Anda di halaman 1dari 54

ALI BIN ABI THALIB (35-40 H/ 656-661 M) Oleh : APRIANI

A. PENDAHULUAN I. Latar Belakang Setelah berakhir pemerintahan khalifah Usman bin Affan (35H/656M) dengan kematiannya di ujung pedang para pemberontak yang tidak puas terhadap kebijakankebijakan politik dan pemerintahannya, umat Islam pada waktu itu mengalami kegoncangan dan perpecahan dalam menentukan siapa pemimpin mereka selanjutnya. Dalam suasana ini akhirnya Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah yang keempat menggantikan Utsman bin Affan. Walaupun Ali dipilih oleh mayoritas umat dari kalangan Anshar dan Muhajirin, namun tidak didukung secara bulat oleh sahabat-sahabat senior dan juga dari keluarga Bani Umaiyah. Hal ini tentu di kemudian hari menimbulkan problematika dalam mengendalikan kepemimpinannya. Sejak awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib perpecahan di kalangan umat Islam sudah tak terelakkan lagi. Tercatat dalam lembaran sejarah, masa ini sebagai masa awal timbulnya disintegrasi umat Islam, yang diawali perpecahan dalam bidang politik pemerintahan, dengan adanya perlawanan dan pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib yang melibatkan para sahabat senior Nabi. Dari masalah politik ini perpecahan melebar ke masalah pemahaman terhadap teologi.

II.

Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka pemakalah akan mengangkat

pokok pokok pembahasan, yaitu : 1. Sejarah hidup Ali bin Abi Thalib 2. Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat 3. Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 4. Terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib

B. PEMBAHASAN 1. Sejarah Hidup Ali bin Abi Thalib Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib ibn Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abd Manaf bin Qusay al-Quraisy. Ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hisyam, masuk Islam dan ikut hijrah bersama Nabi. Ia lahir di Mekkah 32 tahun setelah kelahiran Rasulullah atau 10 tahun sebelum bitsah (pengangkatan sebagai rasul).1[1] Ali adalah keponakan dan sekaligus menantu Nabi dari putri beliau Fatimah.2[2] Fatimah adalah satu-satunya putri Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.3[3] Ali bin Abi Thalib adalah termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun) dari kalangan anak-anak (sekitar berumur delapan atau sepuluh tahun), dan termasuk salah seorang sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga. Sejak kecil ia dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, karena kedekatannya dengan Nabi. Ia orator ulung, hidupnya penuh asketis (al-ulama arrahbaniyah rabbani al-ummah), berani, salah seorang yang banyak meriwayatkan

1[1]Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam sepanjang sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 20. 2[2]Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, (Mekkah Mukarramah: Maktabah Nizar Musthafa al-Baz, 2000), hlm. 149. 3[3]A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2007), hlm. 243.

hadis, pengetahuannya keagamaannya sangat luas, fatwa-fatwanya menjadi pedoman bagi para khalifah dan sahabat-sahabat para masa Abu Bakar, Umar dan Utsman.4[4] 2. Pengangkatan Menjadi Khalifah Pengangkatan Ali menjadi khalifah keempat dari khulafa ar-rasyidin terjadi pada tahun 35H/656 M, berawal dengan wafatnya khalifah ketiga Utsman bin Affan, yang terbunuh oleh sekelompok pemberontak dari Mesir yang bertepatan dengan 17 Juni 656 M, yang mana mereka tidak puas terhadap terhadap kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan. Setelah Utsman wafat, pemilihan khalifah yang keempat jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib. Namun orang-orang Bani Umayyah, terutama pemimpinpemimpin pemimpinnya yang telah merasakan lezatnya kekuasaan dan kekayaan semasa pemerintahan Utsman meraka khawatir jika pemerintahan dipegang oleh Ali akan kembali disiplin sperti masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu mereka tidak menghendaki Ali menjadi Khalifah. Pemilihan khalifah waktu itu lebih sulit dari pada sebelumnya.5[5] Penduduk Madinah dengan didukung sekelompok pasukan dari Mesir, Bashrah dan Kufah mencari siapa yang mau menjadi khalifah. Mereka meminta Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam , Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun

mereka menolak. Setelah mereka berunding, akhirnya mereka mendatangi penduduk


4[4]Abbas Mahmud al-Akkad, Ketakwaan Khalifah Ali bin Abi Thalib (terj. Bustami A. Gani dan zainal Abidin Ahmad), (Jakarta: Bulan bintang, 1979), hlm. 45-46. 5[5]Basuki, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Depag, 1999), hlm. 84.

Madinah agar mereka mengambil keputusan, karena merekalah yang dianggap ahli syura, yang berhak memutuskan pengangkatan khalifah, kreadibilitas mereka diakui umat. Kelompok-kelompok ini mengancam kalau tidak ada salah satu dari mereka yang mau dipilih menjadi khalifah, mereka akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan masyarakat lainnya. Akhirnya dengan geram mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia. Karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran perang Badar. Menurut Ali, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Dengan berbagai argumen yang diajukan oleh berbagai kelompok tersebut, demi Islam dan menghindari fitnah, akhirnya Ali bersedia dibaiat. Pada hari Jumat di Mesjid Nabawi, mereka melakukan baiat dan keesokan harinya oleh sahabat-sahabat besar seperti Thalhah, dan Zubair, walaupun sebenarnya mereka membaiat secara terpaksa dan keduanya mengajukan syarat dalam baiat tersebut supaya Ali menegakkan keadilan terhadap pembunuh Utsman. Namun Ali tidak langsung menjawab kesanggupannya, karena situasi pada waktu itu belum memungkinkan untuk mengambil tindakan dan para pembunuh Utsman tidak diketahui satu persatunya.6[6]

6[6]Kisah pembaiatan Ali suasana Madinah memang sangat memanas dan kacau, bahkan menurut sebuah riwayat, Thalhah dan Zubair membaiat Ali di bawah ancaman pedang oleh Malik al-Asytar, ada juga sahabat yang abstain, menunggu suasana kondusif, misalnya yang dilakukan oleh Sad bin Abi Waqash dan Ibnu Umar, mereka tidak langsung 5

Setelah Ali terpilih, beliau mengucapkan pidato dan minta semua rakyat mentaati peraturannya. Yang pidatonya sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah Taala telah menurunkan sebuah kitab yang dapat memberi petunjuk yang menerangkan mana yang baik dan mana yang buruk, karena itu kerjakanlah segala yang baik dan tinggalkanlah segala yang buruk. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan sesuatu dan lebih mengutamakan pengharaman darah seorang muslim diatas segala yang diharamkannya. Hak kaum muslimin diikat dengan ikhlas dan tauhid. Seorang muslim adalah seorang yang dapat menjauhkan kaum muslimin dari kejahatan lisan dan tangannya, kecuali dengan hak. Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk menyakiti seorang muslim, kecuali dengan apa yang telah ditetapkan oleh syariat. Kerjakanlah secepat-cepatnya segala urusan yang umum dan yang khusus. Sesungguhnya manusia ada dihadapan kamu, sesungguhnya kalian selalu berpacu dengan masa, karena itu pergunakanlah sebaik mungkin waktumu agar kamu beruntung, sebab setiap generasi akan diteruskan oleh generasi yang lain. Takutlah kepada Allah didalam segala urusan hamba-hambaNya dan negeri-negeriNya, sebab kalian akan dimintai pertanggungan jawab dalam segala hal, sampai tentang tempat-tempat dan binatang-binatang ternak. Dan taatilah Allah dan janganlah kamu langgar sedikit pun ketetapan-Nya. Jika kamu melihat suatu kebaikan, maka kerjakanlah jika kamu melihat yang buruk maka tinggalkanlah. Dan ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Mekkah) kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah). Dan jadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.7[7]

membaiat, menunggu orang banyak dahulu. Untuk penjelasan ini dapat dilihat pada Ibnu alAtsir, al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 155. 7[7]Yunus Ali Al-Muhdhor, Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib R.A, (Semarang: Asy-Syifa, 1992), hlm. 594.

3. Perang Antar Sahabat Akibat dari pembunuhan Utsman dan disusul dengan naiknya Ali menjadi khalifah yang tidak sepenuhnya didukung oleh umat Islam pada waktu itu mengakibatkan sebagai ekses yang sangat luar biasa dalam sejarah Islam, yaitu timbulnya tragedi yang mengenaskan yaitu perang saudara. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam adalah sebagai berikut: 1. Perang Berunta (Waqiatul Jamal) 36 H/ 657 M Disebut perang unta karena panglimanya (Aisyah) mengendarai unta. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai Khalifah, dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan. Pemimpin perang tersebut ialah: Zubair, Thalhah, dan Siti Aisyah. Di antara ketiga orang itu Aisyah, sebagai panglima perangnya. Ketiga pemimpin itu di

Mekkah mengumpulkan pasukan dari Hijaz dan Yaman. Kemudian mereka menuju Basrah dan mengumpulkan pasukan untuk memerangi khalifah Ali di Madinah. Perang ini merupakan perang saudara pertamakali dalam Islam.

Sebab-sebab perang: a. Mereka tidak setuju atas pengangkatan Ali sebagai Khalifah (sekalipun Zubair dan Thalhah dulu turut membaiat Ali) b. Mereka tidak setuju atas tindakan Ali mengadakan pergantian wali (Gubernur), di beberapa daerah. c. Khalifah Ali tidak menuruti permintaan mereka untuk mendahulukan mengabulkan tuntunan kaum orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman (sekalipun yang terakhir ini tidak disetujui Aisyah). d. Ambisi Abdullah Ibnu Zubair untuk menjadi Khalifah. Untuk ia membujuk Aisyah (Ibu angkatnya) agar mendukungnya, dan ikut serta berangkat ke medan perang. e. Ali tidak mengangkat Thalhah dan Zubair sebagai gubernur.8[8] Khalifah Ali ingin sekali menghindari perang. Beliau sempat mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat pun berkobar.9[9] Perang Jamal menyebabkan 10.000 orang Islam terbunuh

8[8] A. Syalabi, op.cit., hlm. 248-252. 9[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 39-40. Awalnya ada usaha-usaha dari Ali untuk mencegah peperangan, dengan ajakan baiat dan sumpah setia kepadanya. Pada awalnya usaha damai itu hampir berhasil, namun ada pihak-pihak yang tidak menginginkan mereka berdamai, hingga akhirnya mengalami kegagalan. Peranan Abdullah ibn Saba dan pengikutnya kembali disebut-sebut para sejarahwan. Ahmad Syalabi misalnya, menuduh para pengikut Abdullah ibn Saba sebagai provokator dalam peperangan itu, sehingga usaha-usaha rekonsiliasi dari kedua belah pihak tidak diinginkan oleh mereka, lihat A. Syalabi, op.cit., hlm. 251-252.

termasuk Zubair dan Thalhah. Sedangkan Aisyah selamat. Perang ini tiba-tiba berhenti setelah unta yang dikendarai Aisyah mati terbunuh. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Sedang Aisyah dipulangkan ke Madinah dengan penuh kehormatan dan dipesan agar jangan kena bujuk lagi dan jangan mencampuri urusan politik.10[10] 2. Perang Shiffin Shiffin adalah sebuah tempat tak jauh dari sebelah barat pantai Sungai Furat, selatan Riqqah, timur laut Suria di dekat perbatasan Suria-Irak, dua kawasan bekas jajahan Rumawi dan Persia.11[11] Perselisihan khalifah Ali dan Muawiyah Adannya perselisihan antara Ali dan Muawiyah berarti kembalinya perselisihan Bani Hasyim dengan Bani Umayyah, seperti pada zaman jahiliyah dahulu. Puncak perselisihan itu adalah meletusnya perang yang disebut perang shiffin. Sebab-sebab perang: a. Muawiyah menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Khalifah Utsman dan Muawiyah menuntut beliau. b. Ali sebagai Khalifah tidak percaya kepada Muawiyah di Syam, dan memecatnya dari jabatan Gubernur. Tetapi pemecatan mereka itu tidak ditaati oleh muawiyah.

10[10] A. Syalabi, op.cit., hlm. 252-256. 11[11] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 257.

Khalifah Ali mengirimkan surat kepada Muawiyah dan berisi ajakan dama, atau kalau tidak mau, maka muawiyah dianggap memberontak terhadap pemerintahan yang sah. Dan Ali berhak memeranginya. Muawiyah menjawab dengan surat yang berisi kalimat

Bismillahirrahmanirrahim. Mulai saat itulah perselisihan memuncak. Muawiyah siap untuk perang, Ali pun berniat menggempur mereka. Setelah selesai perang berunta, Ali terus berangkat ke Kufah. Dari sana beliau mengirim utusan Jarir bin Abdullah Al-Ghazali kepada Muawiyah agar minta supaya ia mau baiat damai saja. Jawaban Muawiyah ialah : 1) Baiat damai tidak akan berlangsung sebelum darah Utsman selesai. 2) Bila darah itu tidak selesai bukan Baiat yang berlangsung tetapi perang. Jawaban tersebut disampaikan Jarir pada Khalifah Ali dan menerangkan adanya persiapan perang di Syam. Dengan demikian perang tidak dapat dielakkan lagi. Pada mulanya pasukan Muawiyah mendapat kemenangan. Karena pasukan Ali melakukan pembalasan yang keras sekali, pasukan Muawiyah kembali menjadi kalah. Muawiyah sudah berpikir untuk lari, tetapi Amr mengambil siasat dengan memerintahkan supaya menaruh mushaf Al-Quran pada pucuk lembing mereka masing-masing, suatu tanda damai dengan hukum kitab. Dan mereka berteriak meminta perdamaian. Tujuan ajakan damai itu bagi muawiyah tidak lain untuk mengulur waktu gun menghindari kekalahan.

