MAKALAH
Di susun Oleh :
SEMARANG
2015
A. Latar Belakang Kehidupan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Ali adalah putera Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin
Abdul Manaf al-Qursyiah al-Hasyimiah. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di
Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10
tahun sebelum kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW.
Ali merupakan sepupu dan juga menantu dari Rasulullah SAW yaitu suami dari puteri
Rasulullah, Fatimah Az-Zahra. Ali masuk Islam tatkala usianya belum mencapai 10 tahun.
Dengan demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak.
Nabi Muhammad SAW semenjak kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib.
Kemudian setelah kakeknya meninggal beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Karena hasrat
hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka beliau mengasuh dan mendidik Ali.
Pengetahuan agamanya amat luas. Karena kedekatannya dengan Rasulullah, beliau termasuk
orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Beliau juga terkenal dengan keberaniannya dan
hampir diseluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada dibarisan depan.
Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan
masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau
melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali. Utsman pun pada masa permulaan jabatannya
dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya.
Ali dibai’ad di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan,
pertentangan dan kekacauan , serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak
yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’ad menjadi khalifah. Setelah Utsman
terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota
Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin
Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik
kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi
khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’ad
menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki agar urusan itu diselesaikan
melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan
tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar
tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Ali dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti
Thalhah dan Zubair. Ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin
Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah
bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Abdullah dan Saad
misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan
Zubair, mereka membai’at secara terpaksa. Mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak
sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah
taklukan baru, dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak
hanya berada di tanah Hijaz (Mekkah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar Jazirah Arab dan
di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap
konfrontatif adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan
yang dikemukakan karena menurutnya Ali tidak bertanggung jawab dan tidak menindaklanjuti
Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan pembai’atan. Setelah pelantikan
selesai, Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid
Nabawi. Setelah memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata:“Sesungguhnya Allah
telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka
ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Allah telah menetapkan segala kewajiban,
kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-
hal yang haram dengan jelas, memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya,
menekankan keikhlasan dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat
menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang
muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi kepentingan umum,
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja,
dari sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya.
“Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap
khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan.
Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan
rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan
umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.”
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun
dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat gubernur
yang diangkat oleh Utsman. Ali yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena
keteledoran mereka. Selain itu Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman
kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai
kembali sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah
diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab. Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah
Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang
b. Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru.
Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak
pemimpin yang berada di Madinah saja. Namun, karena situasi politik yang gawat pada waktu itu
sehingga permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat.
Suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak,
terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan tidak mengakui Ali menjabat sebagai khalifah
keempat. Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan
serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur, dan menguatkan kembali posisinya
sebagai khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi. Setelah itu baru
melakukan pengusutan atas pembunuhan Utsman. Namun, sejak tahun 35 H/656 M, tahun
pengangkatan Ali sebagai khalifah sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap
yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Utsman. Sehingga
Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk
menuntut balas atas kematian Utsman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar, Aisyah dan
pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali
dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya
ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka
mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak.
Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan “Perang
Jamal”. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Pertempuran inilah
yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh kemenangan pada
perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman dibanding pasukan
Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan
Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk
Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal
oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal
yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.
2. Perang Shiffin
Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggiyang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman,
seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Ali mengadili pembunuh Utsman. Bahkan mereka
menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui
kekhalifahan Ali. Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka
menggantung jubah Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari tanda almarhum di
mimbar masjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Dengan
adanya peristiwa tersebut, pihak umum berpendapat bahwa Ali yang bertanggungjawab atas
pembunuhan Utsman.Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan
menuju ke Syiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus
sungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidak mengijinkan
pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusan pada Mu’awiyah agar arus
sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyah menolak. Akhirnya Ali mengirim
tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai
tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan tentara
Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan didataran
Shiffin, dan Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai. Ali mengirim
utusan dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untuk melangsungkan perundingan dengan
pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 M mereka mencapai persetujuan yakni
menghentikan perundingan untuk sementara dan masing-masing pihak akan memberi jawaban
pada akhir bulan Muharram.Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi
semangat tempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun
sebagaikhalifah, Ali terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat an-nisa’
ayat59. Dengan mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat dipahami mengapakhalifah
Ali menempuh jalan damai dahulu.Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk
mengangkat bai’at Ali dansebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka
bulan Saffar 37H/685M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan
85.000 orangdari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk
Islamdi kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitkan
semangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korbanpada pihak
Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang panji-panjiperang pihak
Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh pada pihak lawanmaka akan melumpuhkan
semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah,Amru bin Ash memerintahkan
mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berserumarilah kita bertahkim kepada kitabullah.
Namun pada saat itu Alimemerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu
muslihat musuh.Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka
bahkandiantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali,
mariberserah kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap
andaseperti apa yang kami perbuat pada Usman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau
menghadapi orang-orang sendiri.Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000
orang dari pihak Ali dan45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.Peperangan ini diakhiri dengan
takhkim (arbitrase).Akan tetapi hal itu tidak dapatmenyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan
terpecahnya umat Islam menjadi tigagolongan. Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali,
pengikutMu’awiyah dan Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya,
diujungmasa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.
3. Perang Nahrawan
Setelah terjadi tahkim sebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yang menerima
arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenal dengan nama
a. Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karenatelah
mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang Shiffin, maka mereka wajib
dibasmi.
b. Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah ragu terhadap
kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuh untuk membelanya.
c. Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ah dan
d. Pemuka kelompok ini adalah Abdullah bin Wahhab al Rasibi. SebenarnyaAli tidak ingin
memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalam bersikap
diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah bin Wahhab dengan sadis sekali hanya
karena menolak untuk menyatakan keempat khalifah sepeningggal Nabi adalah kufur, selain itu
e. Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatu tempat bernama
Sebelum perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkankaum Khawarij.
Dan Ali memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: “Barang siapa pulang kembali ke Kufah,
akan memperoleh jaminan keamanan.”Sejarah mencatat setelah itu 500 orang diantara mereka
sebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagi pindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij
tinggal 1.800 orang.Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali
karena keberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenangan berada
dipihak Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhab tewas dalam
peperangan ini.Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib)
Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah,sementara kekuatan Mua’wiyah
Masa pemerintahan Kholifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun
selalu diwarnai dengan ketidak stabilan kehidupan politik. Ali harus menghadapi pemberontakan
Thalhah, Zubair, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman bin Affan. Sekalipun demikian,
Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap
pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari
pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai
penghitungan baru.
Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang
sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para
pengikutnya di Irak. Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi