Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM


ALI BIN ABI THALIB SANG PINTU GERBANG ILMU

DOSEN PENGAMPU : Dr. Drs. Junanah, MIS.

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA
2019
PEMBAHASAN

A. KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB


1. Biografi Ali in Abi Thalib
Ali bernama lengkap Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul
Manaf. Ibunya bernama Fatimah bin Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Beliau dilahirkan di
Makkah pada hari jum’at 13 Rajab tahun 570 M atau 32 tahun setelah kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Beliau tinggal bersama Nabi Muhammad SAW sejak kecil. Beliau diasuh
sebagaimana anak sendiri karena kondisi ayahnya yang miskin. Beliau mendapat didikan
langsung dari nabi Muhammad SAW sehingga menjadi seorang yang berbudi tinggi dan
berjiwa luhur.
Ali bin Abi Thalib masuk islam saat berusia tujuh tahun. Beliau adalah anak kecil
yang pertama masuk islam, sebagaimana Khadijah adalah wanita yang pertama masuk islam,
Abu Bakar ra adalah lelaki merdeka yang pertama masuk islam.
Ali bin Abi Thalib mendapat nama panggilan Abu Turab (Bapaknya Tanah) dari Nabi
SAW. Abu Turab adalah panggilan yang paling disenangi oleh Akli karena nama itu adalah
kenang-kenangan berharga dari Nabi SAW.
Ali adalah salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ali adalah
laki-laki pertama masuk islam dan pertama dari golongan anak kecil. Beliau dinikahkan
dengan putri Nabi SAW, Fathimah az-Zahra. Lahir dari Fatimah dua anak yaitu Hasan dan
Husein.
Sikap pemberani dan pertarung sejati dibuktikan di beberapa peperangan yang
diikutinya. Pada perang Badar beliau melakukan duel satu lawan satu dengan kafir Quraisy.
Beliau berhasil membunuh musuhnya kafir Quraisy. Begitu juga ketika perang Uhud, beliau
merupakan salah satu pertarung yang berduel dengan perwakilan kafir Quraisy.
Perang saudara pertama dalam islam, perang Siffin pecah diikuti dengan merebaknya
fitnah seputar kematian Utsman bin Affan membuat posisi Ali sebagai khalifah menjadi sulit.
Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdurrahman bin Muljam, pada
tanggal 17 ramadan 40 hijriyah. Beliau dikuburkan secara rahasia di Najaf.1

1
Akhmad Saufi, S.Ag, M.Pd.I, Sejarah Peradaban Islam, Deepublish, Yogyakarta: 2015, H. 108-110

1
2. Ali bin Abi Thalib Dilantik Sebagai Khalifah
Kaum pemberontak mengadakan pendekatan kepada Ali bin Abi Talib dengan
maksud mendukung sebagai khalifah, dipelopori oleh al-Gafiqi dari pemberontak Mesir
sebagai kelompok terbesar. Tetapi Ali menolak. Setelah khalifah Usman tak ada orang lain
yang pantas menjadi khalifah dari pada Ali bin Abi Thalib. Dalam kenyataannya Ali memang
merupakan tokoh paling populer saat itu. Disamping itu, memang tak ada seorang pun ada
yang mengklaim atau mau tampil mencalonkan iri atau di calonkan untuk menggantikan
khalifah Usman-termasuk Mu'awi’ah bin Abi Sufyan-selain nama Ali bin Abi Thalib.
Disamping itu, mayoritas umat Muslimin di Medinah dan kota-kota besar lainnya sudah
memberikan pilihannya pada Ali, kendati ada juga beberapa kalangan, kebanyakan dari Bani
Umayyah yang tidak mau membaiat Ali, dan sebagian dari mereka ada yang pergi ke Suria.
Bagaimana pun mayoritas Muslimin di Medinah sudah membaiat Ali. Kalau ada
beberapa orang sahabat yang belum bersedia membaiatnya, hanya karena situasi politik
waktu itu. Ini tidak berarti bahwa kekhalifahan tidak diterima oleh sebagian besar Muslimin.
Waktu itu tak ada orang yang menuntut kekhalifahan, termasuk Mu’awiyah. Perbedaan
diantara mereka menyangkut soal para pembunuh dan bentuk hukuman yang akan dijatuhkan
kepada mereka. Agak berbeda sedikit dengan sumber-sumber diatas, ada juga yang
mengatakan bahwa pagi itu adalah Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta
sahabat-sahabat Rasulullah dari kalangan Muhajirin dan Ansar sedang berkumpul. Mereka
akan menemui Ali bin Abi Thalib di rumahnya, dan dalam dialog mereka dengan Ali, dan
tanpa ragu Talhah dan Zubair akan membaiatnya. Juga tak disebut-sebut adanya intervensi
kaum pemberontak.
Orang sudah tahu bahwa dalam pertalian darah Ali bin Abi Talib adalah orang-orang
terdekat kepada Nabi. Dia sepupu Nabi, sejak kecil sudah bersama-sama, Muslim pertama
dikalangan pemuda dan kalangan Banu Hasyim, diserahi mengurus barang-barang amanat
yang ditinggalkan di Mekah saat Nabi hijrah ke Medinah, yang dipersaudarakan nya waktu
hijrah, sebagai anggota keluarga yang sehari-hari mendampinginya, sebagai salah seorang
penulis wahyu, sebagai suami Fatimah putri Nabi, dan terus mendampinginya sampai yang
terakhir dia pula yang mengurus Rasulullah ketika sakit hingga meninggalnya dan
memandikan jenazah yang suci, dan menghantarkan jenazah nya sampai ke pemakaman yang
turun ke lubang lahad.2
Setelah Khalifah Usman syahid, Ali diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau
menolak, namun akhirnya beliau menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad
2
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, PT. Pustaka Litera Antarnusa, Jakarta: 2013, H. 187-193

2
yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: .....Sementara orang banyak datang
di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau
(Usman) telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui
orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali)". Ali berkata kepada mereka:
"Janganlah kalian mengharapkan saya, karena saya lebih senang menjadi wazir (pembantu)
bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak
mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau". Ali menjawab:
"Jika kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat tersebut
hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang
bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Ali kemudian keluar menuju masjid,
dan kaum muslimin pun membaiatnya sebagai khalifah mereka.3

Pengangkatan Khalifah Ali terjadi pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/656 M, dan
memerintah selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan
Ramadhan tahun 40 H/661 M. Penetapannya sebagai Khalifah ditolak antara lain oleh
Mu’awiyah bin Abu Shufyan, dengan alasan Ali harus mempertanggung jawabkan tentang
terbunuhnya Utsman, dan berhubung wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-
komunitas Islam di daerah-daerah baru, maka hak untuk menentukan pengisian jabatan
khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang di Madinah saja.4

Pada masa pemerintahan Khalifah Ali itu, perpecahan kongkrit di dalam kalangan al-
Shahabi menjadi suatu kenyataan, dengan pecah beberapa kali sengketa bersenjata yang
menelan korban bukan kecil. Juga pada masanya itu bermula lahir sekte-sekte di dalam
sejarah dunia Islam, yakni sekte Syiah dan sekte Khawarij. Bermula sebagai kelompok-
kelompok politik yang berbedaan paham dan pendirian tetapi lambat-laun berkembang
menjadi sekte-sekte keagamaan, menpunyai ajaran-ajaran keagamaan tertentu di dalam
beberapa permasalahan Syariat dan Aqidah. Perkambangan tersebut berlangsung beberapa
puluh tahun sepeninggal Khalifah Ali ibn Abi Thalib.5

3. Sesudah Pelantikan

3
Utsman bin Muhammad al-Khamis, Hiqbah Minat Tarikh (Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat
Nabi Muhammad SAW Hingga Terbunuhnya al-Husain) diterjemahkan: Syafarudin, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012),
cet. 2, hlm. 174.
4
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990),
hlm. 28.
5
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 462-463.

3
Pada jumat pertama setelah pembaiatan itu, jenazah berkumpul di masjid dan
menyatakan penyesalan dan kesedihannya atas kematian Usman r.a. banyak orang yang
menyesalkan Talhah dan Zubair. Mereka menyalahkan kedua orang itu karena membiarkan
hal itu terjadi. Tetapi Talhah berkata, bahwa sikapnya sejak dulu tak berubah, bahwa ia telah
mencampuradukkan dosa dengan tobat sehigga membuat mereka tidak senang atas
kedaulatannya, tetapi juga mereka tak senang dengan terjadxinya pembunuhan itu. Kemudian
Zubair juga mengatakan bahwa dengan karunia Allah mereka telah menagut sistem syura itu
yang telah menghilangkan para nafsu jahat.anggota Majelis Syura dan para veteran Bdr sudah
bermusyawarah. Kita sudah sama-sama setuju dan kita membaiat Ali bin Abi Talib. Jadi
anggota Majelis dan veteran Badr sudah setuju, dan jika belum ada dari mereka yang
membaiatnya hendaklah segera membaiat. Mengenai pembunuhan Usman, dan segala
peristiwa besar yang terjadi sebelum itu, mereka serahkan kepada kehendak Allah.

