Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TASAWUF

Disusun Guna Memenuhi Sebagian Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Asep Usman Ismail, M.Ag.

Oleh : Kelompok 9

Dharmawan Saputra (11180541000055)

Elis K. (11180541000075)

Muhammad Afwan Ardhani (11180541000082)

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam sekaligus
perwujudan dari ihsan yang menyadari akan adanya komunikasi antara
hamba dan Tuhan-nya. Tasawuf merupakan jantung dari pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam dan kunci kesempurnaan amaliah, di samping hal lain
yang juga sama pentingnya, yaitu akidah dan syariat.1

B. PENGERTIAN TASAWUF
Secara etimologi, penegertian tasawuf dapat dimaknai menjadi beberapa
macam, yaitu sebagai berikut.
1. Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlu suffah,
yang berarti sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW. yang
hidupnya berdiam di serambi-serambi masjid, mereka mengabdikan
hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Mereka adalah orang-
orang yang ikut pindah dengan Rasulullah dari Mekah ke Madinah,
kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin, dan tidak mempunyai
apa-apa. Hidup sederhana, tidur di atas shuffah supaya tidur nyenyak.
Mereka bangun malam untuk tahajud seperti disebutkan di dalam Al-
Qur~an: ''Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa
kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka
menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka."2
2. Tasawuf berasal dari kata shafa, yang berarti suci, bersih atau murni.
Kata shafa ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim
mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama bagi orang-orang
yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-orang yang
menyucikan dirinya di hadapan Tuhan-Nya melalui latihan yang berat
dan lama.
3. Istilah tasawuf berasal dari kata shaf, yang berarti barisan. Makna shaf
ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di
shaf paling depan. Sebagaimana halnya shalat di shaf pertama
mendapat kemuliaan dan pahala, maka orang-orang penganut tasawuf
ini dimuliakan dan diberi pahala oleh Allah SWT.
4. Ada yang menisbahkan taswuf berasal dari Bahasa Yunani, yaitu
shopos. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah yang
berarti kebijaksanaan. Pendapat ini dikemukakan oleh Mirkas,
kemudian diikuti oleh Jurji Zaidan dalam kitabnya, Adab Al-Lughah
Al-‘Arabiyyah. Disebutkan bahwa para filsuf Yunani dahulu telah
memasukkan pemikirannya yang mengandung kebijaksanaan di dalam

1
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 2.
2
QS. As-Sajdah[32]: 16

1
buku-buku filsafat. Ia berpendapat bahwa istilah tasawuf tidak
ditemukan sebelum masa penerjemahan kitab-kitab yang berbahasa
Yunani ke dalam bahasa Arab. Pendapat ini kemudian didukung juga
oleh Nouldik, yang mengatakan bahwa dalam penerjemahan dari
bahasa Yunani ke bahasa Arab terjadi proses asimilasi. Misalnya,
orang Arab mentransliterasikan huruf sin menjadi huruf shad seperti
dalam kata tasawuf menjadi tashawuf.
5. Tasawuf berasal dari kata shufu, yang berarti bulu domba atau wol.
Artinya ialah kain yang terbuat dari bulu wol. Namun, kain wol yang
dipakai adalah wol kasar, bukan wol halus sebagaimana kain wol
sekarang. Memakai wol kasar pada waktu itu adalah simbol
kesederhanaan. Lawannya adalah memakai sutra. Kain itu dipakai oleh
orang-orang mewah di kalangan pemerintahan yang hidupnya mewah.
Para penganut tasawuf ini hidupnya sederhana, tetapi berhati mulia,
menjauhi pakaian sutra, dan memakai wol kasar.3

Dari kelima poin di atas, yang banyak diakui kedekatannya dengan


makna tasawuf yang dipahami sekarang ini adalah poin kelima. Di antara
mereka yang lebih cenderung mengakui poin kelima ini, anatara lain Al-
Kalabadzi, Asy-Syukhrawardi, Al-Qusyairi dan lainnya, walaupun dalam
kenyataannya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian wol.4
Secara terminologi, para ahli berbeda pendapat dalam merumuskan
pengertian tasawuf, berikut ini pendapat para ahli.
1. Al-Junaidi
Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu
perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi
yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita
sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati
sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat,
memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat
kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah
SWT. dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah SAW.
dalam hal syariat.
2. Abu Hamzah
Tanda sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan
diri setelah dia bermegah-megahan, menyembunyikan diri setelah dia
terkenal; dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah-
megahan setelah dia hina, dan tersohor setelah dia bersembunyi.5
3. Ibnu Khaldun
Tasawuf itu adalah semacam ilmu syari’ah yang timbul kemudian di
dalam agama. Asalnya ialah bertekun beribadah dan memutuskan
3
Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 3-4.
4
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 144.
5
Ibid., hlm. 146-147.

