Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF

I.

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini
tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek
peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah
satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek
batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu
sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa).
Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan
disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu
tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian),
wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif
sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara
perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa
mengawasi setiap langkah perbuatannya. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai
usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan
sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. tasawuf para
sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara
Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan.
Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku
hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan
juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau
uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya.
Tasawuf pada mulanya adalah bagian dari ajaran zuhd dalam islam. Yaitu lebih
berkonsentrasi dalam pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Semakin
jauh dari zaman Rasul SAW semakin banyak aliran-aliran tasawuf berkembang. Dari perbedaan
tatacara yang digunakan oleh masing-masing aliran itu tasawuf menjadi istilah yang terpisah dari
ajaran zuhud. Karena tasawuf telah menjadi aliran yang memiliki makna khusus sebab
kekhususan praktek ajaran yang ditempuhnya.
Ada tiga unsur dalam diri manusia yaitu: ruh, akal, dan jasad. Kemulian manusia dibanding
dengan makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh ilahi. Ruh yang dinisbahkan
kepada Allah. SWT. Ruh Ilahi inilah yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan rohani
yang dapat diistilahkan dengan makna tasawuf. Dimana kecondongan ini juga dimiliki oleh
semua manusia dalam setiap agama. Karena perasaan itu merupakan fitrah manusia. Secara
umum dapat juga kita ibaratkan makna tasawuf dengan filsafat kehidupan dan metode khusus
sebagai jalan manusia untuk mencapai akhlak sempurna, menyingkap hakikat dan kebahagiaan
jiwa. 
Adapun inti dari tasawuf sendiri ialah tekun beribadah, menjauhi kemewahan dunia dan
mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah sebagaimana para sahabat dan ulama terdahulu
melakukannya. Nabi SAW sendiri secara sufistic telah memiliki prilaku sufi sejak dalam
kehidupannya, seperti dalam perilaku atau pribadi beliau, peristiwa dalam hidup, ibadah.
Sebelum menjadi Rasul, beliau sering berkholwat di gua hira dengan berdzikir, bertafakur untuk
mendekatkan diri kepada Alloh SWT.
II.    ASAL-USUL KATA TASAWUF
Al-Qusyairi di dalam Al- Risalah al-Qusyairiyyah, mengatakan bahwa para generasi pertama (
sahabat ) dan sesudahnya (tabi’in ) mereka lebih menyukai dan merasakannya sebagai
penghormatan apabila mereka disebut sebagai sahabat. Pada saat itu istilah-istilah seperti ‘abid,
zahid dan sufi belumlah dikenal dan belum populer bila dibandingkan dengan masa setelahnya.
Dengan demikian, istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan kemudian sufi, yang digunakan untuk
para ahli ibadah, baru dikenal setelah generasi sahabat dan tabi’in ini. Tentang asal kata
Tasawwuf, yang berasal dari kata sufi, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Diantaranya
ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam
bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. “Menurut sejarah,orang yang pertama memakai kata
sufi adalah seorang zahid atau asketik bernama Abu Hasyim Al-kufi di Irak. Terdapat lima teori
mengenai asal kata sufi , teori-teori berikut selalu dikemukakan oleh para penulis tasawuf, yaitu :
1)    Kata Tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu domba. Orang sufi
biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan
kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi
adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
 2)    Ahl Al-Suffah, (‫ )أهل الصفة‬yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah
ke Medinah yang karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak
memiliki apa-apa. Mereka tinggal di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai
pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Walaupun hidup miskin, Ahl Suffah berhati baik
dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan keduniaan yang bersifat materi, tetapi
mementingkan keakhiratan yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang
mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi.
3)    Shafi ( ‫ )صافي‬yaitu suci. Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya
dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama.
Dengan demikian mereka adalah orang-orang yang disucikan.
4)    Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang
ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para
filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
5)    Saf ( ‫ )صف‬Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan
dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala,
karena dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang pertama.

