Anda di halaman 1dari 1

Pada fase abad 1 dan 2 Hijriyah, ilmu tasawuf lebih tepat disebut dengan ilmu kezuhudan.

Pada fase ini,


daripada bersifat pemikiran, Tasawuf lebih bersifat amaliah, seperti memperbanyak ibadah atau
menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Kesederhanaan kehidupan Nabi SAW yang mencerminkan
kehidupan zuhud dan kesederhanaan diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Pada masa ini, terdapat
fenomena kehidupan spiritual yang sangat menonjol dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasulullah
SAW yg disebut dengan nama Ahl Al-Shuffah. Di kemudian hari, kelompok ini dijadikan tipe panutan
oleh para sufi.

Pada fase tasawuf, yaitu abad 3 dan 4 Hijriyah, mulai muncul sebutan Shufi. Hal ini dikarenakan tujuan
utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat,
namun juga untuk menikmati hubungan langsung dengan tuhan. Cinta Tuhan ini membawa konsekuensi
pada kondisi Fana fi al-mahbub, yaitu tenggelam atau mabuk cinta dimana kondisi ini mendorong
kepada al-ittihad atau persatuan dengan yang dicintainya. Pada fase ini muncul istilah fana (kondisi
dimana seorang sufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik), ittihad (merasa harus bersatu dengan
Allah), serta hulul (masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.

Pada fase abad 5 Hijriyah disebut dengan fase konsolidasi. Pada fase ini, Tasawuf memperkuat diri
dengan dasarnya yang asli, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. Tasawuf ini sering disebut dengan Tasawuf
Suny, yakni tasawuf yang sesuai dengan sunnah Nabi dan sahabatnya. Sebenarnya, tasawuf ini
merupakan reaksi dari fase sebelumnya sudah mulai melenceng dari Sunnah Nabi dan Sahabatnya.

Fase 6 Hijriyah ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang memadukan antara rasa
(dzauq) dan rasio (akal). Pengalaman-pengalaman yang di klaim sebagai persatuan antara tuhan dan
hamba-Nya diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud.

Anda mungkin juga menyukai