Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MUNAKAHAT TENTANG PERCERAIAN ATAU TALAK

Disusun Guna Memenuhi Sebagian Tugas Mata Kuliah Fiqih

Dosen Pengampu : Drs. Helmi Rustandi M.Ag.

Oleh : Kelompok 8

Sarah Tazkiyah Sanhwa (11180541000073)

Reina Aisyalwa Al Syafira (11180541000074)

Elis K (11180541000075)

Ahmad Yusri (11180541000076)

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-

Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul

dari makalah ini adalah “MUNAKAHAT TENTANG PERCERAIAN ATAU

TALAK”. Makalah ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dari mata kuliah

Fiqih.

Menikah pada dasarnya adalah salah satu cara untuk menyempurnakan

iman serta keislaman, menikah dilakukan oleh setiap insan yang telah baligh

untuk mendapatkan kasih sayang, cinta, teman hidup, kehangatan, serta bisa

menjadi sarana untuk mendapatkan pahala dari sebuah pernikahan. Namun pada

kenyataannya, tidak setiap pernikahan berujung indah, banyak juga pernikahan

yang kandas ditengah jalan. Untuk itu, hukum-hukum perceraian penting adanya

untuk menjadi pedoman setiap insan agar tetap lurus di jalan-Nya.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak

yang turut membantu memberi masukan dalam pembuatan makalah ini. Sehingga

makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan. Semoga makalah

ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Ciputat, November 2018

Penyusun

ii
\

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................2
C. TUJUAN.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. TALAK...............................................................................................3
1. Pengertian Talak...........................................................................3
2. Macam-macam Talak...................................................................3
B. FASAKH............................................................................................7
1. Definisi Fasakh.............................................................................7
2. Pelaksanaan Hukum Fasakh.........................................................8
3. Akibat Hukum Fasakh..................................................................8
C. ILA......................................................................................................8
1. Pengertian Ila................................................................................8
2. Hukum Ila...................................................................................10
D. LI’AN...............................................................................................11
1. Pengertian Li’an..........................................................................11
2. Hukum Li’an...............................................................................12
3. Akibat Hukum Li’an...................................................................12
E. DZIHAR...........................................................................................13
1. Pengertian Dzihar.......................................................................13
2. Hukum Dzihar............................................................................13
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN.................................................................................16
B. SARAN.............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perceraian merupakan pilihan antara pasangan yang telah menikah,

setelah mereka tidak bisa menyatukan perbedaan yang timbul antara

keduanya.1 Talak sebagai salah satu media perceraian merupakan jalan

yang ditempuh oleh setiap pasangan yang ingin bercerai. Suatu

perkawinan menjadi putus adalah karena talak baik talak mati atau hidup.

Sedangkan talak itu sendiri hanya berhak dilakukan oleh suami. Talak

bukan merupakan kesewenang-wenangan seorang suami sebagai senjata

untuk memutus ikatan perkawinan dengan istrinya, namun jatuhnya talak

bisa disebabkan beberapa alasan. Alasan-alasan itu bisa datang dari suami

maupun istri sehingga mengakibatkan talak.

Pada awalnya talak dilarang karena mengandung pengertian kufur

pada nikmat nikah, merobohkan tujuan pernikahan dan dampak lain akibat

perceraian. Akan tetapi, Allah Yang Mahabijaksana menakdirkan bahwa

hubungan suami istri terkadang memburuk dan menjadi demikian

buruknya sehingga tidak ada lagi jalan keluarnya. Dalam hal ini diizinkan

perceraian karena tidak dapat ditegakkan garis-garis yang ditetapkan oleh

Allah SWT, namun pada dasarnya Islam mempersempit pintu perceraian,

dan aturan tentang talak diadakan guna mengatasi hal-hal yang amat

mendesak dan terpaksa.2

1
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an terj. Yaziar Radianti (Bandung: Fajar Bhakti,
1994), hlm. 106.
2
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 71.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan talak?

2. Apa saja macam-macam talak?

3. Apa pengertian, hukum serta akibat dari fasakh, ila, li’an dan dzihar?

C. TUJUAN

1. Menjelaskan pengertian talak serta macam-macam talak.

2. Menjelaskan pengertian, hukum serta akibat dari fasakh, ila, li’an dan

dzihar.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. TALAK

1. Pengertian Talak

Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya

“melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah talak yaitu melepas

tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Jadi, talak itu

ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya

ikatan perkawinan itu istri tidak halal bagi suaminya.

