PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci
mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para
sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara
Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa
belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan
meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah,
keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup
kerahibaan, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama
lainnya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh
sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi,
tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba
Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat
(kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat.
Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah
menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau
kelebihan-kelebihan supranatural.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tasawuf
2. Sejarah PerkembanganTasawuf
3. Tasawuf di indonesia
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai tugas makalah pada mata kuliah Akhlak Tasawuf.
2. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Dengan munculnya sufi sekaligus filosof ini, maka dalam islam timbul dua aliran
tasawuf:
1. Tasawuf sunni.
2. Tasawuf filosofis, para sufi ini mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, diantara kecaman
yang paling keras terhadap sufi sekaligus filosofis ini adalah Ibn Taymiyyah (w.728 h).[12]
PERKEMBANGAN TASAWUF :
1. Gerakan Zuhud (asketitisme) Pada Abad Pertama Dan Kedua Hijriyah[13]
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Zuhud
bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi akan tetapi ia adalah hikmah
pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap
kehidupan duniawi, dimana mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi
itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari
tuhannya.
Karena itu zuhud dalam islam tidak bersyaratkan kemiskinan. Terkadang seseorang yang
kaya tapi pada saat yang sama ia juga zuhud, seperti Usman bin Affan dan Abdurrahman bin
‘Auf , Mereka adalah hartawan tapi keduanya adalah zuhud dengan harta yang mereka miliki.
Utsman bin Affan membekali pasukan nabi pada masa paceklik dan membeli sumur seorang
yahudi yang melarang kaum muslimin menimba air di sumurnya.
Ada beberapa faktor zuhud berkembang didalam islam, ini menurut Abu al-A’la Afifi :
Ajaran-ajaran islam itu sendiri. Kitab suci alquran sendiri yang mendorong manusia agar hidup
shaleh, taqwa kepada allah, menghindari dunia, memandang rendah kehidupan duniawi dan
memandang tinggi akhirat. Selain itu alquran menyuruh manusia agar beribadah, bertingkah laku
baik, shalat malam, berpuasa, dan lain-lain, yang menjadi inti zuhud.
Revolusi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosio politik yang berlaku. Konflik-konflik
yang terjadi sejak akhir masa khalifah Utsman bin Affan dan berlangsung sampai masa khalifah
Ali bin Abi Thalib dan kaum muslimin terpecah-belah menjadi beberapa kelompok, yaitu syi’ah,
khawarij, dan murji’ah. Sebagian sahabat nabi yang merasa gawatnya situasi penuh konflik dan
kericuhan politik ini, memilih netral kepada masing-masing kelompok yang bermusuhan itu.
Mungkin hal ini mereka mengarah pada semacam asketitisme (zuhud).
Dampak zuhud masehi, sebelum islam datang, bangsa arab telah terkena dampak zuhud dari
pendeta masehi, setelah islam datang, masih tetap berlangsung.
Penentangan terhadap fiqh dan kalam, kaum muslimin yang saleh mereka merasa bahwa
pemahaman para fuqaha dan ahli kalam tidak dapat sepenuhnya memuaskan perasaan
keagamaan mereka. Sehingga merekapun mengarah kepada tasawuf untuk memenuhi kehausan
perasaan keagamaannya.
Tahun ini disebut dengan fase asketitisme yang juga merupakan fase pertama perkembangan
tasawuf.[14]
Karakteristik Asketitisme islam pada abad pertama dan kedua hijriyah.
Ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memelihara diri
dari azab neraka.
Ini bercorak praktis, hidup dalam ketenangan, dan kesederhanaan secara penuh, dan banyak
beribadah.
Motivasi asketitisme rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh.
Para asketitis sampai akhir abad kedua hijriyah, tidak dipandang sebagi sufi, dalam hal
ini lebih sering menggunakan istilah zahid, nasik, qari’,dll.
Tarikat al-Syadziliyyah
Tarikat ini didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi penganut aliran sunni.
Ajaran-ajarannya dapat di ikhtisarkan kedalam lima pokok : taqwa kepada Allah, baik
diketahui maupun tidak diketahui orang, konsisten mengikuti sunnah, penghormatan terhadap
makhluk, ridho kepada Allah dan kembali kepada Allah.
Tarikat ini tersebar luas dalam dunia islam seperti Andalusia, Indonesia, Afrika Utara dan
Barat dan negara-negara Arab.
Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Kalau diteliti secara cermat maka akan dapat disimpulkan bahwa tahun-tahun pertama
masuknya agama islam di Nusantara adalah juga tahun-tahun pertama sufisme berkembang di
Nusantara. Islam datang ke nusantara dengan damai tanpa kampanye militer atau dukungan
pemerintah. Kenyataan ini menunjukkan orang-orang yang menyebarkan tidak memiliki tendensi
apa-apa selain rasa tanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama-nama
mereka berlalu begitu saja tertelan sejarah.[21]
Para penyiar itu menjadi anggota aliran mistik islam (tariqah) yang melarikan diri dari
baghdad ketika itu diserbu orang Moghol pada tahun 1258 M.[22]
Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara, tidak lepas dari pengkajian proses
Islamisasi dikawasan ini. Sebab tidaklah berlebihan kalau dikatakan, bahwa tersebar luasnya
islam di indonesia sebagian besar adalah karena jasa para sufi.[23]
Hal ini dibuktikan dengan adanya peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan
islam di Aceh sampai pada masa wali songo di Jawa. Kepemimpinan raja atau sulthan selalu
didampingi dan didukung oleh kharisma ulama tasawuf.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa gagasan mistik memang mendapat sambutan hangat di
Jawa, karena sejak zaman sebelum masuknya agama islam, tradisi kebudayaan hindu dan budha
yang terdapat disana sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik.
Kerajaan Islam Pasai merupakan kancah pertama kali lahirnya sufisme di nusantara
sebagaimana juga dikatakan sebagai tempat pertama islam masuk ke Nusantara. Dan sudah ada
orang-orang yang sudah menjadi guru sufi yang tinggi dan diakui. Mereka bukan mengajar di
Nusanta saja bahkan mereka mengajar di tanah Arab. Diantaranya adalah al-Yafi’
seorang syekh yang karangan-karangannya menjadi pedoman sampai sekarang, pada abad ke 8
H/16 M.[24]
Dapat dikatakan bahwa pasai adalah titik pertama sufisme di Nusantara yang kemudian
membentuk titik-titik baru di seluruh Nusantara. Nur Addin Arraniri dan Abd arrauf Asinkili
adalah dua tokoh besar sufi yang berdiam di Aceh. Di Aceh ini pula Almakassari, dari Makassar
melalui Banten, menemui Arraniri. Dari pasai pula Syekh Yusuf Al-Makassari menuju Yaman
untuk memperdalam ilmu. Abd as-Samad al-Palimbani sempat berdiam di Aceh, kemudian
mengamalkan ilmunya di Palembang sebelum kemudian menetap untuk mengajar di Haramayn.
Muhammad Nafis al-Banjari membuat titik baru di Kalimantan, Banjarmasin, dengan
menda’wahkan Islam kepada penduduk setempat.[25]
Perkembangan islam di jawa digerakkan oleh ulama yang dikenal dengan panggilan
wali songo atau wali sembilan. Mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada
derajat “wali”.[26] Para wali itu bukan saja berperan sebagai penyiar islam, tetapi mereka juga
ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesulthanan dan karena posisi itu mereka mendapat
gelar “susuhunan” yang biasa disebut sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam”
kekuasaan sulthan dan kelompok elit keraton dalam menyebarkan dan memantapkan
penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.
