Anda di halaman 1dari 43

TALAK, IDDAH DAN IHDAD, NUSYUZ, SIQAQ DAN

FUNGSI HAKAMAIN

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

“Fiqih Munakahah, Siyasah, Jinayah”

Dosen Pengampu: Mukhamad Zainul Muttaqin M. H.

Oleh Kelompok 4 PAI 4F :

Nailul Faizah (126201213260)


Regita Salzabilla (126201213269)
Rifa Iftiya Maulinda (126201213270)
SEMESTER 4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI


RAHMATULLAH

MARET 2023

i
DAFTAR ISI

MAKALAH ................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................. ii
BAB I ..............................................................................................1
PENDAHULUAN ..........................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................1
C. Tujuan Pembahasan ...........................................................2
BAB II ............................................................................................ 3
PEMBAHASAN ............................................................................ 3
A. Talak ................................................................................... 3
B. Ihdah dan Ihdad ................................................................ 13
C. Nusyuz ............................................................................... 31
D. Siqaq.................................................................................... 35
E. Fungsi Hakamain ............................................................. 38
BAB III .......................................................................................... 41
PENUTUP ..................................................................................... 41
A. Kesimpulan ........................................................................ 41
B. Saran ...................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 42

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana


didalamnya hanya terdiri dari suami, istri, dan sebagian anak. Dan setiap
rumah tangga pasti menginginkan sebuah keluarga yang di dalamnya
terdapat suatu kenyamanan, baik ketika berada di rumah maupun ketika
berada diluar rumah. Dimana seluruh hak dan kewajiban bias mereka
dapatkan dan laksanakan sebagai konsekuensi dari hidup bersama. Dalam
realitas sosial yang terjadi di masyarakat zaman sekarang seperti yang kita
ketahui dari media-media yang ada seperti media elektronik, cetak dan yang
lainnya banyak sekali keluarga yang mengalami perceraian. Diantara sebab-
sebab yang mengakibatkan perceraian tersebut salah satunya adalah tidak
terpenuhinya hak-hak dan kewajiban antara suami istri dan terjadinya
pembangkangan (nusyus) seorang istri kepada suami dan atau suami
terhadap istrinya Hal semacam ini, biasanya tidak lepas dari adanya suatu
kecurigaan antara kedua pihak, kesalahpahaman, tumbuh pikiran bahwa
dirinya lebih baik dan atau merasa lebih memiliki kekuasaan, dll. Melihat
fenomena tersebut, dalam pembahasan kali ini akan lebih diuraikan kembali
tentang konsep Talak, Iddah dan Ihdad, Nusyuz, SSiqaq, dan Fungsi
Hakamain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang talak?

2. Bagaimana penjelasan tentang iddah dan Ihdad?

3. Bagaimana penjelasan tentang nusyuz?

4. Bagaimana penjelasan tentang siqaq?

5. Bagaimana penjelasan tentang fungsi hakamain?

1
C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui penjelasan tentang talak.

2. Untuk mengetahui penjelasan tentang iddah dan ihdad.

3. Untuk mengetahui penjelasan tentang nusyuz.

4. Untuk mengetahui penjelasan tentang siqaq.

5. Untuk mengetahui penjelasan tentang fungsi hakamain.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Talak
1. Pengertian Talak
Talak secara bahasa memiliki pengertian melepas ikatan dan
memisahkan. Adapun secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam
memberikan definisinya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa
menurut mazhab Hanafi dan Hambali talak ialah pelepasan ikatan
perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa
yang akan datang. Secara langsung maksudnya adalah tanpa terkait
dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak
tersebut dinyatakan oleh suami. Sedangkan “di masa yang akan datang”
maksudnya adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu
hal. Kemungkinan talak seperti itu adalah talak yang dijatuhkan dengan
syarat. Menurut mazhab Syafi’i talak ialah pelepasan akad nikah dengan
lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Sedangkan menurut
mazhab Maliki talak ialah suatu sifat hukum yang menyebabkan
gugurnya kehalalan hubungan suami istri.
Perceraian dalam istilah fikih Islam disebut dengan “ṭalaq” yang
merupakan suatu hukum terkait dengan pemutusan hubungan
perkawinan. Dilihat dari segi etimologi, istilah talak berasal dari bahasa
Arab yaitu al-iṭlaq atau lepasnya suatu ikatan perkawinan. Sedangkan
menurut terminologi talak merupakan terlepasnya ikatan pernikahan
dengan lafal-lafal talak dan yang sejenisnya atau mengangkat ikatan
pernikahan secara langsung atau ditangguhkan dengan lafal yang
dikhususkan. Istilah talak ini hanya ditujukan pada pemutusan
perkawinan dari pihak suami. Sedangkan makna “cerai” atau
“perceraian” (dalam bahasaIndonesia) bermakna putusnya perceraian
baik dari pihak suami maupun pihak istri.1

1
Jamhuri dan Zuhra, 2018, Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim AlJauziyyah (Analisis Waktu Dan
Jumlah Penjatuhan Talak), Media Syari’ah, (20); 1, 96-97

3
Al-Jaziri dan al-Zuḥaili menyebutkan makna talak secara bahasa
yakni memudarkan ikatan, melepas ikatan, atau memisahkan ikatan,
baik bersifat fisik seperti ikatan kuda dan ikatan tawanan, maupun
bersifat maknawi seperti ikatan pernikahan. Menurut al-Zuḥaili, talak
secara istilah berarti melepas ikatan pernikahan dengan kata talak (cerai)
atau yang sejenisnya. Definisi yang serupa juga disebutkan oleh Sayyid
Salim. Menurutnya, talak secara syariat adalah melepaskan ikatan
pernikahan atau memutuskan hubungan perni-kahan saat itu juga atau
dikemudian waktu dengan lafaz tertentu. Dua definisi tersebut memiliki
maksud yang sama, bahwa talak merupakan perceraian atau putusanya
ikatan pernikahan suami-isteri yang terjadi sesaat setelah suami
mengucapkan lafaz talak, atau lafaz sejenisnya. Lafaz yang sejenisnya
bermaksud semua bentuk lafaz yang memberi indikasi kuat bahwa
ucapan suami tersebut ditujukan untuk bercerai, misalnya dengan kata,
“saya ceraikan kamu”, “saya tidak mau lagi hidup berumah tangga
dengan kamu”, dan kalimat lain yang senada dengan itu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
talak adalah proses memutuskan ikatan pernikahan, dilakukan oleh
suami terhadap isteri, akibatnya mengurangi hak talak suami, dilakukan
dengan ucapan talak atau lainnya. Dengan demikian, talak adalah
perceraian antara suami dengan isteri atas inisiatif suami, sehingga
dengan inisiatif tersebut mengurangi jumlah hak talak suami yang
dilakukan melalui ucapan talak atau lafaz lainnya yang memiliki
indikasi yang sama dengan makna talak.2
2. Dasar Hukum Talak
Syariat Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan
perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh. Sebagaimana
Alquran memberikan istilah pertalian itu dengan mitsaqon gholizhoh.
Firman Allah Surat An-Nisa ayat 21:
َ ‫فا َخدَ ْق هَن ْ ُوذُ ْخأَت ََف‬
‫ْي‬ ُ ‫ع ى َٰلا َْ ْم‬
َ ‫ف ُض ْع ى َ ْض‬ َ ‫ا ٰظفْلم ٰ ًْ ْفثَمدم ْٰ ْم ُض ْع خى َ َو ْذاَ َْ ْم‬
َ

2
Ibid, 99

4
“Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali), padahal kamu telah
menggauli satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-
istrimu) telah membuat perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan)
denganmu?” (Q.S. An Nisa: 21)
Dalam ajaran Islam Talak diperbolehkan (mubah) sebagai jalan
terakhir ketika kehidupan rumah tangga mengalami jalan buntu, talak
hanya dapat dilakukan apabila hubungan perkawinan sudah tidak dapat
dipertahankan lagi. Tentang talak ini, Rasulullah bersabda:
ُ ‫ط ِٰ ىٰلَا ى ْلا َََ ْٰ َُ ْْ َغ‬
‫ع‬ ُ ََ ‫ىلق‬
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak.” (HR.
Abu Dawud dan Ibnu Majah dan dianggap shohih oleh Imam Al-Hakim)
Berdasarkan Hadist tersebut menurut Jumhur Ulama hukum talak itu
mubah tetapi lebih baik dijauhi. Ulama Syafi’iyah dan hanabilah
berpendapat bahwa hukum talak terkadang wajib, terkadang haram dan
Sunnah. Apabila dilihat latar belakang terjadinya talak, maka hukum
talak bisa berubah kepada:
a. Wajib
Talak menjadi wajib hukumnya apabila hakim tidak menemukan
jalan lain, kecuali talak, yang bisa ditempuh untuk meredakan
pertikaian yang terjadi diantara suami dan istri. Dan Juga apabila
seorang suami bersumpah ila’ (tidak akan mencampuri istri) sampai
masa tertentu, sedangkan ia tidak mau membayar kafarah sumpah
agar ia dapat bergaul dengan istrinya.
b. Haram
Talak Yang diharamkan adalah talak yang dilakukan bukan karena
adanya tutuntan yang dapat dibenarkan karena hal itu akan
membawa mudhorot bagi diri sang suami dan juga istrinya serta
tidak memberikan kebaikan bagi keduanya. Diharamkan bagi suami
menceraikan istrinya pada saat haid, atau pada saat suci dan di masa
suci itu sang suami telah berjimak dengan istrinya. Sebaliknya, bagi
istri tidak boleh (haram) meminta kepada suami untuk
menceraikannya tanpa ada sebab syar’i.

5
c. Mubah
Hukum talak bisa menjadi mubah jika seorang istri memiliki akhlak
yang buruk, jelek tabiatnya dalam bermuamalah, melalaikan hak
suami, dan lain sebagainya. Sehingga tujuan pernikahan yang
diinginkan tidak tercapai sama sekali.
d. Sunnah
Hukum talak akan menjadi sunnah apabila keadaan rumah tangga
sudah sulit dipertahankan, dan apabila dipertahankan akan lebih
banyak bahayanya, misalnya seorang istri tidak mau atau lalai dalam
menjalankan hak-hak Allah swt seperti sholat, puasa, dan lain
sebagainya. Setelah beberapa kali diperintahkan agar jangan
melalaikan perintah Allah Swt. Namun seorang istri tetap tidak
menghiraukannya, maka suami disunnahkan untuk menceraikannya.
e. Makruh
َ ََ ‫ََ ضَمٰا ىلق‬
‫ط ا ََُ َُْى َخى ْٰا‬ ‫ٌ ٰع ْف َم ه‬
َ ‫ا ٰظ ْف َع‬
َ
“Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.
Al-Baqoroh: 227).”3
3. Rukun Dan Syarat Talak
Rukun ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak tersebut bergantung pada ada dan lengkapnya unsur-
unsur dimaksud. Kemudian pada masing-masing rukun itu ada
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Di antara persyaratan itu
ada yang menjadi kesepakan ulama dan ada pula yang masih
diperdebatkan. Adapun rukun talak yang menjadi kesepakatan ulama,
istri, sighat talak, dan qasad. Beberapa hal yang menjadi rukun talak
dengan syarat-syaratnya, sebagai berikut:
a. Suami
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
 Baligh

3
Rusli Halil Nasution, 2018, Talak Menurut Hukum Islam, Al-Hadi, (3); 2, 707-709

6
Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun
dia telah pandai. Demikian kesepakatan para ulama mazhab
kecuali mazhab Hambali. Para ulama mazhab Hambali
mengatakan bahwa talak yang dijatuhkan anak kecil yang
mengerti dinyatakan sah, sekalipun usianya belum mencapai
sepuluh tahun.
 Berakal Sehat
Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila tidak
sah. Begitu pula dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang
tidak sadar. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang
talak yang dijatuhkan oleh orang mabuk. Imamiyah mengatakan
bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak sah. Sementara itu
mazhab empat berpendapat bahwa talak orang mabuk itu sah
manakala dia mabuk karena minuman yang diharamkan atas
dasar keinginan sendiri.
 Atas kehendak sendiri
Dengan demikian, talak yang dijatuhkan oleh orang yang
dipaksa (menceraikan istrinya) menurut kesepakatan para ulama
mazhab tidak dinyatakan sah. Hal ini sesuai dengan sabda nabi
saw, “Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab
dari dosa silap, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya”.
 Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan demikian
kalau seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru,
atau main-main, maka menurut Imamiyah talaknya dinyatakan
tidak jatuh.
b. Istri
Rukun yang kedua dari talak adalah istri. Mengenai istri-istri yang
dapat dijatuhi talak, para fuqaha sepakat bahwa mereka harus:
 Permpuan yang dinikahi dengan sah
 Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah
 Belum habis masa iddahnya, pada talak raj’i
 Tidak sedang haid

7
c. Sighat Talak
Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan pada suami terhadap
istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun
kinayah (sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi
suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain. Dengan
syarat harus disertai dengan adanya niat. Namun demikian, tidak
cukup hanya dengan niat saja, sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah saw:
“Sesungguhnya Allah memberikan ampunan bagi umatku apa-apa
yang terdetik di dalam hati mereka, selama mereka ucapkan atau
kerjakan.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa sighat talak itu ada dua yaitu,
sighat yang yang jelas (sharih) dan sighat sindiran (kinayah).4
d. Qasad
Qasad atau kehendak yakni ucapan talak itu memang dimaksudkan
oleh orang yang mengucapkannya untuk talak bukan untuk yang
lain. Oleh karena itu salah ucap yang tidak dimaksudkan untuk talak
dianggap tidak terjadi. Menurut hemat peneliti rukun yang keempat
ini sejalan dengan kaidah fikih yang berbunyi; “Tiap-tiap perkara itu
tergantung dengan maksud dan tujuannya”. Meskipun demikian
ternyata para ulama mengecualikan apabila talak itu diucapkan
untuk main-main atau senda gurau. Menurut mereka talak seperti itu
tetap terjadi talak. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi Saw yang
berbunyi; “Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi
sungguh-sungguh dan senda guraunya menjadi sungguh-sungguh;
nikah, talak, dan rujuk”.
Empat rukun dan termasuk juga persyaratannya di atas
merupakan kesepakatan jumhur ulama. Selain yang telah peneliti
sebutkan ada beberapa persyaratan-persyaratan yang masih menjadi
perdebatan di kalangan ulama. Berikut akan peneliti uraikan
persyaratan-persyaratan tersebut.

4
Ibid, 712-713

8
 Saksi dalam Talak
Mengenai saksi dalam talak, ulama terbagi menjadi dua
golongan. Satu golongan mengatakan bahwa saksi merupakan
syarat sahnya talak dan satu golongan lagi mengatakan bahwa
saksi bukan termasuk syarat sahnya talak. Mereka yang
mengatakan bahwa saksi merupakan syarat sahnya talak
berpegang pada surah ath-Thalaq ayat 2 yang berbunyi:
‫وض َُْمُل ىَ َنظَ ُلل َْظَ ْغلَ ضَ ٰماَى‬ٰ ْْ َ ‫ا ْق َْ اَ َخ ْو خىَد ْٰلق ُْخى ْٰ َع ْم ُر ْخمَ َض ٰمُدُ َْمُل ىَ ْخ ْٰ َع ْم ُر ْخمَ َضم‬
َ ‫ىَخىَدٰ ْف ُع ٰ ًْ ْم ُض ْع‬
َ
َ‫و َا ٰل ُض ْع ٰ هِٰ ىلةلَم َهش‬ ُ ‫ا‬ َ َْ ُُ ‫مِٰ ُُنْ ْٰلُ ََماَ َْ ْل ْٰ ِت‬‫ت َخ َْ ْل ۗ ى ْ َ ٰو ٰر َخى ْلفَ َْ ٰا ْٰ ه‬
ٰ ‫ََ ُق‬ ‫َرنم َْ ْخ ل َّت َُلْ مَ ْج ه‬
“Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (QS.
ath-Thalaq ayat 2)
Ayat di atas dipahami oleh sebagian ulama sebagai ayat yang
menunjukan bahwa saksi merupakan syarat sah dari rujuk dan
talak. Oleh sebab itu menurut pendapat ini talak tidak sah kecuali
dengan adanya dua orang saksi yang adil dan berkumpul saat
penjatuhan talak. Adapun mereka yang mengatakan bahwa saksi
bukanlah syarat sahnya talak memandang bahwa ayat tersebut di
atas adalah ayat tentang kesaksian dalam hal rujuk.
 Kondisi Suami Saat Menjatuhkan Talak
Sebagian ulama menyebutkan bahwa saat menjatuhkan talak
suami dituntut dalam keadaan sehat akalnya, tidak dalam
paksaan, tidak dalam keadaan mabuk, dan tidak dalam kondisi
marah. Memang para ulama sepakat bahwa sehat akal dan tidak
dalam keadaan dipaksa termasuk dalam syarat sahnya talak.
Namun untuk persyaratan suami tidak boleh dalam keadaan
mabuk dan tidak boleh dalam keadaan marah mereka sedikit
berbeda pendapat. Menurut ulama Syafi’iyah sebagaimana
disebutkan dalam Fathul Mu’in apabila suami mabuk karena
sebab yang disengaja, kemudian ia mengucapkan kata-kata talak

9
kepada istrinya makajatuhlah talak atas istrinya. Berbeda halnya
jika mabuknya tidak disengaja maka kata-kata talak tersebut tidak
dinilai sebagai talak. Adapun mengenai suami tidak boleh dalam
keadaan marah Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menyebutkan
bahwa talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan marah adalah
tidak sah karena dilakukan tanpa keinginan orang yang
menjatuhkan talak. Lebih lanjut Wahbah az-Zuḥailī menyebutkan
bahwa marah yang menyebabkan talak suami tidak diakui
keabsahannya adalah marah yang sampai menyebabkan
seseorang tidak sadar akan ucapannya. Apabila marah tersebut
hanya dalam tingkatan biasa saja maka tetap diakui
keabsahannya.
 Kondisi Istri Saat Terjadinya Talak
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa saat suami mengucapkan
talak selain ia harus memperhatikan kondisinya ia juga harus
memperhatikan kondisi istrinya. Menurut Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qoyyim Al-Jauziyah, Ibnu Hazm, dan segolongan Syi’ah
Imamiyah talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang
dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci namun sudah
digauli dihukumkan tidak berlaku. Untuk itu menurut pendapat
ini jika suami ingin mentalak istrinya makam harus menunggu
istrinya dalam keadaan suci dan belum digauli.
4. Macam-Macam Talak
a. Talak dilihat dari lafaz yang digunakan
 Kata-kata yang jelas (sharih)
Kata-kata talak yang sharih artinya lafal yang di gunakan itu terus
terang menyatakan perceraian. Misal, Suami berkata kepada
istrinya “Engkau telah aku ceraikan”, “Aku telah menjatuhkan
talak untukmu”, atau “Engkau tertalak” dan lain sebagainya.
Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa kata-kata
talak yang tegas/jelas hanyalah kalimat “talak” saja. Maka selain
kata itu termasuk sindiran. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan

10
bahwa kata-kata tegas/jelas itu ada tiga, yaitu: talak (cerai), firaq
(pisah), dan sarah (lepas).
 Kata-kata yang tidak jelas (kinayah)
Imam Malik berpendapat bahwa apabila suami mengucapkan
talak dengan kata-kata kinayah dan ia tidak berniat untuk
mentalak istrinya maka talaknya tidak jatuh. Kecuali kalau dia
memang berniat menjatuhkan talak. Sementara Imam Syafi’i
berpendapat bahwa jika suami berniat menjatuhkan talak maka
talak pun telah jatuh. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa talak dapat terjadi dengan semua kata-kata kinayah apabila
disertai dengan niat. Dengan demikian, talak tidak dianggap sah
kecuali bila disertai dengan adanya niat.5
b. Dilihat dari segi konsekuensi hukum talak
 Talak ba’in
Talak ba’in merupakan talak yang berakibat pada suami tidak
halal lagi terhadap isterinya dan tidak ada hak rujuk baginya
kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru.6
Talak ba’in dibedakan menjadi dua, yaitu ba’in ṣughra dan ba’in
kubra
1) Talak ba’in sughro atau disebut talak ba’in kecil ialah talak
satu atau dua yang disertai dengan pembayaran iwadl dari
pihak isteri, kecuali dengan perkawinan yang batu. Begitu
juga bagi suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya
yang belum pernah dicampuri, maka tiada boleh lagi rujuk
kembali kepada bekas isterinya itu, kecuali dengan
perkawinan baru.
2) Talak ba’in kubro atau disbeut talak ba’in besar ialah talak
tiga. Suami yang menjatuhkan talak tiga kepada isterinya,
tiada boleh rujuk kembali kepada bekas isterinya, keculai
apabila bekas isterinya itu telah kawin lagi dengan laki-laki

5
Rusli Halil Nasution, 2018, Talak Menurut Hukum Islam, Al-Hadi, (3); 2, 712
6
Jamhuri dan Zuhra, 2018, Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim AlJauziyyah (Analisis Waktu Dan
Jumlah Penjatuhan Talak), Media Syari’ah, (20); 1, 102

11
yang disbeut dengan muhalil dan telah melakukan hubungan
suami isteri serta telah bercerai dan telah habis pula masa
iddahnya, maka barulah bekas isterinya tersebut kawin lagi
dengan suaminya yang terdahulu.
 Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak dimana suami boleh merujuk isterinya
pada waktu iddah. Talak raj’I ini ialah talak satu atau talak dua
yang tidak disertai uang iwadl dari pihak istri. Talak raj’i ini
masih memberi kemungkinan bagi bekas suaminya untuk
merujuk kembali bekas isterinya asal masih dalam masa iddah,
tidak memerlukan pembaharuan akad nikah dan tidak perlu
mahar.
c. Talak ditinjau dari segi waktu menjatuhkan talak
 Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan
agama, yang termasuk dalam talak sunni adalah: Menjatuhkan
talak kepada isterinya dimana isteri dalam keadaan suci dan tidak
dicampuri. Talak sunni ini termasuk talak yang halal. Hal ini
berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat At-Talak ayat 1,
disebutkan: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan mereka itu
pada waktu mereka dapat (mendapat) iddahnya (yang wajar)”.
 Talak bid’I yaitu menjatuhkan talak yang dilarang, misalnya:
Menjatuhkan talak kepada isterinya, ketika ia dalam keadaan suci
serta telah dicampuri atau menjatuhkan talak kepada isterinya
yang dalam keadaan haid. Oleh karena itu status hukum seorang
suami menjatuhkan talak kepada isterinya itu bermacam-macam,
tergantung motif dan tujuan serta sesuai atau tidaknya cara
menjatuhkan talak, sehingga dengan demikian hukum
menjatuhkan talak itu boleh jadi wajib, boleh jadi sunnah dan
boleh jadi mubah, makruh serta boleh jadi haram.7

7
Dhevi Nayasari, 2014, Pelaksanaan Ruju’ Pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Lamongan,
Jurnal Independent, (2); 1, 78-79

12
B. Iddah dan Ihdad
1. Iddah
a. Pengertian Iddah
Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang di hitung.
Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari
suci pada wanita. sedangkan secara istilah, iddah mengandung arti
masa menunggu, artinya masa menunggu bagi wanita untuk
melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan
suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk
mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami.
Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai
berikut:
a. Syarbini Khatib dalam kitabnya “MugnilmMuhtaj”
mendifinisikan iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang
perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena
sedih atas meninggal suaminya.
b. Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi memberikan pengertian
iddah dengan Masa yang tertentu untuk menungu, hingga
seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah
bercerai.
c. Abdurrahman I Doi memberikan pengertian iddah ini dengan
suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi
setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.
d. Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan masa lamanya
bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah
kematian suaminya.
e. Arti iddah menurut lughat adalah perhitungan, dan dalam istilah
fiqh adalah waktu tunggu bagi wanita yang ditalak atau ditinggal
mati suaminya, untuk mengetahui dengan yakin bebas atau
tidaknya wanita itu dari hamil atau bagi wanita yang sudah putus

13
haidhnya dimaksudkan semata-mata ta’abbud kepada hukum
Allah SWT.8
b. Dasar Hukum Iddah
‫وض َُْمُل ىَ َنظَ ُلل َْ َظ ْغلَ ضَ ٰماَى‬
ٰ ْْ َ ‫ا ْق َْ اَ َخ ْو خىَد ْٰلق ُْخى ْٰ َع ْم ُر ْخمَ ضَ ٰمُدُ َْمُل ىَ ْخ ْٰ َع ْم ُر ْخمَ ضَم‬ َ ‫ٰ ًْ ْم ُض ْع‬
‫و َا ٰل ُض ْع ٰ هِٰ ىلةلَم َهشَ َخىَدٰ ْف ُعَى‬ ُ ‫ا‬ ‫تُ َخ َْ ْل ۗ ى ْ َ ٰو ٰر َخى ْل َف َْ ٰا ْٰ ه‬
َ َْ ُُ ‫مِٰ ُُنْ ْٰلُ ََماَ َْ ْل ْٰ ِت‬ ٰ ‫ََ ق‬ ‫ه‬
‫َْ ْخ َرنم ل َّت َُلْ َم ْج‬
“Dan jika mereka berketatapan hati hendak menceraikan, maka
sungguh Allah, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Dan
para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali
kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki
perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami,
mempunyai kelebihan di atas mereka, Allah Maha perkasa,
Mahabijaksana”. (QS. al-Baqarah/2: 227-228)
Pada ayat QS al-Baqarah/2: 227-228 ditegaskan bahwa
seorang istri (perempuan) yang telah dicerai oleh suaminya dengan
keadaan masih haid, maka hukum iddahnya 3 kali quru’. Rentang
waktu yang dijadikan patokan sebagai mayoritas lamanya siklus
haid perempuan adalah 15 hari dengan durasi waktu 15 hari untuk
periode haid keduanya dan seterusnya, dikarenakan periode haid
antar perempuan berbeda satu dengan lainnya. Tenggang waktu
tersebut dapat dipergunakan untuk memikirkan dan menimbang
ulang terhadap keputusan perceraian dan besar harapan untuk
mengurungkan niat keduanya, sehingga berujung kesepatakan
dengan mencapai kata islah (perdamaian).

8
Henderi Kusmidi, 2017, Reaktualisasi Konsep Iddah Dalam Pernikahan, MIZANI: Wacana
Hukum, Ekonomi dan Keagamaan, (4); 1, 34

14
Apabila sang istri (perempuan) tersebut diketahui hamil,
maka secara otomatis masa iddahnya berlaku hingga ia melahirkan.
Hal ini ditegaskan Allah swt. dalam firman-Nya:
‫م‬
ُ ‫ا ضَةُى ْل َع َظ لْ ه َ ْم ُر‬
‫ع‬ ُّ ‫َىُم ََماَ َُ َْ َا ضٰ ْي ىٰلَ ْف ٰت َخ‬
ُ ‫ىلر ْخ‬ ُ ‫و ْفلَ ْٰ ْرق‬ َ ‫ٌمَ َ َة ى َ ْل‬
ٰ ‫ي َو ْع‬ َ
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menapouse) di antara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka
idahnya adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu idah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan
kemudahan baginya dalam urusannya”. (QS. at-Talaq/65: 4)
Berdasarkan QS at-Talaq/65: 4 bahwa proses penentuan masa
iddahnya istri (perempuan) yang putus diakibatkan cerai hidup
alurnya sebagai berikut.
 Penetuan masa iddah terhadap istri (perempuan) yang
disebabkan karena bercerai dan sedang mengandung bayi,oleh
karenanya masa iddahnya ialah saat bayi yang dikandung
tersebut lahir ke dunia.
 Penentuan masa iddah terhadap istri (perempuan) yang sudah
haid adalah tiga kali masa suci (3 kali suci).
 Penentuan masa iddah terhadap istri (perempuan) yang belum
dikategorikan dewasa (belum pernah haid) maupun telah habis
masa haid (menopouse) adalah iddahnya selama 3 bulan.
 Tidak ada ketentuan iddah terhadap istri (perempuan) yang
belum pernah digauli (dukhul) oleh suaminya. Jika terjadi
perceraian maka istri (perempuan) yang belum di-dukhul secara
otomatis dapat melangsungkan perkawinan dengan orang lain.9
c. Pembagian Masa Iddah

9
Fatihatul Anhar Azzulfa dan Afnan Riani Cahya A, 2021, Masa Iddah Suami Istri Pasca Perceraian,
Jurnal Al-Mizan, (17); 1, 67-68

15
1) Iddah wanita hamil, maka iddahnya sampai dengan melahirkan,
sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Thalaq ayat 4:
‫م‬ ‫م‬
‫ولَ َخىلهّٰۤ ٰ ْي‬ ْ ْ‫ْع ْٰلَ َُ ل‬ٰ ‫و مم لْ ُض ْع ْٰ ْل ى ْل َع ٰاف‬ ْ ‫د ُل َر ُ َظثَةُ ضَ ٰمقه ُ ُلل‬
َ ٰ‫ىُه َ ْْق ُ ْع ى ٰٰا ًأ‬ ْ َ ‫َُ ٰافْلَ ْع َل خىلهّٰٰۤ ْي ى‬
ُ‫خلا‬ َ ُ ‫ف ْملَ ى َ ْا ى َ َنظُ ُلل ى ْ ََْ َعم ْٰ َخى‬
َ ُ ‫ت َخ َْ ْل ََ ْعظَ ُلل‬ ‫ورى ىَ ْْ ٰرم ْٰ ْل لت َُلْ َم ْج ه‬
ٰ ‫ََ ُق‬ ْ ُُ
“Perempuan-perempuan yang tidak mungkin haid lagi
(menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan. Begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid (belum dewasa). Adapun
perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya
dalam urusannya.”
Ketentuan waku tunggu bagi janda yang dalam keadaan
hamil adalah sampai anaknya lahir. Cara menghitung tenggang
waktu tersebut apabila putus perkawinan karena peceraian, maka
dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan yang tetap.
2) Iddah Wanita yang Meminta Cerai (Khulu’)
Menceritakan kepadaku Ubadah Ibnu Walid Ibnu Shamit
bertanya pada Rubayyi’ binti Mu’awidz: “ceritakan kisahmu
padaku”. Ia berkata: “aku telah meminta cerai dari suamiku”.
Kemudian aku datang pada Usman dan aku bertanya padanya:
“berapa hari masa iddahku.” Jawabnya: “tidak ada iddah atasmu,
kecuali jika kamu telah bergaul dengan suamimu. Maka
sekarang tunggulah hingga kamu haid sekali. Dalam hal ini aku
mengikuti keputusan Rasulullah atas diri Maryam Al
Maghalibiyah, yang menjadi istri Tsabit Ibnu Qais Ibnu Syamas,
dan kemudian ia meminta diceraikan suaminya.”
3) Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya
Para ulama’ mazhab sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal
mati suaminya, sedangkan ia tidak hamil adalah empat bulan
sepuluh hari baik wanita tersebut sudah dewasa maupun masih

16
anak-anak, dalam usia menopause atau tidak, sudah dicampuri
atau belum. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt dalam
Surat Al-Baqarah ayat 234:
َ‫رلَ ى َ ْج َخىنم َخَُذَ ُُ ْخاَ ْٰ ْم ُض ْع ُُق َ ََض َْاَ َخىل ٰذ ُْل‬ ْ ْ‫د ُل َر ى َ َُْْمَةَ ْٰم َ ْأسُو ٰٰلل ُق َ َر‬
ْ َ ‫اةْرى ى‬ َ ‫ٰماَى َض َ خ‬
َ‫اظَ ْف ُض ْع ُنمَم َا ََ َض ىَ َن َظ ُلل َْ َظ ْغل‬
َ ‫م ىَ ْأسُو ٰٰلل ضٰ ِْي ضَمَ ْظلَ ضٰ ْف َعم‬
ٰ ‫َُ ْٰم ْل َع ْم ُر ْخ‬‫َو ْٰف َْر ظُ َْاَ ه َ ْم َع ْٰ َعم َخ ه‬
“Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-
istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai
(akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa
yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang
patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Yang demikian itu apabila wanita tersebut betul-betul
terbukti tidak hamil. Akan tetapi apabila ia diduga hamil atau
kemungkinan sedang hamil, maka di harus menunggu sampai
dia melahirkan anaknya atau diperoleh kepastian bahwa dia
betul-betul tidak hamil. Demikian pendapat mayoritas ulama
mazhab. Putusnya perkawinan karena kematian tenggang
waktunya dihitung sejak suaminya meninggal, ketentuan
tenggang waktu tersebut tidak berlaku bagi janda yang putus
perkawinan karena perceraian, apabila antara janda tersebut
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
4) Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati
Suaminya Sebelum Terjadi Senggama Iddah wanita atau isteri
yang belum dicampuri, baginya tidak ada iddah. Hal ini
berdasarkan firman Allah Swt dalam surat alAhzab surat ke-33
ayat 49 berikut:
ٰ ‫و َْمُل ى َ ْا دَ ْْ ٰج ْٰ ْل ََّظ ْرق ُ ُع َْمُل ُُع ى ْل ُعنْ ْٰ َم‬
‫ا أَ َضاْ ق ُ ُع ىٰاَى َى َْمُ َِْى ىل ٰذ ُْلَ َ ُِمَُُّلَم‬ ُّ ‫لَ ُض ْع ضَ َعم ه َ َع‬
‫اظَف ْٰلل‬ َ ‫ٌ ٰ ًر َُ َْمُل ضَ َع ٰقًمُ َْمُل ه َ ْمقَق ُّْخأَل ََم ٰاق َش ْٰ ْل‬ َ ‫ٌ َرىَم َخ‬ َ َْ‫ن َٰعف‬
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukminat, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak ada masa idah atas
mereka yang perlu kamu perhitungkan. Maka, berilah mereka

17
mutah (pemberian) dan lepaskanlah mereka dengan cara yang
sebaik-baiknya.”10
d. Hikmah Iddah
Allah SWT tidak meninggalkan suatu perintah atau kaidah
kecuali di dalamnya diletakkan suatu hikmah yang kembaliannya
untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Demikian pula
dengan masalah iddah yang merupakan suatu syariat yang telah ada
sejak zaman dahulu, di mana mereka tidak pernah meninggalkan
kebiasaan ini dan tatkala Islam datang kebiasaan ini pun diakui dan
dijalankan terus karena banyak terdapat kebaikan di dalamnya.
Para ulama telah mencoba menganalisa hikmah disyariatkannya
iddah yaitu seperti:
a. Pembersihan Rahim
Ketegasan penisaban dalam Islam merupakan hal yang paling
penting. Oleh sebab itu, segala ketentuan untuk menghindari dari
terjadinya kekacauan nisab keturunan manusia ditetapkan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tegas, di antara ketentuan itu
ada larangan bagi perempuan untuk menikah dengan beberapa
orang pria dalam waktu yang berdekatan atau bersamaan.
b. Untuk berfikir Kembali
Iddah yang khusus untuk talak raj’i merupakan suatu tenggang
waktu yang memungkinkan untuk berfikir Kembali mengenai
hubungan keduanya. Dalam masa iddah ini, kedua belah pihak
dapat menginstropeksi diri mereka masing- masing guna
mengambil langkah-langkah yang lebih baik kedepannya.
Terutama jika mereka telah mempunyai putra- putri yang
membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang baik dari orang
tua mereka. Selain itu memberikan kesempatan unutk berfikir
kembali dengan pikiran yang bersih setelah mereka menghadapi
keadaan rumah tangga dari yang pasang kemudian keruh

10
Henderi Kusmidi, 2017, Reaktualisasi Konsep Iddah Dalam Pernikahan, MIZANI: Wacana
Hukum, Ekonomi dan Keagamaan, (4); 1, 36-38

18
sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus. Jika pikiran
mereka sudah bersih dan dingin, diharapkan nantinya suami
akan merujuk istri kembali dan begitu pula dengan istri tidak
menolak untuk rujuk dengan suaminya kembali. Sehingga
perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
c. Untuk berduka cita
Iddah untuk cerai mati adalah masa duka atau bela sungkawa
atas kematian suaminya. Cerai karena mati merupakan musibah
yang berada di luar kuasa manusia untuk menahannya. Mereka
berpisah secara lahiriyah akan tetapi dalam hubungan batin
mereka begitu akrab. Apabila perceraian karena salah seorang
suami istri meninggal dunia, maka masa iddahnya untuk
menjaga agar nantinya jangan timbul rasa tidak senang dari
pihak keluarga suami yang ditinggal, bila pada waktu ini istri
menerima lamaran ataupun melangsungkan sebuah perkawinan
baru dengan laki-laki lain.
d. Berkesempatan untuk rujuk
Seorang istri yang dicerai talak oleh suami yang mana suami
tersebut masih berhak untuk rujuk kepada bekas istrinya, maka
masa iddahnya ialah untuk berpikir Kembali bagi suami, apakah
ia akan kembali sebagai suami istri. Apabila bekas suami
berpendapat bahwa ia sanggup mendayung bahtera kehidupan
rumah tangganya kembali, maka ia boleh untuk merujuk
kembali istrinya dalam masa iddah. Sebaliknya, jika seorang
suami berpendpaat bahwa tidak mungkin melanjutkan
kehidupan rumah tangga kembali, ia harus melepas bekas
istrinya tersebut secara baik- baik dan jangan menghalang-
halangi bekas istrinya untuk kawin dengan laki-laki lain. Dengan
demikian tampak dengan jelas bahwa iddah memiliki berbagai

19
keutamaan diberbagai aspek, di mana masing-masing
mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.11
2. Ihdad
1. Pengertian Ihdad
Ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal
mati suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari atau selama
menjalani masa iddah.12 Sedangkan ihdad secara etimologi adalah
menahan, mencegah atau menjauhi. Secara definitif, sebagaimana
tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah “menjauhi sesuatu yang
dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah”,
mencegah, di antara pencegahan itu adalah mencegah perempuan
dari berhias. Hal yang termasuk dalam pengertian ihdad adalah
menampakkan kesedihan. Adapunihdad secara terminologi adalah
antisipasi seorang perempuan dari berhias dan termasuk di dalam
pengertian tersebut adalah masa tertentu atau khusus dalam kondisi
tertentu, dengan larangan-larangan seperti, bercelak mata, berhias
diri, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa.13 Menurut Abu
Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan
kadang-kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata
hadda. Secara etimologi (lughawi) ihdad berarti al-Man‟u (cegahan
atau larangan). Sedangkan menurut Abdul Mujieb, bahwa yang
dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri
yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalaha empat bulan
sepuluh hari disertai dengan larangan-larangannya, antara lain:
bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan
terpaksa.14 Adapun mengenai untuk siapa, atau atas dasar apa
seseorang melakukan ihdad hampir semua ulama berpendapat
bahwa ihdadhanya dilakukan untuk suami yang menikahinya

11
Resti Agustina, 2021, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Iddah Istri yang Memiliki Aanak Bayi
Tabung Dari Mantan Suami Impoten, 42-45
12
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), Hlm 302
13
Ibid
14
Tihami Dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Press, 2009), Hlm 342

20
dengan nikah yang sah dan yang meninggal dalam masa
perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya.
2. Hukum Ihdad
Ihdad disyariatkan dalam islam berdasarkan firman Allah
SWT dalam surah at-Thalaq (65) ayat 1:
ٰٓ‫و مم َن ََّظ ْرق ُ ُع ىٰاَى ىلم ْٰ ُّي ى َ ُُّلَم‬ ُ ََْ‫ََ َخىهرَُى ى ْل ٰمق َشَ َخى‬
َ ً‫رَى ٰل ٰمق ٰه ٰلل َض َق ٰ ًظرُ َْمُل ىل ٰم‬ ‫َُْ ُض َ ْع ه‬
َ ‫ة َة ُنْهٰ ْفلَ ى َ ْا ىٰ ِ َُ ْخ ُرنْ لَ َخ َ ُْفُ َْهٰ ٰلل ْٰ ِ ْل ه ُْخ ٰر ُن َْمُل‬
َ َ‫م‬ ٰ ‫َٰ َُق ُْخ ُه َخهٰ ْظتَ َُّْْفًٰمَ َة ْٰ َس‬ ‫َخ َْ ْل ه‬
‫َٰ َُق ُْخ َه ُقَمَق‬‫و َّتأَ ْس ََظَ َع َضرَ ْق ه‬
َ َ ‫ََ لَمَج هَق ُْٰ ْو‬ ‫ٰح ه‬ ُ ‫ىَ ْْرى َا ٰلتَ َْ ْم َق ُُاْ ق‬
Artinya:“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (di
izinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang. Itulah hikum-hukum Allah dan barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru “(
AtThalaq:1)15
Ihdad berarti keadaan perempuan yang tidak menghias
dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suaminya
atau keluarganya.16.Ihdad di tinjau dari sudut syar‟i dibagi menjadi
dua, yaitu ihdad wanita yang ditinggal mati suaminya dilakukan
selama masa iddah atau selama empat bulan sepuluh hari, namun
bagi selain suami, ihdad hanya dilakukan sampai masa tiga hari.
Dalam ajaran fikih konvensional,ihdadhanya berlaku bagi istri yang
ditinggal mati suaminya, dan tidak berlaku terhadap suami yang
ditinggal mati istrinya. ihdad juga tidak dapat dikenakan kepada istri
yang ditalak raj‟i dan talak bâ`in. Kaum muslimin telah sepakat

15
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah AtThalaq Ayat1
16
Ibnu Qudamah, Al-Muqni‟ Fiy Fiqh Imam Al-Sunnah Ahamd Ibn Hanbal
Al-Syaibaniy Juz Iii (Riyadl: Maktabah Al-Riyadl Al-Haditsah, 1980) Hlm. 289-291

21
bahwaihdad (bekabung) wajib hukumnya atas wanita muslimah
yang merdeka dan dalam keadaan iddah kematian suaminya17.
Imam Malik berpendapat bahwa ihdad diwajibkan atas
perempuan muslimah dan ahli kitab, baik yang masih kecil maupun
sudah dewasa. Mengenai hamba perempuan yang ditinggal mati
oleh orang tuannya, baik ia sebagai ummul walad (hamba
perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya) atau bukan,
maka menurut Imam Malik, tidak wajib ihdadatasnya. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh para fuqaha amshar (fuqaha negeri-negeri
besar). Pendapat Imam Malik yang terkenal mengenai ahli kitab
ditentang oleh Ibnu Nafi‟ dan Asyhab (dua orang di antara pengikut
Imam Malik). Tetapi, pendapat keduanya ini juga diriwayatkan oleh
keduanya dari Imam Malik, dan orang pengikut Imam Malik juga
dikemukakan oleh Imam Syafi‟i, yakni bahwasanya tidak ada
kewajiban ihdad perempuan ahli kitab.18 Fuqahâ` dari madzhab
Hanafi berpendapat bahwa istri yang masih kecil(belum baligh)
tidak wajib melakukanihdad, karena ia tidak mukallaf. Sedangkan
menurut madzhab Syafi‟i dan Maliki, istri yang masih kecil wajib
perempuan kitâbiyyah dan dzimmiyah, madzhab Hanafi berpendapat
bahwa perempuantersebut tidak wajib melakukan
ihdad,sebagaimana shaghirah, karena tidak mukallaf. Sedangkan
menurut madzhab Maliki, ia wajib melakukannya karena perempuan
kitâbiyyah dan dzimmiyah yang melakukan perkawinan dengan laki-
laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak-hak perempuan
yang beragama Islam. Perempuan yang dinikahi dengan nikah fâsid
(pernikahan yang salah satu syaratnya tidak terpenuhi) tidak wajib
melakukan ihdad.19
Mengenai silang pendapat fuqaha‟ berkenaan dengan
masalah ihdad maka imam Malik berpendapat bahwa tidak

17
Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit
18
Abdul Rahman Ghozali,Op.Cit. Hlm 303
19
Abd Al-Barr Al-Namiriy, Al-Kafiy Fiy Fiqh Ahl Al-Madinah Al-Malikiy ( Beirut: Dar Al-Kutub,
1992) Hlm. 292.

22
adaihdadkecuali pada iddah kematian suami. Imam Abu Hanifah
dan At-Tsauri berpendapat bahwa ihdad karena iddah talak ba‟in
wajib hukumnya.Sedangkan ahli fikih lainnya berpendapat bahwa
hukumnya hanya sunnah. Madzhab Hanafi memandangnya wajib
karena perbuatan itu merupakan ungkapan rasa berduka atas
hilangnya karunia Allah SWT. dalam bentuk perkawinan diri istri.
Karena itu, kewajiban melaksanakan ihdad, juga berlaku terhadap
perempuan tersebut. Dalam hal ini, madzhab Hanafi menyamakan
kedudukannya dengan istri yang suaminya wafat. Akan halnya
imam syafi‟i, maka ia hanya menganggap berihdad bagi wanita
yang ditalak, tetapi ia tidak mewajibkannya20.
Fuqahâ` lainnya berpendapat bahwa ihdad bagi perempuan
seperti itu tidak wajib, karena ia masih memiliki kemungkinan untuk
kawin lagi dengan suaminya itu, jika terlebih dahulu ia kawin
dengan laki-laki lain yang kemudian menceraikannya. Di samping
itu, ia juga memiliki masa„iddah yang sama dengan istri yang
dijatuhi talak raj‟i. Sedangkan anjuran untuk melakukan ihdad
selama masa „iddah talak bâ`in hanya dimaksudkan untuk
menghindarkan dirinya dari fitnah yang mungkin muncul jika ia
berhias diri, karena selama berada dalam masa „iddah ini
padahakikatnya ia masih berada dalam status perkawinan21,
Karenanya, ia berhak untuk menghias diri, bahkan hal tersebut
dianjurkan kepadanya dengan tujuan agar suaminya tertarik untuk
melakukan rujû‟, Dengan perkataan lain, iddah dalam thalak raj‟i
merupakan momen refleksi bagi suami dan istri untuk
mempertimbangkann apakah akan melanjutkan pernikahan atau
betul-betul akan mengakhiri pernikahan.
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 170 ayat 1 BAB XIX
tentang masa berkabung, menjelaskan tentang kewjiban masa
berkabung seorang isteri yang ditinggal mati suaminya

20
Abdul Rahman Ghozali,Op.Cit. Hlm 304
21
Taqiyuddin Al-Husainiy, Kifayah Al-Akhyar Fiy Hall Ghayah AlIkhtishar, (Beirut: Dar Al-Fikr,
Tanpa Tahun,) Hlm. 134

23
Pasal 170
1. Istri yanng di tinggal mati suamiya, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita
dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah”

Menurut hemat penulis dapat disimpulkan, bahwa wanita


(istri) memiliki kewajiban melaksanakan iddah serta ihdad karena
ditinggal mati oleh suaminya selama empat bulan sepuluh hari.
Hal ini merupakan suatu kondisi di mana isteri harus menahan diri
atau berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu,
isteri hendaknya menya-takan dukanya dengan tidak berhias, tidak
bercelak mata dan tidak boleh keluar rumah. Cara ini bertujuan
hanya untuk menghormati kematian suami. Apabila masa iddah
telah habis, maka tidak ada larangan untuk berhias diri, melakukan
pinangan, bahkan melangsungkan akad nikah. Dalam konteks istri
yang ditinggal mati oleh suaminya, masa iddah sertaihdad
(berkabung) itu penting dilalui agar tidak timbul fitnah di
masyarakat. Masa ihdad sebenarnya adalah wujud dari kesedihan
si isteri atas musibah yang menimpa dirinya, cukup beralasan di
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 170 ayat 1 yang telah
tercantum diatas.

26
3. Hikmah Ihdad
Pembahasan ihdad memang tidak selebar pembahasan
iddah, akan tetapi ihdad pun juga memiliki beberapa hikmah
diantaranya ialah :
a. Memberikan alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita
atau berkabung dan sekaligus menjaga timbul fitnah.
b. Untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami
yang meninggal dengan pihak istri yang ditinggalkan dan
keluarga besarnya.
c. ihdaduntuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian
suaminnya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya.
Selain cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak
membutuhkan ihdad. Hal in sesuai dengan wanita - wanita yang
hidup pada masa Rosul dan Khilfah Rasyidin tidak pernah
melakukan ihdad selain cerai mati22.
4. Larangan Wanita Pada Masa Ihdad
Para fuqaha‟ berpendapat bahwa wanita yang sedang
berihdad dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik
perhatian laki-laki kepadanya, seperti perhiasan intan dan celak,
kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan. Dan
dilarang pula memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali
warna hitam. Karena Imam Malik tidak memakhruhkan pakaian
berwarna hitam bagi wanita yang sedang berihdad23.
Selama berkabung, perempuan tidak boleh memakai
wewangian, celak pacar (pewarna kuku), bedak, pakaian berwarna
dan perhiasan. Namun dari sisi lain, para ulama memandang bahwa
perempuan boleh mengenakan pakaian berwarna putih dan boleh
memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mandi dan meminyaki
rambut, dengan tujuan menjaga kesehatan, bukan untuk berhias24.

22
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, ( Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, 2006) Hlm 372
23
Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit
24
‘Athif Lamadhoh, Fikih Sunnah Untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia Sentra Musliam, 2007), Hlm
258

27
Jika seorang istri yang ditinggal wafat suaminya mengetahui bahwa
ihdadwajib dilakukan selama masa „iddah, namun ia tidak
melakukannya, maka tindakannya termasuk mendurhakai Allah25.
Menurut Sayyid Abu Bakar al-Dimyati, definisiihdad
adalah: “Menahan diri dari bersolek/berhias pada badan”. Dengan
redaksi sedikit berbeda, Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi
tentang makna ihdad: “ihdad ialah meninggalkan harum-haruman,
perhiasan, celak mata dan minyak, baik minyak yang
mengharumkan maupun yang tidak.”Selanjutnya, sebagaimana
definisi kedua di atas, Wahbah al-Zuhaili menegaskan maksud
meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak
adalah khusus yang berkaitan dengan anggota badan perempuan.
Karena itu, perempuan yang sedang dalam keadaan ihdad tidak
dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden dan alat-alat
rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain sutera26.
Para fuqaha‟ memberikan rukhsah (keringanan) dengan
membolehkan pemakaian celak karena terpaksa (karena sakit mata,
misalnya). mengenai pemakaian celak ini, sebagian fuqaha‟
mempersyaratkan bahwa hendaknya hal itu bukan sebagai
perhiasan, sedangkan sebagian lainnya tidak mempersyaratkan
demikian. Sementara segolongan lainnya mempersyaratkan
pemakaiannya di malam hari, bukan di siang hari27.
Menurut kitab-kitab fikih konvensional, perempuan yang
ditinggal mati oleh suami atau keluarganya diharuskan melakukan
ihdad dengan cara menjauhi hal-hal berikut:

25
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz Vii ( Damaskus: Dar Al-Fikr, 1996
) Hlm. 662
26
Tihami Dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Press, 2009), Hlm 343

27
Abdul Rahman Ghozali,Op.Cit. Hlm 304

28
a. Memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh
ahli fikih pada umumnya, kecuali menurut sebagian madzhab
Syafi‟i;
b. Memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih;
c. Memakai pakaian yang berbau wangi;
d. Memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolak,
misalnya warna merah atau kuning. Pada umumnya ahli fikih
menyatakan bahwa perempuan tersebut boleh memakai pakaian
yang berwarna hitam. Akan tetapi, menurut madzhab Maliki,
pakaian yang berwarna hitam pun tidak boleh dipakai kecuali
jika di kalangan masyarakatnya warna hitam dipandang untuk
mempercantik diri;
e. Memakai wewangian (parfum) pada tubuhnya, kecuali untuk
keperluan menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya
sehabis haid. Bahkan, madzhab Maliki berpendapat bahwa
perempuan yang sedang melakukan ihdad tidak boleh
melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wewangian,
misalnya menjadi pembuat atau pedagang minyak wangi;
f. Meminyaki rambut, baik minyak yang mengandung wewangian
maupun tidak mengandung wewangian;
g. Memakai celak, karena hal itu akan memperindah mata.
Menurut ahli fikih, jika bercelak untuk keperluan pengobatan
boleh dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari
tetap tidak dibenarkan;
h. Mewarnai kuku dengan inai dan semua yang berkaitan dengan
pewarnaan wajah. Seluruh larangan ini didasarkan kepada hadits
riwayat Bukhari dan Muslim ditambah dengan hadits al-Nasa`i
dan Ahmad ibn Hanbal28.

Di samping itu, larangan lain dalam ihdad adalah larangan untuk


keluar rumah, kecuali untuk keperluan tertentu dengan tujuan untuk

28
Wahbah Al-Zuhailiy, Loc.Cit

29
memenuhi kebutuhan yang mendasar, seperti mencari nafkah.
Larangan keluar rumah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT
pada Surat al-Thalâq (65) ayat 1 tersebut di atas. Hadits-hadits yang
ada hanya menyebutkan hal-hal yang dipandang dapat
mempercantik diri pada masa Rasulullah SAW. Sesungguhnya, hal
ini berkaitan erat dengan penilaian dan adat istiadat („uruf) yang
berkembang pada setiap masyarakat. Ringkasnya, pendapat para
fuqaha‟ berkenaan dengan hal-hal yang harus diajuhi oleh wanita
yang berihdad adalah saling berdekatan, dan pada prinsipnya adalah
semua perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki
kepadanya29. Adapun larangan yang harus dijauhi ketika melakukan
ihdadadalah : Pertama, Berhias, tidak diperbolehkan bagi seorang
istri yang sedang ihdaduntuk berhias diri dengan memakai pakaian
yang umumnya (adat setempat) dianggap sebagai sarana berhias,
atau sekedar memakai cincin yang terbuat dari emas atau perak.
Sebagian ulama mazhab Syafi‟i seperti imam Ibn Hajar
menyampaikan, bahwa seorang istri yang sedang ihdadboleh
memakai sebuah cincin yang terbuat dari emas atau perak. Kedua,
memakai wewangian, tidak diperbolehkan bagi seorang istri yang
sedang ihdad memakai segala bentuk wewangian, baik dipakai di
badan atau dipakaian, karena hal tersebut di anggap sebagai bentuk
taraffuf (enak-enakan) yang sangat tidak layak bagi seorang istri
yang sedangihdad3031.

Syeikh Abdullah Bin Baz berkata : wanita yang sedang


berkabung diperbolehkan untuk mandi dengan air, sabun, kapan saja
ia mau, ia berhak untuk mengajak bicara kerabat-kerabatnya dan
orang lain yang ia kehendaki, ia boleh duduk bersama para
mahramnya, menghidangkan kopi dan makanan untuk mereka dan

29
Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit
30
Abdul Manan, Fiqh Lintas Madzhab:Hanafi,Maliki,Syafi‟i,Hambali, Juz
31
, (Kediri:Pp.Al Falah Ploso Mojo,2011) Hlm 99-100

30
sebagainya. Ia boleh bekerja dirumahnya,dipekarangan, diatap
rumahnya baik siang maupun malam dalam semua pekerjaan rumah
seperti, memasak, menjahit, menyapu, mencuci baju, memberi
makanan binatang ternak dan sebagainya sebagai mana dilakukan
oleh wanita yang tidak berkabung dia boleh berjalan disaat terang
bulan dalam keadaan tidak menutupi wajahnya sebagaimana wanita
lainnya. Dan juga boleh melepas kerudung jika tidak ada orang lain
kecuali hannyamahramnnya32.

Dewasa ini, beberturan dengan hal pekerjaan, cara ihdadwanita


ialah, bagi wanita yang berprofesi diluar rumah seperti dokter,
perawat dan lain-lain, maka mereka boleh keluar rumah untuk
menunaikan kewajibannya. Demikian pula mereka berhadapan
dengan orang banyak, maka boleh baginya memakai parfum
sekedarnya, serta ia boleh memakai aksesoris alakadarnya asal tidak
dimaksudkan berhias dan pamer33.

Menurut hemat penulis adanya perbedaan pendapat ulama


mengenai tata cara melakukanihdad di atas, seperti tentang jenis dan
warna pakaian yang boleh dipakai perempuan berkabung,
disebabkan karena adanya perbedaan pandangan mengenai hal-hal
yang dapat dianggap mempercantik diri dan menjadi daya tarik
perempuan.

C. Nusyuz
1. Pengerian Nusyuz
secara etimologi berasal dari bahasa Arab, nasyaza yang dalam
bahasa Indonesia berarti perempuan mendurhakai suaminya.34 Nusyuz
secara terminology adalah suatu tindakan seorang istri yang dapat

32
Abdullah Bin Baz, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 2, (Jakarta: Daar El Haq 2001).Hlm. 234
33
Abu Yazid,Fiqh Realitas (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),Hlm 330
34
Idrus H. Al-Kaff, Kamus Praktek Al-Qur‟an. (Bandung: Fokus Media, 2007), hal. 20

31
diartikan menentang kehendak suami dengan alas an yang tidak dapat
diterima menurut hukum syara‟. Pengertian nusyuz sebagaimana
dikemukakan oleh para Ulama antara lain sebagai berikut:
a. Wahbah Al-Zuhaili, menerangkan bahwa nusyuz adalah isteri
mengingkari (ma‟siat) terhadap kewajibannya pada suami, juga
perkara yang membuat salah satu dari pasangan suami isteri benci
dan pergi dari rumah tanpa izin suami bukan untuk mencari keadilan
kepada hakim.
b. Sayyid Sabiq, mendefinisikan nusyuz sebagai kedurhakaan isteri
terhadap suaminya, tidak taat kepada atau menolak diajak ketempat
tidurnya atau keluar dari rumahnya tanpa seizing suaminya.
c. Muhammad Abduh, mendefinisikan nusyuz adalah tindakan
perempuan yang tidak memenuhi hak suaminya dan ia berusaha
memosisikan dirinya diatas kepala keluarga.
d. Ibnu Manzur, secaraterminologi nusyuz adalah rasa kebencian
suami terhadap isteri aau sebaliknya. Sedangkan menurut Wahbah
Az-Zuhaili, mengartikan nusyuz aebagai ketidak patuhan atau
kebencian suami kepada isteri terhadap apa yang seharusnya
dipatuhi, begitu pun sebaliknya.35
istri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam
didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan
kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada
suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur
keperluan rumah tangga seharihari dengan sebaik-baiknya36
Dalam kompilasi Hukum Islam aturan mengenai persoalan nusyuz
dipersempit hanya pada nusyuznya isteri saja serta akibat hokum yang
ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalampersoalan nusyuz
KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagui isteri, yaitu
bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang
isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas

35
M. Rasyid Ridha, Perempuan Sebagai Kekasih. (Jakarta: Hikmah, 2004), hal. 80
36
Tim Redaksi Nuansa, Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Nuansa Aulia, 2000), hal 95

32
yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dan isteri dianggap nusyuz jika ia
tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
tersebut.walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidakj adanya
nusyuz isteri tersebut menurut KHI harus didasarkan atas bukti yang
sah.37
2. Kontekstualisasi Konsep Nusyuz
Bagian dari konsep nusyūz yang banyak mengundang polemik dan
perhatian para ulama klasik maupun kontemporer ialah term ‫اضربوهن‬.
Yang menjadi permasalahan ialah ketika term tersebut dimaknai
dengan arti pemukulan yang sarat dengan kesan kekerasan. Ayat ini
dianggap mendiskreditkan perempuan karena term pemukulan yang
dapat dikategorikan dalam tindak kekerasan. Hal ini dikarenakan
pemaknaan ayat tersebut yang sering kali melupakan konteks histori
turunnya ayat tersebut.
Bila dikontekstualisasikan pada masa sekarang, dua langkah
pertama untuk menghadapi isteri yang nusyūz yakni menasehati dan
pisah ranjang merupakan hal yang masih bisa diterima dan masih dapat
dibenarkan. Namun untuk langkah yang ketiga atau terakhir yakni
pemukulan, merupakan langkah yang semestinya membutuhkan
pemaknaan ulang akibat banyaknya tindak kekerasan terhadap
perempuan/isteri yang seringkali dilakukan dengan menggunakan
legitimasi nash yang pemaknaannya tidak kontekstual lagi di zamannya.
Walaupun tindak pemukulan disebutkan dalam ayat nusyūz, namun
pemukulan ini bukan berarti tindak kekerasan, karena tujuan dari
pemukulan bukanlah untuk menyakiti, melainkan memberi pelajaran.
Bahkan al-Quran memberikan porsi seimbang dalam ayat-ayat lain
terdapat perintah untuk mempergauli isteri denganma’ruf dan larangan
menyakiti isteri atau larangan untuk berbuat kemadharatan terhadap
isteri seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah (2): 228-229 dan Q.S
an-Nisa’ (4): 19.

37
Ibid hal 95-96

33
Selain itu, beberapa konsep nusyūz yang telah berkembang yang
ditawarkan oleh beberapa ulama klasik juga tidak sesuai lagi dengan
keadaan sosio kultural masa kini, misalnya keluarnya isteri dari rumah
suaminya yang dianggap sebagai tindakan nusyūz. Tentu hal ini tidak
sesuai lagi dengan kondisi saat ini dimana perempuan tidak hanya
berperan dalam ranah domestik (ibu rumah tangga), namun juga
memiliki peran dalam ruang publik mulai dari kebutuhan pendidikan
bahkan tuntutan profesi yang mengharuskan isteri keluar masuk rumah
secara bebas.38
3. Aktualisasi Konsep Nusyūz Dalam Kerangka Hukum Positif
Indonesia termasuk salah satu Negara yang berkomitmen
menghapus segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, menghapus
segala bentuk diskriminasi serta usaha menjunjung tinggi keadilan dan
kesetaraan gender. Komitmen tersebut dibuktikan dengan disahkannya
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (selanjutnya) disebut UU PKDRT) pada tangga 22
September 2004. UU tersebut mengatur tentang segala perbuatan
yang termasuk dalam kategori tindak kekerasan dalam rumah tangga,
prosedur penanganan perkara, perlindungan terhadap korban KDRT
dan sanksi pidana bagi para pelakunya. Pasal 1 UU tersebut
menyatakan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah :
”Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau menelantarkan rumah tangga, termasuk ancaman
untuk perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Sedangkan yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga dalam
Pasal 2 UU PKDRT adalah meliputi suami, isteri, dan anak; orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan (suami, isteri dan anak)

38
Mughniatul Ilma, Kontekstualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia, (januari: 2019), vol 30 no.1, hal
68

34
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Ada beberapa pendapat ulama klasik terkait konsep nusyūz yang
agaknya bersifat kontradiktif dengan ketentuan dalam UU PKDRT,
seperti menolak ajakan suami untuk menggauli (jima’) yang dianggap
sebagai tindakan nusyūz. Hal ini dapat membuka peluang terjadinya
kekerasan seksual apabila terdapat unsur pemaksaan dalam
melakukannya sebagaimana tercantum dalam UU PKDRT misalkan istri
dalam keadaan kelelahan atau pun sakit. Sehingga dapat dikatakan
bahwa konsep yang semacam itu tidak dapat lagi diterapkan dalam
konteks saat ini karena terdapat unsur diskriminasi dan kesewenang-
wenangan terhadap perempuan bahkan kekerasan yang tidak dapat
dibenarkan oleh hukum positif di Indonesia.39
D. Siqaq
1. Pengertian syiqaq
Syiqaq secara bahasa berarti perselisihan, percecokan, dan
permusuhan. Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara
suami dan isteri. Menurur Kamal Muchtrar, syiqaq adalah perselisihan
antara suami isteri yang didamaikan oleh dua orang hakim40
Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua
belah pihak suami dan istri secara bersama-sama. Dengan demikian,
syiqaq berbeda dengan nusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan
terjadi pada salah satu pihak, yaitu dari pihak suami atau istri.41
Dasar hukum syiqaq disebutkan dalam Q.S. An-Nisa‟ (4) ayat 35.
Berdasarkan firman Allah SWT tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara
suami isteri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang
hakam dari pihak isteri untuj mengadakan penelitian dan penyelidikan
tentang sebab musabab tentang terjadinya syiqaq serta berusaha

39
Ibid hal 68-70
40
Dahlan Abdul Aziz, Enslikopedia Hukum Islam. (Jakarta: PT Intermasa, 1997), hal. 1708
41
Ibid hal. 1709

35
mendamaikannya. Atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan
kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya42
Adapun bentuk-bentuk syiqaq dalam rumah tangga yang sering
menghancurkan bahtera kehidupan rumah tangga adalah sebagai
berikut:
a. Istri tidak memenuhi kewajiban suami
Standar utama mencapai keharmonisan dan cinta kasih serta saying
adalah kepatuhan istri dalamrumah tangganya. Allah
menggambarkan perempuan yang sholeh dengan perempuan yang
patuh terhadap suaminya serta menjadi wali bagi suaminya. Dalam
hal ini seorang istri harus mentaati perintah dari seorang suami,
asalkan perintah tersebut tidak melenceng dari jalan Islam.
b. Tidak memuaskan hasrat seksual suami
melakukan pisah ranjang dan menolak untuk menanggapi
panggilannya Seks adalah kebutuhan pria dan wanita,karena itu para
istri adalah pakaian bagi kamu (suami) dan kamupun pakaian bagi
mereka. Hubungan seks dalam rumah tangga ternyata bukan sebatas
sarana melainkan sebagai satu tujuan. Terpenting yang harus dijaga
oleh kaum perempuan agar kepuasan seks suaminya tetap terjaga.
Dari ungkapan itu istri wajib memuaskan seks suami selagi masih
dalam batas-batas kewajaran dan tidakj menyalahi hukum syariat
Islam. Istri wajib memenuhi tugas seksualnya terhadap suami. Istri
tidak boleh menolak kecuali karena alasan-alasan yang dapat
diterima atau dilarang hukum.
c. Keluar dari rumah tanpa se-izin suami atau tanpa hak syar‟i
Keluarnya isteri dari rumah tanpa seijin suami walaupun untuk
menjenguk orang tua adalah merupakan kedurhakaan istri terhadap
suami, karena hal itu menyebabkan kerusakan dan kehancuran
rumah tangga.
d. Tidak mampu mengatur keuangan

42
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 41

36
Disamping istri wajib memelihara dan mendidik anakanaknya, istri
juga wajib memelihara harta suaminya. Dengan kata lain tidak
boros, berlaku hemat demi masa depan anakanaknya dan belanja
secukupnya tidak hura-hura. Kalau istri boros, itu merupakan
kesalahan istri dalam mengatur keuangan keluarga, karena hal itu
sama halnya dengan seorang istri yang tidak dapat menjaga harta
kekayaan suami yang dipercayakan kepadanya. Bila hal ini
dilakukan terus maka akan mengakibatkan munculnya keretakan
dalam rumah tangga.
e. Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya
Suami atau isteri tidak menjalankan kewajiban dalam tuntutan
agama sepertu shalat, puasa, dan zakat serta kewajiban yang lain.
f. Seorang suami tidak memenuhi kewajiban istri
Dalam rumah tangga tidak hanya istri yang selalu memenuhi
kewajibannya sebagai isteri, suami pun harus memenuhi
kewajibannya sebagai suami terhadap isteri. Karena kedua belah
pihak sudah melakukan ikatan pernikahan. Maka kedua-duanya
harus menjalankan kewajibannya mnasing-masing.
g. Ketidak mampuan suami menafkahi keluarganya
Setiap suami harus memahami bahwa isteri adalah amanah yang
dibebankan di pundak suami dan merupakan keharusan baginya
untuk memberikan nafkah sejauh kemampuannya. Suami harus
memberikan nafkah lahir batin pada isterinya dengan
kemampuannya, suami member makan, minum dan pakaian serta
menggaulinya dengan sebaik mungkuin dan dengan kemampuannya
asalkan tidak menzalimi isterinya.
h. Suami tidak pengertian kepada isteri
Banyak suami yang tidak mengetahui gangguangangguan kodrati
yang dialami isteri, seperti sedang hamil, haid, nifas, dan lain-lain.
Apalagi disaat isteri sedang mengidam sang suami harus pengertian
pada sang istri. Mengidam adalah keinginan sang isteri yang sangat
mendesak terhadap sesuatu disaat dalam keadaan hamil. Boleh jadi

37
mengidam itu diingini oleh semangat ketidaksukaannya terhadap
sesuatu, sehingga ia tidak bias melihat atau menciumnya, kadang
juga membenci sang suami dan rumah. Dalam keadaan ini suami
istri harus mengerti kondisi yang dialami sang isteri.43
E. Fungsi Hakamain
Menurut Bahasa hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang
hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk
menyelesaikan kasus syiqaq.
Jika suatu permasalahan di antara suami isteri belum juga dapat
diselesaikan bahkan semakin memanas, maka hendaknya diutuslah dua
orang juru damai;seorang wakil suami (dari pihak keluarganya) dan seorang
wakil isteri (dari pihakkeluarganya). Jika dari pihak keluarga tidak ada yang
layak untuk menjadi juru damai, maka diperbolehkan mengambil juru
damai dari orang di luar keluarga mereka. Ini adalah pendapat Jumhur
ulama‟. Dan hendaknya kedua juru damai tersebut berupaya semaksimal
mungkin untuk mengadakan perdamaian di antara suami isteri dan
menghilangkan pertikaian di antara keduanya.44 Hal ini sebagaimana
firman Allah swt;
“Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan di antara
keduanya, maka utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan
seorang juru damai Dari keluarga wanita. Jika kedua orang juru damai itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya akan Allah memberi taufiq
kepada suami isteri tersebut. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (QS. An-Nisa [4]:35)
Arti hakam yang tersebut pada ayat 35 surat An-Nisa’ para ahli fikih
berbeda pendapat:
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, sebagaian pengikut Imam
Hambali,dan qoul qadim dari pengikut Imam Syafi’i, “hakam” itu berarti
wakil. Sama halnya dengan wakil, maka hakam tidak boleh menjatuhkan

43
Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Kesalahan-Kesalahan Suami, (Surabaya: Pustaka Progresif,
2004), hal. 76
44
Abu Hafizhah, Ensiklopedi Fikih Islam, hlm.828

38
talak kepada pihakisteri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami,
begitu pula hakam dari pihak tidak boleh mengadakan khuluk sebelum
mendapat persetujuan dari isteri.
Menurut Imam Malik, sebagain lain pengikuta imam hambali dan
Qauljadid pengikut imam Syafi’i. hakam itu sebagai hakim, sebagai hakim
maka Hakam boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat
keduanya tentang hubungan suami-isteri yang sedang berselisih itu, apakah
ia akan memberi keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar
suami isteri itu berdamai kembali.
Peranan hakam sebagai mediator (pemberi saran) dalam
penyelesaian sengketa perceraian atas dasar syiqaq, sangatlah bermanfaat
dan berarti dalam memberi masukan pada hakim guna ikut menyelesaiakan
perselisihan yangterjadi. Kewenangan hakam selaku mediator dalam
penyelesaian sengketa perceraian
hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan pertimbangan darihasil
yang telah dilakukan, kepada hakim. Dan Undang-undang
tidakmemberikan kewenangan kepadanya untuk menjatuhkan putusan.
Menurut firman Allah diatas, jika terjadi kasus antara suami istri,
maka diutusseorang hakam dari pihak suami da seorang hakam dari pihak
istri yang berfungsiuntuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang
sebab-musabab terjadisyiqaq dimaksud, serta berusaha mendamaikannya,
atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah
yang terbaik.
Terhadap kasus syiqaq ini, hakam bertugas menyelidiki dan mencari
hakekat permasalahannya, sebab sebab timbulnya persengketaan, dan
Berusaha sebesar mungkin untuk mendamaikan kembali. Agar suami istri
kembali hidup bersamad engan sebaik-baiknya, kemudian jika dalam
perdamian itu tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak
mengambil inisiatif untuk menceraikannya,kemudian atas dasar prakarsa
hakam ini maka hakim dengan keputusannyamenetapkan perceraian

39
tersebut. Hakamain (kedua hakam) itu boleh memutuskan perpisahan antara
suami istri, tanpa suami menjatuhkan talak.45

45
Dosri Yoki, “Nusyuz, Shiqaq Dan Fungsi Hakamain Dalam Penyelesaiannya”, diakses dari
http://poetrachania13.blogspot.co.id/2010/12/nusyuz-shiqaq-dan-fungsi-hakamain-
dalam.html pada tanggal 16 Desember 2017

40
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Talak merupakan perceraian atau putusanya ikatan pernikahan
suami-isteri yang terjadi sesaat setelah suami mengucapkan lafaz
talak, atau lafaz sejenisnya.
2. Iddah mengandung arti masa menunggu, artinya masa
menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah
terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun
cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya
atau untuk berfikir bagi suami.
3. Ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal
mati suaminya. Sedangkan ihdad secara etimologi adalah
menahan, mencegah atau menjauhi. Adapun ihdad secara
terminologi adalah antisipasi seorang perempuan dari berhias.
4. Nusyuz secara terminology adalah suatu tindakan seorang istri
yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan alasan
yang tidak dapat diterima menurut hukum syara‟.
5. Syiqaq secara bahasa berarti perselisihan, percecokan, dan
permusuhan. Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing
antara suami dan isteri.
6. hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari
pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk
menyelesaikan kasus syiqaq.
B. Saran
Penulis menyadari banyak kesalahan dalam menulis makalah ini.
Penulis mengharapkan para pembaca makalah ini dapat
berkontribusi memberikan kritik, saran dan pendapatnya agar
pembuatan makalah kedepannya bisa lebih baik.

41
DAFTAR PUSTAKA

Jamhuri dan Zuhra. 2018. Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim AlJauziyyah
(Analisis Waktu Dan Jumlah Penjatuhan Talak). Media Syari’ah. (20); 1.
96-97.
Nasution Rusli Halil. 2018. Talak Menurut Hukum Islam. Al-Hadi. (3); 2. 707-709.
Nayasari Dhevi. 2014. Pelaksanaan Ruju’ Pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
Lamongan. Jurnal Independent. (2); 1. 78-79.
Kusmidi Henderi. 2017. Reaktualisasi Konsep Iddah Dalam Pernikahan. MIZANI:
Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan. (4); 1. 34.
Azzulfa Fatihatul Anhar dan A. fnan Riani Cahya. 2021. Masa Iddah Suami Istri
Pasca Perceraian. Jurnal Al-Mizan. (17); 1. 67-68.
Agustina Resti. 2021. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Iddah Istri yang Memiliki
Aanak Bayi Tabung Dari Mantan Suami Impoten. 42-45.
Idrus, Al-Kaff. 2007. Kamus Praktek Al-Qur’an. Bandung: Fokus Media
Rasyid M.Ridha. 2004. Perempuan Sebagai Kekasih. Jakarta: Hikmah
Aulia Nuansa. 2000. Kompilasi Hukum Islam.
Ilma Mughniatul. 2019. Kontekstualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia. vol 30 no.1
Abdul Dahlan Aziz. 1997. Enslikopedia Hukum Islam. Jakarta: PT Intermasa.
Hakim Rahmad. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Ibrahim Muhammad Al-Hamd. 2004. Kesalahan-Kesalahan Suami. Surabaya:
Pustaka Progresif.
Hafizhah, Abu Ensiklopedi Fikih Islam, (Ponorogo: Pustaka Al-Bayyinah, 2013)
Dosri, Yoki.“Nusyuz, Shiqaq Dan Fungsi Hakamain Dalam Penyelesaiannya”,
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), Hlm 302
Tihami Dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), Hlm 342
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah At-Thalaq Ayat1
Ibnu Qudamah, Al-Muqni‟ Fiy Fiqh Imam Al-Sunnah Ahamd Ibn Hanbal
Al-Syaibaniy Juz Iii (Riyadl: Maktabah Al-Riyadl Al-Haditsah, 1980) Hlm. 289
291
Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit

42
Abd Al-Barr Al-Namiriy, Al-Kafiy Fiy Fiqh Ahl Al-Madinah Al-Malikiy ( Beirut:
Dar Al-Kutub, 1992) Hlm. 292.
Taqiyuddin Al-Husainiy, Kifayah Al-Akhyar Fiy Hall Ghayah AlIkhtishar, (Beirut:
Dar Al-Fikr, Tanpa Tahun,) Hlm. 134
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, ( Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, 2006) Hlm
372
‘Athif Lamadhoh, Fikih Sunnah Untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia Sentra
Musliam, 2007), Hlm 258
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz Vii ( Damaskus: Dar
Al-Fikr, 1996 ) Hlm. 662
Tihami Dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), Hlm 343
Abdul Manan, Fiqh Lintas Madzhab:Hanafi,Maliki,Syafi‟i,Hambali, Juz 1,
(Kediri:Pp.Al Falah Ploso Mojo,2011) Hlm 99-100
Abdullah Bin Baz, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 2, (Jakarta: Daar El Ha

2001).Hlm. 234

43

Anda mungkin juga menyukai