III.   PENGERTIAN TASAWUF


Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada
upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang
mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari penjernihan jiwa.
Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan
disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu
tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian),
wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif
sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara
perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa
mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua
hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan (2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk mensucikan jiwa sesuci
mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan,
qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup
kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama
lainnya. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah
menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau
kelebihan-kelebihan supranatural.
IV.    SUMBER AJARANNYA
Di dalam al-Qur’an banyak ditemui ayat-ayat yang mendorong manusia memikirkan alam
raya ini, dengan berpikir akan nampak keindahannya dan keindahan pencipta dan dengan
demikian akan tumbuh rasa cinta yang mendalam terhadap pencipta. Di antaranya dalam firman
Allah:
‫إن في خلق السموات واألرض واختالف الليل والنهار أليات ألولى األلباب‬
Artinya, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal ”(S. Ali Imran 190).

Demikian juga sekian banyak ayat yang memberikan contoh akhlak mulia dan akhlak yang
buruk, melalui cerita umat-umat yang lampau, atau melalui larangan dan perintah. Demikian
pula manusia selalu didorong beramal saleh dan mengendalikan nafsu keinginannya dan dalam
kemampuan mengendalikan nafsu keinginan terletak keberuntungan hidup. Allah berfirman:

‫ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها قد أفلح من ذكاها وقد خاب من دساها‬
Artinya “Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (S. Asy-Syams 7-
10)

Contoh kehidupan shufi banyak pula ditemui dalam kehidupan Rasulullah sehari-hari, yang
penuh dengan penderitaan dan waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berbakti kepada
manusia. Sebelum ia diangkat menjadi Rasul, ia sering melakukan tahannus (khalwat) di gua
Hira di Jabal Nur untuk memohon petunjuk. Usman bin Affan meskipun termasuk orang yang
kaya yang mendapat kelapangan rezeki dari Allah, namun dalam kehidupannya sehari-hari juga
sangat sederhana. Di kala ia berada di rumah, kitab suci al-Qur’an selalu di tangannya, pada
malam hari ia selalu menelaah isi al-Qur’an dan kadang kala sampai larut malam dan ketika ia
tewas dibunuh oleh para pemberontak al-Qur’an masih berada di tangannya. Karena itu, orang
shufi berpendapat ada hal-hal yang perlu disembunyikan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf dan
ajaran-ajaran yang seperti itu tidak boleh dibeberkan kepada orang lain kecuali kepada orang
yang dianggap layak menerimanya. Mereka berlandaskan ucapan Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Bukhari yang katanya: “Aku peroleh dari Rasulullah dua bejana ilmu
pengetahuan, satu di antaranya yang kusampaikan kepada orang lain, dan yang satu lagi tidak
kusampaikan dan kalau kusampaikan juga niscaya leherku akan dipenggal”.

      V.  MUNCULNYA TASAWUF


Timbulnya tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran islam itu sendiri,
yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia dan alam
semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul
telah berulang kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’ disamping untuk
mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa
nafsu keduniaan. Di sisi lain Muhammad juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati
dan mensucikan noda- noda yang menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan
khalawat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenagan jiwa dan
keberhasilan hati dalam menempuh liku- liku probelma kehidupan yang beraneka ragam ,
berusaha untuk memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran , dalam
situasi yang demikianlah Muhammad menerima Wahyu dari Allah SWT, yang berisi ajaran-
ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia
dan diakhirat.1
Dalam sejarah islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud
pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang
zahid pertama yang termashur dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan
meninggal di Basrah tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama adalah Khauf dan Rajah’
mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru- guru yang lain, yang
dinamakan qari’ , mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat
muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis mengenai tariq atau jalan
beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang dikemukakan disana sini sudah
mulai mengurangi makna (ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia ( zuhud ).
Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II Hijriyah mempunyai
karakter sebagai berikut:

1. Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama , yang dilator
belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana, praktis( belum berwujud dalam
sistematika dan teori tertentu ), tujuanya untuk meningkatkan moral.
2. Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun
prinsip- prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana- saranapraktisnya adalah
hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum,
banyak beribadah dan mengingat Allah SWT. Dan berlebih- lebihan dalam merasa
berdosa, tunduk mutlak kepada kehendak Nya., dan berserah diri kepada Nya. Dengan
demikian tasawuf pada masa itu mengarah pada tujuan moral.
3. Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari
landasan amal keagamaan secara sungguh- sungguh. Sementara pada akhir abad II
Hijriyah, ditangan Rabi’ah al- Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa
takut trhadap adhab- Nya maupun harapan terhadap pahala Nya. Hal ini dicerminkan
lewat penyucian diri dan abstraksinya dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
4. Ahkir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan Rabi’ah al- Adawiyah
ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias dipandang sebagai masa pendahuluan
tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafati abad ke- III dan IV Hijriyah. Abu
al- Wafa lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi)
(Abu alo- Wafa, 1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al- Wafa, al-
Qusyairi tidak memasukkan Hasan al- Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan
guru tasawuf.2

Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf.
Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu
keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus
terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi.
Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[1].
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap
sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan
dunia untuk ibadah[2].
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan
adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan
ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau
ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari
berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini
al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri
untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi
(khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[4].
Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf sebagai seorang zahid
yang menjauhkan diri dari kelezatan duniaserta mengingkarinya serta lebih mengutamakan
kehidupan yang kekal dengan mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat
perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai makhluk dengan Kholik
sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang
seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang
sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di
sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti
ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5].
Zuhud disini mengandung makna tidak berbangga atas kemewahan dunia dan tidak
membuat ingkar terhadap Allah SWT serta tetap berusaha bekerja. Hal ini hanyalah sebagai
sarana ibadah meraih keridhoan-Nya, bukan sebagai tujuan akhir hidup.
Sifat zuhud inilah yang menjadi salah satu akibat suatu peristiwa dan lanjutan munculnya
tasawuf, yaitu sebagai reaksi kaum muslimin terhadap sistem social politik dan ekonomi di
kalangan islam sendiri. Ketika islam mulai tersebar ke berbagai penjuru dunia, setelah tempo
sahabat (zaman tabiin abad ke I dan II) baik pada masa Kholifah maupun masa daulah-daulah
setelahnya banyak terjadi pertikaian politik ataupun kemakmuran satu pihak, sudah mulai beubah
kondisinya dari masa sebelumnya. Sehingga menimbulkan pula peperangan saudara antara Ali
bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah yang bermula fitnah pada Utsman bin Affan. Dengan adanya
peristiwa tersebut membuat masyarakat dan ulama tidak ingin terlibat terhadap pergolakan yang
ada serta tidak mau kemewahan dunia. Mereka lebih memilih untuk mengasingkan diri agar bisa
mengembalikan kondisi lingkungan kehidupan islam seperti dahulu, yaitu seperti masa Nabi
SAW, para sahabat serta para pengikutnya yang sesuai dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Al-
Hadist pada jalan yang benar menuju Rabb Yang Maha Esa.
Pada masa Bani Umayyah sistem pemerintahan berubah menjadi monarki sehingga bebas
berbuat kezaliman (terlebih kepada lawan politiknya yaitu Syiah). Sampai terbunuhlah Husen bin
Ali di Karbala dengan kekejaman Bani Umayah, sehingga penduduk Kufah menyesal
mendukung pihak yang melawan Husein. Kemudian kelompok ini bernama Tawwabun yang
dipimpin Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi untuk membersihkan diri serta beribadah. Demikian pula
dari segi social yang bermewah-mewahan jauh dari seperti zaman Nabi SAW. Kholifah Yazid
yang dikenal pemabuk membuat kaum muslimin merasa berkewajiban menyeru hidup zuhud,
sederhana, saleh dan tidak terjebak hawa nafsu seta kembali melirik pada kesederhanaan
kehidupan Nabi SAW dan para sahabatbya. Saat itulah kehidupan zuhud menyebar luas di
maaasyarakat pada abad-abad pertama dan kedua hijriyah dengan berbagai aliran, seperti
:madinah, Bashrah, Kuffah, Mesir

    VI. KESIMPULAN

1. Zaman Nabi SAW tidak ada tasawuf, akantetapi sikap perangainya serta dari para sahabat
telah menunjukkan sifat tasawuf.
2. Tasawuf muncul sebagai akibat dari ketidakselarasan kondisi social politik pada masa
setelah sahabat yang jauh dari nilai-nilai seperti masa lalu untuk kembali ke jalan islam
yang lurus dengan mendekatkan diri kepada-Nya.
3. Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup
hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung
mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk
dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan,
(4) perang politik yang saling mengorbankan satu dengan yang lain. Karena itu sebagian
ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama
dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Peri hidup Peri hidup Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat
duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi, melainkan bertumpu pada nilai-nilai
ibadah, mencari keridhaan Allah SWT. Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh
kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian
berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul
karimah) tersebut antara lain:

1. Hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).


2. Hidup qanaah (menerima apa adanya).
3. Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
4. Hidup istiqamah (tetap beribadah).
5. Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada
dirinya dan makhluk lainnya).
6. Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah).3

 
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954.


Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. al-
Munawwir,Yogyakarta, 1984.
Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan
Bintang,1995.
Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002.
Khoiri, Alwan.Dr.M.A., Damami.Moh.Drs.M.A.g., dkk., Akhlak Tasawuf, Yogyakarta,
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.

1 Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Institute Agama Islam Negeri Sumatra
Utara , Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/ 1982, hal. 35- 36
2 Prof.Dr. HM. Amin Syakur, MA. Menggugat Tasawuf, Cet.I,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999, hal. 28- 32.
3 Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: 2005, hal 35- 36.

http://ukonpurkonudin.blogspot.com/2011/09/sejarah-munculnya-tasawuf.html
Asal-usul tasawuf
Ditulis oleh Fethullah Gülen pada 07 Juli 2015. diposting di Makalah

Penilaian Pengguna:   / 11


Jelek Bagus 

Menurut pandangan sejarah ilmu-ilmu Islam, berbagai hukum syariat belum ditulis pada masa
awal kelahiran agama ini. Pada saat itu kebanyakan kaum muslim menghafalkan berbagai bagian
dari hukum-hukum syariat di dalam benak mereka saja, dan terus tersemat kuat di dalam pikiran
mereka, sebagai bentuk akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu terus diulang dan diperkuat
dengan praktik dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dari perspektif ini, pengumpulan
dan pencatatan hukum syariat tidak menemukan kesulitan yang berarti; sebab upaya semacam itu
tidak lebih dari sekadar mengalihkan berbagai hal yang diingat dalam benak kita ke dalam
catatan-catatan di atas lembaran kertas.

Dari sisi lain, berbagai cabang ilmu sengaja disebutkan di sini karena ia merupakan masalah-
masalah nyata dan hayati dalam kehidupan yang pasti dialami setiap muslim. Para ulama
memiliki prioritas atas berbagai realitas yang tersimpan di dalam benak dan hati mereka untuk
kemudian mereka menyusun dan menulis berbagai risalah dan buku-buku yang berhubungan
dengan setiap masalah. Para ahli fikih sibuk menulis buku-buku fikih, para ahli hadis sibuk
menulis dan menghafal Sunnah, para ulama Ilmu Kalam sibuk membahas berbagai masalah
akidah, sementara para mufassir sibuk menyusun buku-buku tafsir dan ilmu-ilmu Alquran.
Setiap mereka mengerahkan segenap kemampuannya pada bidang masing-masing hingga
melampaui cakrawala tertinggi untuk menunjukkan hakikat-hakikat Islam yang luhur tanpa
pernah membiarkan ada ruang bagi munculnya ketidakjelasan dan kebingungan.

Di tengah semua itu, para sufi juga berkonsentrasi –mereka adalah orang-orang yang selalu
memberi perhatian besar terhadap aspek spiritual dan rohani dari al-Haqîqah al-Muhammadiyyah
SAW- mereka selalu berkonsentrasi –dengan mengandalkan sumber-sumber yang sama- kepada
berbagai hal yang berhubungan dengan tasawuf, seperti jati diri manusia, dasar kehidupan dan
segala yang ada di baliknya, esensi serta hakikat manusia dan alam semesta, dan berbagai
masalah lainnya, sembari berusaha untuk menuntun perhatian semua manusia ke arah segala
yang ada di balik semua entitas.

Para sufi itu lalu menambahkan riyadhah pribadi, kehidupan spiritual, penjernihan hati, dan
penyucian jiwa yang mereka lakukan, ke dalam penafsiran para mufassir, riwayat para muhaddis,
dan ijtihad serta istinbâth para mujtahidin. Singkatnya, mereka men gembangkan berbagai arus
dan jalan tasawuf dengan memahami agama secara komprehensif serta tidak terpisah-pisah. Di
samping mereka juga senantiasa hi-dup, merasa, dan memahami agama dengan baik.

Demikianlah kehidupan spiritual Islam menda-patkan landasan ilmiahnya. Itulah kehidupan yang
disandarkan pada landasan praktik yang berkaitan langsung dengan kondisi hati, seperti
zuhudnya para ahli zuhud, ibadahnya para ahli ibadah, kepekaan spiritualnya para ahli wara’,
kelembutan perasaan orang-orang yang ikhlas, cinta dan kerinduan para pecinta, dan ketajaman
pandangan orang-orang fakir yang menyadari kelemahan serta kefakiran mereka di hadapan
Allah.

Dari sinilah kemudian muncul suatu ilmu yang di-sebut dengan istilah “Ilmu Tasawuf” dengan
segala ciri khas yang dimilikinya dalam bentuk manhaj(jalan), maslak (profesi), masyrab
(gaya,cara), maudhu’ (subjek), kaidah-kaidah, dan istilah-istilah. Jadi tidak diragukan lagi bahwa
landasan Ilmu Tasawuf adalah inti-sari dan sari-pati dari al-Haqîqah al-Muhammadiyyah SAW,
meski kemudian muncul beberapa ketidak-samaan dan perbedaan di sana-sini di masa sekarang.

Merupakan sebuah fakta bahwa pada masa tertentu, ada sebagian ahli tasawuf yang mengira
bahwa syariat yang mulia –yang merupakan satu entitas dengan dua wajah- memiliki perbedaan
antara hukum-hukumnya (yang tampak) dari ruhnya (yang tersembunyi), seperti dalam
muraqabah, riyadhah, dan mujahadah. Masing-masing dari kedua sisi ini memiliki posisi yang
saling berlawanan antarsatu sama lain, disebabkan adanya dugaan bahwa yang satu melekat pada
aspek lahiriah dari syariat, sedangkan yang lain melekat pada aspek batiniah dari syariat. Pada
hakikatnya, penyebab munculnya perbedaan ini –hingga batas tertentu- adalah karena para ahli
fikih dan para pembuat fatwa merepresentasikan aspek teoretik dari syariat, sementara para sufi
merepresentasikan aspek batiniah dari syariat. Padahal perbedaan ini dapat dianalisa dari
perspektif bahwasanya masing-masing sisi memberikan satu jalan (al-maslak) yang cocok
baginya.

Para ahli fikih, ahli hadis, dan para mufassir telah merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah di
bawah naungan berbagai landasan dan kaidah yang menjadi dasar utama pada masa kerasulan
yang cemerlang. Mereka lalu melahirkan jejak-jejak agung pada bidang mereka masing-masing.
Sebagaimana pula halnya para sufi juga merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, telah
menunjukkan berbagai ijtihad me-reka dalam pelbagai masalah yang mereka gali dari kedua
sumber utama ini, yang berhubungan dengan riyadhah, mujahadah, muraqabah, hal, dan maqam.
Selain itu mereka juga menuliskan kehidupan spiritual mereka beserta ‘isyq, syauq, isytiyâq,
wajd, jadzbah, dan injidzâb yang mereka alami, sembari berusaha menuntun siapa pun yang
terlalu menekankan aspek lahiriah menuju arah ini.

Pada hakikatnya, tujuan masing-masing kelompok yang berbeda ini adalah mencapai Allah
dengan mematuhi semua perintah dan larangan-Nya. Akan tetapi, ketiadaan tolok ukur yang
dapat digunakan untuk menakar jalan ke arah itu sesuai aturan syariat terkadang menyebabkan
munculnya sikap ifrâth(melebih-lebihkan) dan tafrîth(meremehkan); yang kemudian menjadi
biang keladi munculnya begitu banyak perselisihan di masa kini. Padahal, sama sekali tidak ada
pencetus perbedaan pada dasar dan sumber agama, sebagaimana halnya penulisan berbagai
bagian dari agama secara terpisah tidak dapat disebut sebagai perselisihan. Demikian pula
tidaklah dapat disebut sebagai perselisihan ketika fikih berkonsentrasi pada hukum-hukum
ibadah dan muamalat, serta pengaturan pikiran dan amal manusia; sementara tasawuf
berkonsentrasi pada upaya untuk mengangkat harkat hidup manusia menuju tataran hati dan ruh
melalui jalan tarbiyah ruhani (tarbiyah ar-rûh), penjernihan hati (tashfiyah al-qalb), dan
penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs). Kalau itu terwujud, maka tidak akan ada perselisihan atau pun
perpecahan. Alih-alih, kedua elemen ini justru masing-masing akan menjaga satu elemen penting
dari syariat, karena tiap-tiap elemen sebenarnya setara dengan syariat secara keseluruhan.
Elemen parsial itulah yang menginterpretasikan seluruh syariat, karena kesempurnaan syariat
bergantung sepenuhnya pada kesempurnaan seluruh elemen tersebut.

Semua itu dapat terjadi karena salah satu elemen tersebut mengajarkan kepada manusia tentang
bagaimana cara bersuci sebelum beribadah, tata-cara melaksanakan shalat, aturan puasa, aturan
zakat, dan apa saja yang menjadi landasan dalam bermuamalat. Sedangkan elemen yang lain,
menegaskan perhatian terhadap hubungan antarsemua jenis ibadah, ketaatan, dan muamalat,
dengan hati dan ruh, sehingga elemen ini membahas tentang jalan peningkatan manusia dari
sosok manusia “penampilan” menjadi manusia “kepribadian” atau “konsepsi”. Selain itu elemen
yang satu ini juga mendorong manusia ke arah jalan yang akan membentuk mereka menjadi
Insan Kamil (Manusia Paripurna). Berdasarkan semua ini, maka kita memang sama sekali tidak
dapat menafikan salah satu di antara kedua elemen ini.

Akan tetapi, meski segelintir sufi yang kurang berpengetahuan telah melampaui batas dengan
menyebut orang-orang yang bergelut dengan fikih dan Sunnah dengan sebutan “Arbâb azh-
Zhâhir” (Para Pemilik /Ahli Lahiriah) atau “Ulamâ` ar-Rusûm” (Para Ulama Penampilan),
namun para sufi kamil yang berpengetahuan lengkap selalu menggunakan kaidah-kadiah syariat
dasar sebagai sumber rujukan mereka. Berbagai pemikiran dan pendapat yang mereka
kemukakan baik berupa landasan gaya maupun manhaj jalan, selalu sesuai dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah. Mereka merajut semua itu dengan sangat cermat berdasarkan syariat yang mulia.
Buku-buku seperti al-Washâyâ dan ar-Ri’âyah karya al-Muhasibi, at-Ta’arruf li-Madzhab Ahl at-
Tashawwuf karya al-Kalabadzi, al- Lumma’ karya ath-Thusi, Qût al-Qulûb karya Abu Thalib al-
Makki, dan ar-Risâlah karya al-Qursyairi, merupakan sebagian kecil dari permata-permata yang
lahir dari aktivitas ini.
Sebagaimana halnya di antara untaian permata ini terdapat beberapa karya tulis yang dibuat
dengan pola yang sama seperti muhâsabah dan penyucian jiwa, terdapat pula sejumlah besar
karya tulis lain yang berisi berbagai macam topik yang beragam.

Terakhir, setelah munculnya berbagai tulisan hebat yang tak ternilai harganya itu, tampillah sang
Hujjah al-Islam Imam Ghazali yang kemudian menulis bukunya yang luar biasa yang berjudul
Ihyâ` ‘Ulûmiddîn setelah sebelumnya ia terlebih dulu mengoreksi banyak jalan tasawuf dengan
segala adab-adab, rukun-rukun, dan istilah-istilahnya. Ia mengukuhkan hal-hal yang diakui oleh
para masyayikh, dan mengkritik hal-hal yang perlu dikritik. Al-Ghazali lalu mempertemukan
kembali antara kedua aliran penuh berkah (fikih dan tasawuf, penj-) yang seakan-akan saling
bertentangan ini, dan kemudian memadukan keduanya dengan sangat baik.

Setelah kemunculan al-Ghazali, banyak sufi yang menemukan bahwa ilmu mereka adalah salah
satu warna serta menjadi suatu dimensi dari ilmu-ilmu syariat. Maka terciptalah persatuan dan
kesatuan di mana-mana, sampai-sampai mereka juga berdamai dan bersatu dengan orang-orang
yang menyebut mereka –sampai saat itu- dengan julukan “Ulama Penampilan” (al-’Ulamâ` ar-
Rusûm) dengan maksud meremehkan mereka. Khususnya ketika mereka berhasil membawa
berbagai penjelasan yang terdapat di dalam ilmu tasawuf ke lingkungan madrasah terutama
dalam ranah fikih, seperti misalnya berbagai realitas hakikat tentang hati dan perasaan, dan
seperti ilmu tentang hal (‘Ilm al- Hâl), ilmu tentang bersitan hati (‘Ilm al-Khâthir), ilmu tentang
keyakinan (‘Ilm al-Yaqîn), ilmu ikhlas (‘Ilm al-Ikhlâsh), dan ilmu akhlak (‘Ilm al-Akhlâq).
Mereka menemukan titik-titik kesamaan yang sangat banyak yang menghantarkan mereka
kepada kesatuan dan kesepahaman. Baik di kalangan ahli tasawuf maupun di antara para “ulama
lahiriah”.

Demikianlah, karena tasawuf adalah jalan menuju ibadah yang pusat konsentrasinya adalah
batin, dan selalu bergelut dengan aspek ruhaniah dari hukum-hukum syariat serta pengaruhnya
terhadap hati, beri kut kedalaman yang terdapat di dalam kalbu. Maka dibandingkan dengan
jalan (maslak) yang lain, tasawuf adalah jalan yang paling dalam, bersifat laduniyyah, paling
jauh jangkauannya, dan paling sukar dipahami. Tapi meski demikian, tasawuf tetap memiliki
tujuan dan sekaligus titik awal yang berasal dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta tidak pernah
menafikan semua jalan lain yang ada di dalam Islam. Bahkan, sebagaimana halnya ilmu-ilmu
syariat yang lain, tasawuf juga menegaskan esensi dari ilmu, makrifat, keyakinan, keikhlasan,
ihsan, dan berbagai realitas lainnya, dengan mengandalkan sepenuhnya pada Al- Kitab, as-
Sunnah, dan berbagai ijtihad lurus yang dilakukan oleh para Salafushshalih.

Adanya identifikasi terhadap tasawuf melalui berbagai nama berbeda yang disematkan padanya
seperti Ilmu Batin (‘Ilm al- Bâthin), Ilmu Rahasia-rahasia (‘Ilm al-Asrâr), Ilmu Hal dan Maqam
(‘Ilm al-Ahwâl wa al-Maqâmât), Ilmu Suluk (‘Ilm as-Sulûk), dan Ilmu Tarekat (‘Ilm ath-
Tharîqah), tidak dapat serta-merta menjadikannya berbeda dari ilmu-ilmu syariat lainnya. Karena
berbagai nama dan predikat itu muncul dari respon terhadap berbagai semangat dan kondisi
beragam dari kehidupan yang ditegakkan di atas syariat dalam rentang masa yang sangat panjang
yang dipersepsi dengan cara berbeda-beda. Apabila kemudian muncul kesan bahwa tasawuf
memiliki dasar yang berbeda dari landasan pemikiran dan istinbath para ahli syariat,
sesungguhnya ini telah menyimpang dari kebenaran.
Meski di setiap masa selalu saja ada kalangan sufi fanatik yang selalu berpegang pada hukum-
hukum syariat seperti dari kalangan ahli fikih, ahli hadis, ahli tafsir, hanya saja para penempuh
jalan lurus selalu lebih banyak diisi oleh orang-orang yang memiliki sikap ifrath dan tafrith. Atas
dasar itu, maka tentu menjadi sebuah kesalahan jika masalah ini disikapi seolah-olah terdapat
kontradiksi serius antara para pengikut kebenaran dari masing-masing pihak, seperti yang dapat
kita lihat dari beberapa pernyataan dan pemahaman tidak pantas yang dilontarkan sebagian ahli
fikih terhadap para sufi, atau dari beberapa pernyataan dan pemahaman serupa yang dilontarkan
sebagian sufi terhadap para ahli fikih. Kesimpulan ini harus kita percaya karena jumlah orang-
orang yang ikut mengobarkan pertikaian antara kedua kelompok ini sebenarnya hanya seperti
setetes air di tengah lautan jika dibandingkan dengan mereka yang menempuh jalan toleransi,
pemaafan, dan perdamaian.

Sebenarnya semua ini sangatlah wajar, karena rujukan masing-masing pihak sebenarnya sama.
Sebagaimana halnya para ahli fikih selalu merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam
urusan hukum-hukum syariat, para sufi juga selalu menggunakan rujukan yang sama dalam
berbagai aktivitas mereka.

Demikianlah, sesungguhnya dasar yang selalu ditegas-tegaskan oleh para sufi secara terus-
menerus sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apa yang terjadi di jalan fikih dan dilakukan
para fukaha. Kedua golongan ini sama-sama menegaskan pentingnya amal shaleh dan interaksi
(muamalah) yang tulus. Hanya saja selain ini para sufi berbicara juga tentang beberapa topik
tertentu seperti amal saleh/perbuatan baik, memperindah dan menghiasi akhlak, serta penyucian
jiwa. Karena hanya dengan amal salehlah hati nurani manusia dapat selalu awas terhadap
makrifat ilahiah. Berkat hal itulah kemudian manusia dapat bergerak ke arah jalan keikhlasan
dan keridhaan Ilahi, untuk kemudian ia naik ke sebuah tingkatan yang membuatnya dapat
menunaikan semua masalah syariat dengan kesadaran ubudiyah(ibadah) yang mendalam. Itu
dapat terjadi karena ia telah berhasil mencapai satu bentuk “hati” lain yang jauh lebih dalam dari
sekadar sebuah hati biasa, berhasil menjangkau satu bentuk “irfân” lain yang berada di balik
irfân biasa, dan berhasil memahami satu bentuk “bahasa” lain yang lebih dalam dibandingkan
bahasa biasa.

Demikianlah, sesungguhnya -sebagaimana dikatakan dalam tasawuf- kemampuan untuk


berakhlak dengan akhlak Ilahiah (al-Akhlâq al-Lâhûtiyyah) hanya dapat terwujud melalui amal
shaleh dan akhlak terpuji. Pada saat itu segala tabir akan tersibak dan segala tirai akan tersingkap
melalui jalan mujahadah, khalwat, zikir, dan muraqabah; sehingga keimanan akan kembali
bangkit –dengan kemampuan mengetahui segala yang ada di balik entitas- yang diperkuat oleh
adz-dzauq (rasa) dan al-kasyf (penyingkapan) yang setara dengan keyakinan yang berdasarkan
persaksian (yaqîn syuhûdi).

Anda mungkin juga menyukai