2
pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata.
Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang
selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan
kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan
ibadah.6
Adapun yang dimaksud dengan tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia
dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan
sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam
kehidupannya, dan menemukan kebahagiaan spiritualitas. Ada satu asas
yang disepakati, yaitu tasawuf ialah moralitas yang berasaskan Islam.
Artinya, pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam,
seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.7
Disimpulkan secara ringkas, bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang
mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu,
mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian, , saling
mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah
SWT. dan mengikuti syariat Rasulullah SAW. dalam mendekatkan diri
dan mencapai keridhaan-Nya.8
C. KEDUDUKAN TASAWUF DALAM AJARAN ISLAM
Pengakuan adanya Tuhan akan membawa konsekuensi tersendiri bagi
manusia untuk mengintegrasikan dirinya dengan Yang Mahakuat, yang
diekspresikan dalam bentuk doa dan pemujaan atau persembahan. Proses
integrasi dan “perjumpaan” manusia dengan Tuhan atau pengakuan
terhadap “kehadiran” Tuhan dalam dirinya tadi, lazim disebut pengalaman
beragama (religious experience).
Pada sebagian umat Islam, respons terhadap realitas mutlak ini
diekspresikan dalam bentuk ibadah formal, seperti shalat, puasa, haji dan
berdoa. Sebagian yang lain merasa tidak cukup hanya melakukan itu, lebih
jauh mereka mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya, bahkan
berusaha “menyatukan” diri dengan-Nya (union in God). Cara yang
disebut terakhir ini dinamakan tasawuf atau mistisisme Islam.9
Tasawuf merupakan modal spiritual dalam Islam yang bisa
didayagunakan untuk membangun manusia dan peradaban. Manusia yang
dekat dengan Allah. Manusia yang menjunjung tinggi etika dalam
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Manusia yang tidak
berorientasi kebendaan dan kekuasaan, tetapi menjadikan harta dan
kekuasaan .sebagai media untuk menebar kebaikan. Manusia yang terus
berjuang membangun integritas dan solidaritas untuk memuliakan manusia

6
Prof. DR HAMKA, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), hlm. 3.
7
Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 9
8
Rosihon Anwar, loc.cit.
9
Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 32-33.

