Anda di halaman 1dari 36

7 (tujuh) Pokok Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural

dalam Surat Al-Hujurat Ayat 11-13

Syamsul Bahri
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Abstrak
Keragaman budaya yang disebut multikultural sering membuat konflik dalam sebuah
masyarakat. Hal ini terjadi karena banyak pihak belum memahami hakikat
multikulturalisme. Islam melalui al-Qur’an mengandung nilai-nilai pendidikan
multikultural yang mesti diangkat ke permukaan, terutama surat al-Hujurat ayat 11-
13. Dengan demikian penelitian ini menguraikan bagaimana penafsiran surat al-
Hujurat ayat 11-13 menurut para ahli tafsir, dan apa nilai nilai-nilai pendidikan
multikultural yang dapat disebutkan dalam surat al-Hujurat 11-13 tersebut.

Kata Kunci: nilai pendidikan multikultural,tafsir, surat al-Hujurat ayat 11-13

A. Pendahuluan
Realitas konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia telah
membukakan mata manusia untuk mencari cara penyelesaiannya. Barat
misalnya, rentetan konflik-konflik yang terjadi di negaranya sejak abad 18
silam menuntut mereka berpikir exstra akan langkah solutif untuk
meminimalisirkan konflik. Salah satu ‘solusi cerdas’ yang telah dilakukan
Barat—dalam sejarahnya— adalah dengan menerapkan pendidikan
multikultural. Mengapa pendidikan multikultural? Ternyata satu sumber
konflik umat manusia yang paling besar (sering terjadi) adalah akibat tidak
memahami keragaman budaya (multikultural) yang terdapat pada setiap
individu atau komunitas. Orang/ kelompok rela berbuat anarkisme, dan
radikalisme karena perbedaan sosio-kultural dan agama. Dan orang cenderung

195
bersikap etnosentrisme dan egosentrisme karena sebab perbedaan status
sosial dan lain sebagainya. Ini yang sering muncul ke permukaan.
Untuk itu pendidikan dipandang sebagai medium paling efektif untuk
menanamkan ideologi multikulturalisme, yakni sebuah ideologi atau paham
yang mengajarkan kesetaraan dan keadilan untuk setiap manusia. Dan Barat
beberapa abad yang lalu telah mempraktikkannya. Dickerson dalam
Zakiyuddin Baidhawy memaknai Pendidikan multikultural adalah sebuah
sistem pendidikan yang kompleks yang memasukkan upaya mempromosikan
pluralisme budaya dan persamaan sosial. Program yang merefleksikan
keragaman dalam seluruh wilayah lingkungan sekolah; pola staffing yang
merefleksikan keragaman masyarakat, mengajarkan materi yang tidak bias,
kurikulum inklusif, memastikan persamaan sumbar daya dan prigram bagi
semua siswa sekaligus capaian akademik yang sama bagi semua siswa.1

B. Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11-13


Surat al-Hujurat digolongkan dalam surat Madaniyah. Karena itu
kehidupan masyarakat Madinah sekecilnya dapat berpengaruh terhadap
turunnya ayat ini (asbab al-nuzul). Kehidupan Nabi saw di Madinah berbeda
dengan kehidupannya di Makkah. Perbedaan ini terletak pada sisi
pemerintahan Rasulullah saw yang tercermin dari masyarakat yang berbeda-
beda (multikultural). Oleh karena perbedaan tersebut, banyak peneliti
menyebutkan bahwa era kepeminpinan Rasul saw di Madinah adalah bercorak
kenegaraan yang telah memiliki perundang-undangan. Karena sejatinya
perundang-undangan itu (disebut piagam madinah) adalah hadir ditengah
masyarakat yang majemuk.

1
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural
(Jakarta: Erlangga, 2005),hal. 74

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 196


1. Surat al-Hujurat ayat 11
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih
baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok)
dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang
siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
dhalim. (Qs.al-Hujurat:11)

al-Shabuni., seorang seorang Guru Besar ilmu tafsir di Umm Al-Qura


University, Makkah, Saudi Arabia. dalam tafsirnya menyatakan wahai orang-
orang yang beriman, janganlah satu kelompok dari kalian menghina
kelompok yang lain. Jangan kamu mengolok orang lain, karena
sesungguhnya orang yang kamu olok-itu lebih baik dari kamu di sisi Allah.2
Zamakshari, seorang penafsir muktazili, menyebutkan bahwa pada dasarnya
kata ٌ‫ قَوم‬yang terletak pada ayat itu ditujukan hanya kepada laki-laki,
dikarenakan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, sebagaimana firman
Allah swt (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan : al-Nisa’ 34),3
Meskipun demikian, ada ungkapan lain dalam al-Qur’an yang mengatakan
kaum itu bukan kepada laki-laki, bahkan juga ditujukan kepada (kaum)
Fir’aun dan Ad, yaitu berupa kelompok, baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam al-Qur’an (surat al-Hujurat ayat 11) sengaja disebutkan laki-laki saja,
dikarenakan selain kata (qaumun) itu Nakirah,4 juga bersifat umum. Jadi tidak

2
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafassir, (Kairo: Dar al-Shabuni,
tth), hal. 235
3
Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Al-
Khasysyaf, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth), hal. 357
4
Nakirah (ism nakirah) dalam bahasa Arab diterjemahkan sebagai kata yang
belum dikenal. Lawannya adalah makrifah (ism makrifah), yang berarti sudah
dikenal/dimaklumi. Satu cara menandakan lafal kata itu nakirah yaitu tanpa huruf alif
dan lam (al). Terkait arti kata qaumun, bandingkan dengan penjelasan Quraish Shibab
berikutnya dalam tulisan ini.

197 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


ada pemisahan, misalnya laki-laki untuk laki-laki saja dan perempuan untuk
perempuan saja, dengan alasan setelah kata qaum disebutkan lagi kata nisa’
(yakni; wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain). Oleh karena itu,
larangan al-Sukhriyah ditujukan kepada semua manusia, baik seorang laki-
laki/ kelompok maupun perempuan.5
Al-Maraghi menjelaskan bahwa kata al-Sukhriyah berarti mengolok-
olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan
cara menimbulkan tawa. Orang mengatakan, sakhara bihi dan sakhara minhu
(mengolok-olokkan), dan dahika bihi dan dahika minhu (menertawakan). Dan
hizi’a bihi dan hazi’a minhu (mengejek). Sukhriyah bisa juga terjadi dengan
meniru perkataan dan perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau
menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya
terhadap perbuatan atau rupanya yang buruk.6 Quraish Shihab dalam tafsirnya
al-Misbah menyebutkan pernyataan hampir serupa, kata
yaskhar/memperolok-olok yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan
tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan dan
tingkah laku.7 Atau ringkasnya perilaku merendahkan dan menghina pada
suatu kaum.8
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pergaulan antar sesama
manusia (manusia beriman) itu memiliki aturan yang sangat jelas dan
mendetail. Mungkin banyak orang tidak mempersoalkan masalah pengolok-
olokan atau penghinaan ini, sebagian lain menganggapnya perkara kecil yang

5
Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Al-
Khasysyaf..., hal. 358
6
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun
Abu Bakar, dkk, Cet. II, (Semarang: Toha Putra, 1993), hal. 220
7
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 251
8
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin & Imam Jalaluddin al-Suyuti, Terjemahan
Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Jilid 2, terj. Bahrun Abu Bakar, L.C,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003), hal. 893

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 198


tidak perlu dibahas panjang dan banyak. Inilah keagungan al-Qur’an yang
mempersoalkan dan menjelaskan satu kata agar dipahami oleh pemeluk
agama. Bukankah orang rela membunuh karena namanya dilecehkan?
Bukankah seorang pemimpin rela membunuh orang lain ketika martabatnya
dihina? Bukankah sebuah negara akan memerangi negara lain yang
menginjak-injak simbol bendera dan lambang negaranya? dan Bukankah
orang rela mati (bunuh diri) karena nabinya dan kitab sucinya dilecehkan?
Dan lain-lain sebagainya dengan rangkaian-rangkaian pertanyaaan yang
serupa. Hal ini menandakan “la yaskhar” kata Allah dalam al-Qur’an itu
bermakna sangat mendalam, dan tentunya bermanfaat sekali agar dipahami
dengan baik.
Melalui ayat ini, sesungguhnya al-Qur’an sedang menjelaskan tujuan
hidup bermasyarakat di dalam Islam. Masyarakat unggul yang hendak
ditegakkan Islam dengan petunjuk al-Qur’an ialah masyarakat yang memiliki
etika yang luhur. Pada masyarakat itu setiap individu memilliki kehormatan
yang tidak boleh disentuh. Ia merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok
individu manapun berarti mengolok-olok pribadi umat. Sebab, seluruh jamaah
itu satu dan kehormatannya pun satu.9 Etika pergaulan umat yang diberikan
oleh Allah dalam ayat ini merupakan cerminan sifat kasih sayang-Nya kepada
hamba. Dan ketika memberitahukan etika itu, Allah bersahaja memanggil
dengan panggilan ‘sayang’, “Hai orang-orang yang beriman.” Padahal moral
yang hendak diberitahu itu terletak pada kata (konotasi) negatif—agar tidak
mengolok-olok, baik perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki
dan begitu seterusnya—namun Allah swt. tidak memanggil dengan seruan,
“Hai para pengolok-olok”, “Hai para pencela,” hal ini menandakan agar
seruan ini diperhatikan sungguh-sungguh oleh manusia dari jenis/kaum mana
pun dalam dunia ini. Konsekwensinya berbanding terbalik, meskipun

9
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. As’Ad Yasin, Cet.I, Jilid X,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal.417-418

199 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


panggilannya berkesan baik, kalau seruan itu tidak dilaksanakan oleh
manusia, maka manusia itu termasuk orang dhalim. Sedangkan dhalim adalah
satu sifat yang sangat berlawanan dengan iman.
Dalam tafsir al-Nur, Hasbi Ash-Shiddiqie menyebutkan bahwa ayat ini
turun mengenai Shafiyah Binti Huayi binti Akhtab. Ia datang mengadu di
hadapan Rasulullah, bahwa istri-istri Rasul yang lain mengatakan kepadanya
“hai orang Yahudi, hai anak orang Nasrani,” mendengar itu Rasul berkata
“mengapakah kamu tidak menjawab “ayahku Harun dan pamanku Musa,
sedangkan suamiku Muhammad”.10 Menurut suatu riwayat yang lain, ayat ini
diturunkan mengenai suatu kaum dari Bani Tamlen yang menghina beberapa
sahabat Rasul; Ammar, Suhail, Khabbab, Ibn Fuhairah, Salman dan Salim
Maula Ibn Khuzaifah karena mereka berpakaian yang bertambal-tambal.11
Sesuai dengan sebab turun ayat itu, bahwa kelakuan beberapa istri Nabi saw
yang mengejek salah satu istrinya-Shafiyah, adalah tidak diperkenankan oleh
Nabi. Kata ejekan yang dipakai berupa pengembalian identitas kesukuan dan
agama, itu tidak enak didengar dan menyakitkan hati Shafiyah. Sehingga
Nabi pun balik menjelaskan, bahwa ukuran kata yang diucapkan (tidak enak
didengar itu) hendaklah dibalas dengan ucapan yang membahagiakan sebalik
ukuran yang disampaikan itu. Bukan membalas ejekan yang sama. Kalau
perkataan ejekan itu berbau diskriminasi rasial, maka sebaiknya menjelaskan
dengan membawa nama-nama yang baik.
Adapun Bani Talem memperolok sahabat Nabi dengan sebab mereka
miskin. Miskin adalah termasuk status sosial dalam masyarakat. Selain
miskin, ada istilah kaya, dan sederhana. Keragaman ini termasuk keragaman
vertikal, misalnya pangkat, jabatan dan lain-lain sebagainya yang biasanya
terletak pada masyarakat yang heterogen. Sikap menghina kelompok miskin

10
Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Quranul Majid an-Nur, Cet. II,
(Jakarta: Pustaka Rizki Putra Semarang, 1995), hal. 3789
11
Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Quranul Majid..., hal. 3789

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 200


tidak sepantasnya dilakukan oleh individu dalam melakukan interaksi sosial,
karena perbuatan itu akan menjurus kepada ketidakharmonisan sosial.
Pada penjelasannya, Hasbi juga menyebutkan bahwa semua ulama telah
sepakat akan keharaman memanggil seseorang dengan gelar yang tidak
disenangi, baik dengan menyebut suatu sifat yang tidak disenangi, baik sifat
diri atau sifat orang tuanya, ataupun sifat keluarganya.12 Sifat diri misalnya, ia
terletak atas karakter dan watak setiap individu yang mana sifat tersebut
berasal dari dalam dirinya (internal) dan luar dirinya dengan pengaruh
lingkungan (eksternal). Ada orang yang selama hidupnya telah membawa
‘kemalangan’ tertentu seperti bersikap pendiam (introvert), penakut, dan
culun. Contoh sifat demikian sebenarnya tidak diinginkan melekat pada
dirinya, tetapi untuk merubahnya ternyata sangat sulit. Bisa dibayangkan apa
yang dirasakannya ketika orang-orang memperolok-oloknya, misalnya dengan
olok-olokan “hai pendiam, hai pengecut, hai anak culun,” dan lain-lain
sebagainya, yang sama sekali tidak disukainya itu. Begitu juga dengan
membawa sifat ayahnya, misalnya ayahnya seorang kaya di sebuah kampung.
Tapi kekayaan yang dimilikinya itu tidak banyak memberi kontribusi kepada
masyarakat sekitar dan tetangga, sehingga ia terkesan ataupun dikenal sebagai
orang pelit/kikir. Sifat kikir si ayah, menjadi biang masalah pada anaknya.
Ada orang yang memanggilnya dengan sebutan tersebut, misalnya “hai anak
si pelit.” Oleh karena itu, sikap mengolok-olok orang lain, baik dari sisi
stratifikasi sosial, karakter pribadi maupun keluarga adalah sifat tercela. Sifat
tercela ini mendatangkan rasisme, pergolakan sosial, perbudakan, dan
ketidakharmonisan dalam hubungan kemanusiaan.
Setelah kata larangan al-Sukhriyah ada kata larangan lain dalam ayat
tersebut, yakni talmizu. Kata ٌ ‫( ت َْلمِ ُزوا‬talmizu ) terambil dari kata al-lamz.
Dengan mengutip Ibnu ‘Asy’ur, Shihab menyebutkan kata talmizu itu berarti

12
Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Quranul Majid .., hal. 3789

201 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


ejekan langsung yang berhadapan kepada yang diejek, baik dengan isyarat,
bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini
adalah satu bentuk kekurangajaran dan penganiayaan. Ayat di atas melarang
َ ُ‫أ َ ْنف‬. Redaksi ini dipilih untuk
melakukan al-lamz terhadap diri sendiri ‫س ُك ٌْم‬
mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya seseorang
merasakan bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain
menimpa pula dirinya.13 Pengertian juga dijelaskan oleh Sayyid Quthb, ia
menjelaskan bahwa orang-orang beriman itu seperti satu tubuh. Barang siapa
yang mengoloknya, berarti mengolok-olok keseluruhannya.14 Demikian pula
َ ُ‫ أ َ ْنٌف‬itu adalah satu
al-Shabuni telah mengatakan pernyataan serupa; makna ٌ‫س ُك ْم‬
diri, “dikarenakan kaum muslimin ini ibarat satu jiwa, ٌ ‫ألن ٌالمسلمين ٌكأنهم ٌنفس‬
.‫واحدة‬.15 Penafsiran ini memberi pengertian bahwa mencela orang lain sama
dengan mencela diri sendiri. Karena mengingat sekalian mukmin itu
dipandang satu tubuh, yang apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka
seluruh anggota tubuh lain menjadi sakit.
Kata ٌ ‫( تنابزوا‬tanabazu) terambil dari kata ‫( النبز‬al-nabz) yakni gelar
buruk. al- Tanabazu adalah saling memberi gelar buruk. larangan ini
menggunakan bentuk kata yang mengandung timbal balik, berbeda dengan
larangan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja karena al-
Tanabazu lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga gelar buruk biasanya
disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan.
Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, akan
membalas memanggil yang memanggilnya dengan gelar buruk pula, sehingga
terjadi Tanabazu ( saling memanggil gelar buruk).16 Maksud kata ‘wa la
tanabazu bil alqab’ adalah sebagian kaum memanggil sebagian yang lain

13
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,... hal.252-253
14
Sayyid Quthb, Tafsir ..., hal. 418
15
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafassir ..., hal. 235
16
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, ...hal. 252

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 202


dengan gelar yang menyakiti dan tidak disukai, seperti halnya mengatakan
kepada sesama muslim, ‘hai fasik, hai munafik, atau berkata kepada orang
yang masuk Islam, ‘Hai Yahudi,hai Nasrani.17
Pengggalan ayat ini turun ketika budaya jahiliyah memanggil teman-
temannya dengan panggilan yang tidak disenangi. Mereka memiliki kebiasaan
nama yang banyak.18 Misalnya ada seorang bernama si Zaid! Beliau ini sangat
suka memelihara kuda kendaraan yang indah, yang dalam bahasa Arab
disebut al-khail! atau si Zaid Kuda! Oleh Nabi saw, nama ini diperindah, lalu
dia disebut Zaid al-Khair, yang berarti si Zaid yang baik! pertukaran itu hanya
berubah dari huruf lam kepada huruf ra saja, tetapi artinya sudah berubah
daripada kuda menjadi baik.19 Kebiasaan jahiliyah itu tidak baik dan harus
ditinggalkan sebagaimana dilakukan oleh nabi saw. tetapi merubah panggilan
dengan panggilan-panggilan yang baik, dan orang yang dipanggil itu suka
mendengarnya, maka hal itu tidaklah mengapa. “ayat ini datang anjuran
kepada kaum beriman, supaya tidak memanggil orang lain dengan gelaran
buruk. Kalau dapat tukarlah bahasa itu kepada bahasa baik, terutama yang
akan menyenangkan hatinya. Sebab itu maka Abu Hurairah yang berarti
Bapak si Kucing, tidaklah ditukar. Sebab ia sendiri lebih senang jika dipanggil
demikian, karena memang ia senang kepada kucing.20

17
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir, .. hal.224
18
hadis Imam Ahmad ini menyebutkan bahwa kaum itu adalah Bani Salamah,
“bahwasanya orang-orang Bani Salamah mengatakan bahwa ayat diturunkan
berkenaan mengenai kami (Bani Salamah). Ketika Nabi saw datang ke Madinah, pada
saat itu di Madinah setiap orang lelaki di antara kami pasti mempunyai dua atau tiga
nama. Nabi memanggil mereka dengan salah satu nama tersebut. Akhirya lama-
kelamaan mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya nama yang engkau
pakai untuk memanggilnya itu tidak disukainya,” lalu turunlah ayat ini. Imam
Jalaluddin al-Mahalli & Imam Jalaluddin al-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain ...,
hal. 904
19
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XX V, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1990) hal.
203
20
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XX V ..., hal.203

203 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


Penting diketahui, memanggil seseorang/ kelompok dengan panggilan/
gelar yang baik tapi bertujuan menghina, ini juga diharamkan. Karena
panggilan baik tersebut bukan berdasarkan niat yang baik tapi tujuan buruk.
Walaupun panggilan itu terdengar manis, berkelas dan berwibawa namun
kalau tujuannya untuk menghina maka itu termasuk dosa yang harus dijauhi.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah menyatakan
bahwa sebagian hak orang mukmin kepada orang lain adalah dengan memberi
nama atau memanggil namanya yang bagus; Adalah tiga macam kewajiban
seseorang kepada orang lain, yaitu memberi salam apabila berjumpa,
melapangkan tempat duduk, dan memanggil dengan panggilan yang baik dan
disukai.21
Selaras dengan asbab al-nuzul, mungkin kalau dikaitkan dengan situasi
kekinian, budaya dengan ‘banyak nama’ tidak hanya ada pada masa Nabi saw,
melainkan juga berada pada kebudayaan sekarang ini. Pada kebiasaanya
dalam hubungan sosial, ada orang tertentu yang memiliki lebih dari satu
nama, dan biasanya selain nama aslinya itu, ada nama yang didasarkan atas
kebiasaan seseorang dan pekerjaannya. Misalnya seseorang biasa ketiduran di
saat jam pelajaran di sekolah, orang-orang atau teman kelasnya
memanggilnya “si tukang tidur.” Contoh lain, ada orang sering senang
mendapatkan uang dan menampakkan kesenangannya pada orang lain.
Akhirnya ia dipanggil “si mata duitan.” Kalau pekerjaan misalnya seseorang
berprofesi sebagai tukang Sate, orang memanggilnya tukang Sate dan lain-lain
sebagainya.
Contoh lain, sebagian masyarakat Aceh sudah memberi stigma negatif
kepada suku Jawa, misalnya tidak semua orang Aceh menyukai etnis Jawa,
mereka kerap menyebutnya sebagai penjajah orang Aceh. Mungkin stigma ini
disebabkan luka lama atau dendam sejarah yang terjadi antara Jakarta—yang

21
Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Al-
Khasysyaf..., hal. 360

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 204


notabene Jawa— dan Aceh. Tetapi lambat laun akibat menjalarnya pergaulan
dan alat komunikasi, perilaku ini perlahan-lahan menghilang.22 Kalau stigma
(lebih lanjut cap/pelabelan) kepada suku lain tidak bisa ditanggulangi maka
konflik akan merebak dan kekerasan menjelma, karena sudah menjadi bahan
kajian antopologi dan sosiologi bahwa setiap masyarakat itu sekecilnya ada
jiwa— istilahnya—sukuisme, nasionalisme. Dan pada umumnya setiap orang
tidak menyukai pelabelan buruk untuk daerahnya masing-masing.23 Oleh
karena itu dapat kita perjelas bahwa “panggil memanggil” dalam interaksi
sosial yang bernada/panggilan “buruk” adalah perbuatan yang sangat dilarang
dalam Islam.
Konsekwensi logis munasabah antara kandungan ayat dengan penutup
ayat bahwasanya Allah menyebutkan perilaku mengolok-olok, mencela dan
memanggil dengan gelar buruk adalah dosa. Allah mengatakan di akhir ayat
kalau perilaku itu termasuk kedzaliman kecuali bagi orang-orang yang
bertaubat. Sedangkan menghindar diri dari berbuat demikian adalah berlaku
adil. Hal ini menjelaskan sesungguhnya berlaku adil (adil: antonim dzalim)
adalah wajib adanya sedangkan berlaku dzalim adalah haram dan berdosa.

22
Pada tahun 2012, pada masa Gubernur Irwandi Yusuf, di Aceh terjadi
penembakan kepada etnis tertentu (disebutkan suku Batak dan Jawa). Penembakan itu
diisukan terkait qanun bendera dan lambang Aceh yang belum disahkan oleh pusat
(Jakarta/Jawa). Aksi itu sebagai bentuk perlawanan tersembunyi agar pusat segera
mensahkan qanun-qanun itu. Belakangan diketahui kalau penembakan itu bukan atas
dasar politik, melainkan faktor ekonomi. Karena banyak orang luar Aceh menjadi
pekerja di Aceh, hal ini membuat OTK cemburu. Berbagai macam isu merebak terkait
penembakan berkesan etnosentrisme ini. Selanjutnya baca situs berita, Senin, 2
Januari 2012 viva.co.id http://nasional.news.viva.co.id/news/read/276770-
penembakan-di-aceh-menyasar-etnis-tertentu (di akses tanggal 20 Mei 2014)
23
Penulis memiliki pengalaman serupa ketika berhadapan dengan beberapa
teman dari luar propinsi Aceh. Mereka kerap sekali mengidentikkan masyarakat Aceh
dengan “orang-orang keras suka perang, fanatisme, egosentrisme, dan masyarakat
primitif,” walaupun mereka tak menampik hal-hal positif juga banyak sekali di Aceh.
Mungkin stigma yang diberikan ini terkait situasi sosial, keamanan, dan politik di
Aceh yang belum menentu, dan masih banyak terjadi kontak senjata dan
pembunuhan. Meskipun demikian, penulis menghadapi secara objektif dengan ilmiah
dan menerima kritikan dan masukan.

205 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


Jadi dapat disimpulkan bahwa surat al-Hujurat ayat 11 menyebutkan tiga
larangan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap individu dalam interaksi
sosial atau transaksi sosial. Tiga larangan tersebut yaitu,1) Setiap
individu/kelompok tidak boleh mengolok-olok individu/kelompok lain, 2)
Tidak boleh mencela orang lain, dan 3) Setiap individu tidak boleh
memanggil individu lain dengan panggilan buruk. Ketiga akar konflik24 ini
telah banyak terjadi dalam masyarakat yang majemuk, baik kemajemukan
horizontal maupun kemajemukan vertikal. Ketika ketiga larangan ini
dipadukan, maka ia akan berada pada kesatuan sikap negatif, yakni bentuk
sikap kekerasan rasial (rasisme) secara umum, dan etnosentrisme secara
khusus.25
Bentuk sikap rasisme (diskriminasi ras) telah dibuktikan dalam sejarah
sebagai bentuk sikap mengunggulkan diri (sebuah kaum) dan memandang
rendah orang/kelompok lain, karena alasan ras dan pangkat atau jabatan.
Sejarah menunjukkan bahwa rasisme sudah sangat berbahaya dan berujung
pada perang dan pembantaian bangsa lain. Rasisme Hitler yang merasa
keturunan Aria adalah ras paling superior di dunia, terutama terhadap bangsa

24
Dikatakan akar konflik karena konflik (lebih lanjut kekerasan) diawali dari
konflik sosial, yakni disfungsi sosial. Artinya nilai-nilai dan norma sosial yang ada
dalam struktur sosial tidak lagi ditaati, pranata sosial dan sistem pengendaliannya
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adapun penyebab utama konflik adalah
perbedaan atau ketimpangan hubungan dalam masyarakat yang memunculkan
diferensiasi kepentingan. Perbedaan kepentingan yang memicu konflik sosial akan
berujung saling mengalahkan, melenyapkan, dan memusnahkan di antara elemen
masyarakat. Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial, Teori, Aplikai dan Pemecahannya, Jakarta:
Kencana, 2001), hal.360
25
Etnosentrisme merupakan sikap emosional sekelompok etnik, suku bangsa,
agama atau golongan yang merasa etniknya lebih superior daripada etnik lain.
Rasisme adalah bentuk diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang
karena ras mereka. Kadang-kadang konsep ini menjadi doktrin politis untuk
mengklaim suatu ras lebih hebat dari ras yang lain. Kadang-kadang juga rasisme
menjadi ideologi yang bersifat etnosentris pada kelompok ras tertentu. lihat: Alo
Liliweri, M.S, Prasangka Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikultur,
Cet. II, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009 hal. 15 & 29-30

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 206


Yahudi, berujung pada Perang Dunia II. Dalam literatur kekinian, perasaan
dan ungkapan untuk melukiskan individu (kaum) merasa tinggi dari yang lain
disebut superioritas.26 Ungkapan superior sudah lazim didengar bahkan dalam
kelompok tertentu realita ini sengaja dibudidayakan. Tak dapat dipungkiri
superior adalah sikap yang paling dikhawatirkan dalam berkehidupan sosial
kemasyarakatan. Sebagai contoh, kelompok Syiah dikenal sebagai kelompok
yang mengangung-agungkan ahl al-bayt, mereka mengklaim kemulian
mereka melebihi dari orang lain, dikarenakan keturunan mereka dari
rasulullah saw. Jadi mereka seolah-olah seperti mengatakan bahwa ‘kami
adalah penerus rasulullah, senantiasa menegakkan agamanya sampai dunia ini
berakhir.”
Ukuran tinggi dan rendah bisa termasuk pada bidang sosial, agama, suku
dan kenegaraan. Maka sikap rasisme dan etnosentrisme tidak mendapat
tempat dalam Islam, karena itu bertentangan dengan hakikat penciptaan
manusia yang beraneka ragam di dunia ini. “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”(Qs.al-Rum:
22)
Adanya stratifikasi sosial dan perbedaan kebudayaan27 bukan sebagai
lahan untuk saling menjauhi dan memperburuk citra orang lain, melainkan
bisa bersatu untuk tujuan mulia yaitu mencapai nilai-nilai kemanusiaan.

26
Superior adalah dasarnya berarti orang atasan atau pemimpin, sedangkan
superioritas adalah keunggulan, kelebihan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-10 (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 977
27
Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan
out group yang biasanya diikuti oleh etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang
ditujukan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling baik, ideal,
beradab di antara kelompok lain. Jika masing-masing kelompok yang ada dalam
kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu
timbulnya konflik antar penganut kebudayaan. Elly M. Setiadi & Usman Kolip,
Pengantar Sosiologi ..., hal.362

207 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


Sebelum menilai ‘sesuatu’ pada orang lain sebaiknya melihat dulu dari segala
sudut pandang, dan dari kacamata mana ia pantas dihina dan dilecehkan,
bukan karena berbeda lantas berbuat semena-mena. Oleh karena itu nilai-nilai
pendidikan dari kalam Ilahi ini hendaklah menjadi pelipur lara untuk
menjadikan sebagai bentuk terimakasih kepada sang pencipta.
Al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang selalu aktif sepanjang zaman sejauh
manusia mempergunakannya dengan baik dan benar. Ketika satu waktu al-
Qur’an berbicara untuk masyarakat Makkah dan dengan situasi sosial waktu
itu, tidak berarti pembicaraan itu tidak dipakai lagi untuk situasi kekinian dan
pada setiap tempat. Karena al-Qur’an telah diturunkan untuk seluruh umat
manusia di muka bumi ini. Jadi—sebagaimana nilai-nilai yang dikandung
dalam al-Qur’an itu—kata al-Qaradhawy, “Islam bukan risalah bagi bangsa
tertentu yang mengklaim bahwa mereka sajalah merupakan bangsa yang
dipilih Allah, dan bahwa semua manusia harus tunduk kepadanya. Melainkan
Islam adalah risalah yang universal (syumul), yang berbicara kepada seluruh
umat, suku, bangsa dan semua status sosial.28 Pada zaman Rasulullah tidak
ada media dan teknologi seperti zaman canggih sekarang ini. Dulu orang
mengolok-olok orang lain pasti berhadapan langsung, sekecilnya antara
mereka pernah berjumpa, begitu juga memanggil dengan panggilan buruk itu.
Tetapi di era digital dan internet saat ini praktik perbuatan itu—pada saat
tertentu—akan berbeda, karena perbuatan itu bisa terjadi lewat media
komunikasi handphone dan telepon, atau teknologi informasi televisi, radio
dan lain sebagainya, atau jejaring sosial (social connection) seperti Facebook,
Twitter, Yahoo, Skype, Whatsaap dan lain-lain sebagainya. Bukan tidak terjadi
dalam dunia sekarang ini orang telah dihukum disebabkan menghina

28
Yusuf al-Qaradhawy, Karakteristik Islam, Kajian Analitik, Cet. VI,
(Surabaya:Risalah Gusti, 2001), hal. 119

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 208


kelompok/agama lain,29 dan orang dibunuh dikarenakan mengejeknya melalui
jejaring sosial ini. Media apapun yang dipergunakan hari ini dan secanggih
apapun suatu hari nanti, perbuatan rasisme tetap tidak dibenarkan dalam
Islam. Karena inti persoalannya adalah pada hubungan sosial antar sesama
manusia. Jadi tidak dibatasi oleh daerah, tempat, dan teknologi serta bebas
waktu dan keadaan.

2. Surat al-Hujurat ayat 12


Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian
kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.(Qs.
al-Hujurat:12)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa Allah melarang purbasangka yang buruk
terhadap sesama manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apapun yang
mereka ucapkan dan lakukan. Karena sebagian purbangsangka, merupakan
dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal
tersebut.30 Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta
yang relevan mengenai objek tersebut. Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu
adalah dosa. Tentang ayat ini Zamakhsyari menjelaskan:Kalimat ijtanibu
dalam ayat itu terkait (bekerja) untuk dua maf’ul (objek). Sebagai contoh,

29
Mirza Alfaths (Mirzanovic Alfathenev), seorang Dosen Fakultas Hukum,
Universitas Malikul Saleh (Unimal), Kota Lhokseumawe-Aceh, dipecat dari kampus
gara-gara melecehkan Islam di jejaring sosial, Facebook. Status (tulisan) yang
dipasang di wall (dinding) nya itu diangkat ke media massa oleh seorang akademisi
UIN Ar-Raniry. Akibatnya banyak orang marah, terjadi anarkis, dan akhirnya dia
disyahadatkan kembali oleh MPU Lhokseumawe. Baca:
http://aceh.tribunnews.com/2013/03/10/polisi-laporkan-penghinaan-di-fb , di akses
tanggal 8 Juli 2014
30
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir, .. hal.227

209 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


Allah berfirman dalam al-Qur’an (dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku
daripada menyembah berhala-berhala: Ibrahim;35). Ada juga yang berkata,
kalimat (ijtanibu) ini diubah menjadi kalimat mutawaah: artinya meskipun
dua maf’ul yang terdapat dalam kalimat itu, itu dipulangkan menjadi satu
maf’ul, yaitu yang diperintahkan untuk dijauhi itu adalah perilaku
berprasangka (dzan). dan sebagian prasangka itu disifatkan dengan
keseluruhan (banyak prasangka). Tujuannya adalah supaya setiap orang tidak
melakukan prasangka/dzan, karena itu adalah haram dan wajib dijauhi.31
Shihab juga menjelaslan, kata ijtanibu terambil dari kata janb yang
berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari
jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf ta
pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan kata ijtanibu berarti
bersungguh-sungguh. Usaha sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka
buruk.32 Artinya, dalam ayat ini Allah swt memberikan peringatan keras
kepada orang-orang beriman, supaya mereka menjauhkan diri dari
prasangka.Tatkala larangan didasarkan atas banyak berprasangka, sedang
aturannya menyebutkan bahwa sebagian prasangka itu dosa, maka
pemberitahuan dengan ungkapan ini intinya agar manusia menjauhi buruk
sangka apapun yang akan menjerumuskannya ke dalam dosa. Sebab orang
tersebut tak tahu sangkaannya yang manakah yang menimbulkan dosa itu.33
Sangka-sangkaan biasanya akan tumbuh makin berkembang tatkala seseorang
mendiamkannya dari apa yang sebenarnya harus diketahui. Sebagai contoh:
Ketika si A berkenalan dengan si B, si A ada menyimpan sangkaan
kepada si B. Ia berprasangka bahwa si B ini orangnya jahat dan suka
mencuri. Ia berpendapat demikian karena si B ini ada banyak uang,
padahal dia anak seorang miskin yang tinggal di kampung sebelah.
Anggapan ini makin berkembang ketika disaksikan si B ini juga pandai

31
Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Al-
Khasysyaf..., hal. 361-362
32
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, ...hal. 254
33
Sayyid Quthb, Tafsir ..., hal. 418

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 210


berbicara, ia hampir tak ada kesempatan untuk bicara ketika
pembicaraan diangkat. Sehingga dirinya sendiri banyak mendengar saja
dan makin menyimpan sangkaan-sangkaan itu. Alhasil sesuatu terjadi,
ada satu keluarga kehilangan sepeda motor di kampung itu, orang
kampung pada sibuk mencari sipencuri sampai kasus ini dibawa ke
polisi. Tak pelak lagi, si A langsung terbayang pencuri itu adalah si B,
yang kemarin hari ia berbicara dengannya. Dugaan semakin kuat,
karena ternyata si B tak ada di kampung sebelah, hal inipun dilapor
kepada orang-orang di kampung itu. Selanjutnya bisa dipastikan apa
yang terjadi, sangkaan menjadi fitnah, fitnah menjadi pertikaan sampai
kepada pembunuhan.

Banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin bisa menjadi


pelajaran. Rasulullah sangat mencegah perbuatan prasangka yang sangat
buruk itu dengan sabdanya: “Jauhilah olehmu berburuk sangka,
sesungguhnya berburuk sangka itu termasuk perkataan yang dusta.”34
Menuduh seseorang berbuat buruk, padahal tidak ada bukti-bukti yang nyata
untuk membenarkan tuduhan itu, maka hendaklah perbuatan ini dijauhi.
Prasangka—lebih lanjut disebut prejudice— juga merupakan satu bagian
pikiran yang mengatakan secara tersembunyi (hiden) bahwa (sesuatu objek)
itu tidak baik, atau disebut negative thinking. Prasangka demikian akan
menimbulkan benih-benih radikalisme dalam Islam.35 Yaitu sebuah sikap

34
al-Imam Abi al-Husain Muslim Ibn Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-
Naysaburi, Shahih Muslim, al-Kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-adab, bab Birrul
Walidaini, No. 6500, pensyarah: Muhammad Fuad al-Baqi, Cet. I (Riyadh: Dar al-
Salam, 1998), hal. 1123
35
Karena sejatinya hubungan antar kelompok memang akan menimbulkan
perwujudan sikap prejudisme. Istilah prejudice (prasangka) secara bahasa pada
dasarnya netral belaka. Istilah ini bisa bersifat positif dan negatif, namun karena
bersifat penilaian terlalu dini (prejudgement) dan dalam penerapannya lebih sering
mengarah kepada sikap negatif dan rigid (kaku). Maka penilaian istilah ini digunakan
untuk menggambarkan perasaan atau penilaian negatif terhadap orang-orang
didasarkan pada keanggotaannya dalam suatu kelompok. Dody S.Truna, Pendidikan
Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme: Telaah Kritis atau Muatan Pendidikan
Multikulturalisme dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan
Tinggi Umum Indonesia, (Seri Disertasi diterbitkan oleh Kementerian Agama RI,
2010), hal. 340

211 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


yang bermula dari prasangka kemudian mengacu pada permusuhan
disebabkan kelompok lain memiliki satu ciri yang tidak menyenangkan.
Prasangka merupakan titik pangkal problem rasial dan konflik etnik yang
ada, ia merupakan persoalan individu.36 Prasangka termasuk di dalamnya
diskriminasi, etnosentrisme, favoritisisme, ingroup, bias ingroup, penghinaan
terhadap outgroup, antagonisme sosial, stereotip, dan kesenjangan sosial.37
Terma ini merujuk pada segala perilaku dan sikap negatif terhadap seseorang
karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Hal ini adalah dosa,
meskipun dilakukan tanpa diiringi dengan aksi nyata.38 Sebaliknya, senantiasa
berprasangka baik (husnuzhan) sangat ditekankan dalam Islam. Berprasangka
baik pada manusia berarti tidak mudah memvonis orang lain bersalah dan
selalu mengedepankan klarifikasi (tabayyun) dalam kehidupan masyarakat
yang plural. Maka disinilah nilai-nilai pendidikan multikultural yang muncul
dari ayat ini untuk dijadikan panduan dalam melakukan hubungan sosial
kemasyarakatan sehari-hari.
Dalam ruang lingkup yang luas, prasangka (prejudicme) telah
meletakkan dasar persengketaan dan permusuhan antar manusia di muka
bumi. Agama Islam pada abad XXI ini sudah terstigma negatif oleh
masyarakat non-muslim atau disebut Islamphobia. Sejak meledaknya gedung
WTC (World Trade Centre) tahun 2001 silam, Barat telah menaruh curiga
kepada umat Islam. Sebagian mereka menjadikan purbasangka sebagai awal
mula mendeteksi “musuh-musuh” mereka. Meskipun disebutkan pelaku
peledekan (teroris) gedung WTC—selanjutnya bom bunuh diri di berbagai
negara—adalah berasal dari kelompok Islam (garis keras), secara totalitas

36
Dody S.Truna, Pendidikan Agama Islam ..., hal. 341
37
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan ..., hal. 89
38
al-Mawardi dalam tafsirnya mengatakan ‫ فإن لم يتكلم به لم‬,‫أن يتكلم بما ظنه فيكون إثما‬
.‫ يكن إثما‬Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i
al-Baghdadi, al-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardi, ditahqiq oleh Al-Sayyid ibn
‘Abd al-Maqshûd ibn ‘Abd al-Rahîm Cet.I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth),
hal. 334

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 212


umat Islam lainnya juga kena imbas pikiran negatif itu. Islam diprasangkakan
tergolong dalam agama yang keras dan radikal. Prasangka ini semakin pesat
melebar sehingga orang-orang muslim pun semakin terjerat dengan
prasangka-prasangka itu. Sebagai contoh, jilbab (burqa/ cadar) tidak mendapat
tempat yang baik pada mereka. Simbol-simbol Islam sangat menakutkan
mereka. Setelah peristiwa naas itu, wanita muslim tidak dapat hidup baik di
US, orang berjenggot dan mengenakan peci putih tidak mendapat perlakuan
yang layak, dan isu terorisme semakin merebak menghujam ke perut bumi ini.
Dan perang pun bertabuh memerangi terorisme, yang secara tidak langsung
ditujukan kepada muslim bergaris keras. Realita “perang” ini sangat
mengkhawatirkan semua pihak dari berbagai belahan dunia, meskipun dalam
waktu akhir-akhir ini peristiwa seperti itu menurun dan tidak banyak terjadi
lagi.
Konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka adalah stereotip.
Stereotip merupakan citra yang kaku terhadap suatu kelompok ras atau
budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran dari citra tersebut.39
Dengan kata lain, stereotip tidak mengindahkan fakta-fakta yang bersifat
objektif. Sebagai contoh adalah stereotip orang Amerika terhadap orang
Polandia, yang menganggap orang Polandia tersebut kotor, bodoh, tidak
berpendidikan. Hal ini disebabkan orang Polandia yang bermigrasi pada abad
ke-19 adalah petani yang tidak berpendidikan.40 Stereotip dalam tubuh
sebagian umat Islam (Indonesia), secara langsung mereka tidak menerima
muslim Syiah. Mereka sudah mengklaim kalau syiah itu sesat, dan mereka
menyangka kalau kedatangan syiah ke daerahnya untuk memperluas ideologi
syiah ini.41 Prasangka demikian bukan memperkokoh sesama umat Islam

39
Kamanto Sunato, Pengantar Sosiologi, edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), hal.152
40
Kamanto Sunato, Pengantar ..., hal. 152
41
Realita ini dapat diikuti dalam berita-berita konflik Syiah di Indonesia

213 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


melainkan merobohkan persatuan dan kesatuan umat Islam. Akibatnya
banyak terjadi unjuk rasa dan demontrasi menentang kedatangan masyarakat
Syiah. Anarkisme pun terjadi sampai pertumpahan darah. Bukankah
pertumpahan darah tidak diperbolehkah dalam Islam? Bukankah pertumpahan
darah telah ada pasa masa jahiliyah dan telah di larang? Firman Allah swt
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(Qs. al-
Maidah:50)
Setelah Allah menyebutkan larangan purbasangka ini, kemudian Allah
juga melarang setiap insan agar tidak memata-matai atau mencari kesalahan
orang lain dengan sembunyi-sembunyi. Kata ‫( تجسسوا‬tajassasu) terambil dari
akar kata ‫( جسا‬jassa), yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi.
Dalam ayat diatas dijelaskan dengan kata ٌ ‫ وال ٌتجسسوا‬/Wala Tajassasu. Lafal
tajassasu pada asalnya adalah tatajassasu, lalu salah satu dari kedua huruf ta
dibuang, sehingga jadilah tajassasu, artinya jangalah kalian mencari-cari aurat
dan keaiban mereka dengan cara menyelidikinya kesalahan orang lain.42
Menyelidiki kesalahan orang lain berbeda dengan memberitakan kesalahan
orang lain, karena awal menyelidiki adalah dugaan bersalah dan mencari-cari
salah. Imam al-Ghazali dalam Qurais Shihab memahami larangan ini dalam
arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiahannya. Yakni
setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain.
Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu.
Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif
terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga. 43
Tajassus (perilaku memata-matai) dapat merenggangkan tali
persaudaraan, sama halnya seperti menduga. Tajassus sebenarnya ada yang

42
Imam Jalaluddin al-Mahalli & Imam Jalaluddin al-Suyuti, Terjemahan Tafsir
Jalalain ..., hal.894
43
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, ...hal. 255

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 214


dilarang ada pula yang dibenarkan. Ia dapat dibenarkan dalam konteks
pemeliharaan negara (misal polisi inteligen), jaksa dan pengacara serta
wartawan-wartawan yang meliput berita untuk dikonsumsi publik, atau untuk
menarik mudharat yang sifatnya umum. Adapun tajassus untuk mencari
rahasia orang lain, ia lebih dilarang.44 Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ada
seorang yang bermaksud mengadukan tetangganya kepada polisi karena
mereka sering meminum minuman keras. Namun ia dilarang oleh Uqbah—
salah seorang sahabat nabi saw yang menyampaikan bahwa rasulullah saw
bersabda: “Siapa yang menutup aib saudaranya, maka ia bagaikan
menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup.”45 Berbanding
kontras mencari-cari kesalahan orang lain dengan mencari-cari kebenaran
orang lain. Mencari-cari kebenaran adalah usaha untuk menyelidiki kebaikan
yang ada pada orang lain, ia dicari dengan kacamata berpikir positif (positive
thinking). Artinya seseorang dapat saja mempersepsikan siapa saja yang ia
temui, atau kelompok mana saja yang dipertemukan, dengan terlebih dahulu
menaruh pikiran baik kepada mereka. Hal yang pertama menjadi perhatian
individu/kelompok itu adalah kebaikan-kebaikan yang ada pada
individu/kelompok lain. Dengan demikian ia akan mendapatkan kebaikan
daripada mereka. Perilaku ini adalah lawan dari perilaku sebelum, dan tidak
ada masalah untuk memperbaharuinya dalam kegiatan atau pergaulan sehari-
hari dikarenakan tujuannya adalah untuk kebaikan. “..Maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.” (Qs. al-Maidah:48)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa
Rasulullah ditanya;“Hai Rasulullah, apakah ghibah itu?” Nabi saw

44
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, ...hal. 256
45
Abu Daud, Sunan Abu Daud, No. 4881, Jilid. VII, Pensyarah. Syamsuddin
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hal. 160

215 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


menjawab Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya..
Ditanyakan lagi, Bagaimana bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang
aku katakan? Jawab Nabi, Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang
kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang
kamu katakan, maka kamu telah berbohong. Sesungguhnya
ghibah/mengunjing adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang
lain, menodai harga dirinya, kemuliaannya, dan kehormatannya, ketika
mereka sedang tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan
kepengecutan, karena ghibah sama dengan menusuk dari belakang. Buya
Hamka telah mendefinisikan ‘mengunjing’ dengan cukup sederhana dan jelas;
“Mengunjing adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang dia
tidak hadir, sedang dia berada di tempat lain. Hal ini kerap sekali sebagai
mata rantai dari kemunafikan.”46Alangkah bahayanya perbuatan mengunjing
ini, sehingga Hamka menyamakannya sebagai mata rantai kemunafikan,
sebuah kata yang tidak diperkenankan dalam Islam.

3. Surat al-Hujurat ayat 13


Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengena. (Qs. al-Hujurat:13)

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini turun ketika fathul Makkah, yaitu
peristiwa yang disebut sebagai kemenangan kaum muslimin. Adapun setelah
itu pokok-pokok Islam—salah satunya hubungan sosial—di atur dengan

46
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XX V ..., hal. 207

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 216


cukup baik oleh Nabi saw.“Berkata Ibnu Hatim: Dikabarkan kepada kami
oleh Asad ibn Musa, dari Yahya ibn Zakarya al-Qattan, dari Musa ibn
‘Ubaidah dari Abdullah ibn Dinar dari ibn ‘Umar berkata: Rasulullah saw
melakukan tawaf di atas untanya yang telinganya tidak sempurna (terputus
sebagian) pada hari Fath Makkah. Lalu beliau menyentuh tiang Ka’bah
dengan tongkat yang bengkok ujungnya. Beliau tidak mendapatkan tempat
untuk menderumkan untanya di masjid sehingga unta itu dibawa keluar
menuju lembah lalu menderumkannya di sana. Kemudian Rasulullah memuji
Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian berkata, “Wahai manusia,
sesungguhnya Allah telah menghilangkan pada kalian kesombongan dan
keangkuhan Jahiliyah. Wahai manusia, sesungguhnya manusia itu ada dua
macam: orang yang berbuat kebajikan, bertakwa,, dan mulia disisi Tuhannya.
Dan orang yang durhaka, celaka, dan hina disisi Tuhannya. Kemudian
Rasulullah membaca ayat:ya ayyuhan-nas inna khalaqnakum min zakarin wa
unsa... Beliau membaca sampai akhir ayat, lalu berkata, “Inilah yang aku
katakan, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian.47
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa manusia itu tergolong dua macam;
pertama, orang yang berbuat kebajikan, bertakwa, dan mulai di sisi Allah swt.
Kedua, orang yang durhaka, celaka dan hina di sisi Allah swt. Kemudian
beliau membaca surat al-Hujurat ayat 13. Ini menandakan sebenarnya hendak
disampaikan adalah pada dasarnya manusia adalah sama, tapi dua hal tadi
yang menyebabkan manusia itu berbeda di sisi Tuhannya. Ibnu Hatim telah
mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abu Mulaikah yang telah
menceritakan bahwa ketika penaklukkan Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah,
kemudian mengumandangkan suara azan. Lalu sebagian orang mengatakan:
“Apakah hamba sahaya yang hitam ini berani azan di atas Ka’bah?” Sebagian

47
Ibnu Katsir,Tafsir Ibnu Katsir, ditarjih dan tahqiq oleh Syaikh Khalid
Muhammad Muharram,Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim, Cet.III (Bairut: al-Maktabah al-
‘Ashriyyah, 2000), hal. 195

217 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


dari mereka mengatakan: “Jika Allah murka, niscaya Dia akan
mencegahnya.” Lalu Allah swt menurunkan Firman-Nya: Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
perempuan.”48 Maksudnya Allah tidak memandang warna kulit manusia untuk
menilai kehebatannya dikarenakan manusia dicipta dari satu pasangan, yaitu
Adam dan Hawa. Jadi setiap manusia yang lahir di dunia ini bermula dari satu
orang tua, meskipun ternyata antar sesama manusia itu tidak ada kemiripan
sama sekali. Allah swt berfirman “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi)
manusia yang berkembang biak.”(Qs. al-Rum: 20)
Perbedaan ras-ras manusia sudah dijelaskan dalam literatur antropologi.
Begitu juga etnis ma nusia sudak dijelaskan dalam studi etnologi dan
etnografi. Ras itu dapat berbentuk berbagai macam, seperti perbedaan variasi
penduduk atas dasar tampilan fisik, seperti rambut, mata, warna kulit, bentuk
tubuh yang secara tradisional ada tiga, yakni Kaukasoid, Negroid dan
Mongoloid.49 Di luar ras sebagai variasi penduduk, ras juga menyatakan
identitas berdasarkan, 1) Pemilikan perangai, 2) kualitas perangai tertentu dari
suatu kelompok penduduk, 3) menyatakan kehadiran setiap kelompok
penduduk berdasarkan geografi tertentu, 4) menyatakan tanda-tanda aktivitas
suatu kelompok penduduk berdasarkan kebiasaan, gagasan dan cara berpikir,
dan 5) sekelompok orang yang memiliki kesamaan keturunan, keluarga, klan
atau hubungan kekeluargaan.50 Perbedaan ras memungkinkan manusia
mengenal langsung akan wilayah asal atau bangsa mereka. Cara hidup suatu
kelompok pun memberi indikasi pembentukan ras-ras tertentu. Kalau tidak

48
Imam Jalaluddin al-Mahalli & Imam Jalaluddin al-Suyuti, Terjemahan Tafsir
Jalalain ..., hal.904
49
Ras adalah suatu kategori atau pengelompokan sejumlah orang berdasarkan
(terutama) karakteristik fisik tubuh, seperti warna kulit dan lain sebagainya.
Pembagian ras itu berdasarkan ras-ras yang ada di dunia saat ini, lih. Alo Liliweri,
M.S, Prasangka Konflik: Komunitas Lintas Budaya ..., hal. 19
50
Alo Liliweri, M.S, Prasangka Konflik: Komunitas Lintas Budaya ..., hal. 19

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 218


ada tujuan pada penciptaan itu, maka adalah mustahil Allah menyebutkan
perbedaan ini. Tetapi perbedaan ini sengaja dibentuk oleh Allah swt, atau
dengan sebutan lain adalah sunnatullah. “Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan...”. (Qs. al-Maidah:48)
“Dan Allah tidak melihat kepada bentuk remuk tubuh kalian, harta-harta
kalian tetapi yang dilihat adalah hati dan amalan-amalan kalian.”51
Kenyataannya manusia itu tidak mampu untuk mempersatukan keragaman
manusia ini sesuai dengan apa yang diinginkan mereka, melainkan mereka
hanya mampu saling mengenal dan memahami atas keragaman itu. “Dan jika
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Qs. Yunus:99). Akan tetapi
sengaja diciptakan beraneka ragam agar manusia itu berlomba-lomba mencari
kebaikan. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Allah swt
mempertegas kepada manusia, agar semua perbedaan itu—bangsa, suku,
agama, bahasa, ras—memiliki satu tujuan utama, yaitu untuk ‘saling
mengenal’. Tujuan utama ini adalah tujuan dari awal mula manusia itu
diciptakan, bahwa dengan saling mengenal akan mengantarkan manusia pada
gerbang ketakwaan. Jadi, saling mengenal menjadi landasan untuk
mendekatkan manusia itu pada derajat takwa, atau dengan kata lain, belum
sempurna ketakwaan pada manusia jikalau belum mengenal sesama
manusianya itu dengan baik dan benar.

51
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ditarjih dan tahqiq oleh Syaikh Khalid
Muhammad Muharram,Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim..., hal. 195

219 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


Kata ta’arafu terambil dari kata ‘arafa’ yang berarti mengenal. Patron
kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan
demikian ia berarti saling mengenal.52 yaitu saling kenal mengenal antara
sesama manusia dari segala perbedaan ras, suku dan bahasa. Semakin kuat
pengenalan satu pihak pada pihak lainnya, semakin terbuka peluang untuk
saling memberi manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling
mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan
pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah yang
dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan
kebahagiaan ukhrawi.53 Lebih lanjut makna dari ‫ لتعرفوا‬menurut al-Imam al-
Zamakhsyari adalah agar saling menyesuaikan diri. Hikmah dari
menyesuaikan diri itu agar teratur hubungan suku dan bangsa untuk saling
mengenal antar sesama mereka. Sehingga tidak perlu berbangga diri, atas
alasan nenek moyang, merasa lebih unggul (superior) dari yang lain. Akan
tetapi Allah menyeru kepada manusia agar mencari keunggulan dengan jalan
yang baik dan mulia, karena di situlah Allah menilainya.54
Saling mengenal (lita’arafu) antar sesama manusia adalah saling
memahami identitas budaya yang meliputi manusia itu.55 Hal ini disebut
sebagai identifikasi identitas orang, agama dan budaya agar dapat diperoleh
informasi dan dikenali orang/kelompok tersebut. Dengan cara seperti itu
setiap individu akan tumbuh sikap inklusif, yaitu bersedia menerima orang
lain yang berbeda dengan dirinya.

52
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Cet. VIII (Bandung: Mizan, 1998), hal.262
53
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ... hal.262
54
Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Al-
Khasysyaf..., hal. 365
55
Dalam artian sederhana, yang dimaksudkan identitas budaya adalah rincian
karakteristik atau ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki sekelompok orang dan batas-
batasnya. Alo Liliweri, M.S, Prasangka Konflik: Komunitas Lintas Budaya ..., hal. 41

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 220


Al-Maraghi mungkin termasuk satu penafsir al-Qur’an yang lebih suka
menyambungkan antara satu makna ayat dengan ayat yang lain (munasabah).
Beliau menjelaskan bahwa ayat di atas bermaksud perbedaan antara manusia
itu supaya saling kenal-mengenal, yakni saling kenal, bukan saling
mengingkari. Sedangkan mengejek, mengolok-olok dan mengunjing
menyebabkan terjadinya saling mengingkari itu.56 Di sini ia mengaitkan
makna dan pemahaman ayat 13 dengan ayat 11 dan 12, juga sebaliknya
memperkaitkan ayat 11 dan 12 dengan ayat 13. Itu terlihat ketika makna
penciptaan manusia yang berbeda disebutkan untuk saling kenal mengenal, ia
menarik kembali pemahaman makna pada ayat sebelumnya. Artinya,
perbedaan manusia yang diciptakan Allah bukan untuk diperolok, dicela dan
diberi gelar buruk, bukan pula untuk disangka-sangka keburukan mereka,
bukan mencari-cari kesalahan mereka dan mengunjing, tetapi semua itu
adalah untuk saling mengenal. Perhatikan skema berikut ini:

Dalam skema itu memaparkan dua item yang satu sama lain saling
membentuk sikap pada setiap individu atau kelompok. Item pertama

56
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir. .. hal.235

221 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


menjelaskan larangan mengolok, olok, mencela, memanggil dengan gelar
buruk serta berburuk sangka, mencari kesalahan orang lain dan mengunjing
akan menjadikan manusia itu saling mengingkar antar sesama. Hakikat saling
mengingkari antar sesama individu/ kelompok akan menjadikan individu dan
kelompok tersebut tidak harmonis, intoleran dan rawan konflik. Sebaliknya,
memanggil dengan gelar baik, tidak mencela, berbaik sangka dan senantiasa
mencari kebaikan dari orang lain akan menumbuhkan sikap saling mengenal.
Saling mengenal di antara sesama manusia akan menumbuhkan rasa
persaudaraan, persamaan dan harmonis serta damai. Dalam surat Ali Imran
ayat 64 Allah menegaskan:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling
maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."(Qs.Ali Imran: 64)

Secara eksperimental, kalimatun sawa’ yang terdapat dalam ayat di atas


menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika
manusia hidup melalui perjumpaan agama-agamaa, seolah didapatkan
pengalaman antarkultural (intercultural experiences) seperti berjuang dengan
pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia, seperti melibatkan
secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana
pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini
membuat individu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang memadai.
Dengan demikian kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas
kehidupan. Ia adalah bentuk manifesto yang mendorong kemajemukan
(plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 222


mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan
setara (equality) dan sama bermartabatnya (dignity).57
Pluralitas dan multikulturalis untuk dialog, bukan pertentangan, adalah
teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasionalitas otentik dan
wahyu, yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keberagaman
keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan
dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.58
Prinsip pengakuan (affirmative) terhadap keberagaman merupakan inti dari
kisah penciptaan dalam al-Qur’an yang memberikan peringatan kepada
manusia, “Sesungguhnya inilah umat kamu yang tunggal ,dan akulah
tuhanmu, karena itu, hendaklah kamu menyembahku.”(Qs. al-Anbiya’:92)
Nilai pluralisme ini mengakui kesamaan manusia dalam berbagai perspektif.
Sungguh ironis sebagian orang mengabaikannya dengan pengertian bahwa
pluralisme agama adalah pernyataan semua agama itu adalah sama. Mungkin
definisi ini yang menjadikan banyak orang mengganggap sesat dan kafir
kepada orang yang menganjurkan pluralisme, padahal pluralisme (agama)
bukanlah demikian melainkan kesamaan-kesamaan pada Realitas Muthlak
dan nilai-nilai kebaikan universal pada setiap agama (budaya) itu.
Penjelasan yang diterjemahkan dari surat al-Hujurat ayat 13 dengan surat
Ali Imran ayat 64 setidaknya mengandung tiga prinsip utama berkaitan
dengan hidup dalam keragaman dan perbedaan. Pertama, prinsip plural is
usual, yakni kepercayaan dan praktek kehidupan bersama yang menandakan
kemajemukan sebagai sesuatu yang lumrah dan tidak perlu diperdebatkan
apalagi dipertentangkan. Kedua, prinsip equal is usual, merupakan
normatifitas kesadaran baru umat manusia mengenai realitas dunia yang
plural. Dan ketiga, prinsip sahaja dalam keberagaman (modesty in diversity).
Bersikap dewasa dalam merespon keragaman menghendaki kebersahajaan,

57
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan ..., hal. 46
58
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan ..., hal. 47

223 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


yakni sikap moderat yang menjamin kearifan berpikir (open mind) dan
bertindak; jauh dari fanatisme yang melegitimasi penggunaan instrumen
kekerasan dan membenarkan dirty hands (tangan berlumuran darah dan air
mata orang tak berdosa) untuk mencapai tujuan apapun; mendialogkan
berbagai pandangan keagamaan dan kultural tanpa diiringi tindakan
pemaksaan.59
Prinsip-prinsip ini mencerminkan sikap pendewasan manusia dalam
berpikir, bersikap dan bertindak. Sekecilnya individu menjadi yakin akan
kehadirannya dalam pluralitas dunia ini untuk membawa kedamaian dan
kemaslahatan, sebagaimana intisari dari setiap agama yang mengajarkan
untuk selalu berbuat baik, terutama Islam yang nyata-nyata sebagai agama
rahmat untuk sekalian alam. Bahkan lebih daripada itu dasar demokrasi
adalah intisari daripada ayat ini, yakni menghilangkan kasta-kasta dan
perbedaan-perbedaan bangsa, dan masih adanya perbedaan rasial (apartheid).
Maka perkara ini sangat dilarang oleh agama Islam.60 Demokrasi dapat
terwujud dengan baik antar sesama manusia dalam segala sektoral kehidupan,
jika menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Untuk itu, pemahaman konsep masyarakat ideal adalah ketika masyarakat
menjadikan nilai-nilai qur’ani untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari dalam
segala bidang kehidupan, terutama pendidikan.
Dari beberapa pemaparan di atas dapat disebutkan juga bahwa para
penafsir dalam menafsirkan surat al-Hujurat ayat 11-13 memang merujuk
pada keadaan sosial manusia, yang mana di sana diketengahkan pada proses
interaksi sosial keagamaan harus ada etika-etika yaitu pandangan
multikulturalisme untuk melatarbelakangi hubungan sosial itu. Pandangan
tentang suatu yang dianggap baik, patut, layak, pantas dan biasanya dijadikan
sebagai pedoman dan pelajaran bagi tata kelakukan masyarakat tersebut. Jadi

59
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan ..., hal. 49-52
60
Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Quranul, ... hal. 3793

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 224


apa yang telah disampaikan di atas merupakan nilai-nilai pendidikan
multikultural yang mesti menjadi rujukan kepada manusia untuk menjalani
kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai yang terkandung hendaknya menjadi patron
sebuah sistem atau tata nilai dan konsep berpikir atau bertindak untuk
membentuk masyarakat yang makmur, aman dan sejahtera.

C. Tujuh (Pokok) Nilai Pendidikan Multikultural


Berikut ini akan disebutkan 7 pokok nilai-nilai pendidikan multikultural
yang terdapat dalam ayat-ayat itu. Esensi penarikan nilai-nilai pendidikan
multikultural tersebut dilakukan atas dasar larangan-larangan perilaku yang
terdapat dalam surat tersebut, kemudian kebalikan dari larangan itu adalah
tergolong kepada hal-hal yang dianjurkan. Inilah yang menjadi hasil kajian-
kajian ini. Oleh karena itu, 7 pokok nilai-nilai pendidikan multikultural dalam
surah al-Hujurat ayat 11-13 yaitu:
1. Nilai HAM dan Demokrasi
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah perwujudan hak paling esensial
manusia yang harus dipenuhi oleh pelaku pendidikan. Hak ini meliputi hak
hidup dan memperoleh kemerdekaan, hak untuk memperoleh penghargaan
dan pengetahuan, dan hak untuk memiliki kehidupan lebih baik. Sedangkan
bentuk-bentuk pelecehan kepada HAM adalah memperolok individu,
menghinanya dan melabelkan individu itu dengan nama yang tidak baik dan
tidak disukainya. Oleh sebab itu, setiap peserta didik dalam dunia pendidikan
memperoleh hak-hak ini dan haram untuk mengabaikannya.
Sedangkan demokrasi adalah turunan dari usaha mewujudkan hak asasi
manusia itu, yang mana melalui demokrasi setiap individu/ kelompok berhak
memberikan pandangannya untuk kepentingan diri dan komunitasnya. Mereka
yang berdaulat menentukan arah hidupnya dengan cara-cara tertentu yang
maslahat. Untuk itu pendidikan harus membebaskan peserta didik dari

225 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


belenggu kejumudan dan pasif, dari pengkerdilan kebebasan-kebebasan dalam
menuntut ilmu dan dari pengkebirian intelektualitas-intelektualitas mereka.
2. Nilai Toleransi
Proses pendidikan istilahnya tidak ada pandang bulu atau diskrimasi
untuk setiap individu meskipun berbeda status sosial, keluarga, suku bangsa,
agama dan negara di atas permukaan bumi ini. Begitu juga setiap
individu/kelompok harus bersikap toleransi/tasamuh kepada individu/
kelompok lain yang berbeda dengannya, baik berbeda suku, bangsa, agama,
maupun berbeda kepentingan untuk mencapai tujuan masing-masing.
Memberikan toleransi adalah memberikan kehormatan dan kebebasan bagi
orang lain untuk menjalankan tujuan mereka masing-masing, yang terpenting
tujuan mereka tidak merugikan orang lain juga.
3. Nilai pengurangan Prasangka (prejudice reduction) dan Berpikir
positif (positive thinking)
Kebalikan dari prejudice adalah husnud dzan, yakni berprasangka baik
kepada orang lain. Husnud dzan adalah memandang orang lain dengan
kacamata objektif dan mencari nilai-nilai baik yang terdapat pada orang lain.
Dalam dunia pendidikan, setiap guru harus memandang setiap peserta didik
itu baik dan kebaikannya perlu diberikan penghargaan-penghargaan positif.
Positive thinking merupakan nilai baik dari berprasangka baik, yaitu setiap
individu/kelompok menaruh sangkaan baik kepada individu/ kelompok lain
meskipun mereka belum dikenal dengan cukup baik. Hal ini seperti mencari-
cari kebaikan dan kebenaran pada orang-orang tersebut dengan maksud
supaya kebaikan dan kebenaran itu menjadi awal untuk memulai kerjasama
yang baik. Pelaku pendidikan pada dasarnya menganggap semua peserta didik
itu adalah baik dan benar meskipun berlatar budaya, agama, dan latar
keluarga, komunitas yang berbeda dengan dirinya.
4. Saling Percaya (mutual trust)

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 226


Dengan lahirnya toleransi dalam pendidikan, di sana akan mengurangi
prasangka-prasangka kepada sekolah dan seluruh pihak sekolah. Masyarakat
akan menaruh rasa percaya kepada sekolah, begitu juga antar sesama peserta
didik, sesama guru akan terjalin saling percaya untuk mengajarkan peserta
didik yang mereka itu adalah bagian dari masyarakatnya. Rasa saling percaya
adalah modal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dikatakan
sebagai modal dikarena ia adalah permulaan untuk menjalin hubungan dengan
orang di luarnya atau sosial. Saling percaya akan menumbuhkan kerja sama di
sekolah, sehingga mereka sama-sama memperoleh tujuan sesuai visi dan misi
sekolah yang telah ditetapkan.
5. Nilai Inklusivisme dan Pluralisme
Inklusivisme esensinya adalah bersikap terbuka kepada orang lain atau
tidak menutup diri untuk dikenal oleh orang lain. Inklusivisme juga sebuah
sikap mau menerima orang lain meskipun orang itu berbeda pemikiran dan
pandangan terhadap diri seseorang. Lawan inklusivisme adalah ekslusivisme,
yaitu bersikap tertutup kepada orang lain yang berbeda budaya, suku, agama
dengan dirinya. Oleh sebab itu pendidikan harus membuka diri kepada publik
dan setiap elemen pendidikan harus mengenal peserta didik pada sekolah itu
sehingga mereka tahu apa yang semestinya diinginkan dan diberi keluwesan
untuk mengetahuinya. Sedangkan pluralisme adalah anggapan bahwa setiap
perbedaan ideologi pada manusia itu hakikatnya adalah sama, ia berpangkal
pada satu realitas Tungal, hanya saja kulit luar yang membedakan manusia
itu. Peserta didik yang berasal dari budaya-agama yang berbeda harus
diperlakukan sama dengan peserta didik yang lain yang sama dengannya.
Dengan melaksanakan pluralisme dalam pendidikan diharapkan peserta didik
memahami budaya agamanya dan juga memahami agama lain.
6. Nilai Equalitas (kesetaraan) dan Equitas/justice (keadilan)
Sikap ini yang membawa manusia dalam wadah kesetaraan, tidak ada
yang diunggulkan dan tidak ada yang direndahkan. Menghormati dan

227 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


menghargai sesama manusia adalah nilai universal yang dikandung semua
budaya-agama di dunia ini. Pendidikan multikultural menumbuhkembangkan
kesadaran bahwa kedamaian yang diperoleh dari saling menghargai dan
menghormati adalah muthlak diperlukan.Setiap anak dalam pendidikan harus
diperlakukan sama, memberikan belajar sama, materi sama, cara belajar sama
dan penghargaan yang sama. Mereka tidak dibolehkan dibedakan atas dasar
keluarga, suku, budaya dan agama. Dengan menganggap setara semua peserta
didik mereka akan memperoleh keadilan, seperti keadilan untuk diajarkan,
diberi pemahaman dan diberi penilaian. Keadilan adalah memberikan sesuatu
kepada orang lain sesuai apa yang diinginkan mereka atau menempatkan
sesuatu pada tempatnya, tidak melebihkan pada tempat yang sama dan tidak
mengurangi pada tempat yang berbeda.
7. Nilai Kesetaraan Gender
Nilai ini memberi pedoman kepada lembaga pendidikan (sekolah)
terutama guru bahwa tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam
memperoleh pendidikan. Perempuan memperoleh kesempatan yang sama
untuk belajar dan diajarkan, serta berhak mendapat kesamaan perlakuan
dengan lawan jenisnya, karena mereka sama-sama memiliki harapan dan masa
depan. Untuk itu, pendidikan tidak boleh memisahkan antar perempuan dan
laki-laki dengan maksud memberikan bahan ajar yang berbeda kepada
mereka. Baik perbedaan kurikulum, mata pelajaran, dan proses penilaian

D. Penutup
Pendidikan multikultural merupakan tuntutan setiap kelompok. Hal ini
mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya, seperti
gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan agama. Karena pendidikan adalah
salah satu wadah efektif membentuk pengetahuan, wawasan dan kepribadian
subjek didik, maka secara langsung nilai pendidikan multikultural adalah
bagian pendidikan itu sendiri. 7 pokok nilai-nilai pendidikan multikultural

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 228


dalam surat al-Hujurat ayat 11-13 bukanlah akhir dari kajian tafsir ayat
tersebut. Penulis percaya masih banyak nilai-nilai pendidikan multikultural
yang mesti diambil dari penafsiran ayat-ayat tersebut. Hanya masalah tempat
dan waktu saja insya Allah akan banyak peneliti lain yang akan
mengungkapkannya kepada kita semua.

Daftar Pustaka
Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Al-
Khasysyaf, an Haqaiq al-tanzil ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil,
Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth
Alo Liliweri, M.S, Prasangka Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, Cet. II, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009
al-Imam Abi al-Husain Muslim Ibn Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-
Naysaburi, Shahih Muslim, al-Kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-adab,
bab Birrul Walidaini, No. 6500, pensyarah: Muhammad Fuad al-Baqi,
Cet. I Riyadh: Dar al-Salam, 1998
Dody S.Truna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme:
Telaah Kritis atau Muatan Pendidikan Multikulturalisme dalam Buku
Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum
Indonesia (Seri Disertasi diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, 2010),
hal.1
Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial, Teori, Aplikas dan Pemecahannya, Jakarta:
Kencana, 2001.
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin & Imam Jalaluddin al-Suyuti, Terjemahan
Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Jilid 2, terj. Bahrun Abu Bakar,
L.C, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003
Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XX V, Jakarta: Pustaka Panjimas

229 | KALAM, Jurnal Agama dan Sosial Humaniora


H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafassir, Kairo: Dar al-Shabuni, tth
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jakarta: Lentera Hati, 2002 &Wawasan
Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. VIII
Bandung: Mizan, 1998
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. As’Ad Yasin, Cet.I, Jilid X,
Jakarta: Gema Insani Press, 2004
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural
(Jakarta: Erlangga, 2005
Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Quranul Majid an-Nur, Cet. II,
(Jakarta: Pustaka Rizki Putra Semarang, 1995

Syamsul Bahri, 7 (Tujuh) Pokok Nilai-nilai Pendidikan .. | 230

Anda mungkin juga menyukai