkan bahwa telah terjadinya perubahan sistem
politik Islam. Yang mana pada masa Khulafa arRasyidin kekuasaan diperoleh dengan jalan
musyawarah, akan tetapi pada saat Muawiyyah berkuasa, kekuasaan yang ia peroleh bukan
melalui musyawarah melainkan dengan mengangkat pedang atau peperangan. Pada awal
kekuasaan Bani ini, penguasa pertama yaitu Muawiyah telah banyak melakukan gagasan politik
yang bersifat melakukan perombakan dalam pemerintahan, yang diaantaranya adalah ia pertama
kali pasukan bertombak pengawal raja, penjaga istana. Di samping itu ia juga membuat tempat
sholat khusus bagi sultan di masjid, ia juga mengenakan pakaian dari sutra, yang mana pada
masa Rasulullah pakaian tersebut dilarang bagi kaum laki-laki.

a. Mengubah Sistem Politik dari Republik Menjadi Monarki

17
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 89-98.

24
Pada masa Umayyah ini suksesi pemerintahan berbeda dengan masa sebelumnya, yang
mana pada masa ini suksesi kepemimpinan turun-temurun telah diberlakukan, yakni ketika
Muawiyyah mengangkat puteranya (Yazid) menjadi putra mahkota yang akan menggantikanya
kelak. Bahkan Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya agar tunduk setia pada puteranya
tersebut. Sikap Muawiyyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria selama ia menjadi
gubernur di sana. Dia memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan
Kekaisaran Bizantium.

b. Pemindahan ibukota dari Kufah ke Damaskus

Pada awal pemerintahan Muawiyyah, ia memindahkan ibukota yang semula di Kufah ke


Damaskus. Hal ini merupakan salah satu pemikiran politik yang Muawiyyah lakukan, karena
sebelum ia naik menjadi khalifah ia menjabat sebagai Gubernur di Damaskus. Sehingga di
Damaskus inilah kekuatan atau pendukungnya yang paling banyak. Selain itu Kufah merupakan
Ibukota pada masa Ali, dan mayoritas masyarakatnya adalah pendukung Ali yang menjadi
musuh dari Muawiyyah sendiri. Karena ingin Menghindari pemberontaknan dari pendukung Ali
maka Muawiyyah memindahkan ibu kota ke Damaskus.

c. Membentuk diwan al-khatim dan al-barid

Pada masa Muawiyah banyak melakukan perubahan-perubahan administrasi pemerintahan,


agar menjadi suatu susunan teratur yang menghubungkan berbagai negara. Ide atau gagasan
Muawiyah dalam menjalankan pemerintahanya agar tetap stabil dan lancar maka salah satu
kebijakanya adalah dengan membentuk diwan al-khatim dan diwan al-barid. Diwandiwan itu
kemudian berkembang maju pada masa Abd al-Malik. Kebijakan tersebut tidak hanya karena
keinginan semata dari khalifah, akan tetapi ada peristiwa yang melatar belakangi, sehingga ia
membuat kebijakan tersebut. Salah satu hal yang melatar belakangi adalah pada masa
sebelumnya pernah terjadi pemalsuan surat pemerintah, sehingga untuk mencegah peristiwa itu
terulang lagi maka dibuatlah diwan tersebut.

d. Pengangkatan Hakim atau Qadhi

Sebuah jabatan administratif yang diperkenalkan pada masa Umayyah, pada mulanya Qadhi
adalah wakil atau sekretaris gubernur provinsi, anggota administrasi yang ditugaskan mengawasi
kebijakan pemerintah dan menyelesaikan sengketa. Kemudian dalam perkembangannya dibuat
suatu lembaga kehakiman yang berdiri sendiri, bahwa seorang Hakim bertanggungjawab bagi
pelaksanaan Hukum Islam (Syari'at).

e. Mengadopsi sistem pemerintahan Bizantium dan Sasani

Pada masa Dinasti Umayyah, Imperium Bizantium dan Sasani menjadi contoh struktur
pemerintahan, diantaranya perangkat administrasi yang termasuk di dalamnya administrasi
pendapatan negara dan juga dokumen-dokumen administrasi berasal dari Bizantium. Mata uang

25
juga meniru dari Bizantium. Dalam segi arsitektur, para Khalifah Bani Umayyah membangun
masjid dengan mendatangkan bahan bangunan, ahli bangunan dan seniman Yunani. Sementara
di dalam istana para Khalifah Bani Umayyah menghiasi istana mereka dengan dekorasi Sasani.
Dalam bidang organisasi militer, tentara Bani Umayyah umumnya mengikuti struktur organisasi
tentara Bizantium, baik militer darat maupun angkatan laut.

f. Struktur Sosial Pada Masa Bani Umayyah

Masyarakat pada masa Umayyah menjunjung tinggi Islam tapi didasarkan atas penguasa
aristrokrat Arab yang membentuk kasta sosial. Muslim Arab menikmati keistimewaan dalam
bidang perpajakan. Mereka dibebaskan dari pajak-pajak, sebaliknya pajak-pajak itu dibebankan
kepada muslim non-Arab dan non-Muslim. Sistem ini menimbulkan keresahan dan
ketidakpuasan di kalangan muslim non-Arab, sehingga menimbulkan gerakan untuk
menumbangkang kekuasaan Umayyah.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menentukan suatu kebijakan politik tentang pajak. Jika
semula jizyah dan khazraj dipungut dari mawali, pada masanya kebijakan itu diubahnya dengan
mengeluarkan dekrit yang terkenal dengan "kebijakan ekonomi di sawad", yaitu kebijakan
penerapan jizyah dan khazraj bagi kaum dzimmi petani dan tuan tanah untuk keselamatan jiwa
dan tanah mereka. Selain itu antara muslim dan non muslim juga berbeda dalam pembayaran
pajak. Bahwasanya pajak tersebut hanya di bebankan pada kaum non muslim saja. Sedangkan
kaum muslim baik Arab atau non Arab dibebaskan dari pajak tersebut, akan tetapi sebagai
gantinya mereka dianjurkan mengeluarkan shadaqah atau apa yang dikenal sebagi zakat (pajak
muslim). Sebelumnya khalifah Abdul Malik yang mempunyai gagasan untuk menyatukan
masyarakat yang homogen, kemudian ia melakukan politik Arabisme, contohnya adalah anak-
anak Arab yang lahir di daerah taklukan wajib membuat akta kelahiran di kantor catatan
kelahiran Arab untuk menjaga keaslian mereka, semua penduduk daerah Islam diwajibkan
berbahasa Arab, bahkan adat istiadat dan sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.

g. Pemerintahan Umayyah yang Sekuler

Kebijakan politik Umayyah selain untuk usaha pengamanan dalam negeri juga ada upaya-
upaya perluasan wilayah, seperti halnya kebijakan Khalifah Abd Malik yang banyak melakukan
ekspansi sehingga banyak daerah kekuasaan yang ditaklukan dari Timur sampai Barat.
Kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu menjadikan orang-orang Arab
menduduki daerah kekuasaannya dan menjadi tuan tanah. Mereka menetapkan pajak tanah
(kharraj) dan pajak perorangan (jizyah) kepada setiap orang yang mendiami daerah yang
dikuasai itu, hal ini memberi pemasukan bagi pemerintah untuk menggaji tentara. Awal mulanya
gaji ini diprioritaskan kepada orang Arab saja, sedangkan orang non Arab diberi gaji dari harta
rampasan perang setelah lama menjadi tentara.

26
Pembedaan antara orang Arab dan non Arab menjadi alasan melemahnya orang-orang Arab
karena kemewahan, sehingga mengakibatkan peran kemiliteran diambil alih oleh orang-orang
Barbar atau non Arab.

h. Pengangkatan Gubernur Oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Gagasan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada masa pemerintahanya adalah tentang
kebijakannya dalam mengangkat gubernur. Kebijakan ini berbeda dengan penguasa sebelumnya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengangkat gubernur dengan melibatkan masyarakat untuk
menentukan siapa gubernur yang mereka hendaki. Khalifah menyuruh rakyat mengajukan
beberapa calon. Kemudian setelah gubernur ditetapkan oleh khalifah, ia meminta agar rakyat taat
kepada gubernur tersebut selagi ia baik dan menjalankan amanat rakyat.

- Faktor-Faktor Kemajuan Peradaban Islam

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kejayaan Islam juga ditunjang oleh
beberapa faktor berikut.

2.2 Perluasan Wilayah Islam dan Pengaruhnya Terhadap Kemajuan Islam

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah (661-750) perluasan wilayah kekuasaan khilafah
Islamiyyah (lembaga pemerintahan dalam Islam) dilakukan ke timur, utara, dan barat. Perluasan
ke utara dilakukan dengan menyerang wilayah Kekaisaran Bizantium. Menurut Taufik Abdullah
dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, dijelaskan Bani Umayyah juga
memperluas wilayah kekuasaan ke Semenanjung Iberia (Andalusia atau Spanyol) yang dikuasai
oleh Bangsa Gothia.

Perebutan wilayah kekuasaan dipimpin oleh panglima perang Tariq bin Ziyad. Ia berhasil
menaklukan Kota Cordoba, Granada, dan Toledo yang merupakan ibu kota Visigoth.
Selanjutnya, Bani Umayyah berhasil menaklukan Sevilla, Zaragoza, dan Barcelona. Daerah
Aragon dan Castillia juga bertekuk lutut. Sesuudah itu, menuju ke timur laut sampai pegunungan
Pyrenia. Penaklukan terhenti karena Khalifah al-Walid memanggil pasukan pulang ke
Damaskus. Kekuasaan Umayyah yang didirikan oleh Mu'awiyah bin Abu Sufyan hanya mampu
bertahan sekitar 90 tahun. Banyak faktor yang mengakibatkan kelemahan dan kejatuhan Bani
Umayyah. Pertama, konflik berkepanjangan dalam keluarga besar Umayyah. Situasi semakin
diperparah dengan naiknya beberapa khalifah yang lemah, boros, dan zalim. Hal ini
menimbulkan rasa benci masyarakat dan ulama, sehingga wibawa pemerintahan pusat semakin
rusak.

Islam pernah berkuasa di Eropa selama berabad-abad. Kekuasaan Islam datang dan pergi,
meninggalkan catatan dalam sejarah, sebagiannya meninggalkan torehan hitam dan di penggalan
lain menyisakan kegemilangan dan warisan berharga untuk kemajuan Eropa, meski kerap
dinafikan. Dalam Muqadimah-nya, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa jika Tuhan berkehendak

27
memberangus peradaban, mereka akan diuji dengan seberapa jauh konsisten dan komitmen
memegang nilai dan moralitas tersebut di saat kemaksiatan merebak di mana-mana. "Inilah yang
terjadi terhadap runtuhnya peradaban Islam di Andalusia, Spanyol," tulis Ibn Khaldun. 

2.3 Sebab-Sebab Kemunduran dan Kehancuran Daulah Bani Umayah

- Masa Keruntuhan Dinasti Bani Umayyah

Meskipun kejayaan telah diraih oleh dinasti Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih
lama. Hal ini dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari
pihak luar. Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani
Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran, yaitu sebagai berikut:18

 Pertentangan etnis antara suku


Suku Arabiah (bani qais) dan Arab selatan (bani kalb) yang sudah ada sejak zaman
sebelum Islam mencapai puncaknya pada zaman umayyah karena khalifah cenderung pada
satu pihak dan menafikkan pihak yang lainnya. Ukhuwah Islamiyah yang dibangun
berdasarkan Islam pada mulanya berhasil mengatasi disintegrasi yang selalu membayang-
bayangi kehidupan sosial masyarakat Arab. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, hal itu
tidak bisa dipertahankan lagi. Kelemahan klasik dan khas dari kehidupan sosial orang Arab
yang lebih menekankan individualisme dan semangat kesukuan (asyabiyah), pertikaian antar
suku, menampakkan perwujudannya. Perpecahan antar suku, etnis dan golongan politik inilah
yang menjadi sebab utama terjadinya gejolak dan kerusuhan.
Suku orang Arab Utara berbeda dengan Arab Selatan. Orang Arab Utara mengklaim
sebagai keturunan Ismail dan menyebut diri mereka sebagai ke luarga Adnan, tidak pernah
bersatu dengan orang Arab Selatan, yang berasal dari keluarga Qahthan. Muawiyah pendiri
Dinasti Bani Umayyah membangun kerajaannya di Suriah atas bantuan orang-orang Yaman
(Arab Selatan). Penerusnya Yazid, dilahirkan dari seorang ibu dari suku Kalb Yaman, dan
istrinya juga seorang wanita dari suku Kalb. Suku Qays (Arab Utara) tidak mau mengakui
penerusnya, Muawiyah II, dan mengangkat khalifah baru Zubayr. Di masa Khalifah Al-Walid
I, kekuasaan suku Qays mencapai puncak kejayaannya pada masa Hajjaj, dan saudara
sepupunya Muhammad, penakluk India, dan pada masa Qutaibah, penakluk Asia Tengah.
Saudara al-Walid, Sulaiman mendukung orang Yaman. Namun, Yazid II, karena pengaruh
ibunya dari keluarga Mudhar, mendukung orang Qays, seperti halnya al-Walid II; Yazid III
mengandalkan pasukan dari Yaman untuk merebut kekuasaan dari tangan pendahulunya, al-
Walid II. Di sini terlihat bahwa pertikaian terjadi karena masih kentalnya rasa kesukuan Arab
Selatan dan Arab Utara. Pada akhir kekuasaan Dinasti Bani Umayyah, para khalifah
sebenarnya bukanlah pemegang kedaulatan atas sebuah dinasti yang utuh, tetapi lebih
merupakan pemimpin kelompok tertentu.

18
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya.

28
Di Damaskus sendiri pernah terjadi peperangan selama dua tahun hanya disebabkan
seorang dari suku Ma'ad (Arab Utara) mencuri sebutir semangka dari kebun seorang suku
Yaman (Arab Selatan). Di Murcia Spanyol juga pernah terjadi peperangan karena seorang
suku Mudhor memetik daun tanaman rambat di pekarangan seorang suku Yaman. Kasus-
kasus serupa sering terjadi di seluruh pelosok negeri yang bermuara pada rasa kesukuan yang
berlebihan. Masalah-masalah seperti itu menjadi unsur potensial penyebab hentinya laju
pasukan Islam di Perancis dan menjatuhkan kekhalifahan di Spanyol (Philip K. Hitti, 2005:
350).
Potensi perpecahan antar suku, golongan, kelompok politik, tumbuh se makin subur,
menyebabkan gejolak politik yang berakibat pada kekacauan yang mengganggu stabilitas
negara. Kondisi semacam itu menjadi lebih runyam ketika dihadapkan kepada suksesi
kepemimpinan. Walaupun memakai sistem kerajaan, tetapi tidak ada aturan yang baku
tentang peralihan kekuasaan secara turun-temurun, turut andil menjadi gangguan serius pada
negara. Dagi 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah, hanya empat khalifah, Muawiyah, Yazid I,
Marwan I. dan Abdul Malik, yang berhasil mewariskan kekuasaan pada anak-anaknya,
selebihnya pada saudara saudaranya. Di samping itu, sistem kerajaan melalui pewarisan juga
disinyalir menyebabkan masalah, sebab seringkali yang ditunjuk sebagai raja adalah orang
yang tidak mempunyai keahlian untuk memimpin negara yang sangat luas itu. Ketika Negara
dipimpin orang yang bukan ahlinya, maka sudah barang tentu akan terjadi problem-problem
kenegaraan karena ketidakmampuan sang pemimpin dalam mengelola negara.
 Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan yang pengaturannya tidak jelas
menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
 Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non-Arab.
Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang
dikalahkan mendapat sebutan “mawali”, yaitu suatu status yang menggambarkan imferioritas
di tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa umayyah.
Mereka menghadapi beratnya peperangan bersamasama bangsa arab dan bahkan diantara ada
yang mencapai tingkatan jauh diatas rata-rata orang arab, namun harapan mereka untuk
mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan
yang diberikan kepada mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil disbanding tunjangan yang
dibayarkan kepada orang arab.
 Konflik politik
Latar belakang terbentuknya kedaulatan bani umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik politik, dan penyebab langsung runtuhnya pemerintahan bani umayyah adalah
munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-abbas bin abbas al-muthalib.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan syi’ah, dan kaum
mawaali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.
 Sikap hidup mewah di lingkungan istana
Hal ini terjadi karena meningkatnya kekayaan negara dan melimpahnya budak pada
masa itu. Sejarawan at-Tabari Gjilid II). al-Ya'qubi (jilid II), dan al-Mas'udi gilid VI) seperti

29
yang dikutip oleh Philip K. Hitti, mengemukakan para penguasa Dinasti Bani Umayyah
seperti Yazid ibn Muawiyah lebih suka berburu, minum-minnan, tenggelam dalam alunan
musik dan nyanyian mer du, ketimbang membaca Al-Qur'an dan mengurusi Negara. Perilaku
buruk kelas penguasa hanyalah gambaran kecil dari kebobrokan moral yang bersifat umum.
Buruknya kebiasaan, terutama minum-minuman keras, perempuan, dan nyanyian, telah
menjangkiti para pemuda penguasa Dinasti Bani Umay yah, dan pada akhirnya melemahkan
daya juang mereka seperti yang di contohkan para Khulafaurrasyidin.

Ciri utama masa kekhalifaan Umayyah di Damaskus dalam segi sosial adalah kemewahan
sebagai akibat kejayaan dalam politik. Sementara itu nilai-nilai keislaman tenggelam oleh nilai-
nilai keduniawian, meski semua penampilan secara formal menggunakan simbol-simbol islam.
Disamping itu perbudakan menjadi gejalah sosial yang umum dikala itu, terutama di kalangan
para nigrat. Sementara itu dalam kehidupan politik tidak dapat dikatakan aman dan mulus.
Karena kebijakan setiap khalifah selalu dilaksanakan dengan tangan besi, upaya pemberontakan
seperti tidak pernah terjadi. Sebetulnya akibat ketidakpuasan selalu terjadi di mana-mana.
Beberapa daerah keamiran telah menyatakan memisahkan diri dan bersikap oposisi. Salah satu
gerakan oposisi dilakukan oleh Abbas, salah seorang paman nabi Muhammad. Dengan dalih
ingin mengembalikan keturunan Ali keatas singgasana kekhalifaan, Abbas berhasil menarik
dukungan kaum syi’ah dalam mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifaan Bani Umayyah.
Abbas kemudian memulai maker dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga
khalifah, yang waktu itu dipegang oleh khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya
pembunuhan itu, sampai menyebut dirinya sang pengalir darah atau AsSaffar.

Dalam peristiwa itu, salah seorang pewaris tahta kekhalifaan Umayyah, yaitu
Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh
inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayyah di seberang lautan,
yaitu keamiran Kordova. Di sana ia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifaan Umayyah
dengan nama kekhalifaan Andalusia. Dengan wafatnya Umar bin Abdul Aziz menandai
berakhirnya zaman kejayaan di dalam sejarah Bani Umayyah. Kekhalifaan telah dipengaruhi
oleh pengaruh-pengauh yang melemahkan dan akhirnya menghancurkannya. Diantara sebab-
sebabnya adalah perselisihan antara putera mahkota, sesudah yang pertama mendapat kekuasaan
atau kekuatan, dia mencoba untuk mengasingkan yang lainnya dan menggantikannya dengan
anaknya sendiri. Faktor yang lain ialah perkelahian suku-suku yang dihidupkan lagi diantara
orang-orang Arab setelah kematian Yazid bin Mu’awiah. Serta kemarahan dan rasa tidak senang
non-Arab kepada Bani Umayyah. Orang-orang non-Arab mencari kesempatan menyerang,
bergabung dengan Al-Mukhtar dan berpartisipasi dalam revolusi ibn alash ath, yazid ibn
muhallab dan dipergerakan politik dan keagamaan seperti al-khawarij, murji’ah, mu’tazilah,
untuk merobohkan pemerintahan Bani Umayyah.

Faktor penyebab mundurnya Bani Umayyah

30
• Pertentangan etnis antara suku Arabiah (bani qais) dan Arab selatan (bani kalb) yang sudah ada
sejak zaman sebelum Islam mencapai puncaknya pada zaman umayyah karena khalifah
cenderung pada satu pihak dan menafikkan pihak yang lainnya.

• Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan yang pengaturannya tidak jelas
menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.

• Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non-Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru
dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “mawali”, yaitu suatu status
yang menggambarkan imferioritas di tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapatkan
fasilitas dari penguasa umayyah. Mereka menghadapi beratnya peperangan bersamasama bangsa
arab dan bahkan diantara ada yang mencapai tingkatan jauh diatas rata-rata orang arab, namun
harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti
tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil disbanding
tunjangan yang dibayarkan kepada orang arab.

• Latar belakang terbentuknya kedaulatan bani umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik
politik, dan penyebab langsung runtuhnya pemerintahan bani umayyah adalah munculnya
kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-abbas bin abbas al-muthalib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan syi’ah, dan kaum mawaali yang
merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.

Sikap hidup mewah di lingkungan istana

31
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa
kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin
Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah
Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah
wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada
tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H. Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn
‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa
kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan
mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan
ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah
setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu
kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661
M).
Adanya peristiwa Karbala yaitu ketika Husain memenuhi undangan masyarakat Kufah
yang meminta untuk memimpin mereka, Husain berhijrah dari Mekah menuju Kufah. atas
permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid.
Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara

32
Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke Damaskus,
sedang tubuhnya dikubur di Karbela.

3.2 Saran

Demikianlah isi dari makalah kami, yang menurut kami telah kami susun secara sistematis
agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah
merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang
yang belajar dari sejarah. Sering kali kita lupa bahwa “meskipun” berkisah mengenai masa
lampau, tapi sejarah begitu penting bagi perjalanan suatu bangsa. Melalui sejarah, kita belajar
untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita, belajar menghargai tetes darah dan keringat
mereka untuk apa yang kita nikmati saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar dari pengalaman
masa lalu, dan menjadikannya sebagai modal berharga untuk melangkah di masa depan Islam
merupakan agama yang besar dengan perjalanan sejarah yang panjang. Maka dari itu, marilah
kita menggali lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi
menguatkan keteguhan dan rasa kebanggaan hati kita terhadap agama yang kita peluk ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Ahmad Kan’an, Muhammad, (2015). Daulah Bani Umayyah, Solo : Al-Qowam

Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, (2014), Buku Pintar Sejarah Islam, Jakarta: Zaman

Badri, Yatim. (2008), Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Qasim. (2014), Buku Pintar Sejarah Islam, Jakarta: Zaman

Rachman, T. (2018). Bani Umayyah di Lihat dari Tiga Fase. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban
Islam)

Prof. Dr. Abu Su’ud, (2003). Sejarah Ajaran dan Perannya dalam Peradaban Umat Manusia,
Jakarta: Rineka Cipta
Annisa dan Ghozali. (2019). Konsep Welfare State pada Kebijakan Umar Bin Abdul Aziziz
sebagai Khalifah Bani Umayyah. Laa Maisyir. 6(2), 282-296

Khoeroni, F. (2015). Kharj: Kajian Historis Pada Masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz.

Samsul Munir, (2009). Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah

33
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya.

34

Anda mungkin juga menyukai