Anda di halaman 1dari 14

Kelompk 4

 Berdirinya Dinasti Bani Umayyah

1.   Asal Mula Dinasti Bani Umayyah

Pengertian kata Bani menurut bahasa berarti anak, anak cucu atau keturunan. Dengan demikian yang
dimaksud Bani Umayah adalah anak, anak cucu atau keturunan Bani Umayah bin Abdu Syams dari satu
keluarga. Kata Dinasti berarti keturunan raja-raja yang memerintah dan semuanya berasal dari satu
keturunan. Dengan demikian, Dinasti Umayyah adalah keturunan raja-raja yang memerintah yang berasal
dari Bani Umayah.

Adapun istilah lain yang sering digunakan adalah kata Daulah, yang berarti kekuasaan, pemerintahan,
atau negara. Dengan kata lain, Daulah Bani Umayah adalah negara yang diperintah oleh Dinasti Umayah
yang raja-rajanya berasal dari Bani Umayah.

Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas
terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman
bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para
pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.

Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman
bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau
menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang,
dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah
setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini
mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman
bin Affan.

Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok
masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan.
Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika
pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.

Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk
bertemu  dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur
darah.

Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik
yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal
dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu
dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam)
pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan
umat Islam yang baru.

Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah
, Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib  sebagai khalifah pengganti Utsman.
Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi
Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada
berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat
Utsman bin Affan.

Muawiyah mengecam  agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil
mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai
terlibat pembunuhan  tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan
masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu
tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah,
Bashra dan Mesir.

Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari
istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi
dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu
di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah.
Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.

Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali
bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan
dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan
tersebut.

Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua
putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga
dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.

Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang
berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara
mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan
masalah yang dihadapi khalifah.

Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di
daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur
Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-
wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidakpuasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat
sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat
resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk
membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar
diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman
bin Affan.

Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin
Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes
dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi
atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan
mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan
jabatan.

Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman  bin Affan semakin rumit dan kompleks,
sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat
menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman
terbunuh dengan sangat mengenaskan.

Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi
Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di
tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang
pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan
yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.

2.   Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan

Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun  40 H/661 M, karena terbunuh
oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij yaitu
Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam
khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para
pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat
menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.

Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini
(bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang
pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam
pendukung setia Ali bin Abi Thalib.

Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat
pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu
Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah.
Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki
jabatan tertinggi dalam dunia Islam.

Namun Al-Hasan sosok yang jujur  dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi
pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah
untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi
permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi
Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai
antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu
pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.

Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin
Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk  itu maka di
kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.

Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan
pada Muawiyah dengan syarat antara lain:

  Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak
lain.

  Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya.

  Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.

  Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan
kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.

  Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu
telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.

Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah
bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah
sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang
kepercayaannya  seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.

Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirImkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi
tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena
hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan
Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia
kepadamu.”

Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan
seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan
pemimpin sebelumnya.

Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal
berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.

Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang
bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih
cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai
khalifah.

Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak
henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi
umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya
kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan
kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem
pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang
menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari
Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.

Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali,
Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah
sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas
permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid.

Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela,
sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya
dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.

B.              Ekspansi Dan Politik

1.      Ekspansi

Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman
Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah
Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan
Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi
sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan
Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah
Punjab sampai ke Maltan.

Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat
suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun
711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan
Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di
suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat
ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang
dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[1][15]. Pada saat itu, pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak
lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke
Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-
Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam
peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan
Islam di zaman Bani Umayyah.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam
masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria,
Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut
Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).

2.      Politik

Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah
sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke
putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan
lagi Syuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin.
Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan
lingkaran kekuasaan.

Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai
pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari
umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin
menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah.
Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah. Terdapat beberapa implikasi
yang menyertai Sistem Monarki ini, yaitu :

  Berubahnya pola kekuasaan. Otoritas tertinggi ada pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang
khalifah harus ditaati perintahnya.

  Sentralisasi dan absolutisme kekuasaan yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam
menentukan kebijakan sangat besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat kebijakan sendiri –
terutama ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam pembuatan keputusan sangat dominan.
Dampak positif dari kekuasaan yang sangat sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi
pemberontakan, tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan kelompok-kelompok penekan
dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.

  Berkurangnya peran ulama dari lingkaran kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran
ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani Umayyah
ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari lingkaran elit istana; mereka hanya memberi
fatwa dan nasehat di kalangan masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta fatwa
kepada para ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu tanpa ada implikasi-implikasi lain.

  Kekuasaan ada pada sekeliling istana saja. Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki akses
pada pemutus kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem monarki tidak memungkinkan
adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan, sehingga muncul gerakan-gerakan yang
ingin merebut kekuasaan, seperti Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang
menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.

Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara
otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstra kekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks
sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada
dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin
Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua
gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan
daerah masing-masing.

Gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab
(Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan
in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali
dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pasca pembantaian Karbala yang
melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir
sebagai Khalifah dan mulai mengkonsolidasi diri.

Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai
membangun pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin
memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan
Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya
Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus.

Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin
Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk
dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan
tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin
perang yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.

Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah.
Mereka memanfaatkan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa
dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan
Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-aksi
yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung
oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam
kekuasaan.
Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang
lemah. Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas gerakan telah
menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan
politik total yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M     Khalifah Muawiyah melanjutkan
usaha Khalifaur Rasyidin dalam penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti
Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari
Maroko sampai ke Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan
berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah
umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.

Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang
dibangun oleh umat Islam pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru
tersebut, hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin
intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah
bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah peradaban.

Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik internasional baru yang mewarnai dunia.
Bani Umayyah yang secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya
menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh bangsa lain.

Bertambah luasnya teritorial umat Islam ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada
Bani Umayyah. Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang
memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi
wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang
non-muslim yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.

Selain itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial
baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang
menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan
kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan oposisi.
Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya
terancam.

C.     Pemerintahan Dan Administrasi

“Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan
cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan
sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan
melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras.(Muawiyah
ibn Abi  Sufyan).”

Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang
politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun  peradaban besar melalui politik
kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah
pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.

Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya.
Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni
berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.

Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan
kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang
demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya
dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun
temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan
pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud
mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun
dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.

Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana
pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan
prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat
Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah
sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.

Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat
Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani
Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra
mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran
Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik  intern umat Islam seperti yang
pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk
memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah
kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang
khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar
demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.

Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga
terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin,
Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama
terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih
kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali
Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang
berkuasa:

  Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)

  Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)

  Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)

  Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)

  Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)

  Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)

  Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)

  Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)

  Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)

  Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)

  Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)

  Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)

  Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)

  Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[2][11]

D.    Prestasi di Bidang Sains Dan Kebudayaan

1.      Pada Bidang Sains

Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial.
 a). Bidang Material :

1.      Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan
peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.

2.      Mu’awiyah merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan ”anjung” dalam masjid
tempat sembahyang. Ia sangat khwatir akan keselamatan dirinya,    karena khalifah Umar dan Ali,
terbunuh ketika sedang melaksanakan shalat.
3.      Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru
pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi
ciri khas kerajaan Umayyah.

4.      Mu’awiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan lagi pada masa
Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata dengan baik, sehingga menjadi alat
pengiriman yang baik pada waktu itu.

5.      Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik membangun
sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock”
(Gubah As-Sakharah).

6.      Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru
negeri islam.

7.      Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-
orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.

8.      Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri,
tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah
1700 buah.

9.      Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi


pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam
yang tadinya berbahasa Yunani dan Pahlawi sehingga sampai berdampak pada orang-orang  non  Arab 
menjadi  pandai  berbahasa Arab dan untuk menyempurnakan pengetahuan tata bahasa Arab orang-
orang non Arab, disusun buku tata bahasa Arab oleh Sibawaih dalam al-Kitab.

10.  Merubah mata  uang  yang  dipakai  di  daerah-daerah    yang  dikuasai  Islam. Sebelumnya mata 
uang  Bizantium  dan  Persia  seperti  dinar  dan  dirham. Penggantinya uang dirham terbuat dari mas
dan dirham dari perak dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.

11.  Perluasaan wilayah kekuasaan dari Afrika menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, bahkan
perluasaan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah kepemimpinan panglima Thariq bin Ziad,
yang berhasil menaklukkan Kordova, Granada, dan Toledo.

12.  Dibangun mesjid-mesjid dan istana. Katedral St. Jhon di Damaskus dirubah menjadi mesjid, sedang
Katedral yang ada di Hims dipakai sebagai mesjid dan gereja. Di  al-Quds  (Jerussalem) Abdul Malik
membangun mesjid  al-Aqsha. Monumen terbaik yang ditinggalkan zaman ini adalah Qubah al-Sakhr di
al-Quds. Di mesjid al-Aqsha yang menurut  riwayatnya  tempat Nabi  Ibrahim hendak menyembelih
Ismail dan Nabi Muhammad mulai dengan mi’raj ke langit, mesjid Cordova  di  Spanyol dibangun, mesjid 
Mekah  dan Madinah  diperbaiki  dan diperbesar oleh Abdul Malik dan Walid.

13.  Bahkan pada masa, Sulaiman ibn Malik, telah dibangun pembangunan megahraksasa yang  terkenal
dengan Jami’ul Umawi.
b.)   Bidang Immaterial

1.      Mendirikan pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya memunculkan nama- nama
besar seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri dan kalam. Washil bin Atha. Bidang yang menjadi
perhatian adalah tafsir, hadits,  fikih.

2.      Penyair-penyair Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka terhadap syair     Arab Jahiliyah
dibangkitkan. Mereka itu adalah Umar Ibn Abi Rabiah (w. 719 m.), Jamil al-Udhri (w. 701 M.),  Qays Ibn
al-Mulawwah (w. 699 M.) yang lebih dikenal dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w 732M.), Jarir (w.
792 M) dan al-Akhtal (w. 710 M.).

3.      Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni

Waktu dinasti ini telah mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan eksakta.  Dan ilmu pengetahun
berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan filsafat. Kota-kota yang menjadi pusat
ilmu pengetahuan selama pemerintahan          dinasti Umaya h, antara lain kota Kairawan, Kordoba,
Granda dan lain sebagainya.     Sehingga secara perlahan ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam,
yaitu : pertama, Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an,
Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-            Ulumul khiliyah (ilmu yang
diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya
yang disalin dari Persia dan     Romawi. Kedua :  Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah
ada pasa         zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah,
syair, khitabah dan amtsal.

4.      Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi

Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan, terutama pada masa
khalifah Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron,
seorang dokter dari iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam
bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa
sansakerta        yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan
oleh      Abdullah ibnu Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat
dan logika, termasuk karya Aristoteles :Categoris, Hermeneutica,                Analityca Posterior serta karya
Porphyrius :Isagoge.

2.      Pada Bidang kebudayaan

Dalam lapangan sosial budaya, bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa
muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisi yang luhur seperti Persia,
Mesir, Eropa dan sebagainya. Hubungan itu lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan di bidang
seni dan ilmu pengetahuan. Di lapangan seni, terutama seni arsitektur, Bani Umayyah mencatat prestasi
puncak, seperti Qubah as- Shakhra di Yerusalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak henti-
hentinya di kagumi orang.
E.     Analisis Kemunduran Dan Kejatuhan

1.      Kemunduran Dinasti Bani Umayyah

Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-
Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada masa
itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan
konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah
berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru
dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari
kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-
Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin
kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.

Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan
hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya,
pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari
Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun
berhasil melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian
Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang
digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus.

2.      Kejatuhan Dinasti Bani Umayyah

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya Dinsti Bani Umayyah, yakni :

  Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab
Utara yang disebut Mudariyah yang  menempati Irak dan Arab Selatan ( Himyariyah ) yang berdiam di
wilayah Suriah. Di zaman Umaiyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para  khalifah
cenderung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.

  Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “ Mawali “, suatu status yang
menggambarkan inferioritas di  tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari
penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan  beberapa
orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata orang Arab , tetapi harapan mereka
untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan yang di
berikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil di banding tunjangan yang di bayarkan kepada
orang Arab.

  Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik
politik. Kaum syiah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-
waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada
masa-masa akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan,
bahkan dapat menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.
  Persaingan di kalangan anggota Dinasti Bani Umayyah membawa kelemahan kedudukan mereka.

  Hidup mewah di istana memperlemah jiwa dan vitalitas anak-anak khalifah yang membuat mereka
tidak sanggup memikul beban pemerintahan yang sedemikian besar.

Anda mungkin juga menyukai