Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF

1.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini
tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek
peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah
satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek
batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak
awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah
yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin
tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam)
spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan),
atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang
dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya
karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah
perbuatannya. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa
sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang
menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal
sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan
adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun
mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali
tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi
mistisisme agama-agama lainnya.

Tasawuf pada mulanya adalah bagian dari ajaran zuhd dalam islam. Yaitu lebih berkonsentrasi dalam
pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Semakin jauh dari zaman Rasul SAW semakin
banyak aliran-aliran tasawuf berkembang. Dari perbedaan tatacara yang digunakan oleh masing-masing aliran
itu tasawuf menjadi istilah yang terpisah dari ajaran zuhud. Karena tasawuf telah menjadi aliran yang memiliki
makna khusus sebab kekhususan praktek ajaran yang ditempuhnya.

Ada tiga unsur dalam diri manusia yaitu: ruh, akal, dan jasad. Kemulian manusia dibanding dengan makhluk
lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh ilahi. Ruh yang dinisbahkan kepada Allah. SWT. Ruh Ilahi
inilah yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan rohani yang dapat diistilahkan dengan makna tasawuf.
Dimana kecondongan ini juga dimiliki oleh semua manusia dalam setiap agama. Karena perasaan itu merupakan
fitrah manusia. Secara umum dapat juga kita ibaratkan makna tasawuf dengan filsafat kehidupan dan metode
khusus sebagai jalan manusia untuk mencapai akhlak sempurna, menyingkap hakikat dan kebahagiaan jiwa.

Adapun inti dari tasawuf sendiri ialah tekun beribadah, menjauhi kemewahan dunia dan mengasingkan diri
dari manusia untuk beribadah sebagaimana para sahabat dan ulama terdahulu melakukannya. Nabi SAW sendiri
secara sufistic telah memiliki prilaku sufi sejak dalam kehidupannya, seperti dalam perilaku atau pribadi beliau,
peristiwa dalam hidup, ibadah. Sebelum menjadi Rasul, beliau sering berkholwat di gua hira dengan berdzikir,
bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.

II. ASAL-USUL KATA TASAWUF

Al-Qusyairi di dalam Al- Risalah al-Qusyairiyyah, mengatakan bahwa para generasi pertama ( sahabat ) dan
sesudahnya (tabi’in ) mereka lebih menyukai dan merasakannya sebagai penghormatan apabila mereka disebut
sebagai sahabat. Pada saat itu istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan sufi belumlah dikenal dan belum populer
bila dibandingkan dengan masa setelahnya. Dengan demikian, istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan kemudian
sufi, yang digunakan untuk para ahli ibadah, baru dikenal setelah generasi sahabat dan tabi’in ini. Tentang asal
kata Tasawwuf, yang berasal dari kata sufi, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Diantaranya ada yang
menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak
terdapat akar katanya. “Menurut sejarah,orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid atau asketik
bernama Abu Hasyim Al-kufi di Irak. Terdapat lima teori mengenai asal kata sufi , teori-teori berikut selalu
dikemukakan oleh para penulis tasawuf, yaitu :

1) Kata Tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai
pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan,
bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-
Kufi di Irak (wafat tahun 150H).

2) Ahl Al-Suffah, (‫ )أهل الصفة‬yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah
yang karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal
di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah.
Walaupun hidup miskin, Ahl Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan keduniaan
yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya
budi yang mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi.

3) Shafi ( ‫ )صافي‬yaitu suci. Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang
bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian mereka adalah
orang-orang yang disucikan.

4) Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang-
orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari
kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
5) Saf ( ‫ )صف‬Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala
yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat jamaah
mereka mengambil saf yang pertama.

III. PENGERTIAN TASAWUF

Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya
pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu
sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari penjernihan jiwa. Upaya inilah yang kemudian
diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap
berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi
sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut
perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku
hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah
perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs)
dan (2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.

Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk mensucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha
mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama
sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi
mistisisme agama-agama lainnya. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah
istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-
kelebihan supranatural.

IV. SUMBER AJARANNYA

Di dalam al-Qur’an banyak ditemui ayat-ayat yang mendorong manusia memikirkan alam raya ini, dengan
berpikir akan nampak keindahannya dan keindahan pencipta dan dengan demikian akan tumbuh rasa cinta yang
mendalam terhadap pencipta. Di antaranya dalam firman Allah:
‫إن في خلق السموات واألرض واختالف الليل والنهار أليات ألولى األلباب‬
Artinya, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal ”(S. Ali Imran 190).

Demikian juga sekian banyak ayat yang memberikan contoh akhlak mulia dan akhlak yang buruk,
melalui cerita umat-umat yang lampau, atau melalui larangan dan perintah. Demikian pula manusia
selalu didorong beramal saleh dan mengendalikan nafsu keinginannya dan dalam kemampuan
mengendalikan nafsu keinginan terletak keberuntungan hidup. Allah berfirman:

‫ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها قد أفلح من ذكاها وقد خاب من دساها‬
Artinya “Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.
Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (S. Asy-Syams 7-10)
Contoh kehidupan shufi banyak pula ditemui dalam kehidupan Rasulullah sehari-hari, yang penuh
dengan penderitaan dan waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berbakti kepada manusia.
Sebelum ia diangkat menjadi Rasul, ia sering melakukan tahannus (khalwat) di gua Hira di Jabal Nur
untuk memohon petunjuk. Usman bin Affan meskipun termasuk orang yang kaya yang mendapat
kelapangan rezeki dari Allah, namun dalam kehidupannya sehari-hari juga sangat sederhana. Di kala
ia berada di rumah, kitab suci al-Qur’an selalu di tangannya, pada malam hari ia selalu menelaah isi
al-Qur’an dan kadang kala sampai larut malam dan ketika ia tewas dibunuh oleh para pemberontak
al-Qur’an masih berada di tangannya. Karena itu, orang shufi berpendapat ada hal-hal yang perlu
disembunyikan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf dan ajaran-ajaran yang seperti itu tidak boleh
dibeberkan kepada orang lain kecuali kepada orang yang dianggap layak menerimanya. Mereka
berlandaskan ucapan Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari yang katanya: “Aku peroleh dari
Rasulullah dua bejana ilmu pengetahuan, satu di antaranya yang kusampaikan kepada orang lain,
dan yang satu lagi tidak kusampaikan dan kalau kusampaikan juga niscaya leherku akan dipenggal”.

V. MUNCULNYA TASAWUF
Timbulnya tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran islam itu sendiri, yaitu
semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia dan alam semesta. Fakta
sejarah menunjukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang
kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’ disamping untuk mengasingkan diri dari
masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Di sisi lain
Muhammad juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan noda- noda
yang menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan khalawat yang dilakukan Muhammad
SAW bertujuan untuk mencari ketenagan jiwa dan keberhasilan hati dalam menempuh liku- liku
probelma kehidupan yang beraneka ragam , berusaha untuk memperoleh petunjuk dan hidayah
serta mencari hakikat kebenaran , dalam situasi yang demikianlah Muhammad menerima Wahyu
dari Allah SWT, yang berisi ajaran- ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman dalam
mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.1
Dalam sejarah islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud
pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang
zahid pertama yang termashur dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan
meninggal di Basrah tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama
adalah Khauf dan Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru-
guru yang lain, yang dinamakan qari’ , mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di
kalangan umat muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis
mengenai tariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang
dikemukakan disana sini sudah mulai mengurangi makna (ju’), menjauhkan diri dari keramaian
dunia ( zuhud ).
Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II Hijriyah mempunyai
karakter sebagai berikut:
1. Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama , yang dilator
belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana, praktis( belum berwujud dalam
sistematika dan teori tertentu ), tujuanya untuk meningkatkan moral.
2. Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun
prinsip- prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana- saranapraktisnya adalah
hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum,
banyak beribadah dan mengingat Allah SWT. Dan berlebih- lebihan dalam merasa berdosa,
tunduk mutlak kepada kehendak Nya., dan berserah diri kepada Nya. Dengan demikian
tasawuf pada masa itu mengarah pada tujuan moral.
3. Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan
amal keagamaan secara sungguh- sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah,
ditangan Rabi’ah al- Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut trhadap
adhab- Nya maupun harapan terhadap pahala Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian
diri dan abstraksinya dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
4. Ahkir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan Rabi’ah al- Adawiyah
ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias dipandang sebagai masa pendahuluan
tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafati abad ke- III dan IV Hijriyah. Abu
al- Wafa lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi)
(Abu alo- Wafa, 1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al- Wafa, al- Qusyairi
tidak memasukkan Hasan al- Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan guru
tasawuf.2
Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf.
Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih
dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan
demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[1].
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap
sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan
dunia untuk ibadah[2].
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua,
zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan adanya
kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan,
maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat
kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak
terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan
menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah
melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana,
puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[4].
Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf sebagai seorang zahid
yang menjauhkan diri dari kelezatan duniaserta mengingkarinya serta lebih mengutamakan
kehidupan yang kekal dengan mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat
perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai makhluk dengan Kholik
sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang
seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang
sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di
sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti
ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5].
Zuhud disini mengandung makna tidak berbangga atas kemewahan dunia dan tidak membuat
ingkar terhadap Allah SWT serta tetap berusaha bekerja. Hal ini hanyalah sebagai sarana ibadah
meraih keridhoan-Nya, bukan sebagai tujuan akhir hidup.
Sifat zuhud inilah yang menjadi salah satu akibat suatu peristiwa dan lanjutan munculnya
tasawuf, yaitu sebagai reaksi kaum muslimin terhadap sistem social politik dan ekonomi di
kalangan islam sendiri. Ketika islam mulai tersebar ke berbagai penjuru dunia, setelah tempo
sahabat (zaman tabiin abad ke I dan II) baik pada masa Kholifah maupun masa daulah-daulah
setelahnya banyak terjadi pertikaian politik ataupun kemakmuran satu pihak, sudah mulai beubah
kondisinya dari masa sebelumnya. Sehingga menimbulkan pula peperangan saudara antara Ali bin
Abi Tholib dengan Mu’awiyah yang bermula fitnah pada Utsman bin Affan. Dengan adanya
peristiwa tersebut membuat masyarakat dan ulama tidak ingin terlibat terhadap pergolakan yang
ada serta tidak mau kemewahan dunia. Mereka lebih memilih untuk mengasingkan diri agar bisa
mengembalikan kondisi lingkungan kehidupan islam seperti dahulu, yaitu seperti masa Nabi SAW,
para sahabat serta para pengikutnya yang sesuai dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist
pada jalan yang benar menuju Rabb Yang Maha Esa.
Pada masa Bani Umayyah sistem pemerintahan berubah menjadi monarki sehingga bebas
berbuat kezaliman (terlebih kepada lawan politiknya yaitu Syiah). Sampai terbunuhlah Husen bin
Ali di Karbala dengan kekejaman Bani Umayah, sehingga penduduk Kufah menyesal mendukung
pihak yang melawan Husein. Kemudian kelompok ini bernama Tawwabun yang dipimpin
Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi untuk membersihkan diri serta beribadah. Demikian pula dari segi
social yang bermewah-mewahan jauh dari seperti zaman Nabi SAW. Kholifah Yazid yang dikenal
pemabuk membuat kaum muslimin merasa berkewajiban menyeru hidup zuhud, sederhana, saleh
dan tidak terjebak hawa nafsu seta kembali melirik pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW dan
para sahabatbya. Saat itulah kehidupan zuhud menyebar luas di maaasyarakat pada abad-abad
pertama dan kedua hijriyah dengan berbagai aliran, seperti :madinah, Bashrah, Kuffah, Mesir

VI. KESIMPULAN
1. Zaman Nabi SAW tidak ada tasawuf, akantetapi sikap perangainya serta dari para sahabat
telah menunjukkan sifat tasawuf.
2. Tasawuf muncul sebagai akibat dari ketidakselarasan kondisi social politik pada masa
setelah sahabat yang jauh dari nilai-nilai seperti masa lalu untuk kembali ke jalan islam
yang lurus dengan mendekatkan diri kepada-Nya.
3. Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup
hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung
mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari
realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan, (4)
perang politik yang saling mengorbankan satu dengan yang lain. Karena itu sebagian ulama
memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan
praktek-praktek yang berlumuran darah. Peri hidup Peri hidup Rasulullah dan sahabat-
sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi,
misalnya mencari kekayaan pribadi, melainkan bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari
keridhaan Allah SWT. Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah,
tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian
merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut
antara lain:
1. Hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).
2. Hidup qanaah (menerima apa adanya).
3. Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
4. Hidup istiqamah (tetap beribadah).
5. Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya
dan makhluk lainnya).
6. Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah).3

Anda mungkin juga menyukai