10

Melihat keadaan itu dan mendengar seruan itu, pasukan Ali menjadi lemas tangannya tidak dapat melanjutkan perang. Padahal sudah hampir menang. Sebagian pasukan ingin terus perang sampai menang, tetapi sebagian ingin damai dan diselesaikan dengan hukum Allah. Sedang Ali sendiri menghendaki menyelesaikan perang sampai menang. Karena beliau mengerrti dan yakin bahwa seruan dari musuh itu hanya melihat belaka. Maka beliau berseru : teruskan perang sampai mendapatkan hukum. Tetapi karena pasukan Ali sudah pecah, kemudian Ali memberhentikan perang dengan hati yang kesal. Pasukan beliau mundur ke Kufah sedang pasukan Muawiyah mundur ke Syam. Perang Shiffin ini memakan korban dari pasuka Ali 25.000 orang gugur dan pasukan Muawiyah 45.000 yang menjadi korban. Kemudian diadakan genjatan

senjata dan dilanjutkan dengan diadakan pertemuan perdamaian dari kedua belah pihak (arbitrase) di Dumantul Jandal. Dumantul Jandal nama sebuah kampung di Sarhan. Sarhan adalah nama sebuah wadi (oasis) di utara Saudi Arabia.

11

Majlis Tahkim Dumantul Jandal Perjanjian genjatan senjata antara Ali dan Muawiyah terlaksana. Kemudian mereka mengadakan perundingan dengan ketentuan: Perundingan tetap di adakan di Dumantul Jandal tepat pada waktunya. Masing-masing terdiri dari 100 orang utusan. Dari pihak Ali diketahui oleh Abu Musa Al-Asyary, dan pihak Muawiyah diketahui Amr bin Ash Dengan taktik yang licin sebelum sidang dimulai Amr berusaha mengadakan perundingan dengan Abu Musa. Hasil perundingan ialah : Keduanya sepakat untuk menurunkan Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah (ingat! Bahwa Muawiyah bukan Khalifah). Kata Amr : hal itu untuk menjaga kebebasan berbicara di dalam perundingan. Abu Musa diminta berbicara dihadapan sidanng lebih dahulu dari pada Amr (ingat! hal ini hanya untuk menjatuhkan Abu Musa saja). Kata Amr Hal itu untuk menghormati sahabat yang lebih tua, yang lebih dahulu masuk Islam dan lain-lain. Setelah sidang dibuka Abu Musa berbicara lebih dahulu yang isinya antara lain : Bahwa saya telah sepakat dengan Amr menurunkan Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah, kemudian calon gantinya adalah Abdullah bin Umar. Kemudian Amr berbicara dengan air muka yang manis, yang antara lain isinya: ...Saya percaya bahwa Abu Musa tidak akan menjual agama dengan dunia. Dia menurunkan Ali dari jabatan Khalifah. Sekarang saya menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah.

12

Majlis tahkim itu berakhir dengan kegagalan, memang Muawiyah tidak ada maksud menyelesaikan persoalan itu dengan jalan perundingan. Jadi benar kata Ali bahwa ajakan dari pihak Muawiyah itu hanya tipu muslihat saja. Dan kebetulan utusan dari pihak Ali adalah Abu Musa Al-Asyari seorang ulama besar yang jujur dan hanya bisa mengemukakan apa adanya, bukan seorang diplomat sejenis Amr bin Ash. Timbulnya Aliran-Aliran dalam Islam Islam di samping merupakan sistem agama, ia juga merupakan sistem politik dan Nabi Muhammad SAW disamping seorang rasul sekaligus menjadi negarawan. Sehingga wajar persoalan-persoalan politik yang timbul di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib seperti yang telah disebutkan di atas pada akhirnya meningkat menjadi

persoalan yang membawa-bawa masalah keyakinan (teologi) dalam Islam. Sikap Ali yang menerima arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh pengikutnya. Mereka berpendapat, hal tersebut tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Menurut mereka, putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada, ayat al-Quran la hukma illa lillah, menjadi semboyan mereka.12[12] Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal sebutan kaum Khawarij. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah
12[12] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Pres, 1986), hlm. 6.

13

kafir dalam arti telah keluar dari Islam (murtad, apostate) karena tidak berhukum pada hukum Allah sebagai yang terdapat dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 44. Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maidah : 44). Khawarij memandang Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asyari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Muwiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asyari.13[13] Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir yang mereka pahami turut mengalami perubahan. Orang yang dipandang kafir bukan hanya orang yang tidak berhukum pada al-Quran saja, tetapi orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.14[14] Untuk menghadapi pemikiran Khawarij tersebut muncul aliran yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukan terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuni Aliran ini dikenal dengan sebutan Murjiah. Pada awalnya kelompok ini adalah orang-orang yang mengambil sikap diam dalam melihat pertikaian di kalangan umat Islam sendiri. Mereka sangat berhati-hati dalam menilai siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa perang saudara pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Secara politik akhirnya mereka mayoritas mendukung pemerintah Bani

13[13] Ahmad Syalabi, Op.Cit. hlm. 306-307 14[14] Harun Nasution, Op.Cit. hlm. 7

14

Umayah. Dalam masalah teologi, dari kelompok ini pulalah yang melahirkan kelompok Ahlussunah wal Jamaah. Kemudian ada kelompok yang tidak setuju pada keduanya maka lahirlah aliran Mutazilah, yang berpendapat bahwa orang berdosa besar tidak kafir juga tidak mukmin, orang seperti itu berbeda di posisi tengah (al-manzilah bainal manzilah). Dari pihak pendukung fanatik Ali bin Abi Thalib juga akhirnya melembagakan teori politiknya, bahwa sebenarnya yang berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib dan dilanjutkan oleh keturunannya. Mereka ini kemudian dikenal dengan aliran Syiah. Harapan mereka pada awalnya tertuju kepada Hasan putera tertua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Akhirnya mereka mengangkat Hasan, namun nampaknya Hasan mewarisi sifat ayahnya, tidak berbakat menjadi khalifah. Kemudian ia mengadakan akomudasi dengan menyerahkan hak khalifahny kepada Muawiyah.15[15] Kemudian para

pengikutnya memposisikan sebagai oposisi penguasa, sampai terbunuhnya pemimpin mereka berikutnya, Husein bin Abi Thalib, saudara Hasan pada tragedi Karbela. Setelah itu mereka terus menerus menggalang kekuatan untuk merongrong penguasa pada waktu itu. Untuk selanjutnya aliran-aliran atau madzhab tersebut berkembang, ada yang bersifat pengembangan, kritik, atau menandingi dan melawan aliran-aliran yang
15[15] Marshal GS. Hudgson, The Venture of Islam, Imam dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku pertama (terj. Mulyadhi Kartanegara), (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 312

15

sudah ada, ada yang bertahan lama, ada pula yang hanya bertahan sebentar sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan umat Islam itu sendiri dalam memahami pesan dan ajaran agamanya.

4.

Khalifah Ali bin Abi Thalib Terbunuh Kaum Khawarij tidak habis-habisnya membuat kerusuhan di dalam kalangan

Islam. Khawarij berpendapat, bahwa pangkal kekacauan yang banyak membawa korban umat Islam itu adalah tiga orang imam. Kemudian mereka membulatkan tekad, untuk membunuh ketiga orang imam itu dengan maksud agar umat Islam bersatu kembali. Abdur Rahman bin Muljam berkata Saya membunuh Ali. Barak bin Abdullah berkata: Saya membunuh Muawiyah. Amir bin Bakri Attamimi berkata: Saya membunuh Amr bin Ash. Sumpah pembunuhan itu akan mereka laksanakan serentak pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/ 661 M diwaktu Shubuh. Ibnu Muljam berhasil membunuh Ali di Mesjid Kufah disaat sembahyang shubuh. Barak tikamannya hanya mengenai pinggul Muawiyah di Mesjid Sya. Amir bin Bakri dapat menikam wakil imam Amr hingga meninggal. Waktu itu Amr tidak hadir mengimami shalat karena sakit perut. Setelah wafatnya Imam Ali berarti hilanglah musuh utama Muawiyah, kemudian Hasan dinobatkan menjadi Khalifah.

16

Dengan meninggalnya Ali berakhir zaman Khulafur Rasyidin. Jabatan Khalifah sesudah itu dipegang oleh Hasan putera Ali, yang tidak lama kemudian diserahkan kepada Muawiyah. Dunia Islam sepeninggal Ali merupakan babak baru. Sekalipun pengembangan agama Islam dan perluasan daerah masih berjalan terus, tetapi warnanya berlainan. Secara ringkas dapat kita buat perbandingan di bawah ini:

Masa Khulafur Rasyidin Lebih banyak bekerja menurut suri tauladan Rasulullah SAW, dan menyempurnakan pekerjaan Beliau (menyebar benih yang murni) Menentukan Khalifah melalui pemilihan

Masa Sesudah Masa Khulafur Rasyidin Sekalipun ada khalifah mengikuti tauladan Rasulullah, tetapi lebih banyak yang menyimpang

Menentukan Khalifah berdasarkan keturunan kerajaan atau warisan semacam

Suatu masalah dipecahkan bersama dengan musyawarah dan mufakat

Segala sesuatu di tangan khalifah, kekuasaan dan pemerintahan yang

bersifat Diktator. Khalifah menganggap dirinya sebagai abdi Negara dan Masyarakat Khalifah mengejar kekayaan dan kekuasaan, menganggap dirinya

diperlukan, sedang rakyat dianggap sebagai hamba.

17

Orang masuk Islam berduyunberduyun secara besar-besaran dan berlangsung cepat.

Orang masuk Islam dalam jumlah kecil dan lambat, kalau tidak dikatakan kosong atau berhenti. Orang-orang yang sudah masuk Islam secara ringan menganut agamanya, mudah menarik diri dari agamanya dan banyak pamrih dalam beragama.

Orang masuk Islam berpegang teguh pada agamanya.

Memperhatikan pengislaman dan umat Islam di negeri-negeri Tunis, Mesir, Syiria, Arab, Irak, dan Persia (Wilayah pengislaman masa Rasulullah dan Khulafur Rasyidin).

Memperhatikan pengislaman dan umat Islam di negeri-negeri : Turki, Spanyol, Eropa Timur, India da lain-lain

(Wilayah pengislaman sesudah masa Khulafur Rasyidin).16[16]

16[16] Basuki, dkk, Op.Cit., hlm. 83-93.

18

III.

Kesimpulan 1. Nama lengkap Ali adalah Ali bin Abi Thalib ibn Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abd Manaf bin Qusay al-Quraisy. Ali bin Abi Thalib adalah termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam (as-sabiqun alawwalun) dari kalangan anak-anak (sekitar berumur delapan atau sepuluh tahun), dan termasuk salah seorang sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga. 2. Pengangkatan Ali menjadi khalifah keempat dari khulafa ar-rasyidin terjadi pada tahun 35H/656 M, berawal dengan wafatnya khalifah ketiga Utsman bin Affan, yang terbunuh oleh sekelompok pemberontak dari Mesir yang bertepatan dengan 17 Juni 656 M, yang mana mereka tidak puas terhadap terhadap kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan. 3. Pada masa pemerintahan Ali terjadi pemberontakan diantaranya : Perang Jamal. Pemimpin perang tersebut ialah: Zubair, Thalhah, dan Siti Aisyah. Di antara ketiga orang itu Aisyah, sebagai panglima perangnya. Kemudian Perang Siffin yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Yang disusul perang yang dilakukan oleh Aliran Khawarij. 4. Ibnu Muljam berhasil membunuh Ali di Mesjid Kufah disaat akan sembahyang shubuh.

19

Demikian makalah ini dibuat, penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan khususnya kepada penulis. Amin.

20

DAFTAR PUSTAKA

Al-Atsir, Ibnu. 1979. Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Muhdhor, Yunus Ali. 1992. Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib R.A. Semarang: Asy-Syifa. Audah, Ali. 2009. Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa. As-Suyuthi, Jalaluddin. 2000. Tarikh al-Khulafa. Mekkah Mukarramah: Maktabah Nizar Musthafa al-Baz. Hudgson, Marshal GS. 1999. The Venture of Islam, Imam dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku pertama (terj. Mulyadhi Kartanegara). Jakarta: Paramadina. Mursi, Muhammad Said. 2008. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Pres. Syalabi, Ahmad. 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru. Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

21

Ali adalah putera Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf al-Qursyiah al-Hasyimiah. Ali merupakan sepupu dan juga menantu dari Rasulullah SAW yaitu suami dari puteri Rasulullah, Fatimah AzZahra. Ali masuk Islam tatkala usianya belum mencapai 10 tahun. Dengan demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW semenjak kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Kemudian setelah kakeknya meninggal beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Karena hasrat hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka beliau mengasuh dan mendidik Ali. Pengetahuan agamanya amat luas. Karena kedekatannya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Beliau juga terkenal dengan keberaniannya dan hampir diseluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada dibarisan depan. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali. Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga tampil membela Utsman ketika berhadapan dengan pemberontak. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jumat pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10 tahun sebelum kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW. Proses Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abi Thalib

22

Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibaiat di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan, pertentangan dan kekacauan , serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibaiat menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibaiat menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibaiat menjadi khalifah. Ali dibaiat oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membaiat Ali. Abdullah dan Saad misalnya bersedia membaiat kalau seluruh rakyat sudah membaiat. Mengenai Thalhah dan Zubair, mereka membaiat secara terpaksa. Mereka bersedia membaiat jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah dan Bashrah.[7] Dengan demikian, Ali tidak dibaiat oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak barada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru, dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada di tanah Hejaz (Mekkah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar Jazirah Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membaiat Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah
23

Muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali tidak bertanggung jawab dan tidak menindaklanjuti pencarian pelaku atas pembunuhan Utsman tetapi malah mengutamakan pemerintahannya. Pada hari Jumat di Masjid Nabawi, mereka melakukan pembaiatan.Setelah pelantikan selesai, Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid Nabawi. Setelah memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata:Sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Allah telah menetapkan segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang haram dengan jelas, memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya, menekankan keikhlasan dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi kepentingan umum, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja, dari sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan ambillah, dan bila melihat keburukan tinggalkanlah. Wahai manusia, kamu telah membaiat saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Baiat terhadap diri saya ini adalah baiat yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam. [8] Kondisi Perpolitikan Ada banyak peperangan yang terjadi di masa Ali, di antaranya:

1.

Perang Jamal / Perang Unta

24

Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat gubernur yang diangkat oleh Utsman. Ali yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab. Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan. Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan yang merupakan keluarga Utsman sendiri dengan alasan: Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru. Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang berada di Madinah saja. Namun, karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat. Suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan tidak mengakui Ali menjabat sebagai khalifah keempat. Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur, dan menguatkan kembali posisinya sebagai khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi. Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan Utsman. Namun, sejak tahun 35 H/656 M, tahun pengangkatan Ali sebagai khalifah sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Utsman. Sehingga Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair

25

menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar, Aisyah dan pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Muawiyah bin Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan Perang Jamal. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Pertempuran inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul Muminin. Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.

2.

Perang Shiffin Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dariGubernur di Damaskus, Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggiyang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Muawiyah, GubernurDamaskus dan keluarga dekat Utsman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Alimengadili pembunuh Utsman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalampembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali.Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantungjubah Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari janda almarhum dimimbarmasjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Denganadanya peristiwa tersebut, pihak umum berpendapat bahwa Ali

26

yang bertanggungjawab atas pembunuhan Utsman.Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju keSyiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arussungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Muawiyah dan pihak Muawiyah tidakmengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusanpada Muawiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Muawiyahmenolak. Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasaipihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan tentara Muawiyah memenuhi kebutuhan airnya. Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis

pertahanandidataran Shiffin, dan Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan caradamai. Ali mengirim utusan dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untukmelangsungkan perundingan dengan pihak Muawiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 Mmereka mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara danmasing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi semangattempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun sebagaikhalifah, Ali terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat an-nisa ayat59. Dengan mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat dipahami mengapakhalifah Ali menempuh jalan damai dahulu.Jawaban terakhir dari pihak Muawiyah menolak untuk mengangkat baiat Ali dansebaliknya menuntut Ali mengangkat baiat terhadap dirinya. Maka bulan Saffar 37H/685M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orangdari pihak Muawiyah. Pada saat perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islamdi kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitklansemangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korbanpada pihak Muawiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang panji-panjiperang pihak Muawiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh pada pihak lawanmaka akan melumpuhkan semangat tempur.
27

Pada saat terdesak itulah pihak Muawiyah,Amru bin Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berserumarilah kita bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu Alimemerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh.Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telahmeminta bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya, bahkandiantara panglima pasukannya Musar bin Fuka al Tamimi mengancam: Hai Ali, mariberserah kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap andaseperti apa yang kami perbuat pada Usman.Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi orang-orang sendiri.Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000 orang dari pihak Ali dan45.000 orang dari pihak Muawiyah.Peperangan ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase).Akan tetapi hal itu tidak dapatmenyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tigagolongan. Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikutMuawiyah dan Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujungmasa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.

3.

Perang Nahrawan Setelah terjadi tahkimsebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yangmenerima arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenaldengan nama Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:

Muawiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karenatelah mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang Shiffin, maka mereka wajib dibasmi.

Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah raguterhadap kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuhuntuk membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.

Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bidahdan membasmi kaum bidah adalah kewajiban setiap Muslim.

28

Pemuka kelompok ini adalah Abdullah bin Wahhab al Rasibi. SebenarnyaAlitidak ingin memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalambersikap diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah bin Wahhab dengansadis sekali hanya karena menolak untuk menyatakan keempat khalifah sepeningggalNabi adalah kufur, selain itu mereka juga membunuh utusan yang diutus oleh Ali.

Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatutempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah). Sebelum perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkankaum Khawarij. Dan Ali memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: Barang siapapulang kembali ke Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan.Sejarah mencatat setelahitu 500 orang diantara mereka ber-iktijalsebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagipindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang.Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karenakeberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenanganberada dipihak Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Musar al Tamimi, Abdullah bin Wahhabtewas dalam peperangan ini.Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib) yangbermarkas di Nahrawain benarbenar merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatanpada pihak Muawayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampumerebut Mesir. Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah,sementara kekuatan Muawiyah bertambah besar, keberhasilan Muawiyah mengambilposisi Mesir berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihakAli.

4.

Perang Badar Beberapa saat setelah Ali menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas ditangan Ali masih dalam

29

perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

5.

Perang Khandaq Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

6.

Perang Khaibar Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi SAW bersabda: "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian. Dan masih banyak lagi peperangan lainnya yang Ali ikuti keculai Perang Tabuk, karena pada saat itu Ali mewakili Rasulullah untuk menjaga kota Madinah.[9]

2.7. Sistem Ekonomi dan Fiskal Masa pemerintahan Khlifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ali harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman bin Affan.Sekalipun demikian, Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha
30

untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru.

Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya, menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[10]

31

Kondisi Kebudayaan Perkembangan yang ada pada masa Ali adalah: Terciptanya ilmu bahasa/nahwu (Aqidah Nahwiyah) Berkembangnya ilmu Khat al-Quran Berkembangnya Sastra.[11] Kaum Syiah (pengikut Ali) Muslim Syi'ah percaya bahwa keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang al-Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah.Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu danmenantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawiHadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini. Wafatnya Khalifah Ali Bin Abi Thalib Ali wafat di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij(pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah, Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf.

32

33

I. Pendahuluan Pertama kali yang kami rasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami. Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Quran sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam. Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu, maka kami sebagai mahasiswa Islam selain dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, kami juga merasa ada kewajiban untuk ikut serta meluruskan opiniopini miring tentang Ali bin Abi Thalib. Terutama yang disajikan oleh kalangan Orientalis dan para pengikutnya yang tidak jujur dan obyektif dalam mengkaji Sejarah Islam. Konflik-konflik yang terjadi di masa itu menjadi bulan-bulanan untuk memberikan citra buruk terhadap Islam. Sebenarnya, pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para muarrikhin. Ada yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang dilakukan oleh dosen STID Mohammad Natsir, Jeje Zainudin Abu Himam, MA, dalam buku yang berjudul Akar Konflik Umat Islam; Sebuah Pelajaran dari Konflik Politik Pada Zaman Sahabat. Meskipun dalam judul bukunya terdapat kata Zaman Sahabat, namun fokusnya adalah masa khalifah Ali ra. Buku itu secara spesifik
34

membahas tentang konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Buku itu cukup representatif untuk meng-counter buku-buku sejarah Islam yang ada di Indonesia [1]yang tidak adil dalam memaparkan sejarah tentang Ali ra. Ada juga yang membahas masa khalifah Ali dengan tujuan memberikan deskripsi yang utuh dan menyeluruh, seperti yang dilakukan Husain Haikal. Ada juga buku yang membahas Ali ra, -yang menurut kami tidak proposional/subyektif sebagai sosok yang telah dicederai oleh para ulama Sunni, seperti yang dilakukan oleh George Jordac. Jordac dalam bukunya tersebut menyebut bahwa Abdullah bin Saba yang sering disebut Sunni sebagai tokoh fiktif yang sengaja dibuat-buat. [2]Tentunya, membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku di atas, kami berusaha untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Kami akan mulai pembahasan ini dengan menganalisa situasi di akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Kemudian akan kami bahas tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting yang terjadi. Adapun masalah futuhat, di sini kami akan membahasnya secara sepintas. Di makalah ini juga, kami tidak akan menhadirkan biografi Ali, sebab yang jadi fokusan kami adalah masa kekhalifahannya. Ini sengaja kami lakukan agar tidak memperlebar pembahasan. II. Situasi Terakhir Pemerintahan Utsman bin Affan r.a Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga dengan peristiwa yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahan Utsman bn Affan. Pembunuhan kepada sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya. Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Bsharah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena itu, mereka meminta kepada khlalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai. Diantaranya adalah Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Saad bin Abi Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman. [3]Khalifah Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Said bin Ash, dan Abdullah bin Saad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk
35

sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka. Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak Utsman yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga malam, ultimatum para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang berhasil menerobos barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Quran. [4]Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki sejarah yang tak kunjung memuaskan. Terutama mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar bagi para pengkaji sejarah Islam. Siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya. III. Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a Pembaiatan Ali berjalan dengan mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifah Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya. Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt. [5]Menarik untuk dibahas, meskipun pembaiatan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib. Pertama, kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembaiatan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri
36

ke Syam adalah Qudamah bin Madhun, Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syubah dan Numan bin Basyir. Kedua, Kelompok yang menangguhkan pembaiatan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah Saad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis. Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau memberikan baiat kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah Hasan bin Tsabit, Kaab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi Khadij, Abu Said al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan. Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembaiatan. Setelah terjadi pembaiatan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu anhaa. [6]Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan diatas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah berkumpulnya para sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik public, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya. Meskipun keadaan politik saat itu begitu rumit, Ali ra, sebagai seorang khalifah tetap menjalankan berbagai program untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang sangat penting dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai isu yang sedang dan akan timbul setelah kematian Utsman bin Affan. Kebijakankebijakan Ali itu antara lain mengganti Para Pejabat, Pembenahan Bait al-Mal dan Perpajakan, Pembenahan Administrasi kepegawaian, Pengadilan dan Militer, serta menghadapi Para Penantang. Yang terakhir ini dilakukan agar kekacauan politik dunia Islam stabil. IV. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij. IV. 1. Perang Jamal

37

Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman. [7] Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman. [8] Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah. [9] Data tersebut memberikan informasi pada kita, bahwa Thalhah bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib. [10] Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman. Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran kepada kita, bahwa penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor utamanya adalah penuntasan hokum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang juga menjadi rujukan primer di UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali. [11] Dengan redaksi yang kurang lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa; Setelah Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. [12]Hal senada diungkapkan Hery Sucipto. Tanpa menyantumkan rujukannya, di dalam bukunya dia menyebutkan; Namun, tak berapa lama dari menunaikan rukun Islam kelima itu, dia [Aisyah] mendengar dari salah seorang sahabat, bahwa khalifah Utsman meninggal dan kepemimpinan dipegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, baiat terhadap Ali ini membuat kecewa Aisyah, lantaran baginya yang berhak mengganti [khalifah Utsman] adalah kakak iparnya, Thalhah bin Ubaidillah .

38

[13]Ensiklopedi Islam juga memuat informasi yang tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan para penulis di atas. Dalam Ensiklopedi itu dikutip sebuah pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua sahabat itu, menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah. [14]Hipotesa beberapa penulis di atas jauh berbeda dengan Asma' Muhammad Ziyadah. Seperti dinyatakan Asep Sobari Lc, Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut `Aisyah mencabut bai`atnya terhadap Ali. [15] Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari tragedi pembunuhan Usman. [16] Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan dating. Jika para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) dimasa yang akan datang bisa sering terjadi. Ada hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa yang diberikan oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan Aisyah terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak baiat kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya, dalam bukunya dia menyatakan; Ada faktor lain yang lebih penting dari itu [tuntutan qishash], diantaranya; (1) Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits al-Ifki. (2) Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah Abu Bakar(3) Ada lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah bin Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama Asma bin Abi Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya sendiri [17]Memang ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai bentuk rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan sebauh hadits yang menceritakan situasi Rasulullah saat sakit. Kala itu, Aisyah mengatakan Ibnu Abbas wa rajulun fulanun. Ibnu Abbas berkata kepada Ubaidillah, Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya. [18]Hadits lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan rasa sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: Aku tidak akan mengatakan apapun tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda; Setiap kali
39

dihadapkan kepada dua pilihan, pastia ia (Ammar) memilih yang paling bijaksana diantara keduanya [19] Dalam hadits kedua ini, tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan dia tidak memperdulikannya (membelanya). Mengapa Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk terhadap Ali. Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut dari sikap Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; Wahai Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah. [20]Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali dikalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan imam Al Zuhri, tokoh hadits dari generasi tabiin yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang memfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas menolak dan ia mengemukakan pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya yang dikecam Allah dalam Al Quran surat Annur ayat 11 sebagai kelompok persekongkolan, Ali hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut memfitnahnya. [21]Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengganan Aisyah menyebutkan nama Ali dalam periwayatan hadits tersebut, diriwayatkan pula dalam Al Jmiush Shahh Al Bukhari (Kitab Al Wudhu, no. hadits 191) tanpa ada tambahan perkataan Ibnu Abbas, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya. Tambahan perkataan ini memang terasa bias dengan pesan bahwa Aisyah benci dan dendam terhadap Khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan pada riwayat hadits di atas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam Shahh-nya melainkan mencukupkan dengan kata-kata Ibnu Abbas, Laki-laki yang seorang lagi itu adalah Ali. Kemungkinan tambahan perkataan, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya (yakni kepada Ali), adalah dari periwayatan Mamar bin Rsyid, seorang rawi yang terdapat pada sanad Imam Ahmad dari Az Zuhry. Ibnu Hajar Al Asqalani mencurigai hadits Mamar yang diriwayatkannya di Bashrah, Inilah sebabnya Imam Al Bukhari dalam kasus ini tidak mengambil jalur riwayat dari Mamar melainkan dari Syuaib bin Abi Hamzah, orang yang paling kuat riwayatnya dari Az Zuhri. [22]Adapun mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan seseorang yang mencela Ali dan membela Amar, hadits inipun diragukan kesahihannya mengingat pada sanad tersebut ada rawi Habib bin Abi Tsabit yang meriwayatkan dari Atha bin Yasr. Meskipun Habib dinilai tsiqat dan tsabit oleh sebagian ulama
40

Ahlul Jarhi wat Tadl, namun menurut Ibnu Huzaimah ia seorang mudallis. Menurut Ibnul Qaththan hadits Habib dari Atha tidak terpelihara. Dan menurut Al Uqaili haditsnya dari Atha bin Yasr tidak ada mutbinya. Jadi sikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah ada landasannya yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang suka memilih keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad pada Musnad-nya no. 4028 dengan sanad yang sahih dari Abdullah bin Masud. [23]Alasan lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai penyebab retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat cemburu kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah. Kecemburuan Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya dihadapan Aisyah. Karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang sangat dicintainya. Ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka berdua, kecemburuan Aisyahpun ditumpahkan kepada Fatimah dan Ali. [24]Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah. adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadtsul ifki. Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar. [25]Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah, termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang tidak pernah

41

menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali. [26]Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan; Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka semenatara mereka ada disela-sela kalian dapat menimpakan keburukan atas kalian. Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu sebagaimana yang kalian inginkan. [27]Jika informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash.. Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hokum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancer. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasati, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya dating dari berbagai kabilah dan suku yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa. [28]Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperanganpun tidak bisa dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia. [29] Padahal saat itu, Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali. [30] Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban dari kedua pihak. Setelah
42

mengurusi korban, menyolati dan menguburkannya, Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Menurut Joesoef Souyb, sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya. [31] Banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan. Perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zuberi merupakan fakta sejarah yang sudah terjadi. Namun demikian, perlu kita ketahui juga, apakah memang saat itu perang benar-benar merupakan solusi satu-satunya? Atau ada grand desaind dari pihak luar yang sengaja memperkeruh suasana yang mengakibatkan peperangan? Analisa yang diberikan oleh beberapa ahli sejarah menyebut bahwa sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan dialog melalui surat-menyurat.untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari kamis, pertengahan Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan negosiasi selama tiga hari untuk mencari jalan damai. Upaya tersebut sebenarnya berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan menahan diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya. [32]Pada saat itu, nampaknya Thalhah dan Zuber meminta Ali agar tidak melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang Utsman bin Affan dan orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan damai. Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman baik itu yang dating dari Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampong halaman masing-masing. Instruksi Ali itu mengejutkan para pimpinan kelompok tersebut yang termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan kepercayaan Ali sendiri seperti al-Asytar alNakhaI dan Syuraih bin Aufa. Keduanya mengundang tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat rencana untuk sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana damai itu harus digagalkan. Sebab, bila tidak maka merekalah yang akan menjadi korban perdamaian antara Ali dengan pihak Aisyah. Bukankah penentangan Aisyah, Thalhah dan Zuber kepada Ali dikarenakan Ali tidak segera menghukum qishash para pembunuh Utsman. Maka damianya pihak Ali dan Aisyah berarti kematian bagi mereka. [33] Sebagian ahli sejarah berkeyakinan bahwa orang-orang diatas adalah antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali maupun Aisyah. Ali Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam rangka menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali dengan pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan. [34] Posisi Aisyah saat itu adalah di Basrah. Dengan demikian, Aisyah saat itu menghadapi pemerintahan bentukan Ali yang ada di Basrah. Basrah saat itu dipimpin oleh gubernur Usman bin Hunaif. Terjadi pertempuran terlebih dahulu antara pihak
43

Aisyah dengan pihak Usman bin Hunaif. Karena Aisyah menginginkan perdamaian, akhirnya disepakati untuk gencatan senjata. Gencatan itu sendiri salah satu isinya adalah mengakui Usman bin Hunaif sebagai gubernur Basrah berikut bait al-Maal dan gudang senajatanya. Sementara bagi pihak Aisyah, mereka dibolehkan tinggal di mana saja di Basrah. Sambil menunggu Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Basrah dan penduduknya dalam keadaan tenang, aktifitas pemerintahan dan praktek keagamaan dapat dilaksanakan seperti hari-hari biasa. [35]Namun, seperti telah disinggung sebelumnya, ada pihak yang tidak senang dengan keadaan seperti itu. Ada pihak yang ingin berencana untuk mengacaukan keadaan. Kekacauan itu dilakukan oleh Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif selepas shalat Isya. Mereka juga menyerbu Bait al-Maal dan membunuh para penjaganya. Ketika hal tersebut diketahui, penduduk Basrah melakukan perlawanan dengan Hakim bin Jabalah. Orang ini kemudian mati bersama tujuh puluh pengikutnya dalam pertempuran dengan Thalhah dan rombongannya. [36]Jika kita teliti secara cermat informasi yang diberikan Ali Audah ini semakin menguatkan sinyalemen bahwa terdapat scenario besar dibalik kegagalan perdamaian itu. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif, menyerbu bait al-Maal dan para penjaganya, yang semuanya itu merupakan asset pemerintahan Ali bin Thalib. Namun, Hakim bin Jabalah mati di tangan Thalhah dan kelompoknya. Menurut kami, hal ini menunjukkan bahwa Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba itu, melakukan profokator, mengadu domba pihak Ali dengan cara menculik dan membunuh Usman bin Hunaif. Tentu saat itu, pihak Ali mempunyai firasat bahwa pelaku penculikan itu adalah pihak Aisyah. Di sisi lain, Hakim bin Jabalah juga melakukan pertempuran dengan pihak Thalhah. Bagi Thalhah yang saat itu memang sedang dalam keadaan gencatan senjata, kemungkinan besar juga berpikir bahwa pihak Ali telah melakukan pengkhianatan, melakukan penyerangan dengan tiba-tiba untuk menumpas kelompoknya. Walhasil, kecurigaan dan akhirnya peperangan antara kedua kubu tidak bisa dihindari. IV. 2. Perang Siffin Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong. [37] Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala dating utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan bukan menolak44

pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya. [38]Telah disinggung sebelumnya, bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Usman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak. [39]Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang dating ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir. [40]Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya mengangkat Abdullah bin Saad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Saad bin Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang katanya- dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh. [41] Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu tersangka.

45

Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali bin Abi Thalib siapa pembunuh Utsman? Nailah menjawab: Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, dia sudah keluar meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan. Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; Saya memang ikut masuk dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada ayah [42] [Abu Bakar], saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya. [43]Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang. Ali sendiri ketika menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin. [44]Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu. Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar. [45] Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syubah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama
46

sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah. [46]Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi. Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak terhitung. [47]Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angina. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya. Menarik untuk dibahas tentang kedua kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asyats bin Qais al-Tamimy, Misar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-Thaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya (khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim. [48] Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena ingin mensucikan Ali dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat

47

bukti bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari pihak Muawiyah. [49]Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asyari. [50] Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam. [51]Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat di hadapannya.[52] IV. 2. Gerakan kaum Khawarij Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim. Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. [53]Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga kata-kata, tidak ada hukum selain milik Allah. Ali mengancam mereka, Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, hukum itu hanya milik Allah. [54]Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat
48

kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah. Hingga akhirnya Ali tewas ditangan salah seorang Khawarij yang amat militan, Abdurahman bin Mulzam.[55] Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar Amir al Mukimin di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia. Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan istriistri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya. Ali mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa argumen: Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan atribut Ali Imam kaum Muslimin suatu yang tidak beralasan. Karena nama Ali tanpa kata Imam kaum Muslimin tidak akan merubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi
49

bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai embelembel Rasul Allah dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras menghapus kata Rasul Allah dari belakang nama Muhammad. Sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar menuliskan kata Muhammad putra Abdullah sebagai ganti Muhammad Rasul Allah. Kemudian Ali membaca ayat, Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[56] Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran.[57] Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW. Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, Di antara tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir, dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir juga.[58] V. Kesimpulan dan Penutup Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zuber ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Muawiyah. Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij, meskipun argumen Khawarij tegas mengacu
50

kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenangwenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran poros tengah yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri. Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu alam bi al-Shawab.

Daftar Pustaka 1. Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2. 1. George Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj. Muhammad al-Sajjad, (Lentera, Jakarta: 1996) 2. Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama. 3. Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar alMariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV. 4. DR. Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007)

51

5. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002) 6. Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006) 7. Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993 8. Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000) 9. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002) 10. Joeseof Souyb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986) 11. Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid

Ali Bin Abi Thalib salah satu tokoh dunia, lahir di Mekkah diperkirakan sekitar tahun 599 masehi. Sahabat dekat nabi, menantu Rasulluloh, juga family Rosul dalam garis keturunan abdul Muthalib. Ali juga satu dari 4 khulafaurasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) yang berperan sebagai pembela nabi, penyebar ajaran Islam dan khalifah Islamiyah sepeninggal Rosululoh SAW Nama asli Imam Ali adalah Haydar bin Abu Thalib, putra dari paman Nabi Muhammad SAW. Ibunya bernama Fatimah binti Asad, sedangkan Asad anak dari Hasyim Jadi menjadikan Imam Ali adalah keturunan Hasyim dari garis bapak. Haydar berarti Singa adalah sebuah cita-cita yang diingin abu Thalib kelak Imam Ali akan menjadi petarung sejati di kalangan suku-suku Quraisy. Dikemudian hari Ali memang tumbuh menjadi petarung sejati, tokoh yang disegani suku Quraisy dan panglima perang yang tak kenal rasa takut. Beliau dedikasikan seluruh jiwa,raga dan hidupnya untuk membela, mengembangkan ajaran Islam yang dibawa Rosulluloh Muhammad SAW. Nama Ali adalah pemberian Nabi SAW yang berarti tinggi derajatnya di sisi Allah SWT. Ali kemudian dijadikan anak angkat Nabi SAW karena pernikahan beliau dengan Siti

52

Khadijah tidak dikaruniai anak laki-laki sekaligus sebagai wujud terimakasih Nabi SAW kepada pamannya Abu Thalib yang juga pernah mengasuhnya waktu kecil. Konsistensi dan totalitas Ali dalam mendukung dakwah nabi terlihat dari sikapnya sebagai orang yang pertama kali mempercayai wahyu-wahyu Alloh yang diturunkan kepada Nabi SAW. Saat itu usia Ali baru sekitar 10 tahun. Sikap seperti ini sungguh sulit pada masa itu mengingat sudut pandang, pemikiran, dan pengetahuan suku Quraisy yang masih dalam masa kegelapan (jahiliyah). Sikap yang diambil Ali juga bukan tanpa resiko. Cercaan, hinaan bahkan ancaman nyawa selalu mengintai. Nabi SAW adalah mentor dan guru Imam Ali karena beliau sekaligus menjadi pengasuhnya. Ali memiliki ikatan emosi dan menjadi orang terdekat Nabi SAW hingga akhirnya pada usia dewasa dijadikan menanti Nabi dengan mempersunting Fatimah Al Zahra. Ini terjadi setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga (Bani Hasyim), Sekaligus orang yang pertama kali mempercayai kenabian Muhammad setelah Khadijah. Selain itu Nabi jelas memahami seluk beluk kebribadian, watak dan karakter Ali. Sebagian besar ulama sufi (Ahli Tasawuf) menganggap Nabi telah menurunkan pengetahuan dan gemblengan ruhani berupa tasawuf secara khusus hanya diberikan kepada imam Ali. Ini dengan asumsi bahwa untuk ilmu syariat, fiqih, tauhid, dan seputar ibadah memang harus disampaikan secara luas kepada semua orang. Namun untuk ilmu tasawuf hanya diberikan kepada orang-orang istimewa (dalam keimanan dan ilmunya) mengingat tasawuf adalah tataran tertinggi dalam hubungan antara manusia dengan sang pencipta. Gemblengan secara langsung dari nabi SAW, menjadikan Ali seorang pemimpin yangkomplit. Cerdas, Berani, Bijaksanadan berpengetahuan luas. Keberanian Ali terlihat dari kesediannya tidur di kamar Nabi untuk mengecoh orangorang Quraisy yang berencana membunuh Nabi dan menggagalkan hijrah Nabi . Sku Quraisy pun terkecoh ketika menjelasng subuh ternyata sosok yang tidur di kamar Nabi SAW adalah Ali. Sementara Nabi SAW sudah berangkat menuju Madinah bersama Abu Bakar Syidiq. Keberanian Ali juga terlihat dari perannya sebagai panglima perang bagi kaum muslimin pada saat berusia 25 tahun. Dalam perang Badar (perang pertama dalam sejarah Islam) Ali dan Hamzah (paman nabi) menjadi pahlawan. Pedang Ali meluluhlantakkan barisan suku Quraisy sehingga perang ini akhirnya dimenangkan kaum muslimin Perang Khandaq juga saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh Marhab lalu menebasnya
53

dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian. Semua peperangan Nabi menghadapi kaum kafir selalu diikuti Ali. Dan ia menjadi bagian penting dari setiap peperangan tersebut. Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda. Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali. Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf.

54

Anda mungkin juga menyukai