Anda di halaman 1dari 19

KELOMPOK 3 :

Alina Nur Khalida Irva Aliya

Malika Rumaiza Putri


Anisatul Mahfudzoh
Mutia Farkhatin
Annisa Nur Fuadah
Ni’matun Nahdhiyah
Dhisna Luklu’ul Fauzan
Siti Sholihah
Fitria Naila Ulfa
Tsania Mishbahun Naila
Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Mekkah, daerah
Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi
Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Ibunya bernama Fatimah
binti Asad. Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, ia 32
tahun lebih muda dari Rasulullah. Ketika lahir ia diberi nama Haidar oleh ibunya
yang berarti singa, seperti nama kakeknya Asad, yang juga berarti singa. Tetapi Abu
Thalib memberi nama Ali yang berarti luhur, tinggi dan agung, nama yang
kemudian lebih dikenal, nama yang memang sesuai dengan sifat-sifatnya. Ali bin
Abi Thalib merupakan seorang anak kecil pertama yang menerima Islam. Sejak kecil
ia berada dalam asuhan Rasulullah saw., sehingga ia memiliki sifat-sifat yang mulia,
seperti kecerdasan, keberanian, kesabaran, kejujuran, ketakwaan, dan
kesalehannya. Ali tidak hanya tumbuh menjadi pemuda cerdas, namun juga berani
dalam medan perang. Ia diberi julukan Abu Turab oleh Rasulullah, yang berarti
tanah, dan Ali sangat menyukai julukan itu.
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Rasulullah
dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra. Setelah terbunuhnya
Utsman bin Affan, keadaan politik Islam menjadi kacau. Atas dasar tersebut, Zubair
bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah mendesak agar Ali segera menjadi khalifah.
Ali kemudian dibaiat beramai-ramai, menjadikannya khalifah pertama yang dibaiat
secara luas.Namun kegentingan politik membuat Ali harus memikul tugas yang
berat untuk menyelesaikannya. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena
dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang berasal
dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat
subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali
menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H.
Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf.
Setelah peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan, kota
Madinah dilanda ketegangan dan kericuhan. Rakyat dan para pembesar
mengalami kerisauan, keguncangan. Para pemuda banyak mendesak Ali untuk
menjadi khalifah. Awalnya Ali menolak, dia merasa masih banyak sahabat
yang lebih pantas untuk menjadi khalifah. Di antara mereka adalah
Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqaf. Mendengar alasan Ali,
kaum Muslimin mengajak Thalhah dan Sa’ad untuk bergabung
membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Mereka berdua setuju
dan terjadilah pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah di Masjid
Nabawi pada bulan Zulhijjah tahun 35 h (656 M).
2) Penarikan kembali tanah milik Negara
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, banyak para
kerabatnya yang diberikan fasilitas dan kemudahan dalam
berbagai bidang hingga banyak diantara mereka yang kemudian
merongrong pemerintahan Khalifah Utsman dan harta kekayaan
Negara. Oleh karena itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib berusaha
menarik kembali semua tanah pemberian Utsman kepada
keluarganya untuk dijadikan tanah milik negara. Hal ini
semata bertujuan untuk membersihkan praktik kolusi,
korupsi, dan nepotisme di dalam pemerintahannya.
b. Perkembangan dalam bidang politik militer

Khalifah Ali bin Abi Thalib sejak masa mudanya amat terkenal dengan
sikap dan sifat keberaniannya. Beliau amat tahu medan dan tipu daya
musuh. Pada saat perang Shiffin, Khalifah Ali mengetahui benar bahwa
siasat yang dibuat oleh Muawiyah ketika Muawiyah menempatkan Al-
Qur’an diujung tombak sebagai isyarat pedamaian. Khalifah Ali menolak
ajakan damai, namun para sahabatnya mendesak agar menerimanya.
Peristiwa ini dikenal dengan istilah tahkim di Daumatul Jandal pada
tahun 34 H. Peristiwa ini sebenarnya bukti kelemahan dalam system
pertahanan pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
c. Perkembangan dalam bidang ilmu bahasa

Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, wilayah kekuasaan
Islam telah meluas. Akibat luasnya wilayah kekuasaan Islam dan
banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan masyarakat
Arab, maka banyak ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur’an
atau hadis sebagai sumber hukum Islam. Khalifah Ali menganggap bahwa
kesalahan ini sangat fatal, terutama bagi orang-orang yang akan
mempelajari ajaran islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Oleh
karena itu, khalifah memerintahkan Abu al-Aswad ad-Duali agar
mengarang pokok-pokok ilmu Nahwu.
d. Perkembangan dalam bidang politik militer

Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, terdapat usaha
positif yang dilaksanakannya, terutama dalam masalah tata kota. Salah
satu kota yang dibangun adalah kota Kufah. Semula pembangunan kota
Kufah ini bertujuan politis, yaitu untuk dijadikan sebagai basis
pertahanan kekuatan Ali bin Abi Thalib dari berbagai rongrongan para
pembangkang. Akan tetapi, lama-kelamaan kota tersebut berkembang
menjadi sebuah kota yang sangat ramai dikunjungi, bahkan kemudian
menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan, seperti
perkembangan ilmu Nahwu, Tafsir, Hadis, dan sebagainya.
Perang Shiffin
Pada tahun 37 H/658 M, Muawiyah tidak
mau membai’at Khalifah Ali, sekaligus menolak
pencopotannya sebagai Gubernur Syam oleh Khalifah Ali, bahkan ia menuduh Ali
dibelakang tragedi pembunuhan terhadap Utsman. Perang inilah yang kemudian
menjadi akar terbunuhnya Khalifah Ali dan akhir dari kekhalifahannya. Setelah
mempersiapkan pasukannya di dataran Shiffin, Ali masih memberikan
kesempatan kepada Muawiyah untuk berunding, tetapi Muawiyah tetap tidak
mau membai’at Ali sebagai khalifah, bahkan dia menuntut Ali untuk
mengangkatnya sebagai khalifah. Perang pun tidak bisa dihindarkan. Ketika
pasukan Muawiyah terdesak, Amr bin Ash menganjurkan berdamai dengan
mengangkat Al-Qur’an sambil berseru, “Marilah bertahkim kepada
kitabullah.”Peristiwa ini yang dikenal dengan istilah tahkim.
Khalifah berketetapan untuk melanjutkan peperangan, sementara lainnya
berkata, “Seandainya mereka sudah meminta bertahkim kepada Kitabullah, apakah
layak bagi kita untuk tidak menerimanya?” Atas desakan sahabatnya, akhirnya Ali
menerima ajakan untuk berdamai. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash, pihak Ali
diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Dalam perundingan, keduanya sepakat menyuruh Ali
bin Abi Thalib dan Muawiyah mundur dari jabatannya, khalifah akan diputuskan
berdasarkan kesepakatan umat Islam.
Namun, Amr bin Ash berhasil mengelabui Abu Musa Al-Asy’ari. Ia meminta Abu
Musa Al-Asy’ari berpidato terlebih dahulu karena lebih tua, dia menegaskan
kemunduran Ali dari kursi kekhalifahan. Setelah itu, giliran Amr bin Ash naik ke atas
mimbar, dia menegaskan persetujuannya terhadap pendapat Abu Musa Al-Asy’ari.
Amr bin Ash langsung mengukuhkan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah yang
sah.
Semenjak peristiwa tersebut, sebagian dari mereka menyatakan keluar
dari Ali bin Abi Thalib dan menamakan dirinya sebagai kelompok khawarij.
Bahkan, mereka mengatakan Ali, Muawiyah, Amr bin Ash adalah kafir. Ali
berhasil memerangi kaum khawarij, tetapi beberapa orang yang melarikan diri
bersepakat untuk membunuh ketiga tokoh yang terlibat dalam peristiwa tahkim
tersebut. Pada tahun 39 H/660 M terjadi perdamaian antara Muawiyah dengan
Khalifah Ali dengan syarat Ali tidak mencampuri wilayah Syam.
Pada 16 Ramadhan 40 H/661 M sebelum fajar, dua orang khawarij
mengikuti Ali dari belakang. Ketika Ali sampai di depan pintu masjid agung
Kufah, keduanya membunuh Ali. Nama pembunuhnya yakni, Abdurrahman bin
Muljam. Pada tanggal 19 Ramadhan 40 H, Ali bin Abi Thalib menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Seiring dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib,
berakhirlah masa Khulafaurrasyidin.
Bertanggung jawab

Berani

Sederhana

Adil
Sekian
dari
Kami
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai