Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci
mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para
sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara
Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa
belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan
meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah,
keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup
kerahibaan, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama
lainnya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh
sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi,
tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba
Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat
(kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat.
Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah
menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau
kelebihan-kelebihan supranatural.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tasawuf
2. Sejarah PerkembanganTasawuf
3. Tasawuf di indonesia
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai tugas makalah pada mata kuliah Akhlak Tasawuf.
2. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf

Defenisi Tasawuf Secara Terminologi :


1. Tasawuf berasal dari kata safa’ artinya suci,bersih, atau murni.
2. Tasawuf berasal dari kata saff, artinya saf atau baris, mereka dinamakan para sufi menurut
pendapat ini karena mereka berada pada baris pertama didepan allah.
3. Tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah almasjid, artinya serambi masjid. Istilah ini
dihubungkan dengan suatu tempat di mesjid nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat
nabi yang sangat fakir dan tidak memiliki tempat tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah.
Mereka menyedikan waktunya untuk berjihad dan berdakwah dan meninggalkan hal-hal yang
berbau duniawi. Jadi istilah sufi diambil dari sifat orang-orang yang tinggal di serambi masjid
(suffah) pada masa rasulullah.
4. Tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Mereka tidak memakai pakaian yang
halus atau indah dipandang. Al-Kalabazi berpendapat istilah ini dapat diterima dan sekaligus
memiliki makna yang dibutuhkan seperti mengelak atau cenderung menjauhkan diri dari dunia,
dan kemewahan, dan juga memurnikan tingkah laku, meluaskan ilmu.[1]
5. Tasawuf berasal dari kata shafa, yaitu bening.[2]
6. Tasawuf berasal dari kata sufanah[3] yaitu nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.[4]
7. Ada yang menyatakan berasal dari theosofi, bahasa Yunani, yang berarti ilmu ketuhanan.[5]
8. Tasawuf berasal dari kata shopos dari kata yunani yang berarti Hikmah.

Pengertian Tasawuf Menurut Istilah :


Tasawuf menurut Abu Al-wafa’ Al-Taftazani adalah suatu yang tidak berarti suatu tindak
pelarian diri dari kenyataan hidup sebagaimana yang telah di tuduhkan mereka yang anti, tetapi
ia adalah usaha yang mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah baru yang akan
menegakkannya saat menghadapi kehidupan materialis dan juga untuk merealisasikan
keseimbangan jiwanya, sehingga timbul kemampuannya ketika menghadapi berbagai kesulitan
ataupun masalah hidupnya.[6]
Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang mempelajari tentang usaha membersihkan diri,
berjuang memerang hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian,
saling mengingatkan antara manusia, berpegang teguh pada janji Allah, syari’at rasulullah dan
mendekatkan diri mencapai keridoan-Nya.[7]
Tasawuf menurut Ibrahim Hilal adalah memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan
diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu bermacam-macam
ibadah,wirid,dan lapar, berjaga diwaktu malam dan memperbanyak shalat dan wirid , sehingga
lemahlah unsur jasmaniah dalam diri seseorang dan semakin kuatlah unsur rohaniyah nya. Hal
ini sebagai usaha mencapai hakikat kesempurnaan rohani dan mengenal zat tuhan dengan segala
kesempurnaannya.
Tasawuf menurut Abu Muhammad al-Jariri adalah masuk kedalam akhlak yang mulia
dan keluar dari semua akhlak yang hina.[8]
Dari serangkaian defenisi tasawuf ada satu asas yang disepakati yakni tasawuf
merupakan moralitas-moralitas yang berasaskan islam. Artinya bahwa pada prinsipnya tasawuf
bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh ajaran islam dari berbagai aspeknya adalah
prinsip moral.[9]

Menurut Basyuni defenisi-defenisi yang ada dapat dikelompokkan sebagai berikut:


1. Al-Bidayah, yaiti defenisi yang membicarakan tentang pengalaman pada tahap permulaan.
Defenisi tasawuf pada tahap al-bidayah ini adalah menurut Zu Al-Nun Al-Misri (w.254.h) orang
yang tidak suka meminta dan tidak merasa susah karena ketiadaan.
2. Al-Mujahadah, defenisi yang membicarakan tentang pengalaman yang menyangkut
kesungguhan dan kegiatan. Menurut sahl ibn abdillah al-Tustari, tasawuf ialah sedikit makan,
tenang dengan allah dan menjauhi manusia.
3. Al-Mazaqah, yaitu defenisi yang membicarakan pengalaman dari segi perasaan. AL-Junaid al-
baghdadi (w.297 h), tasawuf ialah bahwa engkau bersama allah tanpa ada penghubung.[10]

B. Sejarah Perkembang Tasawuf


Tinjauan Global Tentang Fase Perkembangan Tasawuf :
1. Fase Arketitisme (zuhud) , tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada masa ini dalam
kalangan muslim, terdapat individu-individu yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah.
Mereka tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Diantara mereka adalah
Hasan al-Bashri (w.110 h) dan rabi’ah al-adawiyah (w.185 h).
2. Pada abad ketiga dan keempat hijriyah para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Inilah cikal bakal terbentuknya tariqat-tariqat sufi islam,
dimana sang murid menempuh pelajaran dasarnya secara formal dalam suatu majelis. Dalam
tariqat itulah mereka mempelajari tata-tertib tasawuf baik ilmu maupun prakteknya.
3. Pada abad kelima hijriyah muncullah imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima
tasawuf yang berdasarkan al-Quran dan as-sunnah serta bertujuan asketitisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
4. Pada abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu besar,
pengaruh tasawuf sunni semakin luas dalam dunia islam. Pada abad ini juga muncul sekelompok
sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-
setengah, artinya disebut tasawuf murni bukan dan murni filsafat pun bukan. Diantara mereka
adalah al-Syuhrawardi al-Maqtul (w.549 h), penyusun kitab hikmah al-isyraq.
5. Pada abad ketujuh hijriyah, muncul pula tokoh-tokoh sufi lainnya yang menempuh jalan yang
sama. Yang paling terkenal diantaranya adalah Abu al-Syadzili (w.656 h). Tasawuf mereka di
pandang sebagai kesinambungan jenis tasawuf sunni dari al-Ghazali.[11]

Dengan munculnya sufi sekaligus filosof ini, maka dalam islam timbul dua aliran
tasawuf:
1. Tasawuf sunni.
2. Tasawuf filosofis, para sufi ini mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, diantara kecaman
yang paling keras terhadap sufi sekaligus filosofis ini adalah Ibn Taymiyyah (w.728 h).[12]

PERKEMBANGAN TASAWUF :
1. Gerakan Zuhud (asketitisme) Pada Abad Pertama Dan Kedua Hijriyah[13]
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Zuhud
bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi akan tetapi ia adalah hikmah
pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap
kehidupan duniawi, dimana mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi
itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari
tuhannya.
Karena itu zuhud dalam islam tidak bersyaratkan kemiskinan. Terkadang seseorang yang
kaya tapi pada saat yang sama ia juga zuhud, seperti Usman bin Affan dan Abdurrahman bin
‘Auf , Mereka adalah hartawan tapi keduanya adalah zuhud dengan harta yang mereka miliki.
Utsman bin Affan membekali pasukan nabi pada masa paceklik dan membeli sumur seorang
yahudi yang melarang kaum muslimin menimba air di sumurnya.
Ada beberapa faktor zuhud berkembang didalam islam, ini menurut Abu al-A’la Afifi :
 Ajaran-ajaran islam itu sendiri. Kitab suci alquran sendiri yang mendorong manusia agar hidup
shaleh, taqwa kepada allah, menghindari dunia, memandang rendah kehidupan duniawi dan
memandang tinggi akhirat. Selain itu alquran menyuruh manusia agar beribadah, bertingkah laku
baik, shalat malam, berpuasa, dan lain-lain, yang menjadi inti zuhud.
 Revolusi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosio politik yang berlaku. Konflik-konflik
yang terjadi sejak akhir masa khalifah Utsman bin Affan dan berlangsung sampai masa khalifah
Ali bin Abi Thalib dan kaum muslimin terpecah-belah menjadi beberapa kelompok, yaitu syi’ah,
khawarij, dan murji’ah. Sebagian sahabat nabi yang merasa gawatnya situasi penuh konflik dan
kericuhan politik ini, memilih netral kepada masing-masing kelompok yang bermusuhan itu.
Mungkin hal ini mereka mengarah pada semacam asketitisme (zuhud).
 Dampak zuhud masehi, sebelum islam datang, bangsa arab telah terkena dampak zuhud dari
pendeta masehi, setelah islam datang, masih tetap berlangsung.
 Penentangan terhadap fiqh dan kalam, kaum muslimin yang saleh mereka merasa bahwa
pemahaman para fuqaha dan ahli kalam tidak dapat sepenuhnya memuaskan perasaan
keagamaan mereka. Sehingga merekapun mengarah kepada tasawuf untuk memenuhi kehausan
perasaan keagamaannya.
Tahun ini disebut dengan fase asketitisme yang juga merupakan fase pertama perkembangan
tasawuf.[14]
Karakteristik Asketitisme islam pada abad pertama dan kedua hijriyah.
 Ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memelihara diri
dari azab neraka.
 Ini bercorak praktis, hidup dalam ketenangan, dan kesederhanaan secara penuh, dan banyak
beribadah.
 Motivasi asketitisme rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh.

Para asketitis sampai akhir abad kedua hijriyah, tidak dipandang sebagi sufi, dalam hal
ini lebih sering menggunakan istilah zahid, nasik, qari’,dll.

2. Tasawuf Pada Abad-Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah


pada masa ini peralihan sebutan zahid menjadi sufi.[15] Mereka pun cenderung
memperbincangkan konsep-konsep yang sebelumnya justeru tidak dikenal, seperti : tentang
moral, jiwa, tingkah laku dll.
Pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa
yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang
masalah teoritis lainnya.
Fase ini ditandai dengan muncul dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya
islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam
langgam keberagaman. Selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih
spesifik.[16]
Pada masa ini muncul karya-karya tasawuf, seperti : al-Junaid (w. 297 h), al-Hakim al-
Tirmidzi (w.285 h), selain itu pada masa ini karakteristik tasawuf mulai tampak jelas, menurut
abu al-a’la afifi pada masa ini merupakan zaman keemasan tasawuf dalam pencapaiannya yang
paling luhur ataupun jernih.
Ada beberapa faktor pesatnya perkembangan tasawuf pada masa ini :[17]
1. Karena corak kehidupan para pembesar negeri dan para hartawan yang gelamour. Mereka
melakukan protes tersamar dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spritual dengan
motivasi etikal. Tokoh yang populer aliran ini adalah Hasan al-Bashri (w.110 h), melalui doktrin
al-Zuhd dan khouf- al-Roja’. Gerakan ini semacam gerakan sektarian yang introversionis,
pemisahan dari trend kehidupan dan tegas dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan
alam sekitar.
2. Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaul khawarij dan polarisasi
politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergaulan politik pada masa itu, menyebabkan orang-
orang yang ingin mempertahankan kesalehan ketenangan rohaniah , terpaksa mengambil sikap
menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari
keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ‘uzlah
yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 h).[18]
3. Karena corak kodifikasi hukum islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang
bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada
isi atau semacam bentuk tanpa jiwa, misalnya, yang tadinya sebagai dorongan untuk
meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut kepada siksa neraka, bergeser kepada demi
kecintaan dan semata-mata karena allah agar selalu dapat berkomuikasi dengan-Nya.
3. Tasawuf Sunni Pada Abad kelima Hijriyah
Pada abad sebelumnya adanya membahas tentang aliran tasawuf, yaitu pertama aliran
taswuf sunni dimana para menganutnya memagari tasawuf mereka dengan al-Quran dan Sunnah.
Kedua aliran tasawuf semi filosofis, dimana para pengikutnya cenderung menggunakan bahasa
ganjil, serta bertolak dari keadaan fana menuju keadaan pernyataan tentang terjadinya penyatuan
atau hulul.
Pada masa ini tasawuf sunni yang berkembang, sedangkan tasawuf semi filosofis mulai
tenggelam. Itu dikarenakan telah berjayanya aliran teologi ahlussuunah wal jama’ah dan karena
keunggulan al-Hasan al-Asyari (w.324 h) dengan mengkeritik keras para sufi yang terkenal
dengan ungkapan ganjil itu. Dan juga pada masa ini sering diadakan pembaharuan, yakni
mengembalikan ke landasan alquran dan sunnah.
Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad ini melalui tokoh
monumental al-Gahazali, dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya
tidak islami. Pendekatan yang dilakukan oleh al-Ghazali nampaknya bagi satu pihak memberikan
jaminan untuk mempertahankan prinsip, bahwa allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang
berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu.

4. Tarikat-Tarikat Paling Menonjol Pada Abad Keenam dan Ketujuh


 Tarikat al-Qadiriyah
Tarikat ini didirikan oleh syeikh Abdul Qadir al-Jailani, beliau lahir di Jailan tahun 470
H. Pada tahun 478 H dia merantau ke Baghdad untuk mempelajari fiqh madzhab Hambaliyyah
serta mengikuti jalan para sufi. Pada tahun 521 H dia pun menjadi seorang da’i dan mulai
terkenal. Tarikatnya terus disebar luaskan oleh murid-muridnya ke berbagai kawasan Islam,
seperti Yaman, Syiria, dan Mesir. Kemudian tersebar luas ke India, Turki, Afrika dan menjadi
sebuah tarikat yang besar.
Mengenai tarikatnya al-Qadariyah Syeikh Ali ibni Hibti berkomentar sebagai
berikut:”tarikatnya adalah tauhid semata, disertai kehadiran dalam sikap sebagai hamba
Tuhan.[19]
 Tarikat al-Rifa’iyyah
Tarikat ini didirikan oleh syeikh Ahmad al-Rifa’i, beliau berasal dari kabilah Arab, yakni
Banu Rifa’ah, dikawasan al-Batha’ih. Tarikat ini tersebar luas keberbagai kawasan Islam dan
sampai sekarang tetap berkembang di Mesir maupun dunia Islam lainnya.
Ajaran nya, seperti tentang zuhud, merupakan landasan keadaan-keadaan yang di ridhai
dan tingkatan-tingkatan yang di sunnahkan. Barang siapa yang belum lagi menguasai kezuhudan
maka langkahnya selanjutnya belum lagi benar.[20]
 Tarikat al-Suhrawardiyyah
Tarikat ini didirikan oleh Abu al-Najib al-Suhrawardi (490-563 H). Beliau menganut
aliran Sunni. Tarikat ini memperbincangkan tentang latihan-latihan rohaniah praktis , seperti
kehidupan sufi, hidup menyendiri dan kerendahan hati, getaran hati dan juga terhadap masalah-
masalah tingkatan dan keadaan, ma’rifat, dan sebagainya.

