Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Daula Bani Umayyah

Disusun Oleh :
1. .
2. .
3. .
4. .
5. .
6. .
7. .
8. .
9. .

Kelas :XI IPA 5

SMA NEGERI 6 KOTA CIREBON


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Fase Pembentukan Dinasti Umayyah .................................... 2
2.2 Pendirian DInasti Bani Umayyah .......................................... 3
2.3 Muawiyah bin Abi SUfyan .................................................. 9
2.4 Usaha Merebut Kekuasaan .................................................... 10
2.5 Sistem Pemerintahan ............................................................. 14
2.6 Sistem sosial (Arab dan Mawali) .......................................... 18
2.7 Gerakan Oposisi .................................................................... 22
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................ 24
3.2 Saran ...................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam datang terlihat asing dan akan asing pula pada akhir zaman. Islam
yang pertama kAli muncul dibumi jazirah Arab yang penduduknya mayoritas
penyembah berhala membuat misi mengemban agama Allah azza wa jalla
sangat susah dan kepayahan. Muhammad saw merupakan Nabi sekAligus
Rasul yang mengemban amanah untuk menyebarkan agama Tauhid ini. Pada
kala itu Rasul sangat berhati-hati dalam menyebarkan agama ini mulai dari
istri keluarga dan kerabat dekat serta orang-orang yang lemah/terdzolimi.
Sepeninggal Rasul misi ini dilanjutkan oleh para Sahabat Nabi saw.
Meninggalnya Rasul saw memaksa kaum muslimin untuk memilih salah
satu sahabat untuk pemimpin melanjutkan misi yang telah dibawa Rasul, yang
diberi gelar khalifah. Penyebaran Islam pada masa khalifah mulai dari khalifah
pertama Abu Bakar sampai pada Ali. Keadaan sosial politik pada awal
kepemimpinan Ali sangat tidak stabil karena terjadi pemberontakan dimana-
mana. Pemberontakan-pemberontakan itu tidak dapat diselesaikan hingga
akhir kepemimpinan Ali, sehingga hal tersebut menyebabkan pecahnya umat
Islam menjadi beberapa golongan dan sangat tidak menguntungkan bagi Ali.
Setelah pembunuhan kholihaf usman, kebingunan dan kekacauan terjadi
selama 5 hari. Pada waktu itu masyarakat beramai-ramai membaiat Ali
sebagai kholifah. Ali mula-mula tidak mau menerima kekhalifahan itu, pada
saat dan keadaan seperti itu. Akan tetapi, mengingat kepentingan-kepentingan
Islam, akhirnya dia setuju untuk menerima tanggung jawab ke kholifahan.
Tidak lama setelah itu Ali menghadapi banyak pemberontakan sehingga Ali
lengser dengan dibunuhnya Ali dan didudukikannya kursi kepemimpinan oleh
muawiyah yang pada akhirnya munculnya dinasti Bani Umayyah. Pada
makalah ini membahas tentang SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA
BANI UMAYYAH

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah perkembangan Islam dinasti Bani Umayyah?
2. Bagaimana pada masa keemasan dinasti Bani Umayyah?
3. Bagaimana faktor yang mempengaruhi kemunduran dinasti Bani
Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fase Pembentukan Dinasti Umayyah


Pembicaraan tentang pembentukan dinasti Bani Umayyah berkaitan erat
dengan percaturan persaingan antara dua klan dari suku Quraisy, yaitu Bani
Hasyim dan Bani Umayyah sejak dari masa pra-Islam. Dalam persaingan itu
Bani Umayyah lebih berpengaruh di kalangan masyarakat Makkah.
Merekalah yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak
bergantung pada para pengunjung kabah, sementara Bani Hasyim adalah
orang-orang yang berkehidupan ekonomi sederhana, tetapi taat menjalankan
agama nenek moyang mereka.
Ketika Islam lahir, dan pada kenyataannya Nabi Muhammad adalah
seorang Hasyimi, Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaan dan
perekonomiannya akan terancam. Oleh karena itu mereka menjadi penentang
utama kerasulan Muhammad SAW., tetapi tidak pernah berhasil
melumpuhkannya. Bahkan Abu Sufyan Bin Harb, salah seorang pembesar
klan Bani Umayyah sering sekali menjadi panglima dalam beberapa
peperangan melawan Nabi SAW.
Setelah Islam berhasil membentuk pemerintahan yang kuat di Madinah
dan akhirnya dapat merebut Makkah, Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah
menyerah, kemudian masuk Islam bersama anggota-anggota Bani Umayyah
lainnya, termasuk istrinya Hindun dan anaknya Muawiyah. [8]
Di masa khalifah Abu Bakar Shiddiq, orang-orang Quraisy yang mayoritas
dari klan Bani Umayyah menghadap kepadanya, dan menyatakan bahwa
kelas mereka di bawah kaum muhajirin dan anshar. Abu Bakar berkata bahwa
hal itu disebabkan keterlambatan meraka masuk Islam, dan untuk mengejar
ketertinggalan tersebut mereka harus berjihad membela Islam. Anjuran
tersebut segera mereka wujudkan dengan berpartisipasi aktif dalam perang
riddah.
Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, mereka diikut sertakan
memerangi orang-orang Bizantium, kemudian mereka ditempatkan di Syam,
dan Yazid bin Abi Sufyan diangkat menjadi gubernur di sana. Setelah Yazid
wafat, Umar mengangkat Muawiyah, saudaranya untuk menggantikan
kedudukannya.
Di masa khalifah Utsman bin Affan yang merupakan salah seorang
anggota klan Bani Umayyah, Muawiyah dikukuhkan menjadi Gubernur di
Syiria, sehingga tercapailah kekuasaan Bani Umayyah atas orang-orang
quraisy di zaman Islam, sebagaimana pernah mereka alami pada zaman
jahiliyyah.
Utsman bin Affan mati terbunuh dalam satu huru-hara yang dilakukan
oleh pihak yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintahnya.
Sebagai penggantinya, Ali bin Abi Thalib naik menjadi khalifah. Muawiyah
menolak untuk mengakui khalifah Ali, karena Ali tidak memenuhi tuntutan
mereka agar menyerahkan para pembunuh Utsman ke tangan meraka.
Jelasnya mereka menuntut balas darah Utsman kepada Ali dan sekaligus
menyatakan sebagai pewaris jabatannya. Sekali lagi terjadi persaingan antara
Bani Hasyim dan Bani Umayyah.

2.2 Pendirian Dinasti Bani Umayyah


2.2.1 Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak
khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang
Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah
Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di
wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat
Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti
Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan
pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut.
Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa
tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta
pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (baiat) kepada
Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembaiatan ini
mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan
kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak
diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin
Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh
masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari
Kuffah [2] ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa
dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus,
Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin
Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah
bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah
dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang
berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali
bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua
belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal
dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu,
Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin
Abi Talib di
2.2.2 Peta Daerah Perkembangan Islam Pada Masa Kejayaan Bani
Umayyah
Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani
Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang
dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain
upayanya untuk terus merebut kota Konstantinopel. Ada tiga hal yang
menyebabakan Muawiyah terus berusaha merebut Byzantium. Pertama,
karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen
Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan
Islam. Kedua, orang-orang Byzantium sering melakukan
pemberontakan ke daerah Islam. Ketgia, Byzantium termasuk wilayah
yang memiliki kekayaan yang melimpah.
Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke
berbagai negara yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti
Umayyah, juga terus memperluas peta kekuasannya ke daerah Afrika
Utara pada masa Kholifah Walid bin Abdul Malik , dengan mengutus
panglimanya Musa bin Nushair yang kemudian ia diangkat sebagai
gubernurnya. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad untuk merebut
daerah Andalusia.
Keberhasilan Thariq memasuki Andalusia, membuta peta
perjalanan sejarah baru bagi kekuasaan Islam. Sebab, satu persatu
wilayah yang dilewati Thariq dapat dengan mudah ditaklukan, seperti
kota Cordova, Granada dan Toledo. Sehingga, Islam dapat tersebar dan
menjadi agama panutan bagi penduduknya. Tidak hanya itu, Islam
menjadi sebuah agama yang mampu memberikan motifasi para
pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang
kehidupan social, politik, ekonomi, budaya dan sebaginya. Andalusia
pun mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Islam.
2.2.3 Kemajuan dan Keunggulan Bani Umayyah
Di masa Bani Umayyah ini, kebudayaan mengalami perkembangan
dari pada masa sebelumnya. Di antara kebudayaan Islam yang
mengalami perkembangan pada masa ini adalah seni sastra, seni rupa,
seni suara, seni bangunan, seni ukir, dan sebaginya.
Pada masa ini telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam
dengan mengambil pola Romawi, Persia dan Arab. Contohnya adalah
bangunan masjid Damaskus yang dibangun pada masa pemerintahan
Walid bin Abdul Malik, dan juga masjid Agung Cordova yang terbuat
dari batu pualam.
Seni sastra berkembang dengan pesatnya, hingga mampu
menerobos ke dalam jiwa manusia dan berkedudukan tinggi di dalam
masyarakat dan negara. Sehingga syair yang muncul senantiasa sering
menonjol dari sastranya, disamping isinya yang bermutu tinggi.
Dalam seni suara yang berkembang adalah seni baca Al-Quran,
qasidah, musik dan lagu-lagu yang bernafaskan cinta. Sehingga pada
saat itu bermunculan seniman dan qori/ qoriah ternama.
Perkembangan seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan
khot Arab sebagai motif ukiran atau pahatan. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya dinding masjid dan tembok-tembok istana yang diukur
dengan khat Arab. Salah satunya yang masih tertinggal adalah ukiran
dinding Qushair Amrah (Istana Mungil Amrah), istana musim panas di
daerah pegunungan yang terletak lebih kurang 50 mil sebelah Timur
Amman.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya
meliputi ilmu pengetahuan agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan
umum, seperti ilmu kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, ilmu
bumi, sejarah, dan lain-lain.
Pada ini juga, politik telah mengaami kamajuan dan perubahan,
sehingga lebih teratur dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama
dalam hal Khilafah (kepemimpinan), dibentuknya Al-Kitabah
(Sekretariat Negara), Al-Hijabah (Ajudan), Organisasi Keuangan,
Organisasi Keahakiman dan Organisasi Tata Usaha Negara.
Kekuatan militer pada masa Bani Umayyah jauh lebh berkembang
dari masa sebelumnya, sebab diberlakukan Undang-Undang Wajib
Militer (Nizhamut Tajnidil Ijbary). Sedangkan pada masa sebelumnya,
yakni masa Khulafaurrasyidin, tentara adalah merupakan pasukan
sukarela. Politik ketentaraan Bani Umayyah adalah politik Arab,
dimana tentara harus dari orang Arab sendiri atau dari unsure Arab.
Pada masa ini juga, telah dibangun Armada Islam yang hampir
sempurna hingga mencapai 17.000 kapal yang dengan mudah dapat
menaklukan Pulau Rhodus dengan panglimanya Laksamana Aqabah
bin Amir. Disamping itu Muawiyah juga telah membentuk Armada
Musin Panas dan Armada Musim Dingin, sehingga memungkinkannya
untuk bertempur dalam segala musim.
Dalam bidang social budaya, kholifah pada masa Bani Umayyah
juga telah banyak memberikan kontribusi yang cukup besar. Yakni,
dengan dibangunnya rumah sakit (mustasyfayat) di setiap kota yang
pertama oleh Kholifah Walid bin Abdul Malik. Saat itu juga dibangun
rumah singgah bagi anak-anak yatim piatu yang ditinggal oleh orang
tua mereka akibat perang. Bahkan orang tua yang sudah tidak mampu
pun dipelihara di rumah-rumah tersebut. Sehingga usaha-usaha tersebut
menimbulkan simpati yang cukup tinggi dari kalangan non-Islam, yang
pada akhirnya mereka berbondong-bondong memeluk Islam.
2.2.4 Keruntuhan Bani Umayyah
Bani Umayyah mengalami keruntuhan oleh banyak hal,
diantaranya adalah terbaginya kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke
dalam dua wilayah. Kholifah Marwan bin Muhammad berkuasa di
wilayah Semenanjung Tanah Arab, dan Kholifah Yazid bin Umar
berkuasa di wilayah Wasit. Namun yang paling kuat di antara kedua
wilayah tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah Arab.
Sehingga para pendiri kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus
mengatur strateginya untuk menumbangkan Kholifah Marwan dengan
cara apapun, termasuk menghabisi nyawanya.
Pembunuhan Terhadap Marwan bin Muhammad dan Yazid bin
Umar Salah satu pendiri daulah Bani Abbasiyah, Abul Abbas As-
Shaffah mengirimkan pasukannya untuk melumpuhkan kepemimpinan
Marwan. Sebagai panglima, ia mengutus Abdullah bin Ali. Kholifah
MArwan juga telah mempersiapkan pasukannya yang besar dengan
membaginya dengan dua lapis. Lapis pertama, adalah terdiri dari
pasukan yang selalu mengalami kemenangan dalam setiap peperangan,
yang kedua, adalah pasukan yang selalu mengalami kekalahan dalam
setiap peperangan.
Kedua pasukan tersebut bertempur di lembah Sungai az-Zab, salah
satu cabang Sungai Djlah (Tigris) dari sebelah timur. Pertempuran
berlaku sengit. Angkatan perang Marwan memang cukup besar dan
memiliki perbekalan yang banyak. Namun, itu semua tidak
menyurutkan keinginan pasukan Abbasiyah untuk memperoleh
kemenangan demi masa depan yang cemerlang. Demikianlah angkatan
tentara Abbasiyah mencapai kemenagan atas pasukan Kholifah
Marwan.
Sejak saat itu, Marwan terus diburu untuk benar-benar dibunuh,
sehingga tidak ada lagi kekuasaan Bani Umayyah yang tersisa. Marwan
terus menerus melakukan pengunduran dari satu tempat ke tempat lain,
dimulai dari ia mundur dari Harran, Qinnisirin (Syiria), kemudian
Hims, Damsyik, Palestin dan akhirnya Mesir. Di Mesir, Marwan dan
sedikit pasukannya yang tersisa masih harus melakukan pertempuran
kecil, dan saat itu pula ia tewas. Moment inilah yang menyebabkan
kemunduran dan kehancuran daulah Bani Umayyah yang sudah
berkuasa selama 90 tahun. tebing Sungai Furat yang kini terletak di
Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M [3]. Muawiyah tidak
menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang
baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan,
masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan
Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti
Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain,
kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas
segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga
karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk
mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (baiat) kekuasaan Ali
bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang
dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali
bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu
setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri.
Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan
pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra [4] dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu
Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang
situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah
bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat
menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan
kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali
bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar
lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja
mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin
Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru
pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta
para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga
dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang
mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran
dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan
Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara
mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba
memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin
Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari
kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah
gubernur Mesir, Abdullah Saad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di
anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat
Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan
masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin
Saad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin
bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa
surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin
Saad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu
Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar
diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Saad yang
juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan
mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang
mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes
dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin
Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang
sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan
mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin
Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin
Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di
selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat
menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah
khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat
mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan
khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur
Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru
ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat
khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur
ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan
yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan
gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian
mereka.

2.3 Muawiyah bin Abi Sufyan


Muawiyah bin Abi Sufyan adalah pendiri dinasti Bani Umayyah di
Damaskus, Syiria, yang memerintah dunia Islam selama 90 tahun (661-750
M). dia sebagai khalifah pertama yang berkuasa pada tahun (661-680 M).
[10] dia lahir di Makkah pada tahun 607 M. atau lima belas tahun sebelum
hijrah, meninggal di Damaskus pada awal bulan rajab tahun 60 H., bertepatan
dengan tanggal 7 april 680 M.
Muawiyah berasal dari keturunan bangsawan quraisy yang berkuasa
sampai jatuhnya kota Makkah, Abu Sufyan Shahr bin Harb bin Umayyah bin
Abd Syams, ibunya bernama Hindun binti Uqbah bin Rabiah bin Abd
Syams, yang dikenal sebagai pemimpin kaum wanita yang ikut mengobarkan
semangat tentara quraisy Makkah pada perang uhud, dan berbuat di luar
perikemanusiaan terhadap para syuhada, terutama terhadap jenazah Hamzah,
paman Nabi. [11] Dia mewarisi kepribadian dan kecerdasan orang tuanya,
terlihat dalam usaha-usahanya mencapai puncak karir kepemimpinannya,
walaupun melalui jalan yang kurang terpuji.
Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya Abu Sufyan pada fathu
Makkah. Pada zaman Rasul pernah ikut perang hunein. Keislamannya terus
dibina oleh Rasulullah sehingga menjadi muslim yang baik, dia termasuk
salah seorang sekretaris rasulullah SAW, al-Sayuthi menyebutkan bahwa
Muawiyah meriwayatkan 163 hadits, baik yang diterima langsung dari Nabi
maupun dari sahabat lain yang terkemuka seperti Binu Abbas, Binu Umar,
Binu Zubair dan lain-lain. Serta dari saudara perempuannya Habibah binti
Abi Sufyan, Istri Rasulullah SAW.
Karir militer Muawiyah lebih berkembang pada zaman pemerintahan
khalifah Abu Bakar Shiddiq. Yazid bin Abi Sufyan diangkat menjadi
panglima untuk menaklukkan Syam. Kemudian Abu Bakar Shiddiq
mengirimkan pasukan bantuan yang dipimpin oleh Muawiyah untuk
membantu pasukan Yazid. Muawiyah bertempur di bawah pimpinan
saudaranya, dan ia memimpin tentara Islam yang menaklukkan kota Sidon,
Beirut dan lain-lainnya yang terletak di pantai Damaskus.
Di zaman khalifah Umar bin Khattab, Yazid bin Abi Sufyan diangkat
menjadi gubernur di Damaskus, dan Muawiyah menjadi gubernur Yordania.
Yazid meninggal karena sakit di kota Amus, kemudian Umar
menggabungkan Damsyik ke dalam wilayah Muawiyah.
Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, semua daerah Syam diserahkan
kepada Muawiyah. Dia sendiri yang mengangkat dan memberhentikan
pejabat-pejabat pemerintahannya, masa pemerintahan Utsman cukup panjang
(644-656) ditambah kebijakan nepotisnya memungkinkan Muawiyah
mempersiapkan dirinya dan meletakkan dasar-dasar untuk mendirikan
kerajaannya, dan untuk menjadikan Syam menjadi daerah yang mutlak di
bawah kekuasaannya.

2.4 Usaha Merebut Kekuasaan


Setelah menempuh perjuangan berat di bidang kemiliteran akhirnya klan
Bani Umayyah dapat ikut bersaing kembali dalam percaturan politik dengan
Bani Hasyim. Awal kebangkitan mereka dimulai dari diangkatnya Yazid bin
Abi Sufyan menjadi gubernur Damaskus, kemudian dilanjutkan oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan. Sejak menjabat gubernur inilah ia mulai
menyusun strategi politiknya untuk mewujudkan ambisinya menjadi
penguasa tunggal dari kalangan Bani Umayyah atas wilayah kekuasaan Islam.
Usaha-usaha yang ditempuh antara lain:
1. Memanfaatkan Masa Khilafah Utsman
Enam tahun diakhir periode kekhilafahan Utsman bin Affan yang
berasal dari klan Bani Umayyah benar-benar dimanfaatkan oleh
Muawiyah dengan dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya untuk menggalang
dominasi kekuasaan Bani Umayyah. Bahkan mulai Utsman naik tahta
kekhalifahan Muawiyah sudah merasa menjadi penguasa seperti yang
pernah mereka alami terhadap kaum quraisy dimasa jahiliyyah. [12] Hal
inilah yang memacu Muawiyah untuk mewujudkan ambisinya walaupun
melalui cara yang tidak fair dan konfrontatif.
Barangkali usaha-usaha inilah yang mendorong Utsman bin Affan
melakukan kebijaksanaan nepotisme dalam pemerintahannya, sehingga
dapat memberikan keluasan wilayah kekuasaan Muawiyah, yang semula
hanya menjadi gubernur yang mewilayahi Damsyik dan Yordania,
kemudian wilayahnya meliputi daerah syam (Syiria). Syiria adalah
daerah yang subur, karena itu merupakan potensi pembangunan sektor
ekonomi sementara penduduk Syiria telah berpadu dengan orang-orang
Arab, terutama dari kalangan klan Bani Umayyah, yang bertransmigrasi
ke daerah tersebut, menjadi kekuatan militer yang tangguh yang siap
mendukungnya.
Kerusuhan dan huru-hara yang terjadi pada masa akhir
pemerintahan Utsman yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah Utsman
diakibatkan oleh nepotisme tersebut. Dia banyak memberikan
kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahannya kepada keluarga
Bani Umayyah, dan memberikan fasilitas-fasilitas material kepada
mereka dengan mempergunakan uang negara. Hakam ayahnya Marwan
memperoleh tanah Fadak, Muawiyah mengambil Alih tanah negara di
Syiria dan Abdullah mengambil 1/5 dari harta rampasan perang Tripoli.
Diangkatnya Marwan bin Hakam sebagai sekretaris negara tambah
membuat sakit hati umat Islam terutama kalangan Bani Hasyim, karena
Marwan orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik. Tujuan
pengangkatan Marwan ternyata untuk meningkatkan dan
mengkonsolidasikan kedudukan Bani Umayyah di dalam kekhalifahan.
Tindakan Marwan bin Hakam yang tidak terpuji itu jelas kalau
dilihat dari kronologi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan.
Terbunuhnya Utsman bin Affan berasal dari rasa tidak puas terhadap
nepotismenya, terutama rakyat Mesir yang mayoritas pengikut-
pengikutnya Ali bin Abi Thalib, dan rakyat Kufah dan Bashrah yang
mayoritas pengikut Thalhah dan Zubair. Penduduk Mesir tidak senang
terhadap tindakan-tindakan gubernurnya Abdullah bin Abu Sarah yang
berasal dari Bani Umayyah, dan menuntut kepada khalifah agar diganti
dengan Muhammad bin Abu Bakar. Setelah mengadakan lobi dengan Ali
bin Abi Thalib akhirnya Utsman mengabulkan tuntutan mereka, mereka
merasa puas, kemudian meninggalkan ibu kota Madinah, bersama
Muhammad bin Abu Bakar menuju Mesir. Setelah tiga hari perjalanan
dari Madinah, di tengah perjalanan meraka mendapatkan seseorang yang
mencurigakan. Kemudian ditangkaplah orang itu, setelah diinterogasi
ternyata orang itu adalah pesuruh khalifah Utsman yang membawa surat
perintah kepada gubernur Mesir Abdullah bin Abi Sarah untuk
membunuh Muhammad bin Abu Bakar dan tokoh-tokoh delegasi lainnya
bila sudah tiba di Mesir. Penulis surat ini setelah dilacak di hadapan
Utsman ternyata adalah Marwan bin Hakam. Akhirnya para
pembangkang menuntut penyerahan Marwan kepada mereka yang
ditolak oleh khalifah, akibatnya mereka menyerbu ke rumah khalifah,
dan dibunuhlah Utsman bin Affan ketika dia sedang membaca al quran.
2. Pemanfaatan Tragedi Kematian Utsman
Tragedi kematian Utsman bin Affan, selanjutnya dijadikan dalih
untuk mewujudkan ambisinya, mereka menuntut kepada khalifah Ali,
pengganti Utsman agar dapat menyerahkan para pembunuh Utsman
kepada mereka. Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam kondisi dan situasi
kenegaraan yang belum stabil, tidak memenuhi tuntutan mereka tersebut.
Sedang di pihak Muawiyah menjadikannya sebagai alasan untuk tidak
mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan memisahkan diri dari
pemerintahan pusat.
Langkah pertama yang diambil oleh khalifah Ali bin Abi Thalib
dalam menghadapi pembangkangan Muawiyah adalah mengutus
Abdullah al-Bajali kepada Muawiyah agar bersedia mengakui dan
membalasnya seperti yang dilakukan oleh gubernur-gubernur dan kaum
muslimin lainnya dan tidak memisahkan diri dari pemerintahan pusat.
Muawiyah tidak segera menjawab ajakan tersebut dengan maksud untuk
memberi kesan tidak baik. Untuk menentukan sikap dalam menghadapi
himbauan khalifah tersebut Muawiyah bermusyawarah dengan Amru
bin Ash, hasilnya menolak ajakan damai, dan memilih mengangkat
senjata memerangi pemerintah pusat. [15] Hasil putusan tersebut
kemudian dikirimkan melalui jarir kepada khalifah Ali bin Abi Thalib.
3. Arbitrase Sebagai Tipu Muslihat Meraih Kemenangan Politik
Dengan jawaban tersebut sudah tidak ada alternatif lain bagi
khalifah Ali untuk menghadapi Muawiyah kecuali dengan kekerasan.
Karena itulah masing-masing mempersiapkan diri untuk terjun ke medan
pertempuran. Setelah selesai menghadapi pemberontakan Thalhah Zubair
dan Aisyah ummul muminin pada perang jamal, pasukan Ali bin Abi
Thalib segera bergegas menghadapi tentara Muawiyah. Dua pasukan itu
bertemu di Siffin. Pertempuran terjadi, tentara Ali dapat mendesak
tentara Muawiyah sehingga telah bersedia untuk lari. Tetapi tangan
kanan Muawiyah, Amr bin al-Ash yang terkenal licik minta perdamaian
dengan mengangkat al-quran yang ditancapkan di ujung lembing ke atas
sebagai isyarat bahwa masalah mereka harus diselesaikan sesuai dengan
kitab Allah. Imam-imam di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima
tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan tahkim
(arbitrase). Sebagai perantara diangkat dua orang: Amr bin Ash dari
pihak Muawiyah dan Abu Musa al Asyari dari pihak Ali.
Penunjukan Amr bin Ash sebagai juru runding dari pihak
Muawiyah adalah tindakan yang tepat dilakukan olehnya, karena Amr
bin Ash adalah orang yang kecakapan dan kelicikannya sebanding
dengan Abu sufyan, karir militer dan diplomatiknya telah terbukti.
Sementara juru runding dari pihak Ali, Abu Musa al Asyari seorang tua
yang tawadlu dan taqwa. Dilihat dari kapasitas dua orang juru runding
tersebut sudah tampak tanda-tanda kemenangan dari pihak Muawiyah.
Al-Maududi mengutip pernyataan bin Atsir sebagai berikut: Amr
bin Ash mengawali perundingannya dengan mengajukan pertanyaan
kepada Abu Musa: bagaimana sebaiknya menurut anda dalam masalah
ini? Abu Musa menjawab: sebaiknya kita pecat dua orang ini, dan urusan
pengangkatan khalifah diserahkan kepada permusyawaratan kaum
muslimin untuk memilih yang mereka sukai. Amr menjawab:
pendapatmu itu baik sekali.
Selanjutnya Amr bin Ash mempersilahkan Abu Musa al Asyari
yang lebih tua untuk melaksanakan kesepakatan mereka, yakni memecat
khalifah Ali dan Muawiyah sekaligus. Diikuti pidato Amr bin Ash yang
menyatakan pemecatan Muawiyah dan Ali, tetapi kemudian dia
menambahkan bahwa dirinya sekaligus membaiat Muawiyah bin abi
sufyan.
Hal itu tentu saja tidak memuaskan fihak Ali bin Abi Thalib,
namun apapun yang terjadi arbitrase (tahkim) ini secara de jure telah
memberikan kedudukan Muawiyah, gubernur yang memberontak ini
sama dengan kedudukan khalifah Ali.
Ketidakpuasan terhadap arbitrase ini mengakibatkan munculnya
khawarij yang memusuhi Muawiyah dan Ali. Namun bagi Muawiyah
karena adanya pengamanan yang ketat terhadap dirinya, kaum khawarij
tidak mampu membunuhnya, sebaliknya bagi Ali bin Abi Thalib
merupakan malapetaka besar dan mengakibatkan terbunuhnya. Ali
dibunuh oleh khawarij pada hari jumat tanggal 17 ramadhan tahun 40 H.
Hasan bin Ali dibaiat untuk menggantikan kedudukan ayahnya
pada tahun 40 H. orang pertama yang membaiat Hasan adalah Qais bin
Saad al Anshari, kemudian diikuti orang banyak. [20] Hasan bin Ali
segera mempersiapkan diri dibantu oleh Qais bin Saad bin ubadah al
Anshari, dan Abdullah bin abbas untuk menghadapi Muawiyah di kufah.
Ketika Hasan tiba di Madain salah seorang anggota pasukannya berteriak
bahwa Qais terbunuh. Teriakan itu mengakibatkan pasukan itu bercerai
berai berlarian. Tiba-tiba sebagian orang-orang yang suka membuat
kekacauan itu menyerbu masuk ke tempat persinggahan Hasan serta
melanggar kehormatannya dan merampok habis harta bendanya, bahkan
mereka berani merampas permadani yang sedang diduduki Hasan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau, bagi Hasan bin Ali tidak
ada alternatif lain kecuali menempuh jalan perdamaian dengan
Muawiyah, walaupun adiknya, Husain bin Ali tidak menyetujuinya.
Kemudian Hasan mengirim surat perdamaian kepada Muawiyah.
Ketidak setujuan Husain ini tergambar pada komentarnya ketika Hasan
menginformasikan pengiriman surat tersebut kepada dirinya dan
Abdullah bin Jafar: apakah engkau menyetujui Muawiyah? Hasan
menjawab:diam kau! aku lebih tahu masalah ini dibanding kau. [21]
Sebelum surat tawaran perdamaian itu sampai, Muawiyah mengutus
Abdullah bin Amir dan Abd al Rahman bin Samurah bin Habib bin
Syams dengan membawa blangko kosong yang telah ditandatangani dan
distempel, dengan pesan singkat: ajukan persyaratan perdamaianmu
dalam kertas ini sesuka hatimu, itu hakmu.
Hasan menuliskan persyaratan yang berlipat ganda pada kertas
kosong yang disediakan Muawiyah, walaupun yang terahir ini ditolak
oleh Muawiyah, katanya: aku telah kabulkan persyaratan yang kau
ajukan terdahulu. Adapun persyaratan yang diajukan Hasan adalah
bahwa dia berjanji untuk mengundurkan diri bila Muawiyah menerima
sebagai berikut:
1. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap siapapun dari
pendudukan Irak.
2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka
3. Agar pajak-pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan
diberikan dalam setiap tahun
4. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husen sebesar
2 juta dirham
5. Pemberian kepada Bani Hashim haruslah lebih banyak dari
pemberian kepada Banu Abdi Syams.
Bagi Muawiyah persyaratan-persyaratan itu tidak perlu
dipertimbangkan, asal Hasan bersedia mengundurkan diri. Akhirnya
tercapailah perdamaian dan tahun itu disebut tahun persatuan (amu al
jamaah), saat yang menentukan bahwa umat Islam hanya mempunyai
satu pemerintahan, setelah Hasan membaiat Muawiyah bin Abi
Sufyan, dilanjutkan dengan baiat massal. Bahkan Hasan selanjutnya
mengirim surat kepada Qais bin Saad yang memimpin 12 ribu tentara
untuk tunduk dan membaiat Muawiyah. Ketika itu Qais
menyampaikan himbauan Hasan dalam pidatonya dihadapan tentaranya:
hai saudaraku, kalian boleh memilih, terus berperang tanpa imam atau
taat kepada pemimpin yang sesat itu. Ternyata sebagian tentara
memilih untuk berbaiat kepada Muawiyah. Tercapailah sudah ambisi
Muawiyah untuk menjadi pemimpin umat, walaupun menempuh cara
yang licik.

2.5 Sistem Pemerintahan


Keberhasilan Muawiyah mencapai tampuk pemerintahan karena dalam
dirinya tergabung sifat-sifat penguasa, politikus dan administrator. Dia dalah
seorang peneliti sifat manusia yang tekun dan memiliki wawasan yang tajam
tentang pikiran manusia. Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin,
administrator, dan politikus yang paling ahli pada saat itu. Ia adalah seorang
orator yang ulung.
Amru bin al ash seorang politikus ulung mantan gubernur Mesir setelah
dipecat oleh Utsman bin Affan, segera dia rangkul. Zaid bin abihi yang pada
mulanya termasuk diantara pembela Ali yang setia dapat ia tundukkan dengan
cara menasabkan dirinya kepada Abu Sufyan dan diangkat menjadi gubernur
Bashrah, dan bertugas khusus untuk mengamankan Persia bagian selatan. Al
Mughirah bin Syubah diangkat menjadi gubernur di Kufah, setelah dia kenal
ketrampilannya di bidang politik, dengan tujuan mengamankan Kufah yang
mayoritas penduduknya pendukung Ali.
Setelah memperhatikan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
Dinasti Umayyah didirikan atas dasar kekerasan dan kelihaian berpolitik. Dan
baiah terhadap khalifah dilakukan dalam keadaan terpaksa. Pada masa-masa
Awal Muawiyah menjadi penguasa kekuasaan masih berjalan secara
demokratis, tetapi setelah berjalan dalam beberapa waktu, Muawiyah
mengubah model pemerintahnya dengan model pemerintahan
monarchiheredetis (kerajaan turun temurun).
Muawiyah yang memiliki rasa kesukuan yang kuat dan fanatisme klan
yang hebat akhirnya memilih sistem pemerintahan Monarchi untuk
mempertahankan dominasi dan kelangsungannya dalam khilafah. Hal ini ia
buktikan dengan mengangkat Yazid, anaknya untuk menggantikan
kedudukannya sebelum ia meninggal dunia. Sistem pemerintah dinasti Bani
Umayyah sangat dipengaruhi oleh Persia dan Bizantium, yakni sistem
pemerintahan monarchi. Dia tinggalkan sistem pemerintahan yang dijalankan
khalifah empat, yakni musyawarah. Penunjukan yazid sebagai penggantinya
menunjukkan pelimpahan kekuasaan secara turun-temurun (pewarisan).
A. Daftar Penguasa Dinasti Umayah
NO NAMA MASA BERKUASA
1 Muawiyah binu Abi Sufyan 41-60 H / 661-681 M
2 Yazid bin Muawiyah 60-64 H / 681-683 M
3 Muawiyah binu Yazid 64 H / 683 M
4 Marwan binu Hakam 64-65 H / 684-685 M
5 Abdul Malik bin Marwan 65-86 H / 685-705 M
6 Al-Walid binu Abdul Malik 89-96 H / 705-715 M
7 Sulaiman binu Abdul Malik 92-99 H / 715-717 M
8 Umar binu Abdul Aziz 99-101 H / 717-720 M
9 Yazid binu Abdul Malik 101-105 H / 720-824 M
10 Hisyam binu Abdul Malik 105-125 H / 724-743 M
11 Walid bin Yazid 125-126 H / 734-744 M
12 Yazid bin Walid [Yazid III] 126 H / 744 M
13 Ibrahim bin Malik 126 H / 744 M
14 Marwan bin Muhammad 127-132 H / 745-750 M

B. Fase Kemajuan Dinasti Umayyah


1. Perluasan Wilayah
Perluasan wilayah yang dilakukan pada masa Bani Umayyah itu
meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang telah dapat
dicapai dan terhenti disitu gerakan perluasan Islam yang dilakukan
sampai masa Khalifah Utsman bin Affan. Ketiga front itu adalah:
Pertama, front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil.
Di masa Daulah Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah
meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel,
dan penyerangan terhadap beberapa pulau di Laut Tengah.
Kedua, front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai
Atlantik, kemudian menyebrangi Selat Jabal Tarik dan sampai ke
Spanyol.
Ketiga, front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang
yang satu menuju ke Utara, ke daerah-daerah di seberang Sungai
Jihun (Amu Dariah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan,
meliputi daerah Sind.
2. Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil
Front ini sangat penting bagi Daulah Umayyah karena Daulah ini
mengambil kota Damaskus sebagai ibu kota Imperium Islam yang
luas itu. Dengan demikian ibu kota tersebut dekat sekali letaknya ke
tapal batas kerajaan Byzantium. Muawiyah sebagai penguasa
pertama Daulah ini bermaksud menjatuhkan Imperium Byzantiium
ini dengan cara merebut ibu kotanya Konstantinopel. Usaha ini,
dilakukan Muawiyah dengan mengadakan persiapan-persiapan dan
memperbesar armadanya, hingga terdiri dari 1700 kapal, lengkap
dengan perbekalan dan persenjataan. Kemudian melakukan
penyerangan hingga ke Laut Tengah dan berhasil menduduki pulau
Rhodes pada tahun 53 H, dan pulau Kreta pada tahun 54 H.
Diserangnya lagi pulau-pulau Sicilia, dan sebuah pulau yang bernama
Arwad, tidak jauh dari kota Konstantinopel. Itu semua disamping
pulau Cyprus yang telah ditaklukkan Muawiyah pada masa Khalifah
Utsman. Penyerangan pulau-pulau tersebut dipimpin oleh Janadah
bin Abi Umayyah.
Setelah berhasil menguasai daerah darat dan laut, Muawiyah maju
menuju tujuan utamanya yaitu mengepung ibu kota Konstaantinopel,
yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah anaknya sendiri
didampingi oleh pahlawan Islam kenamaan antara lain: Abu Ayyub
al-Anshar, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, dan Bin Abbas.
Namun kota itu sanggup menghadapi pengepungan yang lama itu,
yang berlangsung sekitar tujuh tahun (54 H - 61 H). Dalam
pertempuran ini tewas seorang shahabi yang termasyhur yaitu Abu
Ayyub al-Anshari. Armada ini mengundurkan diri seiring dengan
akhir masa pemerintahan Muawiyah.
Penyerangan dilakukan kembali pada masa Khalifah Abdul Malik
setelah ia berhasil menumpas kekacauan dalam negeri sehingga
berhasil menaklukkan kembali daerah Armenia. Disusunnya rencana
untuk musim dingin dan musim panas. Pada tahun 84 H, Abdul Malik
mengirim pasukan di bawah pimpinan Abdullah bin Abdul Malik
menyerang kekuasaan Romawi dan berhasil menaklukkan
Mashaishah.
Penyerangan dilanjutkan kembali oleh Khalifah Al-Walid, hingga
dia berhasil melakukan penaklukkan ke daerah-daerah sekitar
Konstantinopel sebelum melakukan penyerangan ke sana walaupun
kota ini berhasil melepaskan diri dari pengepungan. [27]
3. Front Afrika Utara.
Muawiyah melakukan perluasan wilayah ke Afrika Utara yang
masih dibawah kekuasaan Romawi, yang dipimpin oleh panglima
masyhur -Uqbah bin Nafi al Fihri- yang telah menetap di Barqah
sejak daerah itu ditaklukkan. Dan Uqbah merusaha menarik bangsa
Barbar untuk masuk Islam. Ia barhasil menaklukkan daerah Tripoli
dan Fazzan, kemudian terus ke Selatan hingga sampai ke negeri
Sudan.
Muawiyah mengangkat Mslamah bin Makhlad al-Anshari sebagai
gubernur Maghribi dan berhasil menguasai seluruh daerah Maghribi,
Mesir, Barqah, Afrika dan Tripoli. Dia memecat panglima Uqbah
dari kedudukannya di Afrika dan diangkat kembali oleh Khalifah
Yazid, dan berhasil maju hingga ke pantai Atlantik.
Pengiriman satuan besar dilakukan kembali pada masa
pemerintahan Abdul Malik dibawah pimpinan Hasan bin Numan al-
Ghassani. Satuan ini berhasil menumpas satuan-satuan Romawi dan
menghalau mereka dari Afrika Utara serta menindas perlawanan
bangsa Barbar. Dengan demikian kekuasaan Islam sampai ke Lautan
Atlantik.
4. Front Timur.
Front ke daerah Timur ini dilakukan di daerah seberang Sungai
Jihun dan di Sind. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid kaum
muslimin telah mendapat kamajuan dan stabilitas di Daerah
Seberang Sungai Jihun, sehingga penaklukkan itu sempurna pada
masa pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdil Malik, dibawah
pimpinan panglima Yazid bin Muhallab.
Front Timur ini sangat erat hubungannya dengan negeri Persia,
yang ditaklukkan pada masa Khalifah Umar, dan negeri Khurasan
yang telah dicapai oleh Khalifah Umar dan Utsman namun belum
stabil. Pada masa Khalifah Al Walid, front ini dibagi dua oleh Al
Hajjaj bin Yusuf yang menunjuk dua orang panglima yaitu Al
Muhallab bin Abi Shufrah dan Muhammad bin Qasim as Tsaqafi
(menantunya sendiri). Panglima pertama dikirim ke arah Timur Laut
menaklukkan negeri-negeri yang berada di daerah Sungai dan
panglima kedua dikirim ke arah Tenggara menaklukkan negeri Sind.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik Timur
maupun Barat. Wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini
betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika
utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil,
Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan
Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah.

2.6 Sistem Sosial (Arab dan Mawali)


Meskipun sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa
pemerintahan Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang
dilakukan daulah ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Diantara usaha positif
yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam
mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sstem
pemerintahan dan menata administrasi antara lain organisasi keuangan ini
bertugas mengurusi masalah keuangan Negara yang dipergunakan untuk:
a. Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
b. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
c. Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
d. Perlengkapan perang
Disamping usaha tersebut Daulah Bani Umayyah memberikan hak dan
perlindungan kepada warga Negara yang berada dibawah pengawasan dan
kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dan kesewenangan.
Oleh karena itu Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga
kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang
hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali
hukum berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman
ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan
kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan
atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
1. Sistem Militer
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa
pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam sistem
militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan Arab
banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian
mereka memadukannya dengan sistem dan teknik pertahanan yang
selama itu mereka miliki, dengan perpaduan sistem pertahanan ini
akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan
kemajuan-kemajuan dalam sistem ini akhirnya para penguasa dinasti
Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke
Eropa. Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri
dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.
2. Sistem Ekonomi
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah
terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
a) Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap
pembangunan sektor pertanian, beliau telah memperkenalkan sistem
pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
b) Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi
nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni
Dinasti Umayah berlangsung selama 90 tahun lamanya dengan 14
khalifah. Dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tentu saja
sudah banyak yang dilakukan oleh dinasti Umayah dalam memajukan
Islam, terutama di sektor pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti pada
masa-masa khalifah sebelumnya, masa Bani Umayah, akal dan ilmu juga
berjalan seperti pada masa itu, walaupun ada beberapa kemajuan yang
berhasil dilakukan oleh Dinasti Umayah, karena pada waktu telah mulai
dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan eksakta.
Pada masa Dinasti Umayah, ilmu pengetahun berkembang dalam
tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan filsafat. Yuhana al-
Dimaski, tokoh filsafat beragama Nashrani yang terkenal dalam agama
Kristen. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama
pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba,
Granda dan lain sebagainya.
Pada masa Umayah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua
macam, yaitu : pertama, Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang
meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Quran, Hadits, Fiqh, al-Ulumul
Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang
diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat,
ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi
; Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasa
zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu
lughah, syair, khitabah dan amtsal.
Selain itu, kekuasaan ini juga melakukan banyak hal, baik prestasi
dalam negeri maupun luar negeri. Prestasi luar negeri misalnya, pada
masa Dinasti Umayyah, gerakan pelebaran sayap kekuasaan terus
dilakukan, terutama pada Muawiyah. Ia sangat gencar melakukan
ekspansi, setelah sempat tertunda pada Usman dan Ali, akibat konflik
politik internal. Pada masa Muawiyah bahkan telah mulai mampu
menciptakn bebarapa hal yang sangat berarti, terutama menyangkut
melindungi keselamatan Muawiyah, antara lain yaitu : Pertama,
Muawiyah memerintahkan agar para prajurit mengangkat senjata
tembok apabila mereka berada di hadapannya. Kedua, Muawiyah
merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan anjung
dalam masjid tempat sembahyang. Ia sangat khwatir akan keselamatan
dirinya, karena khalifah Umar dan Ali, terbunuh ketika sedang
melaksanakan shalat.
Kemudian, masa-masa kejayaan Daulah Umayah mencapai
puncaknya pada masa Al-Walid bin Abdul Malik (705-715. Masa ini
merupakan masa-masa kejayaan kekuasaan Bani Umayah, karena
ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam benar-benar
mendapatkan kebahagiaan. Pada masa ini, perluasaan wilayah kekuasaan
dari Afrika menuju wilayah Barat Daya, benua Eropa, bahkan perluasaan
ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah kepemimpinan
panglima Thariq bin Ziyad, yang berhasil menaklukkan Kordova,
Granada, dan Toledo.
Selain gerakan luar negeri, dinasti Umayah juga banyak melakukan
karya-karya yang sangat berarti, misalnya Muawiyah sudah merancang
pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan lagi pada masa
Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata dengan
baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada waktu itu.
Bahkan pada masa, Sulaiman bin Malik, telah dibangun pembangunan
mega raksasa yang terkenal dengan Jamiul Umawi.
Bahkan pada masa Daulah Umayah, gerakan sastra dan seni juga
sempat muncul dan berkembang, yaitu pada masa khalifah Abdul Malik,
setelah al-Hajjaj berhasil menundukkan Abdullah bin Zubair di Hijaz. Di
negeri itu telah muncul generasi baru yang bergerak di bidang sastra dan
seni. Pada masa itu muncul tokoh Umar binu Abi Rabiah, seorang
penyair yang sangat mashur, dan muncul perkumpulan penyanyi dan ahli
musik, seperti Thuwais dan Ibn Suraih serta al-Gharidl.
4. Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Selain itu, gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi
buku), juga dilakukan, terutama pada masa khalifah Marwan. Pada saat
itu, ia memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya
Aaron, seorang dokter dari Iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani,
kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian pula,
Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa
sansakerta yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku
ini diterjemahkan oleh Abdullah bin Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak
menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika, termasuk
karya Aristoteles :Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior serta
karya Porphyrius : Isagoge. [33]
Demikian juga, pada masa Dinasti Umayah, sudah mulai dirancang
tentang undang-undang yang bersumber dari al-Quran, sehingga
menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir al-Quran. Salah
seorang ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibn
Abbas. Pada waktu itu beliau telah menafsirkan al-Quran dengan
riwayat dan isnad, kemudian kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-
Quran dicari dalam al-hadits, yang pada gilirannya melahirkan ilmu
hadits.
Pada saat itulah kitab tentang ilmu hadits sudah mulai dikarang
oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadits yang terkenal pada masa
itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin
Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibn Abi Malikah (Abdullah bin Abi
Malikah at-Tayammami al-Makky), Al-Auzai Abdurrahman bin Amr,
Hasan Basri as-Syabi.
Dalam bidang hadits ini, Umar bin Abd Aziz secara khusus
memerintahkan Ibn Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadits. Oleh
karena itu, Ibn Syihab telah dianggap sangat berjasa dalam menyebarkan
hadits hingga menembus berbagai zaman. Sejak saat itulah
perkembangan kitab-kitab hadits mulai dilakukan. [34]
Gerakan Arabisasi juga bukan hanya dilakukan pada
penerjamahan, tetapi juga dalam konteks kebijakan pemerintahan. Pada
masa Abdul Malik (685-705 M) mulai diperkenalkan bahasa Arab untuk
tujuan-tujuan administrasi, mata uang gaya baru diperkenalkan, dan hal
ini memiliki arti yang sangat penting, karena mata uang merupakan
simbol kekuasaan dan identitas. Sebab, mata uang baru inipun dicetak
dengan menggunakan kata-kata semata, memproklmasikan dengan
bahasa Arab keesaan Tuhan dan kebenaran agama Islam.

2.7 Gerakan Oposisi


Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti
bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati
isi perjanjiannya dengan Hasan Bin Ali ketika dia naik tahta yang
menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah
diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya
Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara
beberapa kali dan berkelanjutan.
Perpecahan menjadi beberapa kelompok yang terjadi dalam setiap masa
kekuasaan pada masa khalifah, merupakan sesuatu yang lumrah. Setiap
kelompok sudah pasti memiliki militansi yang kuat terhadap kelompok
mereka masing-masing. Dalam konteks kekuasaan, setiap kelompok yang
berkuasa, sudah pasti akan berhadapan dengan kelompok lain sebagai pihak
oposisi.
Perubahan konsep suksesi kepemimpinan yang dilakukan oleh Muawiyah
telah melahirkan penolakan yang kuat dari kubu-kubu yang tidak searah
dengan kubu Muawiyah. Deklarasi pergantian kekuasaan kepada Yazid oleh
Muawiyah, selain telah menyalahi kebiasaan kekuasaan para penguasa Arab,
tetapi telah melahirkan kekecewaan dari musuh-musuh politik Muawiyah,
sehingga menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan
rakyat dan seringkali melahirkan konflik perang antar saudara.
Pada saat Yazid naik tahta menggantikan Muawiyah, beberapa tokoh
terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan kesetiaannya kepada pengganti
Muawiyah tersebut. Namun demikian, Yazid tidak tinggal diam untuk
menundukkan masyarakat Madinah, dengan mengirim surat kepada Gubernur
Madinah, Yazid memerintahkan untuk memaksa penduduk mengambil
sumpah setia untuk patuh kepada pemerintahan Yazid. Semua orang menjadi
tunduk, kecuali satu tokoh Madinah yang tetap istiqamah menolak Yazid,
yaitu Abdullah bin Zubair. Bersamaan dengan itu, kaum Syiah (kubu Ali)
melakukan konsolidasi kembali untuk melakukan perlawanan terhadap
kekuatan Bani Umayyah.
Demikianlah, oposisi telah menjadi tumbuh subur dalam melawan
kekuasaan Bani Umayah. Mereka berkonsentrasi membangun kekuataan
perlawanan di beberapa daerah oleh beberapa tokoh : pertama, oposisi yang
dipimpin oleh Husen bin Ali dan kaum Syiah. Husen dan kaum Syiah terus
membangun kekuatan dan melakukan perlawanan terhadap Bani Umayah.
Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan kaum
Syiah yang ada di Irak. Masyarakat di tempat ini sama sekali tidak mengakui
Yazid, kemudian mereka mengangkat Husen sebagai khalifah. Akhir dari
perjalanan Husen sebagai Khalifah adalah pada peperangan Karbala melawan
tentara Bani Umayah. Husen terbunuh, kepalanya di penggal dan dikirim ke
Damaskus, sementara tubuhnya dikubur di Karbala.
Terbunuhnya Husen tidak membuat kaum Syiah patah semangat. Mereka
terus melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap penguasa Bani
Umayah. Gerakan mereka lebih garang dan tersebar ke beberapa tempat.
Banyak pemberontakan yang terjadi dimotori oleh kaum Syiah, salah
satunya pemberontakan yang dilakukan oleh Mukhtar di Kufah pada 685-687
M. Pemberontakan ini banyak mendapatkan dukungan dari kaum mawali,
yaitu umat Islam yang bukan Arab, mereka berasal dari Persia dan Armenia
dan lain-lain yang oleh Bani Umayah dianggap sebagai warga Negara kelas
dua.
Kedua, Abdullah binu Zubair, ia membina kelompok oposisinya di Mekah,
sejak menolak patuh terhadap Yazid, tetapi ia baru menyatakan diri sebagai
khalifah dengan terbuka setelah Husein terbunuh. Tentara Yazid terus
berupaya memadamkan pemberontakan yang dipelopori Abdullah binu
Zubair, sehingga timbullah peperangan yang berhasil menewaskan Yazid dan
membuat tentra Yazid kembali ke Damaskus. Gerakan oposisi Abdullah binu
Zubair baru bisa dihancurkan pada masa Abd. Malik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi
Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan
khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan
mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali
terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak
menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan
dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada
masa itu disebut dengan tahun jamaah (Am al Jamaah) tahun 41 H (661
M).
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka
pemerintahan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang
cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun
temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk
anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada
tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai
banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai
wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan,
pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi
pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan
percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan
angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni
dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh
banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga
kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syiah dan
Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak
cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan
mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung
penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syiah, dan golongan Mawali.

3.2 Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pemakalah dan seluruh
pembaca. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan dan
kesempurnaan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2012), cet ke-5
Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta:
Akbar Media Sarana, 2003)
A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975)
A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1978), jilid1
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj, Jahdan Ibn Human
(Yogyakarta; Kota Kembang. 1995)
Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002),
jilid 1, Cet ke-2
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenada Media, 2010)
Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing (Bandung
Sumur Bandung.tt)
Siti Maryam (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern,
(Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002)
W. Montgomary Watt, Pergolakan Pemikiran politik Islam, (Jakarta: Bennabi Cipta,
1985)

Anda mungkin juga menyukai