Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA ALI BIN ABI THALIB

MAKALAH

Di susun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Bapak M. Solikhin Noor

Di susun Oleh :

Anis Silvia Masithoh (1503096050)

Indah Khoirum Mu’filah (1503096051)

Rian Linda Astuti (1503096052)

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2015
A. Latar Belakang Kehidupan Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Ali adalah putera Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin

Abdul Manaf al-Qursyiah al-Hasyimiah. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di

Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10

tahun sebelum kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW.

Ali merupakan sepupu dan juga menantu dari Rasulullah SAW yaitu suami dari puteri

Rasulullah, Fatimah Az-Zahra. Ali masuk Islam tatkala usianya belum mencapai 10 tahun.

Dengan demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak.

Nabi Muhammad SAW semenjak kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib.

Kemudian setelah kakeknya meninggal beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Karena hasrat

hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka beliau mengasuh dan mendidik Ali.

Pengetahuan agamanya amat luas. Karena kedekatannya dengan Rasulullah, beliau termasuk

orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Beliau juga terkenal dengan keberaniannya dan

hampir diseluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada dibarisan depan.

Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan

masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau

melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali. Utsman pun pada masa permulaan jabatannya

dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga

tampil membela Utsman ketika berhadapan dengan pemberontak.

B. Proses Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya.

Ali dibai’ad di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan,

pertentangan dan kekacauan , serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak

yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’ad menjadi khalifah. Setelah Utsman

terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota

Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin
Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik

kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi

khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’ad

menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki agar urusan itu diselesaikan

melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan

tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar

tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.

Ali dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti

Thalhah dan Zubair. Ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin

Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah

bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Abdullah dan Saad

misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan

Zubair, mereka membai’at secara terpaksa. Mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat

menjadi gubernur di Kufah dan Bashrah.

Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak

sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah

taklukan baru, dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak

hanya berada di tanah Hijaz (Mekkah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar Jazirah Arab dan

di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap

konfrontatif adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan

yang dikemukakan karena menurutnya Ali tidak bertanggung jawab dan tidak menindaklanjuti

pencarian pelaku atas pembunuhan Utsman tetapi malah mengutamakan pemerintahannya.

Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan pembai’atan. Setelah pelantikan

selesai, Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid

Nabawi. Setelah memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata:“Sesungguhnya Allah

telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka

ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Allah telah menetapkan segala kewajiban,
kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-

hal yang haram dengan jelas, memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya,

menekankan keikhlasan dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat

menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang

muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi kepentingan umum,

bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja,

dari sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya.

Bila melihat kebaikan ambillah, dan bila melihat keburukan tinggalkanlah.”

“Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap

khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan.

Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan

rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan

umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.”

C. Peperangan Pada Masa Ali Bin Abi Thalib

Ada banyak peperangan yang terjadi di masa Ali, di antaranya:

1. Perang Jamal / Perang Unta

Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun

dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat gubernur

yang diangkat oleh Utsman. Ali yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena

keteledoran mereka. Selain itu Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman

kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai

kembali sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah

diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab. Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah

yang dihadapi Ali, kemudian pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan.

Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang

merupakan keluarga Utsman sendiri dengan alasan:


a. Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman

b. Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru.

Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak

pemimpin yang berada di Madinah saja. Namun, karena situasi politik yang gawat pada waktu itu

sehingga permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat.

Suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak,

terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan tidak mengakui Ali menjabat sebagai khalifah

keempat. Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan

serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur, dan menguatkan kembali posisinya

sebagai khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi. Setelah itu baru

melakukan pengusutan atas pembunuhan Utsman. Namun, sejak tahun 35 H/656 M, tahun

pengangkatan Ali sebagai khalifah sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap

yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Utsman. Sehingga

Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk

menuntut balas atas kematian Utsman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar, Aisyah dan

pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali

dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya

ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka

mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak.

Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan “Perang

Jamal”. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Pertempuran inilah

yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh kemenangan pada

perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman dibanding pasukan

Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan

pengikutnya sebagai Ummul Mu’minin.

Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk

Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal
oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal

yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.

2. Perang Shiffin

Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dari Gubernur di

Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggiyang merasa kehilangan

kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman,

seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Ali mengadili pembunuh Utsman. Bahkan mereka

menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui

kekhalifahan Ali. Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka

menggantung jubah Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari tanda almarhum di

mimbar masjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Dengan

adanya peristiwa tersebut, pihak umum berpendapat bahwa Ali yang bertanggungjawab atas

pembunuhan Utsman.Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan

menuju ke Syiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus

sungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidak mengijinkan

pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusan pada Mu’awiyah agar arus

sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyah menolak. Akhirnya Ali mengirim

tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai

tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan tentara

Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.

Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan didataran

Shiffin, dan Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai. Ali mengirim

utusan dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untuk melangsungkan perundingan dengan

pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 M mereka mencapai persetujuan yakni

menghentikan perundingan untuk sementara dan masing-masing pihak akan memberi jawaban

pada akhir bulan Muharram.Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi

semangat tempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun
sebagaikhalifah, Ali terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat an-nisa’

ayat59. Dengan mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat dipahami mengapakhalifah

Ali menempuh jalan damai dahulu.Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk

mengangkat bai’at Ali dansebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka

bulan Saffar 37H/685M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan

85.000 orangdari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk

Islamdi kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitkan

semangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korbanpada pihak

Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang panji-panjiperang pihak

Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh pada pihak lawanmaka akan melumpuhkan

semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah,Amru bin Ash memerintahkan

mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berserumarilah kita bertahkim kepada kitabullah.

Namun pada saat itu Alimemerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu

muslihat musuh.Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka

telahmeminta bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya,

bahkandiantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali,

mariberserah kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap

andaseperti apa yang kami perbuat pada Usman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau

menghadapi orang-orang sendiri.Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000

orang dari pihak Ali dan45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.Peperangan ini diakhiri dengan

takhkim (arbitrase).Akan tetapi hal itu tidak dapatmenyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan

terpecahnya umat Islam menjadi tigagolongan. Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali,

pengikutMu’awiyah dan Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya,

diujungmasa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.

3. Perang Nahrawan
Setelah terjadi tahkim sebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yang menerima

arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenal dengan nama

Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:

a. Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karenatelah

mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang Shiffin, maka mereka wajib

dibasmi.

b. Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah ragu terhadap

kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuh untuk membelanya.

Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.

c. Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ah dan

membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.

d. Pemuka kelompok ini adalah Abdullah bin Wahhab al Rasibi. SebenarnyaAli tidak ingin

memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalam bersikap

diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah bin Wahhab dengan sadis sekali hanya

karena menolak untuk menyatakan keempat khalifah sepeningggal Nabi adalah kufur, selain itu

mereka juga membunuh utusan yang diutus oleh Ali.

e. Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatu tempat bernama

Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah).

Sebelum perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkankaum Khawarij.

Dan Ali memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: “Barang siapa pulang kembali ke Kufah,

akan memperoleh jaminan keamanan.”Sejarah mencatat setelah itu 500 orang diantara mereka

sebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagi pindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij

tinggal 1.800 orang.Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali

karena keberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenangan berada

dipihak Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhab tewas dalam

peperangan ini.Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib)

yang bermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatanpada


pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampumerebut Mesir.

Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah,sementara kekuatan Mua’wiyah

bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah mengambilposisi Mesir berarti merampas sumber-

sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali.

D. Sistem Ekonomi Pada Masa Ali

Masa pemerintahan Kholifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun

selalu diwarnai dengan ketidak stabilan kehidupan politik. Ali harus menghadapi pemberontakan

Thalhah, Zubair, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman bin Affan. Sekalipun demikian,

Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat

mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,

prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap

pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari

pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai

penghitungan baru.

Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang

sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para

pengikutnya di Irak. Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi

umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya.

Anda mungkin juga menyukai