Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQIH

“ PERCERAIAN ”

DI BUAT

KELOPOK 6

MIA ISLAMIA

SAFIRA

ULFA

REHAN SAPUTRA

LIKMAN

RAFIL A.PAERA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang
"PERCERAIAN".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya,
tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik


dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Perceraian merupakan peristiwa yang sangat menakutkan bagi setiap keluarga
(Suami, Istri, dan Anak-anak) penyebab perceraian bisa bermacam-macam, yaitu
antara lain gagal berkomunikasi sehingga menimbulkan pertengkaran, ketidaksetiaan,
kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi, pernikahan usia dini, perubahan
budaya, dan lain sebagainya.
Setelah perceraian ada penyesuain-penyesuain yang harus dilakukan oleh
kedua belah pihak ( mantan suami dan mantan istri ) terhadap kehidupan mereka yang
baru. Terutama masalah finansial , apalagi perkawinan dari mereka telah dilahirkan
seorang anak.
bdullah Bin „Amru bin Al-„Ash RA Berkata : Rasulullah SAW bersabda :
„‟sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi Allah ditempatkan di atas
mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hukum terhadap keluarga dan apa
saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka
Jika dalam keluarga bapak ibunya baik,rukun dan menyayangi maka anak
akan mendapatkan unsur positif dari kepribadiannya dan apabila orang tuanya
beragama dan taat dalam menjalankan agama dalam kehidupan sehari-sehari. maka
anak akan mendapatkan pengalaman keagamaan yang menjadi unsur dalam
kepribadiaanya.
Tujuan mulia dari sebuah perkawinan adalah untuk meningkatkan diri dan
ketakwaan kepada Allah SWT. Menikah berarti kita mampu mengawal nafsu
daripada langkah yang salah. Dan setiap persetubuhan suami istri untuk menghindar
dari kemaksiatan adalah mendapat pahala dari Allah SWT. Dan sesungguhnya
perintah itu ikatan yang mulia dan penuh berkah. Allah SWT mensyariaatkan untuk
kemaslahatan umat dan kemanfaatan bagi manusia, agar tercapai maksud-maksud
yang baik dan tujuan-tujuan yang baik.

1.2. Rumusan masalah


1. Apa yang di maksud dengan perceraian?
2. Sebutkan dasar-dasar hukum perceraian?
3. Jelaskan rukun dan syarat talak?
4. Sebutkan macam-macam talak?

1
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang di maksud dengan perceraian
2. Tujuannya lebih mengetahui dasar-dasar hukum perceraian
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat talak
4. Tujuannya mengenal macam-macam talak

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian perceraian

Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”.
Menurut istilah (syara‟) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan
pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafaẓ yang sudah dipergunakan pada masa
jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara‟.

jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara‟. 1 Dalam istilah Fiqh


perceraian dikenal dengan istilah “Talaq” atau “Furqah”. Talaq berarti membuka
ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang
merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talaq dan furqah mempunyai
pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk
perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan
dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

Menurut A. Fuad Sa‟id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya


perkawinan antara suami-istri karena tidak ada kerukunan dalam rumah tangga atau
sebab lain, seperti mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian
dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.

2.2. Dasar-dasar hukum perceraian

Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab,
antara lain: karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya
perceraian, karena adanya putusan Pengadilan.

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian


tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian
merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri tersebut. Setiap orang
menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya tetap utuh sepanjang masa
kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pula perkawinan yang dibina dengan susah payah
itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu perkawinan yang dilaksanakan
itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan
membinanya secara baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan
memilih untuk membubarkan perkawinan.

3
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung
jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka
Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya
kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi
dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun
perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci
perceraian tersebut.

2.3. Rukun dan syrat talak

Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terujudnya
talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama mengenai penetapan rukun talak, sebagaimana dikutip
oleh Husni Syams. Menurut Ulama Hanafiyah, rukun talak itu adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Al-Kasani sebagai berikut:

"Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna talak, baik
secara etimologi, yaitu altakhliyyah (meninggalkan atau membiarkan), al-irsal
(mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori lafal-lafal lainnya
pada lafal kinayah, atau secara syara' yang menghilangkan halalnya ("bersenang-
senag" dengan) isteri dalam kedua bentuknya (raj'iy dan ba'in), atau apapun yang
menempati posisi lafal"

Menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat, yaitu:

1. Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang


menjatuhkan talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya)
ataupun wali, jika ia masih kecil.
2. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu
sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori lafal sharih atau
lafal kinayah yang jelas.
3. Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang dijatuhkan itu mesti
terhadap isteri yang telah dimiliki melalui suatu pernikahan yang sah.
4. Adanya lafal, baik bersifat şarih (gamblang/ terang) ataupun termasuk
kategori lafal kinayah.

4
Adapun menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah, rukun talak itu adal lima, yaitu:

1. Orang yang menjatuhkan talak. Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah
seorang mukallaf. Oleh karena itu, talak anak kecil yang belum baligh dan talak
orang gila tidak mempunyai kekuatan hukum;
2. Lafal talak. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi'iyyah membaginya
kepada tiga macam, yaitu:
a. Lafal yang diucapkan secara şarih dan kinayah. Diantara yang termasuk
lafal şarih adalah al-sarrah, alfiraq, al-țalaq dan setiap kata yang terambil
dari lafal al-țalaq tersebut. Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal
yang memiliki beberapa pengertian, seperti seorang suami berkata kepada
isterinya: iżhabi (pergilah kamu) atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-
lafal lain seperti itu, sementara suami itu meniatkan menjatuhkan talaknya.
Jadi menurut mereka, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami itu baru
terakad apabila diucapkan dengan lafal-lafal yang şarih ataupun lafal
kinayah dengan meniatkannya untuk menjatuhkan talak;
b. Apabila lafal talak itu tidak diucapkan, baik secara şarih maupun kinayah,
boleh saja melalui isyarat yang dipahami bermakna talak, namun menurut
kesepakatan ulama dikalangan Syafi'iyyah, isyarat tersebut baru
dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan oleh
orang bisu. Menurut mereka isyarat tersebut juga terbagi kepada şarih dan
kinayah. Isyarat şarih adalah isyarat yang dapat dipahami oleh orang
banyak, sementara isyarat yang termasuk kategori kinayah adalah isyarat
yang hanya dipahami oleh sebagian orang.
c. Talak itu juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami
tersebut menyerahkan (al-fawiḑ) kepada isterinya untuk menjatuhkan
talaknya. Misalanya seorang suami berkata kepada isterinya: Țalliqi
nafsak (talaklah/ aku talak dirimu), lalu apabila isterinya itu menjawab:
Țallaqtu (aku talakkan), maka talak isterinya itu telah jatuh. Sebab dalam
kasus seperti itu, isteri berkedudukan sebagai tamlik (wakil) dalam
menjatuhkan talak.

3. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama
Syafi'iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang keraguan cacatnya
kesengajaan, yaitu:
a. Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang isterinya bernama Țariq, lalu
ia memanggilnya dengan ucapan: Ya Țaliq (wahai yang ditalak).
Kemudian suami tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset (salah
ucapan), maka talaknya tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah

5
ucapannya sehingga kata yang keluar itu adalah kata talak atau lafal-lafal
yang secara şarih bermakna talak, maka talaknya dianggap tidak sah;
b. Ketidak tahuan. Apabila seorang suami mengatakan: "Hai wanita yang
ditalak" kepada seorang wanita yang disangkanya isteri orang lain namun
ternyata wanita itu adalah isterinya sendiri, maka menurut pendapat
Jumhur ulama Syafi'iyyah talaknya sah. Namun apabila orang 'ajam (non
arab) mengucapkan lafal talak, sementara ia tidak memahami maksudnya
maka talak itu tidak sah;
c. Bersenda gurau. Talak yang dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau,
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana ketentuan
yang berlaku pada seluruh bentuk akad lainnya;
d. Adanya unsur paksaan. Adanya unsur keterpaksaan dapat menghalangi ke-
absahan seluruh bentuk taşarruf kecuali mengislamkan kafir harbi dan
murtad. Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami dalam
keadaan terpaksa tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun
menurut pendapat terkuat, unsur paksaan yang menjadikan talak itu tidak
diakui keabsahannya hanya unsur paksaan yang termasuk kategori
keterpaksaan absolute seperti ancaman bunuh dan lenyapnya harta, bukan
keterpaksaan relative seperti dikurung atau tidak diberi makanan
e. Hilang akal pikiran disebabkan gila dan minum obat. Gilanya seseorang
dapat menghalangi keabsahan dari seluruh bentuk taşaruf

4. Wanita yang dihalalkan (isteri). Apabila seorang suami menyandarkan talak itu
kepada bagian dari tubuh isterinya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota
tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya sah. Namun
apabila suami tersebut menyandarkan kepada faḑalat tubuhnya seperti air liur, air
susu atau air mani, maka talaknya tidak sah;
5. Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang suami berkata kepada seorang wanita
yang bukan isterinya: Anti țalliq (kamu wanita yang ditalak), maka talaknya tidak
sah, namun apabila suami tersebut berkata kepada isterinya atau isterinya itu
masih berada dalam masa 'iddah talak raj'i, maka talaknya baru dianggap sah.
Bahkan menurut ulama Syafi'iyyah, apabila seorang suami berkata kepada wanita
yang bukan isterinya: In nakahtuki fa anti țalliq (jika aku menikahimu maka kamu
adalah wanita yang ditalak), maka nikahnya juga tidak sah. Jadi menurut mereka,
ucapan yang dikaitkan dengan syarat-pun juga tidak sah, sebab ketika ia
mengucapkannya, wanita tersebut tidak berada dalam kekuasaannya. 12 Karena
itu, dapat dipahami bahwa dalam menetapkan rukun talak terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama.

6
Menurut ulama Malikiyyah rukun talak ada empat, yaitu:

1. orang yang berkompeten menjatuhkan talak;


2. ada kesengajaan menjatuhkan talak;
3. wanita yang dihalalkan; dan
4. Adanya lafal, baik şarih maupun kinayah.

Menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah rukun talak tersebut ada lima, yaitu:

1. orang yang menjatuhkan talak;


2. adanya lafal talak;
3. adanya kesengajaan menjatuhkan talak;
4. adanya wanita yang dihalalkan; dan
5. menguasai isteri tersebut.

Apabila diperhatikan secara seksama, sebenarnya rukun talak yang dikemukakan


oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah itu relatif sama substansinya dengan formulasi
rukun talak yang dikemukakan oleh ulama Malikiyyah, dimana formulasi menguasai
isteri yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah telah tercakup
kedalam rumusan adanya wanita yang dihalalkan yang dikemukakan ulama
Malikiyyah. Oleh karena itulah, dalam sebagian literatur persoalan ini
diklasifikasikan kepada pendapat Hanafiyyah dan non Hanafiyyah.

2.4. Macam-macam talak


talak terbagi kepada beberapa macam. Bila talak itu mutlak oleh kehendak
suami maka terbagi 2 (dua) macam, yaitu talak raj‟i dan talak ba‟in. Bila talak itu
datang dari kehendak seorang isteri disebut khuluk. Mengenai talak yang dijatuhkan
oleh suami terhadap keadaan isteri ada 2 (dua) macam pula, yaitu talak sunni dan
talak bid‟i, begitupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan pula bahwa
talak selain dari yang dua macam (talak raj‟i dan talak ba‟in) adalah talak sunni dan
talak bid‟i, yang terdapat dari pasal 118 sampai dengan pasal 122 KHI.
1. Talak Raj‟i Pasal 118 dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa:
‚Talak raj‟i adalah talak kesatu atau kedua dalam talak ini suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah.‛ As-Siba‟i mengatakan bahwa talak raj‟i adalah
talak yang untuk kembalinya mantan isteri kepada mantan suaminya tidak
memerlukan pembaharuan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak
memerlukan persaksian.
2. Talak Ba‟in Talak ba‟in adalah talak yang tidak memberi hak merujuk bagi
mantan suami terhadap mantan isterinya. Untuk mengembalikan mantan isteri ke
dalam ikatan perkawinan dengan mantan suami harus melalui akad nikah baru,

7
lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Talak ba‟in terdapat 2 (dua) macam,
yaitu:
a) Talak Ba‟in Shughra Talak ba‟in shughra adalah talak ba‟in yang menghilangkan
pemilikan mantan suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan
mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan isteri, baik dalam iddahnya
maupun sesudah berakhinya masa iddah.
b) Talak Ba‟in Kubra Talak ba‟in kubra adalah talak yang menghilangkan pemilikan
mantan suami terhadap mantan isterinya serta menghilangkan kehalalan mantan
suami untuk berkawin kembali dengan mantan isterinya. Kecuali setelah mantan
isteri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami keduanya itu
serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan masa iddahnya.
c) Talak Sunni Talak sunni adalah talak yang diperbolehkan untuk dijatuhkan
kepada isteri, yaitu talak dijatuhkan kepada isteri yang dalam keadaan suci serta
tidak dicampuri. Begitupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan
pengertian talak sunni yang terdapat dalam pasal 121 yang berbunyi: ‚Talak sunni
adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang
sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
d) Talak Bid‟i Talak bid‟i adalah larangan menjatuhkan talak kepada isteri yang
dalam keadaan haid atau suci tetapi setelah digauli dan nifasBila diperinci, terdiri
dari beberapa macam.
1. Apabila seorang suami menceraikan isterinya ketika sedang dalam
keadaan haid atau nifas
2. Jika seorang suami menceraikan isterinya ketika dalam keadaan suci,
namun ia telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut.
3. Seorang suami menjatuhkan talak tiga terhadap isterinya dengan satu
kalimat atau tiga kalimat dalam satu waktu. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pula mendefinisikan talak bid‟i sebagaiman yang
tercantum pada pasal 122: ‚Talak bid‟i adalah talak yang dilarang,
yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau
isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut.
e) Khuluk Talak yang terjadi akibat khuluk, yaitu suatu ikatan perkawinan yang
putus karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya
dari ikatan perkawinan. Selain itu, khuluk adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang „iwad kepada dan atas
persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khuluk adalah perceraian yang terjadi
dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini
berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi: ‚Perceraian dengan jalan khuluk
mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.

8
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
1. Banyak permasalahan yang timbul akibat talak diluar pengadilan yang tidak di
akui oleh Undang-Undang Perkawinan, sedangkan menurut hukum Islam yang
diyakini oleh ulama dan masyarakat adalah sah. Permasalahan tersebut
diantaranya mengenai kapan jatuhnya talak dan berakhirnya masa iddah.,
mengenai talak tiga, mengenai keabsahan status anak yang dilahirkan setelah
jatuhnya talak dan mengenai keabsahan pernikahan kedua dan status anak yang
dilahirkannya yang dapat merusak agama dan keturunan ummat Islam di
Indonesia. Jika Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut agama tersebut,
maka Perceraian seharusnya juga adalah sah jika dilakukan menurut hukum
agama tersebut.
2. Faktor Faktor yang menyebabkan terjadinya talak diluar pengadilan meliputi
faktor ekonomi (kemiskinan), faktor yuridis (dualisme hukum perceraian dan
masih banyaknya nikah siri, faktor sosiologis (kepatuhan masyarakat terhadap
ulama) dan Faktor adat istiadat 3. Mengenai pembagian harta perkawinan akibat
cerai diluar pengadilan adalah sama dengan perceraian di depan pengadilan
dimana umumnya masyarakat yang menyelesaikan permasalahan mengenai harta
perkawinan secara kekeluargaan dengan mengikut sertakan ulama setempat dan
tokoh adat. Tetapi mulai terbukanya harta perkawinan untuk dibagi adalah sejak
dijatuhkan talak oleh suami.

3.2.Saran
1. Disarankan Hakim Pengadilan Agama memutuskan mengesahkan talak diluar
pengadilan apabila secara hukum Islam telah sah dengan mengakomodir Fatwa
Ijtima‟ Majelis Ulama Indonesia IV tahun 2012.
2. Disarankan agar para pakar hukum Islam atau MUI mengajukan perubahan
Kompilasi Hukum Islam, khusus yang mengatur tentang talak karena telah ada
Ijtima‟ Majelis Ulama Indonesia atau mengajukan Yudisial Review terhadap
Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan

9
DAFTAR PUSTAKA

Wahbah al-Zuhaili. (2002). Fiqh dan Perundangan Islam Jilid V. 851.

Abror, K. (2017). Hukum Perkawinan dan Perceraian Akibat Perkawinan.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan jalan, Perumahan, Permukiman, dan P. I. W. (2019).


Pengertian Dan Dasar Hukum. Modul Pengendalian Pelaksanaan Proyek,
October, 6–7. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.15543.21924

M, Dr. Ds. H. Hauzan SH. M.M., H. . (2016). Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama Dan Mahkamah Syariah Di Indonesia. Kajian Teoritis Konsep
Perceraian Dalam Rumah Tangga, 23–27.

10

Anda mungkin juga menyukai