3
dan kemanusiaan.10 Mengamalkan tasawuf berarti berjuang menjadi
pribadi yang dekat dengan Allah dengan mengamalkan ibadah seperti yang
dicontohkan Rasulullah saw. sehingga terasa sedemikian dekat dengan
Allah, bahkan Iebih dekat daripada jarak antara manusia dengan urat
lehernya.11
Dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa ajaran Islam
dibangun di atas tiga landasan: Iman, Islam dan Ihsan yang disebut dengan
arkan al-din, rukun, sendi atau pilar agama sebagai berikut
Dari Umar radhiallahu ‘anhu, dia menceritakan, “Ketika kami
sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw., tiba-tiba muncul seorang
laki-laki yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, pada
dirinya tidak ada bekas-bekas datang dari perjalanan, namun tidak ada satu
pun di antara kami yang mengenalnya. Kemudian, dia duduk di dekat
Nabi. Dia menempelkan lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan telapak
tangannya di atas paha Nabi. Kemudian, dia bertanya, ‘Wahai
Muhammad, sampaikan kepadaku, apa itu islam? Nabi menjawab, “Islam
adalah engkau bersyahadat bahwasanya tiada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan
salat, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan, dan melaksanakan haji ke
Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana.’ Orang ini berkata, ‘Engkau
benar.’” Umar pun mengatakan, “Kami terheran; dia bertanya lalu
dibenarkannya sendiri. Orang tersebut bertanya, ‘Sampaikan kepadaku
tentang apa itu iman!’ Nabi menjawab, ‘Iman itu, engkau beriman kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir,
serta beriman kepada takdir baik maupun buruk.’ Orang tersebut
menyahut, ‘Kamu benar. Sampaikan kepadaku tentang apa itu ihsan!’
Nabi menjawab, ‘Ihsan itu, engkau beribadah kepada Allah seolah engkau
melihatnya. Jika engkau tidak bisa, maka sesungguhnya Allah melihatmu.’
.... ‘Sesungguhnya, dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk
mengajarkan agama kalian.’” (HR. Muslim, No. 1).
Ketiga pilar ajaran Islam yang disebutkan di dalam hadits di atas
kemudian berkembang menjadi akidah, syari'ah dan akhlak atau tauhid,
fikih dan tasawuf. Jadi, ihsan merupakan esensi tasawuf dan esensi
tasawuf adalah ihsan. Keduanya merupakan pilar utama dalam
membangun kepribadian Muslim. Gambaran ihsan secara sempurna
tercermin pada pribadi Nabi Muhammad saw. Beliau merupakan figur
sentral yang menjadi uswatun hasanah, teladan yang baik, bagi umat Islam
dalam kehidupan sosial, intelektual, dan penghayatan nilai-nilai spiritual.
(Al-Qur'an menyebutkan, sungguh telah ada pada diru Rasulullah itu
teladan yang baik bagi kamu (kaum Muslimin).12

10
Asep Usman Ismail, “Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Asep U.I.”, dalam
asepusman.lec.uinjkt.ac.id, hlm. 9.
11
QS. Qāf [50]: 16
12
QS. Al-Ahzab[33] : 21

4
Ihsan tidak akan pernah terwujud tanpa landasan iman atau akidah
yang benar dan kokoh, dan tidak akan pernah terwujud pula tanpa
pengamalan syari'ah atau fikih yang benar. Ketiganya merupakan trilogi
ajaran Islam yang merupakan satu kesatuan yang utuh, bida dibedakan,
tetapi tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, tasawuf bisa diterima sebagai
bagian dari ajaran Islam dengan syarat, apabila konsep pengamalannya
berlandaskan akidah yang benar dan dipadukan dengan pengamalan fikih.
Sebaliknya jika tasawuf, baik konsep maupun pengamalannya
menyimpang dari akidah Islam, dan pengamalannya tidak dipadukan
dengan fikih maka tasawuf tersebut sudah keluar dari ajaran Islam.
Tasawuf yang demikian bukan ajaran Islam, melainkan kebatinan atau
mistisisme atau tasawuf sinkritis yang bercampur dengan mistisisme.
Setiap agama memiliki potensi untuk melahirkan bentuk
keagamaan yang bersifat mistik. Kenyataan ini setidaknya dapat ditelusuri
pada agama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Dalam Islam, keagamaan
yang bersifat mistik (mistisisme) itu dikenal dengan nama tasawuf. Kaum
orientalis menyebutnya sufisme. Jadi, istilah sufisme khusus dipakai untuk
mistisisme dalam Islam.13

D. PERKEMBANGAN TASAWUF
Menurut Ibnu Al-Jauzi, secara garis besar kehidupan kerohanian dalam
islam terbagi menjadi dua, yaitu zuhud dan tasawuf. Istilah populer pada
masa nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasalam adalah sahabat sebagai
panggilan kehormatan bagi pengikutnya. Mereka adalah orang-orang yang
terhindar dari sikap syirik dan pola kehidupan jahiliah, serta selalu
mendengar dan meresapi Al-Qur’an. Ketika nabi Muhammad Sholallahu
‘Alaihi Wasalam bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah, ada istilah
yang muncul, yaitu muhajir dan anshar. Muhajir berarti orang yang
berpindah dari Mekkah ke Madinah, sedangkan anshar berarti orang
Madinah yang memberi pertolongan kepada orang muhajir.
Ketika islam berkembang dan banyak orang yang memeluk islam,
terjadilah perkembangan strata sosial sehingga muncul istilah baru di
kalangan sahabat yaitu qurra’ (ahli membaca Al-Qur’an), Ahl-Shuffah,
serta fuqara’. Pada masa khulafaur rasyidin ketiga, istilah qurra’
digunakan sebagai panggilan bagi pengkaji Al-Qur’an. Kemudian masa
khalifah keempat, muncul istilah Mu’tazilah sebagai pertanda bagi orang
yang menghindarkan diri dari pertikaian Ali dan lawannya.
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., dalam bukunya
Intelektualisme Tasawuf, menyatakan bahwa sejarah perkembangan
tasawuf di kalangan islam mengalami beberapa periode, yang secara rinci
dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Periode Pembentukan

13
Asep Usman Ismail, op.cit., hlm. 21-22.

5
Pada abad 1 Hijriah bagian kedua, muncul Hasan Al-Bashari
dengan ajaran khauf untuk mempertebal takut kepada Tuhan. Begitu
juga tampilnya guru-guru yang lain, yang disebut qari’, mengadakan
gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan kaum muslim.
Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis-garis besar
mengenai thariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun. Dalam
ajaran-ajaran yang dikemukakan sudah mulai dianjurkan mengurangi
makan, menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), dan mencela
dunia, seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Terdapat pemuka-
pemuka agama di berbagai daerah, seperti Irak, Kufah, Basrah, dan
Syam, yang mempelajari cara-cara meresapkan unsur agama dalam
kalangan Hindu dan Kristen, untuk mereka jadikan suri teladan dan
memperbesar hasil dakwah Islamiyah, yang adakalanya sampai
berlebihan. Dari I’tikaf menjadi khalwat, dari pakaian tersusun kapan
menjadi baju berbulu domba, dan dari dzikir yang sederhana menjadi
dzikir yang hiruk pikuk. Kemudian pada akhir abad 11 Hijriah, Hasan
Al-Bashari diikuti oleh Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang
terkenal dengan ajaran mahabbah. Selanjutnya pada abad II Hijriah,
tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yaitu sama
dalam corak kezuhudan meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab
pada abad ini ialah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama
dalam melaksanakan syariat agama (lebih bersikap fiqih). Hal tersebut
menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupan seperti itu.
Sebagian ada yang lari kepada istilah-istilah yang pelik mengenai
kebersihan jiwa (thaharah an-nafs), kemurnian hati (naqy al-qalb),
hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan
usaha sendiri, serta berdiam diri seperti yang dianjurkan oleh Ali
Syaqiq Al-Bakhi dan Ma’ruf Al-Karkhi.
2. Periode Pengembangan
Tasawuf pada abad III dan IV Hijriah sudah mempunyai corak
yang berbeda dengan tasawuf sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah
bercorak kefanan (ektase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan
khalik. Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam
kecintaan (fana’ fi al-mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-
mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-mahbub), menyaksikan
Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’), dan menjadi satu
dengan-Nya (‘ainul al-jama’), seperti yang diungkapkan Abu Yazid Al-
Busthami. Ia adalah orang pertama yang menggunakan istilah fana
(lebur atau hancurnya perasaan), sehingga ia dibilang sebagai peletak
batu pertama dalam aliran ini. Fana merupakan persyaratan bagi
seseorang untuk dapat mencapai hakikat ma’rifat. Ketika ditanya,
“Kapan seseorang dapat mencapai hakikat ma’rifat?” ia menjawab,
“Ketika fana di bawah pantauan-Nya dan tetap di atas hamparan yang
haq, tanpa jiwa dan tanpa penciptaan.” Ketika itulah ia mengatakan,
“Saya adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Allah maka sembahlah Aku,

6
Mahasuci Aku, alangkah besarnya keadaan-Ku.” Menurut Al-Hallaj,
dalam diri manusia terdapat dua sifat, yaitu sifat kemanusiaan (nasut)
dan sifat ketuhanan (lahut). Tuhan menciptakan manusia dalam copy-
Nya. Dasar pemikirannya didasarkan pada Surah Shad ayat 72, Adam
mempunyai dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani berasal
dari materi, sedangkan unsur rohani berasal dari roh Tuhan.
Pencampuran antara roh manusia dengan Tuhan diumpamakan oleh Al-
Hallaj seperti bercampurnya air dengan khamar. “Jika ada sesuatu yang
menyentuh-Nya, maka menyentuh Aku.” Sejauh itu, ia tidak mengakui
adanya peleburan dua hakikat, manusia dan Tuhan, karena keduanya
masih mempunyai jarak. Pada akhir abad III, orang berlomba-lomba
pula menyatakan dan mempertajam pemikirannya tentang kesatuan
kesaksian (wahlah asy-syuhud), kesatuan kejadian (wahlah al-wujud),
kesatuan agama-agama (wahlah al-adyan), berhubungan dengn Tuhan
(ittishal), keindahan dan kesemprnaan Tuhan (jamal dan kamal),
manusia sempurna (insan kamil), yang semuanya itu hanya dapat
dicapai oleh para sufi dengan latihan yang teratur (riyadhah). Dengan
demikian, tasawuf abad III dan IV Hijriah sudah berkembang sehingga
sudah mempunyai madzhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri
sendiri.
3. Periode Konsolidasi
Menurut Prof. Dr. H. M. Ami Syukur, M. A. Tasawuf pada abad V
hijriah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi dan
pertarungan antara tasawuf Semifalsafa dengan tasawuf Sunni. Tasawuf
Sunni memenangkan pertarungan sehingga berkembang sedemikian
rupa. Sementara itu, tasawuf Semifalsafa tenggelam dan kembali
muncul pada abad VI Hijriah dalam bentuknya yang lain. Kemenangan
tasawuf Sunni ini dikarenakan menangnya teologi Ahl-Sunnah wa Al-
Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Yazzid Al-Busthami dan Al-Hallaj,
sebagaimana tertuang dalam syatarhiyat-nya yang dianggap
bertentangan dengan kaidah dan akidah islam. Tasawuf pada V
cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut Annemate
Schimmel merupakan periode konsolidasi, yaitu periode yang ditandai
pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya, Al-Qur’an dan
Sunnah. Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama abad V
Hijriah. Kedudukannya sangat penting mengingat banyak karyanya
dijadikan rujukan para sufi, seperti Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Isinya
lengkap, baik teoritis maupun praktis. Ia terkenal sebagai pembela
teologi Ahl-As-Sunnah wa Al-Jama’ah, yang mampu mengompromikan
syariat dan hakikat. Ia berusaha mengembalikan tasawuf pada
landasannya, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Ada dua hal yang dikritiknya,
yaitu tentag syatahiyat yang dikemukakan oleh sufi Semifalsafa dan
cara berpakaian mereka yang menyerupai orang miskin, sementara
tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan metode
pakaiannya. Ia menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang

7
teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, lebih penting daripada pakaian
lahiriah. Tokoh sufi lain yang gencar menyerang “penyelewangan”
dalam tasawuf ialah Al-Harawi. Sikapnya yang tegas terhadap tasawuf
cukup dimaklumi, karena ia termasuk Hanabilah (pendukung Ahmad
bin Hanbal). Karyanya yang terkenal adalah Mandzil As-Sa’irin ila
Rabb Al-Alamin. Ia dikenal menyusun teori fana dalam kesatuan, tetapi
fananya berbeda dengan fana sufi Semifalsafa sebelumnya. Baginya,
fana bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari
penyaksian dan perasaan mereka sendiri atau dengan kata lain,
ketidaksadaran terhadap penyaksian serta dirinya sendiri. Hal ini terjadi
karena ia sirna dengan Yang Disembahnya lewat penyembahan kepada-
Nya, dengan Yang Diingatnya lewat pengingatan terhadap-Nya, dengan
Yang mengadakan-Nya lewat wujud-Nya, dengan Yang Dicintainya
lewat cinta kepada-Nya, dan dengan Yang Disaksikannya lewat
penyaksian terhadap-Nya.

E. PEMBAGIAN DAN CORAK TASAWUF


Aliran tasawuf menurut para ulama’ terbagi menjadi tiga aliran yaitu,
pertama, tassawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku, kedua, tasawuf
yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman
mendalam, ketiga, tasawuf yang pendekatannya melalui hati yang bersih
(suci) yang dengannya seseorang dapat berdialog secara batini dengan
Tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan Allah ke dalam
hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.14
Pada perkembangan tasawuf yang berorientasi ke arah pertama
sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Adapun tasawuf yang berorientasi
ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi dan yang berorientasi ke arah
ketiga disebut tasawuf ‘irfani.
1. Tasawuf Akhlaqi
Secara etimologis, tasawuf akhlaqi bermakna membersihkan tingkah
laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah
manusia, tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi
ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak
manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas masyarakat.
Tasawuf sunni ialah tasawuf yang berwawasan moral praktis dan
berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah dengan penuh disiplin
mengikuti batas-batas dan ketentuannya. Tasawuf sunni disebut juga
tasawuf akhlaki, karena ajarannya menekankan akhlak dalam
kehidupan kaum muslimin, dan tasawuf sunni disebut pula tasawuf
amali, karena ajarannya menekankan amal saleh dalam kehidupan
kaum muslimin.15
14
Moh. Toriqqudin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang:
UIN-Malang Press, 2008), hlm.1.
15
Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jawa Untuk Meraih Ketenangan Hati, (Ciputat: Pustaka
irVan, 2007), hlm. 2-3.

8
Ajaran akhlak dan amal saleh tasawuf itu terlihat pada pelaksanaan
ibadah seperti sholat, puasa, zakat, dan haji serta sikap-sikap sufistik
tentang raja’ (optimisme), takut, istiqamah (konsisten), sabar, ikhlas,
ridla’, qana’ah (merasa cukup), takwa, tawakal, tobat, zuhud (hidup
sederhana), wara’ (menjauhi hal-hal yang syubhat dan haram), syukur,
mahabbah (cinta), syauq (rindu kepada Tuhan), shidiq (jujur), syaja’ah
(berani), takdir, haya’ (malu), wirid, zikir, doa, tafakur dan uzlah
(bertapa).
2. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi intuitif dan visi rasional.16 Berbeda dengan tasawuf akhlaqi,
tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macamajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menerima ajaran dari luar
Islam sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan pengaruh
ajaran lain itu dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena
ada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang menjadi landasan
tasawuf falsafi.17
3. Tasawuf Irfani
Adapun yang dimaksud dengan tasawuf Irfani adalah tasawuf yang
mendasarkan pedomannya kepada ma’rifat atau pengetahuan terhadap
Tuhan sebagai dasar atau inti dari landasan tasawufnya. Inti dari
tasawuf Irfani adalah pendekatan yang intens seorang hamda dengan
Tuhan dengan sedekat-dekatnya dan menutup ruang hatinya untuk
selain-Nya.18
Menurut Rosihon Anwar, tasawuf Irfani tidak hanya membahas
soal keikhlasan dalam hubungan antarmanusia, tetapi lebih jauh
menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah
kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Kita tidak ingin
dipuji, atau jika dipuji tidak pernah berubah karena pujian tersebut.
Semuanya adalah milik Allah SWT.

F. TUJUAN, MANFAAT DAN KEGUNAAN TASAWUF

1. TUJUAN
Menurut A. Rivay Siregar, secara umum tujuan terpenting dari sufi
adalah berada sedekat mungkin dengan Allah.19

16
Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 264.
17
Sudirman, op.cit., hlm. 7.
18
Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 240.
19
A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 57-58

9
Tasawuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan
taqorrub kepada Allah SWT. Namun, Tasawuf tidak boleh melanggar
apa-apa yang telah jelas diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik
dalam akidah, pemahaman ataupun tata cara yang dilakukan. Mustafa
Zuhri, mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu ialah untuk
membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah
sehingga hati menjadi suci dan bersih, bagaikan cermin yang dapat
menerima Nur(cahaya) Tuhan.
Adapun tujuan tasawuf sebagai berikut.
a. Menyucikan Diri
b. Mendekatkan Diri kepada Allah
c. Menghadirkan Hati kepada Allah

2. MANFAAT
Manfaat tasawuf yang dapat kita peroleh antara lain sebagai berikut.
1. Membersihkan Hati dalam Berinteraksi dengan Allah
Interaksi manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan
mencapai sasaran jika ia lupa terhadap-Nya dan tidak disertai
dengan kebersihan hati. Sementara itu, esensi tasawuf adalah
tazkiyah an-nafs, yang artinya membersihkan jiwa dari kotoran-
kotoran. Dengan bertasawuf, hati seseorang akan menjadi bersih,
sehingga dalam berinteraksi kepada Allah akan menemukan
kedamaian hati dan ketenangan jiwa.
2. Membersihkan Diri dari Pengaruh Materi
Pada dasarnya kebutuhan manusia bukan hanya pada pemenuhan
materi, melainkan juga pemenuhan spiritual. Melalui tasawuf,
kecintaan seseorang yang berlebihan terhadap materi atau urusan
duniawi lainnya akan dibatasi. Memiliki harta benda itu tidaklah
semata-mata untuk memenuhi nafsu, tetapi lebih mendekatkan diri
kepada Allah. Jadi, jalan untuk menyelamatkan diri dari godaan-
godaan materi duniawi yang menyebabkan manusia menjadi
materialistis adalah dengan membersihkan jiwa dari pengaruh-
pengaruh negatif duniawi.
3. Menerangi Jiwa dari Kegelapan
Penyakit resah, gelisah, patah hati, cemas, dan serakah dapat
disembuhkan dengan ajaran agama, khusunya ajaran yang
berkaitan dengan olah jiwa manusia, yaitu tasawuf di mana
ketenteraman batin atau jiwa yang menjadi sasarannya. Demikian
pula sifat-sifat buruk dalam diri manusia seperti hasad, takabbur,
bangga diri, dan riya tidak dapat hilang dari diri seseorang tanpa
mempelajari cara menghilangkannya dari petunjuk kitab suci Al-
Quran maupun hadits melalui pendekatan tasawuf.
4. Memperteguh dan Menyuburkan Keyakinan Agama
Banyak manusia yang tenggelam dalam menggapai kebahagiaan
duniawi yang serba materi dan tidak lagi mempedulikan masalah

10
spiritual. Pada akhirnya, paham tersebut membawa kehampaan
jiwa dang menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Jika ajaran
tasawuf diamalkan oleh seorang muslim, ia akan bertambah teguh
keimanannya dalam memperjuangkan agama Islam.
5. Mempertinggi Akhlak Manusia
Jika hati seseorang suci, bersih, serta selalu disinari oleh ajaran-
ajaran Allah dan Rasul-Nya; maka akhlaknya pun baik. Hal ini
sejalan dengan ajaran tasawuf yang menuntun manusia untuk
menjadi pribadi muslim yang memiliki akhlak mulia dan dapat
menghilangkan akhlak tercela.20

3. KEGUNAAN
Tasawuf sebagai salah satu cabang ilmu dari Islam yang harus
dipelajari. Kegunaan tasawuf adalah untuk mendidik hati dan
mengetahui alam ghaib. Hasil yang diharapkan dari tasawuf ini adalah
penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Tuhan, karena
Dialah penggerak utama dari semua kejadian di alam ini dan
penanggalan secara total semua keinginan pribadi serta melepas diri
dari sifat-sifat buruk yang berkenaan dengan kehidupan duniawi yang
diistilahkan sebagai fana’.

20
Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 84-86.

11
12
PENUTUP
Tasawuf sering disebut dengan ilmu mistisme, karena tasawuf adalah salah
satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian kepada pembersihan aspek
rohani yang kemudian akan menimbulkan akhlak mulia. Dan pengertian tasawuf
sendiri ialah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang
memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju
keabadian, , saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji
Allah SWT. dan mengikuti syariat Rasulullah SAW. Fungsi tasawuf dalam
kehidupan manusia adalah menjadikan manusia berada sedekat mungkin dengan
Allah dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi

13
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: AMZAH.


Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Hamka. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika Penerbit.
Ismail, Asep Usman. 2015. “Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Asep U.I.”.
Dalam asepusman.lec.uinjkt.ac.id
Siregar, Rivay A.. 1999. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Tebba, Sudirman. 2007. Etika dan Tasawuf Jawa Untuk Meraih Ketenangan Hati.
Jakarta: Pustaka irVan.
Toriqqudin, Mohammad. 2008. Sekularitas Tasawuf, Membumikan tasawuf
dalam Dunia Modern. Malang: UIN-Malang Press.

14

Anda mungkin juga menyukai