 Tarikat al-Syadziliyyah
Tarikat ini didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi penganut aliran sunni.
Ajaran-ajarannya dapat di ikhtisarkan kedalam lima pokok : taqwa kepada Allah, baik
diketahui maupun tidak diketahui orang, konsisten mengikuti sunnah, penghormatan terhadap
makhluk, ridho kepada Allah dan kembali kepada Allah.
Tarikat ini tersebar luas dalam dunia islam seperti Andalusia, Indonesia, Afrika Utara dan
Barat dan negara-negara Arab.
Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Kalau diteliti secara cermat maka akan dapat disimpulkan bahwa tahun-tahun pertama
masuknya agama islam di Nusantara adalah juga tahun-tahun pertama sufisme berkembang di
Nusantara. Islam datang ke nusantara dengan damai tanpa kampanye militer atau dukungan
pemerintah. Kenyataan ini menunjukkan orang-orang yang menyebarkan tidak memiliki tendensi
apa-apa selain rasa tanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama-nama
mereka berlalu begitu saja tertelan sejarah.[21]
Para penyiar itu menjadi anggota aliran mistik islam (tariqah) yang melarikan diri dari
baghdad ketika itu diserbu orang Moghol pada tahun 1258 M.[22]
Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara, tidak lepas dari pengkajian proses
Islamisasi dikawasan ini. Sebab tidaklah berlebihan kalau dikatakan, bahwa tersebar luasnya
islam di indonesia sebagian besar adalah karena jasa para sufi.[23]
Hal ini dibuktikan dengan adanya peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan
islam di Aceh sampai pada masa wali songo di Jawa. Kepemimpinan raja atau sulthan selalu
didampingi dan didukung oleh kharisma ulama tasawuf.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa gagasan mistik memang mendapat sambutan hangat di
Jawa, karena sejak zaman sebelum masuknya agama islam, tradisi kebudayaan hindu dan budha
yang terdapat disana sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik.
Kerajaan Islam Pasai merupakan kancah pertama kali lahirnya sufisme di nusantara
sebagaimana juga dikatakan sebagai tempat pertama islam masuk ke Nusantara. Dan sudah ada
orang-orang yang sudah menjadi guru sufi yang tinggi dan diakui. Mereka bukan mengajar di
Nusanta saja bahkan mereka mengajar di tanah Arab. Diantaranya adalah al-Yafi’
seorang syekh yang karangan-karangannya menjadi pedoman sampai sekarang, pada abad ke 8
H/16 M.[24]
Dapat dikatakan bahwa pasai adalah titik pertama sufisme di Nusantara yang kemudian
membentuk titik-titik baru di seluruh Nusantara. Nur Addin Arraniri dan Abd arrauf Asinkili
adalah dua tokoh besar sufi yang berdiam di Aceh. Di Aceh ini pula Almakassari, dari Makassar
melalui Banten, menemui Arraniri. Dari pasai pula Syekh Yusuf Al-Makassari menuju Yaman
untuk memperdalam ilmu. Abd as-Samad al-Palimbani sempat berdiam di Aceh, kemudian
mengamalkan ilmunya di Palembang sebelum kemudian menetap untuk mengajar di Haramayn.
Muhammad Nafis al-Banjari membuat titik baru di Kalimantan, Banjarmasin, dengan
menda’wahkan Islam kepada penduduk setempat.[25]
Perkembangan islam di jawa digerakkan oleh ulama yang dikenal dengan panggilan
wali songo atau wali sembilan. Mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada
derajat “wali”.[26] Para wali itu bukan saja berperan sebagai penyiar islam, tetapi mereka juga
ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesulthanan dan karena posisi itu mereka mendapat
gelar “susuhunan” yang biasa disebut sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam”
kekuasaan sulthan dan kelompok elit keraton dalam menyebarkan dan memantapkan
penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.
Dalam dunia pesantren generasi awal, warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai
anutan mereka yang didominasi sufisme aliran al-Ghazali yang beraliran tasawuf sunni, sufisme
yang sangat kuat mewarnai kesantrian masa itu.[27] Dikalangan tertentu juga ditemukan
literatur tasawuf falsafi, seperti insan kamil karya Abdul Karim al-Jili. Pengaruh tasawuf falsafi
cukup kuat dan luas pengaruhnya dikalangan penganut tarekat, sedangkan tokoh nya yang paling
populer adalah syekh Siti Jenar.[28]
Kebanyakan di seluruh Nusantara sampai sekarang dipelajari kitab-kitab tasawuf . kita
juga banyak menyaksikan acara-acara tahlilan, syukuran, ratiban, marhaban, dan yang lainnya di
praktekkan di beberapa wilayah di Indonesia.[29]
Semenjak penyiaran islam dijawa diambil alih oleh kerabat elit keraton, kelihatannya
secara pelan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi
lokal,[30] yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena telah tergantikan oleh
model spiritualis non-religius.[31]situasi yang hampir sama, juga menimpa dunia pesantren yang
disebabkan oleh invasi sistem pendidikan sekular yang berasal dari Eropa melalui kolonial
Belanda.[32]oleh karena faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, maka kehidupan sufisme di
Indonesia secara berangsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu.
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang mempelajari tentang usaha membersihkan diri,
berjuang memerang hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian,
saling mengingatkan antara manusia, berpegang teguh pada janji Allah, syari’ai rasulullah dan
mendekatkan diri mencapai keridoan-Nya.
Fase Perkembangan Tasawuf :
1. Fase Arketitisme (zuhud) , tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada masa ini
dalam kalangan muslim, terdapat individu-individu yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah.
Mereka tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Diantara mereka adalah
Hasan al-Bashri (w.110 h) dan rabi’ah al-adawiyah (w.185 h).
2. Pada abad ketiga dan keempat hijriyah para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Inilah cikal bakal terbentuknya tariqat-tariqat sufi
islam, dimana sang murid menempuh pelajaran dasarnya secara formal dalam suatu majelis.
Dalam tariqat itulah mereka mempelajari tata-tertib tasawuf baik ilmu maupun prakteknya.
3. Pada abad kelima hijriyah muncullah imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima
tasawuf yang berdasarkan al-Quran dan as-sunnah serta bertujuan asketitisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
4. Pada abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu
besar, pengaruh tasawuf sunni semakin luas dalam dunia islam. Pada abad ini juga muncul
sekelompok sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat
setengah-setengah, artinya disebut tasawuf murni bukan dan murni filsafat pun bukan. Diantara
mereka adalah al-Syuhrawardi al-Maqtul (w.549 h), penyusun kitab hikmah al-isyraq.
5. Pada abad ketujuh hijriyah, muncul pula tokoh-tokoh sufi lainnya yang menempuh jalan yang
sama. Yang paling terkenal diantaranya adalah Abu al-Syadzili (w.656 h). Tasawuf mereka di
pandang sebagai kesinambungan jenis tasawuf sunni dari al-Ghazali.
Kalau diteliti secara cermat maka akan dapat disimpulkan bahwa tahun-tahun pertama
masuknya agama islam di Nusantara adalah juga tahun-tahun pertama sufisme berkembang di
Nusantara. Islam datang ke nusantara dengan damai tanpa kampanye militer atau dukungan
pemerintah. Kenyataan ini menunjukkan orang-orang yang menyebarkan tidak memiliki tendensi
apa-apa selain rasa tanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama-nama
mereka berlalu begitu saja tertelan sejarah.
Kerajaan Islam Pasai merupakan kancah pertama kali lahirnya sufisme di nusantara
sebagaiman juga dikatakan sebagai tempat pertama islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan di
seluruh Nusantara sampai sekarang dipelajari kitab-kitab tasawuf . kita juga banyak menyaksikan
acara-acara tahlilan, syukuran, ratiban, marhaban, dan yang lainnya di praktekkan di beberapa
wilayah di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai