Rumusan Masalah:
1. Bagaimana Berdirinya Dinasti Umayyah?
2. Bagaimana Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Umayyah?
3. Bagaimana Kemunduran Dinasti Umayyah?
1
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang IAIN-IB Press, jilid 1, Cet
ke-2, 2002) hal. 83.
2
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta :SerambiIlmuSemesta, 2013) hal. 224- 225.
Dari perselisihan tersebut di atas terjadilah peperangan antara Ali
dan Mu’awiyah. Peperangan tersebut disebut sebagai perang Siffin, karena
kejadiannya di daerah yang bernama Siffin. Dalam pertempuran itu hampir
semua pasukan Muawiyyah dikalahkan oleh pasukan Ali, tapi berkat siasat
penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin 'Ash, agar pasukannya mengangkat
mushaf-mushaf Al Qur'an di ujung lembing mereka, pertanda seruan untuk
damai dan melakukan perdamaian (Tahkim) dengan pihak Ali dengan
strategi politik yang sangat menguntungkan pihak Mu’awiyah.3Bukan saja
perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali,
tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap
setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak
peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk
menundukkanMuawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij,
yang terakhir terjadi peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana
dari 1800 orang Khawarij hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga
dari delapan orang itu menyebar ke kota Amman, Kannan, Yaman,
Sajisman dan ke Jazirah Arab.4
Kemudian Ali terbunuh oleh seorang anggota khawarij,
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan
selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata orangnya lemah,
sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian
damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat islam kembali dalam satu
kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah Ibn Sufyan.5
Dengan meninggalnya Ali (661), pemerintahan yang dapat kita sebut
sebagai periode ke khalifahan republik dimulai sejak ke Khalifahan Abu
Bakar (623) telah berakhir. Empat khalifah pada masa ini dikenal oleh
para sejarawan Arab sebagai Al-Rasyidin. Pendiri khalifah kedua,
3
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 103.
4
Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta:
Akbar Media Sarana, 2003), hal.176.
5
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, Cet-16, 2004)
hal. 40.
Mua’awiyah dari keluarga Umayyah, menunjuk putranya sendiri, Yazid,
sebagai penerusnya sehingga ia menjadi seorang pendiri sebuah dinasti.
Dengan demikian, konsep pewarisan kekuasaan mulai diperkenalkan
dalam suksesi ke khalifahan, dan sejak itu tidak pernah sepenuhnya
ditinggalkan. Ke khalifahan Umayyah adalah Dinasti (Mulk) yang
pertama dalam sejarah islam.6
6
Philip K. Hitti, History Of The Arabs,hal. 229.
diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan
menggunakan sistem Monarchi Heredites, yaitu kepemimpinan yang
diwariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh
melalui kekrasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyyah bermaksud
mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium.
Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia
memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan
jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah’ dalam pengertian
‘Penguasa’ yang diangkat oleh Allah. Karena proses berdirinya
pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis
dimana pemimpinya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan
cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661 M) akibatnnya, terjadi beberapa
perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat
mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya
pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh
khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seoraang putra makota
yang menjadi khalifah selanjutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah.
Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M/681M), para
penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah
sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan
menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan
kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran
Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik
politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa
sebelumnya. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih
pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa
Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama
untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah.
Selain terjadinya dala sistem pemerintahan, pada masa
pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya
masalh Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin,
Baitulamal berfungsi sebagai harta rakyat, dimana setiap warga Negara
memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut.
7
Rizem Aizid,Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan
Modern,. (Yogyakarta: Diva Press, 2021) hal. 253
https://www.google.co.id/books/edition/Sejarah_Peradaban_Islam_Terlengkap/-Uo2EAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1
Sebenarnya, kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Umayyah tidak
hanya dalam bidang militer dan kekuasaan, melainkan juga dalam bidang
lainnya, seperti sastra, ilmu pengetahuan, sosial, budaya, politik, dan
pemerintahan.8
8
Ibid.
kekuatan Kristen semakin mengalami kemajuan maka di sinilah
muncul berbagai serangan dari kerajaan-kerajaan Spanyol Kristen
terhadap pemerintahan Araab Islam.
3. Pluralisme etnik, agama dan budaaya, di pihak lain ternyata
menimbulkan potensi konflik dan perpecahan manakala tidak ada
ideologi pemersatu. Ketika kekuasaan Islam masih sangat efektif,
pluralisme tidak menimbulkan permasalahan. Tetapi ketika kekuatan
Islam senndiri mengalami kelemahan, maka pluralisme di Spanyol
berpotensi konflik. Fakta menunjukkan, sistem aristokrasi yang
berorientasi ke Arab tidak sepenuhnya bisa diterima oleh kelompok
Muwalladun (para muallaf dari penduduk Spanyol), yang mereka
masih dianggap warga negara kelas dua setelah orang-orang Arab.
Semenjak kematian ‘Abd al-Rahman III, suku-suku non Arab, seperti
Barbar (Barber), Slavia (Slavic) dan lain-lainnya berebut pengaruh dan
bertujuan untuk mendirikan sebuah negara kekuasaan yang merdeka.
Jadi fanatisme kekuasaan yang tidak dapat dipersatukan dengan suatu
ideologi menjadikan pemerintahan Islam di Spanyol terpecah-pecah.
4. Permasalahan ekonomi pemerintahan Bani Umayyah juga
menyebabkan kemunduran. Karena pemerintah semula hanya
mengendalkan pajak dan upeti dan orang-orang kaya dan kerajaan-
kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya, sementara tidak ada
upaya pengembangannya, maka hal ini menimbulkan merosotnya
income negara. Kondisi ekonomi semakn parah dengan datangnya
musibah kekurangan pangan, sehingga para petani yang mayoritas
adalah bekas budak yang dimerdekakan tidak mampu membayar beban
pajak. Maka, perselisihan antara kaum majikan dengan kaum buruh
tidak daapat dihindarkan.
5. Keterpencilan. Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang
lain. Ia selalu berjuang sendrian tanpa mendapat bantuan selain dri
Afrika Utara, sehingga tidak ada kekuatan alternative yang mampu
membendung kebangkitan Kriaten disana.9
SUMBER:
Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,
(Jakarta: Akbar Media Sarana, 2003), hal.176.
Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,
(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009) hal. 189-191.
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal.
103.
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang IAIN-IB Press,
jilid 1, Cet ke-2, 2002) hal. 83.
9
Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2009) hal. 189-191.