4. Ilmu dan Keluasan Pengetahuannya

Kecerdasan berpikir Imam 'Ali ra.sukar dicari bandingannya. Dengan kecerdasannya


itulah ia mencapai puncak martabat sebagai cendekiawan Islam yang menguasai secara luas
berbagai pengetahuan yang ada pada bangsa Arab di masa itu,sehingga tidak ada cabang ilmu
pengetahuan Arab yang ia tidak turut menyumbang atau turut meletakkan kaidah-kaidahnya.
Hal itu sebenarnya tidak mengherankan,karena di samping kecerdasan pikiran yang
dikaruniakan Allah kepadanya,ia adalah seorang yang sejak usia kanak-kanak hidup di bawah
naungan Rasilullah saw. Kepada beliaulah ia langsung menimba ilmu pengetahuan,bahkan
mewarisi akhlak dan cara beliau memandang kehidupan manusia.6

Demikian meresapnya ajaran Rasulullah saw hingga apa yang ada di dalam hati dan
pikiran beliau terserap di dalam hati dan pikirannya. Ia menekuni pelajaran Al-Quran dengan
pandangan dan pengertian yang tajam hingga menembus segala sesuatu yang menjadi hakikat
dan inti makna.Tidak sedikit waktu yang digunakan sebaik-baiknya untuk memperoleh
pengetahuan yang seluas dan sedalam itu. Ia mempelajari semua segi dan cabang ilmu agama
Islam tidak terbatas pada masa hidupnya Rasululläh saw saja, tetapi terus menekuninya
selama masa tiga kekhalifahan, yaitu masa-masa kekhalifahan Abü Bakar, "Umar, dan
'Utsman radhiyallähu 'anhum. Ia menguasai dengan baik dan tepat semua nash Al-Quran dan

6
Al-Husaini, Muhammad bin Husein Al-Hamid , Imamul Muhtadin 'Ali Bin Abi Thalib Pintu Gerbang Ilmu
Nabi SAW. Jakarta, Pustaka Hidayah, 2008, hal 94.

4
menggali serta menghayati intisari maknanya. Karena itulah ucapan dan kata-katanya selurus
pikiran dan isi hatinya. Adapun penguasaannya akan hadis-hadis Nabi saw. tidak mungkin
dapat diingkari dan itu bukan rahasia lagi bagi segenap kaum muslim. Itu pun sesungguhnya
tidak aneh, karena ia orang yang paling lama menemani Rasülulläh saw. jauh lebih lama
daripada sahabat Nabi yang mana pun. la mendengar apa yang didengar orang lain, tetapi
orang lain tidak mendengar semua yang didengarnya. Itu pun tidak aneh karena ia tinggal
bersama Rasülulläh saw di bawah satu atap.

Banyak para sahabat Nabi dan para ulama zaman berikutnya yang mengatakan bahwa
Imam Ali r.a. tidak meriwayatkan hadis selain yang didengarnya sendiri dari Rasülulläh saw.
Keimanan, kesetiaan, dan kecintaannya yang mutlak kepada Rasûlulläh saw. demikian
mendarah daging sehingga tidak sepatah kata pun dari beliau yang luput dari telinga Imam
Ali r.a. dan tidak menembus ke dalam hati sanubarinya.

Pada suatu hari seorang sahabat bertanya, "Bagaimana Anda dapat meriwayatkan
hadis-hadist Nabi lebih banyak daripada yang diriwayatkan oleh para sahabat-Nabi lainnya?"
Ia menjawab, "Tiap aku bertanya kepada Rasulullah saw. beliau pasti menerangkan
kepadaku, dan bila aku diam beliaulah yang mulai berbicara”.