Kata “melepaskan” atau membuka atau menanggalkan

mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini

telah terikat, yaitu ikatan perkawinan.3 Kata “ikatan perkawinan” ,

yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan

perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu

memperbolehkan hubungan suami dan istri kembali pada keadaan

semula , yaitu haram. 4

2. Macam-macam Talak

a. Ditinjau dari segi waktunya talak menjadi tiga macam :

1) Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan

tuntutan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 :

a) Isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah

digauli maka bukan termasuk talak sunni.

3
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,(Jakarta: Kecana, 2003), hlm. 226.

4
Ibid.., hlm. 267-268.

3
b) Isteri dapat segera melakukan menunggu ‘iddah’ suci

setelah ditalak yaitu dalamnya keadaan suci dari haid.

c) Talak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik

dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, kendati

beberapa saat lalu datang haid.

d) Suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci di

mana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami

ketika isteri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah

digauli, tidak termasuk talak sunni.

2) Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau

bertentangan dengan tuntutan sunnah dan tidak memenuhi

ketentuan syarat-syarat talak sunni. Termasuk dalam talak bid’i

adalah :

a) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid

(menstruasi) baik dipermulaan haid maupun

dipertengahannya.

b) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci

tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci

dimaksud. 

3) Talak la sunni wala bid’i yaitu talak yang tidak termasuk

kategori talak sunni maupun talak bid’i :

a) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah

digauli.

4
b) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum haid atau

sudah haid.

c) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.

b. Ditinjau dari segi dan tegasnya kata-kata yang dipergunakan

sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam :

1) Talak Sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata

yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak

atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.

Beberapa contoh talak sharih adalah “Engkau

saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai sekarang juga.”

Apabila suami menjatuhkan talak terhadap isterinya dengan

talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya

sepanjang ucapan itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas

kemauannya sendiri.

2) Talak Kinayah yaitu talak dengan menggunakan kata-kata

sindiran, samar-samar seperti : “Pulanglah ke rumah Ibumu.”

“Saya sekarang telah sendiri dan hidup membujang.” Ucapan-

ucapan tersebut mengandung sebuah kemungkinan cerai dan

mengandung kemungkinan lain. Tentang kedudukan talak

dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana

dikemukakan oleh Taqiyuddin Al Husaini, tergantung kepada

niatnya seseorang artinya jika suami dengan kata-kata tersebut

berniat untuk menjatuhkan talak maka talak jatuh, akan tetapi

5
jika tidak berniat untuk menjatuhkan talak, maka talak tidak

jatuh.

c. Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami

merujuk kembali bekas isteri, maka talak dibagi menjadi dua

macam, sebagai berikut :

1) Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap

isterinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh

ganti harta dari isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau

yang kedua kalinya.

2) Talak Ba’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi

bekas suami terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan

bekas isteri ke dalam ikatan perkawinan harus melalui akad

nikah baru lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Talak

bain terbagi dua macam :

a) Talak Bain Sughra yaitu talak bain yang menghilangkan

kepemilikan bekas suami terhadap isteri tetapi tidak

menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahkan

kembali dengan bekas isterinya tersebut.

b) Talak Bain Kubra yaitu talak yang menghilangkan

pemilikan bekas suami terhadap bekas isteri serta

menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali

dengan bekas isterinya, kecuali setelah bekas isteri itu

kawin lagi dengan lelaki lain, telah berkumpul dengan

suami kedua serta telah bercerai secara wajar dan telah

6
selesai menjalankan iddahnya. Talak bain kubra terjadi pada

talak yang ketiga.

B. FASAKH

1. Definisi Fasakh

Definisi Fasakh yaitu suatu permintaan perceraian dari pihak suami

atau pihak istri. Penolakan ini dikarenakan suami atau istri tersebut

mempunyai penyakit “hina” seperti penyakit kusta, sakit gila, dan

lainnya, atau sebab sebab lainnya seperti suami tidak sanggup memberi

nafkah, suami hilang tidak diketahui rimbanya, dan lain sebagainya.5

Proses perceraian ini dilandaskan kepada hadist Nabi Muhammad

SWT yang artinya:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW menikah dengan seorang perempuan

dari Bani Ghifar. Ketika dia memasuki (bilik) Nabi, beliau melihat

disebelah rusuknya ada warna putih (penyakit sopak/ penyakit kulit

berwarna putih belang-belang), kemudian beliau menolak

(mengembalikan) dia kepada keluarganya (HR. Ahmad dan Ibnu

Katsir).”6

Menurut Hanafi hanya ada 3 penyebab yang boleh difasakh

pernikahannya yaitu; suami menderita impoten, alat kelaminnya

terpotong, dan dua buah pelirnya tidak ada7. Sedangkan pengertian

5
Muhammad Asmawi, NIKAH Dalam Perbincangan dan Perbedaan,(Yogyakarta:
Darussalam,2004), hlm.263.
6
Ibid.., hlm. 263-264.

7
Ibid.., hlm.264.

7
fasakh yang lainnya adalah jalan untuk mengakhiri suatu perkawinan

melalui kekuasaan hakim agama.8

2. Pelaksanaan Hukum Fasakh

Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan

dibenarkan syara, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan

putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih

saudara kandung, saudara susuan, dan sebagainya. Tetapi jika

penyebab tidak jelas, dibutuhkan putusan pengadilan

3. Akibat Hukum Fasakh

Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan

ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia

mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu. pisahnya suami isteri

karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak,

meskipun terjadinya  fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua

suami isteri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap

memiliki kesempatan tiga kali talak.

C. ILA

1. Pengertian Ila

Ila’ menurut bahasa artinya sumpah. Sedangkan menurut istilah,

ila’ adalah sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya

yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik

8
Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991),
hlm. 39.

8
secara mutlak atau dibatasi dengan ucapan selamnya, atau dibatasi

empat bulan atau lebih.9

Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab dengan maksud

untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan membiarkan

istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai

atau tidak. Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara

membatasi waktu Ila’ paling lama empat bulan. Dengan demikian,

apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk

atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat

sumpah. Namun, jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra.

Kita dapat menyimpulkan bahwa ila’ tidak terjadi kecuali dengan

lima syarat, pertama, suami mampu melakukan jimak secara fisik dan

psikis. Kedua, bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan sifat-

sifat-Nya, tidak dengan kata talak, perbudakan atau nadzar. Ketiga,

bersumpah meninggalkan jimak melalui vagina. Keempat, bersumpah

meninggalkan jimak selama empat bulan atau lebih. Kelima, seorang

istri yang disumpahi adalah istri yang mungkin untuk di-jimak. Jika

kelima syarat ini terpenuhi, maka sumpahnya dinamakan ila’ dan

hukumnya sesuai dengan ketentuan hukum tentang ila’ yang diatur

dalam nash. Dan jika salah satu dari mereka mencabut sumpahnya,

maka tidak ada lagi hukum ila’.

2. Hukum Ila
9
Abd. Rahman Ghazali, op.cit., hlm. 234.

9
Dasar hukum pengaturan ila’, firman Allah SWT, suratAl-

Baqarah:226-227 :

ِ ‫لِّلَّ ِذينَ ي ُْؤلُونَ ِمن نِّ َسائِ ِه ْم تَ َربُّصُ أَرْ بَ َع ِة أَ ْشه ٍُر ۖ فَإِن فَا ُءوا فَإ ِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر ر‬
‫ َوإِ ْن َع َز ُموا‬- ‫َّحي ٌم‬

َ ‫الطَّاَل‬
‫ق فَإ ِ َّن هَّللا َ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬

“Bagi orang yang meng-ila' istrinya harus menunggu empat bulan.

Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh,

Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan jika mereka

berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha

Mendengar, Maha Mengetahui.”

Allah menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang

meng-ila’ istrinya mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun

bagi istri. Suami menyatakan ila’ kepada istrinya pastilah karena

sesuatu kebencian yang timbul antara keduanya. Jika kemudian suami

ingin berbaik kembali kepada istrinya maka diwajibkan membayar

kafarat sumpah karena telah mempergunakan nama Allah untuk

keperluan dirinya. Kafarah sumpah itu berupa:

a. Menjamu atau menjamin makan 10 orang miskin;

b. Memberi pakaian kepada 10 orang miskin;

c. Memerdekakan seorang budak.

Jika tidak melaksanakan salah satu dari tiga hal tersebut maka

kafaratnya ialah berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

10
D. Li’an

1. Pengertian Li’an

Kata li’an berasal dari kata la’na, yaitu kutuk. Perceraian

berdasarkan gugatan dari suami dengan alasan atau tuduhan isteri

melakukan perzinahan, tanpa saksi maupun bukti yang cukup disebut

perkara/perceraian karena Li’an. Proses pemeriksaan perkara dari

suami isteri itu, dilakukan dengan kewajiban maing–masing

mengucapkan sumpah sebanyak 5 kali.10

Ucapan seorang suami sebagai berikut, “Aku bersaksi kepada

Allah bahwa aku benar-benar melihat isteriku berzina. “Kalau ada bayi

yang lahir dan ia yakini itu bukan anaknya, maka hendaklah ia

nyatakan bahwa bayi itu bukan anaknya. Ucapan itu hendaklah

diulanginya empat kali, kemudian ditambah pada yang kelima dengan

kalimat, “Laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam

tuduhanku ini”.11

Menurut istilah li’an berarti sumpah seorang suami dimuka hakim

bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada

isterinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh isterinya berbuat

zina dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian keduanya

berumpah atas tuduhan tersebut. Namun tuduhan itu ditangkis oleh

isteri dengan jalan bersumpah pula, bahwa apa yang dituduhkan oleh

suami atas dirinya adalah dusta belaka.

Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan Agama (Bandung: CV.
10

ARMICO, 1984), hlm. 13.


11
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pusataka Al-Kautsar, 2001), hlm. 343.

11
2. Hukum Li’an

Jika seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan ia tidak

memiliki saksi yang cukup, maka yang menuduh itu wajib dijatuhi

hukuman 80 kali deraan. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya

sendiri, maka ia boleh lepas dari hukuman tersebut dengan jalan li’an.

Artinya, bahwa suami yang menuduh isterinya berzina itu boleh

memilih antara dua perkara, yaitu didera sebanyak 80 kali deraan atau

me-li’an isterinya.12

Jika li’an dilakukan ketika isteri dalam keadaan hamil dan

suaminya tidak mau mengakui anak yang ada dalam kandungan

isterinya, maka anak itu bagi ibunya dan tidak dapat dimasabkan

kepada suaminya.

Hukum li’an bagi suami yang yakin atau berat dugaannya akan

kebenaran tuduhannya adalah mubah atau boleh. Namun bila suami

tidak kuat dugaannya atas kebenaran tuduhan itu, maka hukum li’an

itu baginya adalah haram. Sebagian ahli bependapat, bahwa

Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa perkara li’an, karena

tuduhan perzinaan menyangkut proses pembuktian pidana. Oleh

karena itu perkara Li’an tersebut seharusnya diperiksa oleh Pengadilan

Negeri.

3. Akibat Hukum Li’an

Usman al-batti dan segolongan ulama basrah mengatakan bahwa

li’an tidak mengakibatkan perpisahan diantara suami istri. Mereka

mengemukakan alasan bahwa perpisahan itu tidak termuat dalam ayat


12
Ibid.

12
li’an. Dan tidak pula dijelaskan dalam hadis li’an. 13 Lagipula li’an

disyari’atkan untuk menghindarkan hukuman had karena menuduh

berzina. Oleh karena itu, li’an tidak mewajibkan pengharaman karena

dipersamakan dengan bukti. Mengenai kapan perceraian itu

diwajibkan, imam malik al-lais dan segolongan fuqaha berpendapat

bahwa perpisahan itu terjadi apabila keduanya sudah selesai

mengadukan li’an.

E. DZIHAR

1. Pengertian Dzihar

Dzihar menurut bahasa berarti punggung. Sedangkan menurut

istilah syar’i, kata dzihar berarti pernyataan suami kepada istrinya,

“Bagiku engkau seperti punggung Ibuku,’ di mana suami

memaksudkan perkataannya itu dengan mengharamkan istrinya bagi

dirinya.

2. Hukum Dzihar

Para ulama sepakat untuk mengharamkan perbuatan ini dan

pelakunya dianggap telah melakukan perbuatan dosa.

Sebagaimana firman Allah SWT Q.S. Al-Mujadalah: 2 sebagai

berikut.

َ‫م ۖ إِ ْن أُ َّمهَاتُهُ ْم إِاَّل الاَّل ئِي َولَ ْدنَهُ ْم ۚ َوإِنَّهُ ْم لَيَقُولُونَ ُمن َكرًا ِّمن‬Šْ ‫الَّ ِذينَ يُظَا ِهرُونَ ِمن ُكم ِّمن نِّ َسائِ ِهم َّما ه َُّن أُ َّمهَاتِ ِه‬

58:2 - ‫ْالقَوْ ِل َو ُزورًا ۚ َوإِ َّن هَّللا َ لَ َعفُوٌّ َغفُو ٌر‬

“Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya, (menganggap

istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-
13
Dewi Purnamasari, dkk, “Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Hakikat (ASWAJA)”,
dalam http://manan3200.blogspot.com/

13
ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan

sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan

yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf,

Maha Pengampun.”

Sehingga apabila suami mengatakan, “Bagiku kamu seperti

punggung Ibuku,” atau ungkapan penyerupaan istri dengan anggota

tubuh Ibunya yang lain, maka istrinya menjadi haram untuknya. Pada

masa jahiliyah dikenal zhihar dikenal sebagai praktek untuk

menjatuhkan talak atau cerai kepada istrinya. Namun setelah

datangnya Islam, zhihar dihapuskan dan dianggap sebagai sumpah

yang terlarang. Seorang yang melakukan zhiha diharamkan untuk

menggauli atau mencumbu istrinya, hingga suami membayar kafarat

atas ucapannya tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah

Ta’ala berikut :

Q.S. Al-Mujadalah : 3-4.

‫َوالَّ ِذينَ يُظَا ِهرُونَ ِمن نِّ َسائِ ِه ْم ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَالُوا فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ِّمن قَ ْب ِل أَن يَتَ َماسَّا ۚ ٰ َذلِ ُك ْم‬

ۖ ‫صيَا ُم َش ْه َر ْي ِن ُمتَتَابِ َعي ِْن ِمن قَ ْب ِل أَن يَتَ َماسَّا‬


ِ َ‫فَ َمن لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬- ‫تُو َعظُونَ بِ ِه ۚ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬

َ ِ‫ط َعا ُم ِستِّينَ ِم ْس ِكينًا ۚ ٰ َذل‬


َ‫ك لِتُ ْؤ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه ۚ َوتِ ْلكَ ُحدُو ُد هَّللا ِ ۗ َولِ ْل َكافِ ِرين‬ ْ ِ ‫فَ َمن لَّ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَإ‬

‫َع َذابٌ أَلِي ٌم‬

“Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa

yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan

seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah

yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang

14
kamu kerjakan. Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba

sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum

keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa tidak mampu, maka (wajib)

memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu

beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan

bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang

sangat pedih.”

Dari ayat di atas ditetapkan bahwa kafarat bagi orang yang melakukan

zhihar adalah:

a. Memerdekakan budak.

b. Berpuasa dua bulan secara berturut-turut.

c. Memberi makan 60 orang miskin.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tidak mustahil jika suatu saat pasangan suami istri tidak dapat

menjaga keutuhan ikatan perkawinan mereka karena berbagai faktor yang

tidak bisa diselesaikan kecuali dengan perceraian. Perceraian walaupun

diperbolehkan, pelaksanaannya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat

dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh. Suatu perkawinan menjadi

putus adalah karena talak. Talak bukan merupakan kesewenang-wenangan

seorang suami sebagai senjata untuk memutus ikatan perkawinan dengan

istrinya, namun jatuhnya talak bisa disebabkan beberapa alasan. Ada

beberapa sebab perceraian, yaitu fasakh ialah suatu permintaan perceraian

dari pihak suami atau pihak istri. Ila’ adalah bersumpah tidak akan

menggauli istri secara mutlak atau selama lebih dari empat bulan. Li’an

adalah Sumpah yang dilakukan suami karena isterinya telah menyanggah

tuduhan suaminya itu, sementara suami sendiri tidak memiliki bukti-bukti

atas tuduhan zinanya. Dzihar adalah perkataan seorang suami kepada

istrinya yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, sehingga istrinya itu

haram atasnya, seperti ungkapan “Engkau tampak seperti punggug

ibuku.”

B. SARAN

Penulis sadar bahwa dalam makalah ini banyak sekali kekurangan

yang terjadi. Maka dari itu penulis mengharapkan sekali kritik dan saran

16
dari pembaca agar dikemudian hari penulis dapat memperbaikinya

menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Mohammad. 2004. NIKAH dalam Perbincangan dan Perbedaan.


Yogyakarta : Darussalam
Ayyub, Syaikh Hasan. 2001. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.

Ghazali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media.

Muhsin, Amina Wadud. 1994. Wanita di dalam Al-Qur’an terj. Yaziar Radianti.

Bandung: Fajar Bhakti.

Nakamura, Hisako. 1991. Perceraian Orang Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press
Sitompul, Anwar. 1984. Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan

Agama. Bandung: ARMICO Bandung.

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta : Kencana Pramedia


Group
_______________. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:

Kencana.

17

Anda mungkin juga menyukai