Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH KEMUNCULAN

PERSOALAN-PERSOALAN KALAM
Oleh Kelompok 1
1. Junandi Fahri
2. Maulidiyaturrahmah
3. Zaenab Baryusi
Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan

Khalifah Utsman bin Affan merupakan khalifah yang ketiga setelah khalifah
Umar bin Khattab. Saat khalifah Umar menjelang ajalnya, beliau pun
memberikan instruksi agar segera dilakukan pemilihan khalifah yang baru.
Maka terpiilihlah Utsman bin Affan yang menjadi khalifah setelah Umar bin
Khattab

Utsman bin Affan mulai menjadi khalifah pada usia 70 tahun dab
memerintah selama 12 tahun. Ketika di masa pemerintahan beliau, banyak
terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Pemberontakan
semakin menajadi-jadi ketika sebagian orang Kuffah dan Mesir pergi ke
Madinnah untuk menemui Khlifah Utsman.
Kejadian yang membuat para pemberontak semakin geram adalah ketika
mendapat sepucuk surat yang dibawa oleh orang misterius di mana isinya
adalah untuk memerintahkan agar membunuh para pemberontak. Surat
tersebut diterima ketika mereka hendak pulang dari Madinah. Hal tersebut
pun membuat mereka berbalik arah dan kembali lagi ke Madinah untuk
menanyakan tentang surat tersebut kepada khalifah Utsman.
Ketika khalifah Utsman ditanya mengenai hal tersebut, maka khalifah
Utsman pun sama sekali tak membenarkan perkara tersebut. Akhirnya
karena tidak puas para pemberontak pun mengepung khalifah Utsman di
kediamannya selama kurang lebih 40 hari.
Beliau pun pasrah dan tawakkal karna mengetahui bahwa ajalnya tidak lama
lagi. Setelah itu, datanglah para pemberontak ke rumah khalifah Utsman
datang untuk membunuh beliau. Khalifah Utsman pun terbunuh di
rumahnya. Setelah khalifah Utsman wafat, jenazah beliau pun dimakamkan
di malam hari. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari agar makan beliau
diketahui oleh para pemberontak khawatir makan beliau akan dibongkar.
Baiat Atas Khalifah Ali bin Abi Thalib

Setelah khalifah Utsman wafat, para pemberontak pun menguasai keadaan


pada saat itu. Namun ketika mereka mencari orang yang akan di usulkan
untuk mengganti kepemimpinan Utsman bin Affan semua berujung dengan
penolakan. Mulai dari Thalhah, Sa‟ad bin Abi Waqas, Zubair, Ibnu Umar
bahkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Orang-orang Mesir, Basrah dan Kuffah memiliki pikiran yang sama untuk
menjatuhkan khalifah Utsman dari kekhalifahan, namun mereka berselisih
tentang siapa yang akan menggantikannya. Mereka pun bingung dengan
keadaan tersebut. Akhirnya mereka membuat ancaman dengan
mengumpulkan para penduduk Madinah dan mengatakan bahwa jika satu
khalifah tidak juga terpilih maka mereka akan membunuh Ali, Thalhah,
Zubair dan yang lainnya/ mereka memberi waktu selama satu hari.
Akhirnya setelah mendapat banyak desakan dari berbagai pihak, baik itu
dari para pemberontak maupun dari masyarakat Madinah, orang-orang pun
memilih Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah selanjutnya menggantikan
khalifah Utsman bin Affan. Karena alasan tersebut, Ali bin Abi Thalib pun
terpaksa menerima desakana orang-orang yang datang yang jumlahnya
semakin banyak tersebut untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai
penerus dari kekhalifahan.

Setelah itu, para pemberontak pun membawa Thalhah dan Zubair untuk
bersama-sama membaiat Ali untuk menjadi khalifah. Dengan begitu, pada
hari Senin tanggal 21 bulan Dzulhijjah di tahun ketiga puluh Hijriyah,
Sayyidina Ali dibaiat menjadi khalifah selanjutya. Lalu khalifah Ali pun
melaksanakan pekerjaan pertamanya sebagai seorang khalifah adalah
menemukan para pembunuh khalifah Utsman dan menghukum mereka.
PERANG JAMAL

Satu tahun setelah Ali menjadi khalifah, terjadi perang jamal (unta
betina). Perang ini terjadi pada tahun 36 H/657 M antara pasukan Ali
dan pasukan Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar.
Pemerintahan Khalifah Ali dapat dikatakan sebagai pemerintahan
yang tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok
kaum muslimin sendiri. Pemberontakan pertama datang dari Talhah
dan Zubair yang dipimpin oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi
dengan sebutan Perang Unta (Jamal). Dikatakan demikian, karena
Siti Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan
Ali.

Siti Aisyah bergabung dengan Talhah dan Zubair untuk


menentang Khalifah Ali, karena alasan penolakan Ali
menghukum pembunuhan Utsman. Ada juga pendapat
pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Talhah dan
Zubair untuk merebut jabatan khalifah
Kepada pihak Basrah, Ali menyampaikan pidato
yang antara lain mengatakan, “Saya adalah saudara
kalian... saya akan menuntut para pembunuh
Utsman itu.” Talhah, Zubair dan penduduk Basrah
menyambut baik dan merasa sangat puas dengan isi
pidato Ali itu. Dengan membawa perasaan puas Ali
juga kembali ke kemahnya.
Namun,ajakan Ali ditolak. Akhirnya, pertempuran yang
dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama
Perang Unta (Jamal) karena Aisyah dalam pertempuran
itu menunggang unta. Ali pun berfikir dengan cepat. Ia
memerintahkan unta Aisyah dirobohkan. Unta
dirobohkan, tapi Aisyah selamat. Ali menyuruh
beberapa orang pasukannya mengantar Aisyah ke
Madinah.
PERANG SHIFFIN

Perang shiffin yaitu perang antara pasukan Ali bin Abi


Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada
tahun 37 H/658 M, Muawiyah tidak mau membai‟at
Khalifah Ali, sekalipun menolak pencopotannya sebagai
Gubernur Syam oleh Khalifah Ali.

Muawiyah bin Abi Sufyan juga menganggap Ali tidak mampu menegakkan syariat
Islam karena tidak mampu menghukum para pembunuh Usman. Bahkan ia
menuduh Ali di belakang tragedi pembunuhan terhadap Usman. Mereka tidak
mau membai‟at Ali sebagai khalifah. Sebaliknya, dia menuntut Ali dan para
pengikutnya untuk mengangkatnya sebagai khalifah. Perang pun tidak bisa
dihindarkan. Masing-masing pasukan bergerak maju untuk saling menyerang.
Korban berjatuhan. Sejarah mencatat banyak korban dari pihak Ali dan
Muawiyah.
Atas desakan para sahabatnya, akhirnya Ali menerima
ajakan untuk berdamai. Dalam perdamaian tersebut
disepakati untuk diadakan perundingan. Pihak Muawiyah
diwakili oleh Amr bin Ash, sedang pihak Ali bin Abi
Thalib diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Dalam
perudingan, keduanya sepakat untuk menyuruh Ali bin
Abi Thalib dan Muawiyah mundur dari jabatannya
masing-masing.

Kemudian, Amr bin Ash menyatakan kemunduran Muawiyah


bin Abi Sufyan dari kekhalifahan. Namun demikian, Amr bin
Ash langsung mengukuhkan Muawiyah bin Abi Sufyan
sebagai khalifah yang sah.
Peristiwa Tahkim

Dengan dikuasainya Shiriah oleh Mu‟awiyah yang secara terbuka menentang


Khalifah, memaksa Khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslim terjadi lagi,
yaitu antara angkatan perang Khalifah Ali dan pasukan Mu‟awiyah di kota tua Siffin, dekat
sungai Eufrat, pada tahun 37 H. Peristiwa Tahkim terjadi pada malam Rabu, 13 hari terkhir
bulan Safar tahun 37 H.
Naskah perjanjian Tahkim itu adalah: “Bismillah al-Raman al-Rahim. Inilah keputusan
yang ditetapkan pihak Ali bin Abi Thalib dan pihak Mu‟awiyah bin Abi Sufyan. Ali bertindak
atas nama penduduk Kufah dan orang-orang yang mendukungnya, sedangkan Mu‟awiyah
bertindak atas nama penduduk Sham beserta setiap orang yang mendukungnya. Kami akan
tunduk pada hukum Allah dan kitab-Nya. Tidak ada sesuatu pun selain dari kedua hukum
tersebut yang yang dapat mempersatukan kami. Kitab Allah – mulai dari awal sampai
penutupnya- berada di antara kami. Hidup dan mati kami akan mengikuti apa yang telah
digariskannya. Apapun yang dijumpai dalam kitab Allah, keduanya, yaitu Abu Musa al-
Ash‟ari Abd Allah bin Qais dan „Amr bin al-„As} al-Quraishy, akan mengamalkannya. Andaikata
tidak dijumpai di dalamnya, maka yang menjadi pegangan selanjutnya adalah al-
Sunnah yang adil, yang komprehensif dan tidak memecah belah......”
Munculnya Khawarij

Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa arab


kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau
memberontak. Kelompok Khawarij pada mulanya
memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang
benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai‟at
mayoritas umat islam, sementara Mu‟awiyah berada pada
pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah
yang sah.
Lagi pula, berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali
hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu,
tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai
Mu‟awiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Sebab kemunculan Kelompok Khawarij yaitu fanatisme
kesukuan, faktor ekonomi, dan semangat keagamaan.
Munculnya Khawarij

Apabila dianalisis secara mendalam, doktrin yang


dikembangkan kaum Khawarij dapat di kategorikan kedalam tiga
kategori, yaitu politik, teologi, dan sosial. Akibat doktrinnya
menentang pemerintah, khawarij harus menanggung
akibatnya. Kelompok ini selalu dikejar-kejar dan ditumpas pemerintah.
Lalu, perkembangannya sebagaimana dituturkan Harun Nasution,
kelompok ini sebagian besar sudah musnah. Sisa-sisanya terdapat di
Zanzibar, Afrika Utara, dan Arabia Selatan.
Bagdadi mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 20
subsekte. Harun mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi
18 subsekte. Adapun Al-Asfarayani, seperti dikutip Bagdadi,
mengatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 22 subsekte.
TERIMA KASIH
SEMOGA BERMANFAAT

Anda mungkin juga menyukai