Dalam dunia pesantren generasi awal, warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai
anutan mereka yang didominasi sufisme aliran al-Ghazali yang beraliran tasawuf sunni, sufisme
yang sangat kuat mewarnai kesantrian masa itu.[27] Dikalangan tertentu juga ditemukan
literatur tasawuf falsafi, seperti insan kamil karya Abdul Karim al-Jili. Pengaruh tasawuf falsafi
cukup kuat dan luas pengaruhnya dikalangan penganut tarekat, sedangkan tokoh nya yang paling
populer adalah syekh Siti Jenar.[28]
Kebanyakan di seluruh Nusantara sampai sekarang dipelajari kitab-kitab tasawuf . kita
juga banyak menyaksikan acara-acara tahlilan, syukuran, ratiban, marhaban, dan yang lainnya di
praktekkan di beberapa wilayah di Indonesia.[29]
Semenjak penyiaran islam dijawa diambil alih oleh kerabat elit keraton, kelihatannya
secara pelan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi
lokal,[30] yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena telah tergantikan oleh
model spiritualis non-religius.[31]situasi yang hampir sama, juga menimpa dunia pesantren yang
disebabkan oleh invasi sistem pendidikan sekular yang berasal dari Eropa melalui kolonial
Belanda.[32]oleh karena faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, maka kehidupan sufisme di
Indonesia secara berangsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu.
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang mempelajari tentang usaha membersihkan diri,
berjuang memerang hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian,
saling mengingatkan antara manusia, berpegang teguh pada janji Allah, syari’ai rasulullah dan
mendekatkan diri mencapai keridoan-Nya.
Fase Perkembangan Tasawuf :
1. Fase Arketitisme (zuhud) , tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada masa ini
dalam kalangan muslim, terdapat individu-individu yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah.
Mereka tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Diantara mereka adalah
Hasan al-Bashri (w.110 h) dan rabi’ah al-adawiyah (w.185 h).
2. Pada abad ketiga dan keempat hijriyah para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Inilah cikal bakal terbentuknya tariqat-tariqat sufi
islam, dimana sang murid menempuh pelajaran dasarnya secara formal dalam suatu majelis.
Dalam tariqat itulah mereka mempelajari tata-tertib tasawuf baik ilmu maupun prakteknya.
3. Pada abad kelima hijriyah muncullah imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima
tasawuf yang berdasarkan al-Quran dan as-sunnah serta bertujuan asketitisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
4. Pada abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu
besar, pengaruh tasawuf sunni semakin luas dalam dunia islam. Pada abad ini juga muncul
sekelompok sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat
setengah-setengah, artinya disebut tasawuf murni bukan dan murni filsafat pun bukan. Diantara
mereka adalah al-Syuhrawardi al-Maqtul (w.549 h), penyusun kitab hikmah al-isyraq.
5. Pada abad ketujuh hijriyah, muncul pula tokoh-tokoh sufi lainnya yang menempuh jalan yang
sama. Yang paling terkenal diantaranya adalah Abu al-Syadzili (w.656 h). Tasawuf mereka di
pandang sebagai kesinambungan jenis tasawuf sunni dari al-Ghazali.
Kalau diteliti secara cermat maka akan dapat disimpulkan bahwa tahun-tahun pertama
masuknya agama islam di Nusantara adalah juga tahun-tahun pertama sufisme berkembang di
Nusantara. Islam datang ke nusantara dengan damai tanpa kampanye militer atau dukungan
pemerintah. Kenyataan ini menunjukkan orang-orang yang menyebarkan tidak memiliki tendensi
apa-apa selain rasa tanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama-nama
mereka berlalu begitu saja tertelan sejarah.
Kerajaan Islam Pasai merupakan kancah pertama kali lahirnya sufisme di nusantara
sebagaiman juga dikatakan sebagai tempat pertama islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan di
seluruh Nusantara sampai sekarang dipelajari kitab-kitab tasawuf . kita juga banyak menyaksikan
acara-acara tahlilan, syukuran, ratiban, marhaban, dan yang lainnya di praktekkan di beberapa
wilayah di Indonesia.