Abu Bakar ra dan 'Umar ra. saja yang sering meminta bantuan pikiran dan
nasihat,para sahabat-Nabi yang lain pun selahu menanyakan masalah-masalah yang sulit
kepada Imam Ali ra. Kelurasan pengetahuan Imam Ali ra. tidak hanya terbatas pada nash-
nash yang berkaitan dengan hukum fiqh saja,tetapi ia pun menguasai berbagai perangkat
yang diperlukan.Misalnya dalam hal ilmu hitung ia lebih menguasainya daripada orang lain
pada zamannya.Akan kami kemukakan di bagian lain,bahwa para Imam ahli fiqh,ilmu
mereka semuanya bersumber pada Imam Ali ra. yang memperolehnya langsung dari
Rasülullah saw.'Abdullah bin Abbas yang dipandang sebagai guru besar mereka,ketika
ditanya,"Bagaimana perbandingan antara ilmu yang Anda miliki dengan ilmu yang dimiliki
'Ali bin Abi Thalib?"Ia menjawab,"Perbandingannya ibarat setetes air hujan di tengah
samudera!" Para sahabat Nabi memberitakan riwayat yang sama bahwa Rasulullah saw
pernah menegaskan,"Di antara kalian yang paling mampu mengambil keputusan hukum
adalah Ali."Memang benarlah.7

Imam 'Ali r.a. pada zamannya adalah orang yang paling mendalam pengetahuannya
mengenai ilmu fiqh dan ilmu syariat. Kedua cabang ilmu tersebut di dalam Islam merupakan

7
Ibid., hal 96.

5
landasan pokok bagi seorang gadhi (hakim)untuk mengambil keputusan hukum. Menurut
kenyataan,Imam Ali r.a.memang seorang yang beruntung dikaruniai kekuatan akal dan
pikiran untuk dapat memecahkan masalah dengan cara-cara vang pada umumnya
mendatangkan kesimpulan yang tepat dan dapat diterapkan secara wajar. Kekuatan akal dan
pikiran itulah yang digunakannya dalam mengambil keputusan mengenai berbagai kasus
dalam peradilan. Dalam upaya menegakkan prinsip keadilan,di samping ia telap berpegang
teguh pada sumber pokok hukum Islam,yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul,ia juga
mengembangkan makna dan pengertian serta intisari nash-nash firman Allah dan Hadis Nabi
menjadi ilmu fiqh dan ilmu syariat yaitu dua landasan pokok yang selalu mendasari
keputusan hukum yang diambilnya.

Kemampuan Imam Ali ra dalam hal itu bukan merupakan rahasia lagi,sebagaimana
telah diutarakan,Khalifah Umar r.a. sendiri mengakui dan mengaguminya secara terus terang
dengan berbagai ucapannya yang dinyatakan berulang-ulang,seperti “Allah tidak memberkahi
pemecahan suatu masalah sulit yang anda tidak turut serta memecahkannya!” “Sekiranya tak
ada Ali,celakalah Umar!” “Tak ada seorangpun yang mengeluarkan fatwa di dalam masjid
saat Ali hadir!” dan lain sebagainya. Imam Ali ra. bukanlah orang yang memandang
persoalan hanya dari segi kulitnya belaka, melainkan memandangnya sedemikian dalam dan
mengkaji serta menggali hingga terungkap isi dan intisarinya. Ia mengkaji dan menggali
ajaran-ajaran agama Islam di dalam Al-Quran secara sistematik sebagaimana yang lazim
dilaksanakan oleh para ahli pikir. Dengan demikian, ia menjadikan ajaran agama sebagai
objek pemikiran dan perenungan, di samping sebagai ketentuan-ketentuan yang wajib
diamalkan dengan sepenuh keyakinan. Seorang genius (abgariy) seperti Imam 'Ali ra. tidak
merasa cukup apabila memandang agama dari segi lahiriahnya saja, seperti pelaksanaan
hukum-hukumnya atau peribadatan ritualnya saja, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan
orang.

Di samping memahami agama dari segi lahiriah hukum-hukumnya, ia memahaminya


juga sebagai subtansi (maudhu') yang harus menjadi bahan pemikiran dan penelitian sedalam-
dalamnya agar dapat diyakini kebenarannya yang mutlak dan universal. Dari situlah
munculnya ilmu Kalam atau yang dikenal umum sebagai "Filsafat Agama Islam." Pokok-
pokok pemikiran Imam Ali ra. mengenai pemahaman Al-Quran itulah yang oleh para ulama
ahli ilmu Kalam masa dalhulu dijadikan dasar analisis dan pembahasan.

6
Sedangkan mereka yang muncul pada zaman-zaman berikutnya tetap memandangnya
sebagai sumber inspirasi dan sebagai perintis ilmu Kalam. Wä-shil bin 'Atha', pendiri mazhab
Mu'tazilah atau sekte Islam yang peranan akalnya besar sekali dalam menilai ajaran-ajaran
agama, ia adalah murid Abu Hasyim bin Muhammad bin al-Hanafiyyah dan ayahnya adalah
murid Imam Ali ra. Sama halnya dengan kaum Asy'ariyyün (golongan yang mengikuti
pemikiran Asy'ariy), tokoh-tokoh mereka adalah murid para ulama Mu'tazilah yang
memperoleh ilmu dari Wäshil bnl Atha yang secara estafet memperoleh ilmu dari Imam Ali
bin Abi Thälib ra.

Ilmu tasawuf Islam pun, akar dan benihnya digali dari contoh-contoh kehidupan
Imam Ali r.a. dan ucapan-ucapannya yang banyak tercantum dalam kitab Nalyul-Baläghah.
Sebelum para ahli tasawuf Islam mengenal filsafat Yunani, mereka menggali ilmu tasawuf
dari contoh-contoh yang kami sebut di atas tadi. Demikianlah yang mereka lakukan sebelum
banyak buku-buku filsafat Yunani, India dan lain-lain diterjemahkan orang ke dalam bahasa
Arab. Tampaknya telah menjadi kehendak Allah SWT bahwa Imam 'Ali r.a. harus menjadi
perintis ilmu bahasa Arab, tidak hanya sebagai perintis ilmu-ilmu agama Islam.

Pada masa hidupnya, tidak ada seorang pun yang setaraf dengan Imam Ali bin Abi
Thälib ra. dalam hal penguasaan ilmu bahasa Arab. Hal itu sesungguhnya wajar karena ia
sejak kecil sudah terbiasa mendengarkan dan menggunakan cara Rasululläh saw. berbicara
sehari-hari, tambah lagi dengan pendalamannya mengenai ilmu Al-Quran sehingga ia benar-
benar menghayati cara dan gaya bahasanya. Penguasaannya yang mendalam di bidang bahasa
Arab, logikanya yang sehat dan kecerdasannya yang luar biasa, Imam Ali ra dapat
meletakkan kaidah-kaidah pokok ilmu tata bahasa Arab atas dasar dalil-dalil kebahasaan
yang tidak dapat disangkal.Sejarah mencatat bahwa Imam Ali r.a. adalah orang pertama yang
meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu.

Para ahli ilmu bahasa Arab masa dahulu meriwayatkan, pada suatu hari Abul-Aswad
ad-Dualiy mengeluh kepada Imam Ali ra. karena banyak orang-orang Arab yang berbicara
dengan susunan kalimat dan gaya bahasa tertentu akibat pergaulan mereka dengan orang-
orang asing (bukan Arab) setelah terjadinya perluasan wilayah Islam. Beberapa saat Imam
Ali ra. diam, kemudian berkata, "Hai Abul-Aswad, catatlah apa yang hendak ku-imla-kan
kepadamu!" Abul-Aswad lalu mempersiapkan selembar kertas dan pena (galan), kemudian
Imam Ali ra. berkata, "Bahasa Arab terdiri dari ism (kata benda), fiil (kata kerja), dan harf
(preposisi). Ism ialah kata yang menunjukkan nama benda, fiil ialah kata yang menunjukkan

7
pekerjaan atau perbuatan sedang harf ialah kata yang tidak menunjukkan nama benda dan
tidak pula menunjukkan pekerjaan atau perbuatan. Semua kata (dalam bahasa Arab) terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu zhähir (yang bermakna jelas), mudhmar (yang tidak bermakna
jelas) dan "tidak zhahir tidak mudhanir." Tersebut belakangan itu oleh para ahli ilmu Nahwu
diartikan, Ismaul-isyärah (kata ganti penghubung atau relative pronoun).

Sejak itu hingga zaman kita dewasa ini ilmu tatabahasa Arab disebut "Ilmu Nahwu."
Imam Ali ra. memang terkenal sebagai orang yang cerdas dan cepat berpikir. Kecuali itu ia
juga mempunyai daya ingat yang sangat kuat hingga mudah sekali menghafal. Kata-kata
mutiara yang berisi hikmah mendalam dan berbagai perumpamaan, pepatah dan peribahasa
yang jarang dikenal orang pada zamannya, olehnya diucapkan demikian lancar tanpa
membutuhkan waktu untuk berpikir atau mengingat-ingat, seolah-olah semuanya itu keluar
secara otomatis dari ujung lidah. Demikian pula dalam hal hitung-menghitung mengenai
berbagai masalah yang sukar dipecahkan. Kemampuan memecahkan hitungan yang sulit dan
rumit dalam waktu cepat, oleh masyarakat masa itu dianggap sebagai kemahiran bermain
teka-teki karena mereka itu pada umum-nya tidak mengetahui bagaimana cara yang harus
ditempuh untuk menemukan pemecahan yang tepat dan benar.

Mengenai hal itu, pernah terjadi suatu kejadian yang sangat mempesonakan orang
banyak, yaitu ketika seorang wanita datang kepadanya mengadu, kenapa ia hanya menerima
satu dinar dari 600 dinar uang milik saudara lelakinya yang meninggal dunia. Seketika itu
juga Imam Ali ra. tanpa memerlukan waktu berpikir menjawab, "Mungkin lelaki itu wafat
meninggalkan seorang istri, dua orang anak perempuan, seorang ibu, dua belas orang saudara
lelaki dan engkau sendiri. Bukankah begitu?" Setelah orang lain menghitungnya secara
terinci berdasarkan hukum fara 'dh (hukum pembagian harta waris) ternyata apa yang
dikatakan Imam Ali r.a. itu tepat dan benar.

Pada suatu hari, di saat Imam Ali r.a. sedang berkhutbah di atas mimbar, tiba-tiba ada
seorang bertanya tentang seorang lelaki wafat meninggalkan seorang istri, ayah dan ibu serta
dua orang anak perempuan. Berapakah bagian yang harus diterima istrinya? Seketika itu juga
Imam Ali r.a. menjawab tepat, "Haknya yang seperdelapan berubah menjadi sepersembilan!"
Pemecahan hitungan pembagian harta waris itu kemudian terkenal dengan nama Faridhah
Mimbartyah karena fatwa mengenai itu dikeluarkan Imam Ali ra. sambil berdiri di atas
mimbar Apabila kita teliti berbagai cabang ilmu dan pengetahuan yang dimiliki Imam Ali,
kita akan dapat mengatakan bahwa ia seorang Alim Rabbani. Di dunia ini tidak ada orang

8
yang berani berkata, "Tanyakan-lah kepadaku apa saja sebelum kalian kehilangan aku."
Adakah orang yang berani berkata seperti itu dari atas mimbar di depan beribu-ribu orang
Orang yang berani berkata demikian itu tentu akan malu jika ia tidak dapat menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Orang yang berani berkata seperti itu pasti yakin akan dapat menjawab setiap
pertanyaan yang diajukan kepadanya. Orang yang hanya menguasai beberapa cabang ilmu
dan pengetahuan pun tidak akan berani berkata seperti itu. Hanya orang yang yakin benar
bahwa dirinya dikaruniai kekuatan serta kemampuan oleh Allah SWT dan sungguh-sungguh
percaya kepada diri sendiri sajalah yang tanpa bimbang ragu dapat menjawab segala macam
pertanyaan, betapapun pelik dan rumitnya. Orang itu ialah Imam Ali ra. Yang lebih istimewa
lagi ialah, dalam menjawab setiap pertanyaan, ia tidak membutuhkan waktu berpikir lebih
dulu. Tiap pertanyaan selalu dijawab seketika itu juga.

Misalnya, di saat ia sedang berdiri di atas mimbar, orang menanyakan berapa jauh
jarak antara timur ke barat. Ia menjawab singkat, tetapi tidak dapat dibantah, "Jarak
perjalanan matahari sehari." Jawaban yang singkat dan meyakinkan itu sesuai dengan suasana
ketika pertanyaan itu diajukan. Ketika ada orang lain bertanya tentang jarak pemisah antara
haq (kebenaran) dan kebatilan, Imam Ali menjawab ringkas, "Sejauh jarak empat jari”. Anda
dapat mengatakan, kebenaran telah kulihat dengan mataku, dan kebatilan telah kudengar
dengan telingaku. Imam Ali bukan seorang ahli matematika dan bukan pula seorang ahli
aritmatika. Kendatipun ia bukan ahli di bidang itu, tetapi dapat memecahkan hitungan yang
cukup membingungkan, hanya dalam waktu satu atau dua detik. Problem hitungan itu ialah
seperti berikut.

Ada dua orang. yang seorang mempunyai lima potong roti, yang seorang lainnya
mempunyai tiga potong roti. Datanglah orang ketiga, kemudian mereka makan delapan
potong roti itu dalam kadar yang sama banyaknya. Orang yang ketiga kemudian
menyerahkan uang delapan dirham kepada dua orang yang mempunyai delapan potong
roti.Berapa dirham yang harus diterima oleh masing-masing dari kedua orang itu?

Menurut ukuran tingkat kecerdasan manusia pada zaman 1500 tahun silam, problem
hitungan seperti itu termasuk masalah yang sangat rumit, tetapi tanpa membutuhkan waktu
untuk berpikir Imam Ali cepat menjawab: Pemilik 3 potong roti menerima I dirham dan
pemilik 5 potong roti menerima 7 dirham!" Dasar perhitungan yang dijelaskan olehnya
setelah jawaban itu diberikan ialah: 8 potong roti sama dengan 24/3. Orang yang mempunyai

9
3 potong roti sama artinya dengan mempunyai 9/3 potong, yang 8/3 potong dimakan sendari
dan yang 1/3 potong dimakan oleh tamunya (orang ketiga). Orang yang mempunyai 5 potong
roti sama artinya dengan mempunyai 15/3 potong, yang 8/3 potong dimakan sendiri dan yang
7/3 potong dimakan oleh tamunya. Dengan demikian, maka tiga orang itu masing-masing
makan 8/3 potong, berarti masing-masing makan roti sama banyaknya dari 24/3 atau 8
potong roti milik dua orang.

Betapa pun mahirnya orang dalam ilmu hitung, untuk memecahkan problem hitungan
seperti tersebut di atas ia pasti membutuhkan waktu untuk berpikir dan menghitung-hitung
lebih dulu. Lain halnya dengan Imam Ali ra., ia memecahkan hitungan itu dan menjawabnya
seketika itu juga, tanpa membutuhkan waktu untuk berpikir lebih dulu kecuali satu atau dua
detik.8

5. Prestasi Khalifah Ali bin Abi Thalib


Sepeninggalan khalifah Utsman bin Affan dalam kondisi yang masih kacau, kaum
muslimin meminta Ali bin Abi Thalib melaksanakan langkah-langkah yang dapat dianggap
sebagai prestasi yang telah dicapai. 9

a. Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap


Khalifah Ali bin Abi Thalib menginginkan sebuah pemerintahan yang efektif dan
efisien. Oleh karena itu, beliau mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap bekerja.
Adapun gubernur baru yang diangkat khalifah Ali bin Abi Thalib antara lain:
1. Said bin Hanif sebagai gubernur Syiria
2. Usman bin Hanif sebagai gubernur Basrah
3. Qays bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir
4. Umrah bin Syahab sebagai gubernur Kufah
5. Ubaidillah bin Abbas sebagai gubernur Yaman
b. Membenahi Keuangan Negara (Baitul Mal)

Pada masa khalifah Utsman bin Affan, banyak kerabatnya yang diberi fasilitas negara.
Khalifah Ali bin Abi Thalib memiliki tanggung jawab untuk membereskan permasalahan
8
Ibid., hal 104.
9
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 2013, h. 20-22.
Ahmad Abdul ‘Aal Ath-Thahtawi, The Great Leaders, Gema Insani, Jakarta: 2009. h. 402-404.

10
tersebut. Beliau menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak benar. Harta
tersebut kemudian disimpan di Baitul Mal dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
10
Kebijakan tersebut mendapat tantangan dan perlawanan dari matan penguasaan dan kerabat
Utsman bin Affan. Mereka mengasut para sahabat yang lain untuk menentang kebijakan Ali
bin Abi Thalib. Dan melakukan perlawanan terhadap Khalifah Zali bin Abi Thalib.
Akibatnya terjadi peperangan seperti perang Jamal dan perang Shiffin.

c. Memajukan Bidang Ilmu Bahasa

Pada saat khalifah Ali bin Abi Thalib memegang pemerintahan, wilayah islam sudah
mencapai India. Pada saat itu, penulisan huruf hijaiyah belum dilengkapi dengan tanda baca,
seperti kasrah, fathah, dhommah dan syaddah. Hal itu menyebabkan banyaknya kesalahan
bacaan teks Al-Quran dan hadis di daerah-daerah yang jauh dari jazirah Arab.

Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan Alquran dan Hadis. Khalifah Ali bin
Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad- Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu
nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari tata bahsa arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan
dapat membantu orang-orang non Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran islam, yaitu
Alquran dan Hadis.11

d. Bidang Pembangunan
Khalifah Ali bin Abi Thalib membangun kota Kuffah secara khusus. Pada awalnya
kota Kuffah disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi
kota Kuffah kemudian berkembang menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu nahwu, dan
ilmu pengetahuan lainnya.

6. Akhir Hayat Ali bin Abi Thalib


Khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepotkan khalifah, sehingga
memberikan kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat dan meluaskan
kekuasaanya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya, sungguh sangat fatal bagi Ali.
Tentara Ali semakin lemah. Sementara kekuatan Muawiyah bertambah besar. Keberhasilan

10
Akhmad Saufi, S.Ag, M.Pd.I, Sejarah Peradaban Islam, Deepublish, Yogyakarta: 2015, H. 112-113
Syaikh Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqoha dan Kecerdasan Khulafa, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 2011, h. 50-52

11
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1993, h. 45

11
Muawiyah mengambil propinsi Mesir, berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan
suplai ekonomi dari pihak Ali.
Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa khalifah Ali menyetujui
perjanjian damai dengan Muawiyah, yang secara politis berarti khalifah mengakui keabsahan
kepemilikan Muawiyah atas Suriah dan Mesir. Kompromi tersebut tanpa disuga ternyata
mengeraskan amarah kaum khawarij untuk menghukum orang-orang yang tidak disukai.
Tepat pada 17 Ramadan 40 H (661 M) khalifah berhasil ditikam oleh Ibn Muljam, seorang
anggota khawarij yang sangat fanatik. Sedangkan wilayah islam sudah meluas bagi baik ke
timur, Persia, maupun ke barat, Mesir.
Setelah ayahnya meninggal dunia, Hasan berpidato, “ Kalian telah kehilangan sebaik-
baik orang yang jika disuruh Rasulullah untuk memimpin tentara, dia tidak gentar ataupun
mundur dari tugas”. Jenazah Ali bin Abi Thalib dimandikan oleh Hasan, Husain dan
Abdullah bin Ja’far. Setelah itu yang bertugas menjadi imam adalah Hasan bin Ali.
Setelah wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib, kedudukan khalifah kemudian dijabat
oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan lemah, sementara
Muawiyah semakin kuat, makan Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Muawiyah
ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga meyebabkan Muawiyah menjadi penguasa
absolut dalam islam. Tahun 41 H (661), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah islam
sebagai tahun Jama’ah. Dengan demikian berakhirlah yang disebut masa Khulafa Rasyidin
dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik islam.12

12
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos, Jakarta: 1997, h. 66-67

12
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan tentang khalifah Ali bin Abi Thalib maka kami dapat
menarik kesimpulan bahwasannya:
Pertama, Ali adalah khalifah ke-empat atau terakhir setelah kewafatan Utsman bin
Affan. nama lengkap Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul
Manaf. Beliau dilahirkan di Makkah pada hari jum’at 13 Rajab tahun 570 M.
Kedua, Ali dipercayakan sebagai khalifah oleh kaum muslimin di Madinah dan beliau
dilantik sebagai khalifah.
Ketiga, terdapat beberapa prestasi yang diperoleh Ali bin Abi Thalib selama menjadi
khalifah.
Keempat, penyebab Ali bin Abi Thalib wafat adalah disebabkan pembunuhan yang
dilakukan oleh Abdurrahman ibn Muljam. Beliau wafat pada tanggal 17 ramadan tahun 40
hijriyah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Husaini, Muhammad bin Husein Al-Hamid . 2008. Imamul Muhtadin 'Ali Bin Abi Thalib
Pintu Gerbang Ilmu Nabi SAW. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Ahmad Jamil. 1993. Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ath-Thahtawi Abdul ‘Aal Ahmad. 2009. The Great Leader, Jakarta: Gema Insani.

Audah Ali, Ali bin Abi Thalib. 2013. Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa.

Fu’adi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.


http://cipcipmuuach.blogspot.co.id/2013/04/sistem-politik-masa-khalifah-ali-bin.html,
diakses 9 oktober 2019.
Karim, Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.
Khoiriyah. 2012. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta: Teras.
Khubairi Muhammad Syaikh. 2011. Kecerdasan Fuqoha dan Kecerdasan Khulafa. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.

Mufrodi Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos.

Mursi Sa’id Muhammad. 2013. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Saufi Akhmad. 2015. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Deepublish.

Shaban. 1993. Sejarah Islam (600-750), Penafsiran Baru. Jakarta: Rajawali Pers.
Sholikhin. 2005. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Rasail.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Sou’yb, Joesoef. 1970. Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

14
15

Anda mungkin juga menyukai