“ PERCERAIAN ”
DI BUAT
KELOPOK 6
MIA ISLAMIA
SAFIRA
ULFA
REHAN SAPUTRA
LIKMAN
RAFIL A.PAERA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang
"PERCERAIAN".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya,
tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang di maksud dengan perceraian
2. Tujuannya lebih mengetahui dasar-dasar hukum perceraian
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat talak
4. Tujuannya mengenal macam-macam talak
2
BAB II
PEMBAHASAN
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”.
Menurut istilah (syara‟) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan
pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafaẓ yang sudah dipergunakan pada masa
jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara‟.
Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab,
antara lain: karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya
perceraian, karena adanya putusan Pengadilan.
3
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung
jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka
Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya
kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi
dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun
perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci
perceraian tersebut.
Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terujudnya
talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama mengenai penetapan rukun talak, sebagaimana dikutip
oleh Husni Syams. Menurut Ulama Hanafiyah, rukun talak itu adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Al-Kasani sebagai berikut:
"Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna talak, baik
secara etimologi, yaitu altakhliyyah (meninggalkan atau membiarkan), al-irsal
(mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori lafal-lafal lainnya
pada lafal kinayah, atau secara syara' yang menghilangkan halalnya ("bersenang-
senag" dengan) isteri dalam kedua bentuknya (raj'iy dan ba'in), atau apapun yang
menempati posisi lafal"
4
Adapun menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah, rukun talak itu adal lima, yaitu:
1. Orang yang menjatuhkan talak. Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah
seorang mukallaf. Oleh karena itu, talak anak kecil yang belum baligh dan talak
orang gila tidak mempunyai kekuatan hukum;
2. Lafal talak. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi'iyyah membaginya
kepada tiga macam, yaitu:
a. Lafal yang diucapkan secara şarih dan kinayah. Diantara yang termasuk
lafal şarih adalah al-sarrah, alfiraq, al-țalaq dan setiap kata yang terambil
dari lafal al-țalaq tersebut. Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal
yang memiliki beberapa pengertian, seperti seorang suami berkata kepada
isterinya: iżhabi (pergilah kamu) atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-
lafal lain seperti itu, sementara suami itu meniatkan menjatuhkan talaknya.
Jadi menurut mereka, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami itu baru
terakad apabila diucapkan dengan lafal-lafal yang şarih ataupun lafal
kinayah dengan meniatkannya untuk menjatuhkan talak;
b. Apabila lafal talak itu tidak diucapkan, baik secara şarih maupun kinayah,
boleh saja melalui isyarat yang dipahami bermakna talak, namun menurut
kesepakatan ulama dikalangan Syafi'iyyah, isyarat tersebut baru
dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan oleh
orang bisu. Menurut mereka isyarat tersebut juga terbagi kepada şarih dan
kinayah. Isyarat şarih adalah isyarat yang dapat dipahami oleh orang
banyak, sementara isyarat yang termasuk kategori kinayah adalah isyarat
yang hanya dipahami oleh sebagian orang.
c. Talak itu juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami
tersebut menyerahkan (al-fawiḑ) kepada isterinya untuk menjatuhkan
talaknya. Misalanya seorang suami berkata kepada isterinya: Țalliqi
nafsak (talaklah/ aku talak dirimu), lalu apabila isterinya itu menjawab:
Țallaqtu (aku talakkan), maka talak isterinya itu telah jatuh. Sebab dalam
kasus seperti itu, isteri berkedudukan sebagai tamlik (wakil) dalam
menjatuhkan talak.
3. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama
Syafi'iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang keraguan cacatnya
kesengajaan, yaitu:
a. Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang isterinya bernama Țariq, lalu
ia memanggilnya dengan ucapan: Ya Țaliq (wahai yang ditalak).
Kemudian suami tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset (salah
ucapan), maka talaknya tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah
5
ucapannya sehingga kata yang keluar itu adalah kata talak atau lafal-lafal
yang secara şarih bermakna talak, maka talaknya dianggap tidak sah;
b. Ketidak tahuan. Apabila seorang suami mengatakan: "Hai wanita yang
ditalak" kepada seorang wanita yang disangkanya isteri orang lain namun
ternyata wanita itu adalah isterinya sendiri, maka menurut pendapat
Jumhur ulama Syafi'iyyah talaknya sah. Namun apabila orang 'ajam (non
arab) mengucapkan lafal talak, sementara ia tidak memahami maksudnya
maka talak itu tidak sah;
c. Bersenda gurau. Talak yang dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau,
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana ketentuan
yang berlaku pada seluruh bentuk akad lainnya;
d. Adanya unsur paksaan. Adanya unsur keterpaksaan dapat menghalangi ke-
absahan seluruh bentuk taşarruf kecuali mengislamkan kafir harbi dan
murtad. Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami dalam
keadaan terpaksa tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun
menurut pendapat terkuat, unsur paksaan yang menjadikan talak itu tidak
diakui keabsahannya hanya unsur paksaan yang termasuk kategori
keterpaksaan absolute seperti ancaman bunuh dan lenyapnya harta, bukan
keterpaksaan relative seperti dikurung atau tidak diberi makanan
e. Hilang akal pikiran disebabkan gila dan minum obat. Gilanya seseorang
dapat menghalangi keabsahan dari seluruh bentuk taşaruf
4. Wanita yang dihalalkan (isteri). Apabila seorang suami menyandarkan talak itu
kepada bagian dari tubuh isterinya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota
tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya sah. Namun
apabila suami tersebut menyandarkan kepada faḑalat tubuhnya seperti air liur, air
susu atau air mani, maka talaknya tidak sah;
5. Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang suami berkata kepada seorang wanita
yang bukan isterinya: Anti țalliq (kamu wanita yang ditalak), maka talaknya tidak
sah, namun apabila suami tersebut berkata kepada isterinya atau isterinya itu
masih berada dalam masa 'iddah talak raj'i, maka talaknya baru dianggap sah.
Bahkan menurut ulama Syafi'iyyah, apabila seorang suami berkata kepada wanita
yang bukan isterinya: In nakahtuki fa anti țalliq (jika aku menikahimu maka kamu
adalah wanita yang ditalak), maka nikahnya juga tidak sah. Jadi menurut mereka,
ucapan yang dikaitkan dengan syarat-pun juga tidak sah, sebab ketika ia
mengucapkannya, wanita tersebut tidak berada dalam kekuasaannya. 12 Karena
itu, dapat dipahami bahwa dalam menetapkan rukun talak terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama.
6
Menurut ulama Malikiyyah rukun talak ada empat, yaitu:
Menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah rukun talak tersebut ada lima, yaitu:
7
lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Talak ba‟in terdapat 2 (dua) macam,
yaitu:
a) Talak Ba‟in Shughra Talak ba‟in shughra adalah talak ba‟in yang menghilangkan
pemilikan mantan suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan
mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan isteri, baik dalam iddahnya
maupun sesudah berakhinya masa iddah.
b) Talak Ba‟in Kubra Talak ba‟in kubra adalah talak yang menghilangkan pemilikan
mantan suami terhadap mantan isterinya serta menghilangkan kehalalan mantan
suami untuk berkawin kembali dengan mantan isterinya. Kecuali setelah mantan
isteri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami keduanya itu
serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan masa iddahnya.
c) Talak Sunni Talak sunni adalah talak yang diperbolehkan untuk dijatuhkan
kepada isteri, yaitu talak dijatuhkan kepada isteri yang dalam keadaan suci serta
tidak dicampuri. Begitupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan
pengertian talak sunni yang terdapat dalam pasal 121 yang berbunyi: ‚Talak sunni
adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang
sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
d) Talak Bid‟i Talak bid‟i adalah larangan menjatuhkan talak kepada isteri yang
dalam keadaan haid atau suci tetapi setelah digauli dan nifasBila diperinci, terdiri
dari beberapa macam.
1. Apabila seorang suami menceraikan isterinya ketika sedang dalam
keadaan haid atau nifas
2. Jika seorang suami menceraikan isterinya ketika dalam keadaan suci,
namun ia telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut.
3. Seorang suami menjatuhkan talak tiga terhadap isterinya dengan satu
kalimat atau tiga kalimat dalam satu waktu. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pula mendefinisikan talak bid‟i sebagaiman yang
tercantum pada pasal 122: ‚Talak bid‟i adalah talak yang dilarang,
yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau
isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut.
e) Khuluk Talak yang terjadi akibat khuluk, yaitu suatu ikatan perkawinan yang
putus karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya
dari ikatan perkawinan. Selain itu, khuluk adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang „iwad kepada dan atas
persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khuluk adalah perceraian yang terjadi
dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini
berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi: ‚Perceraian dengan jalan khuluk
mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.
8
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
1. Banyak permasalahan yang timbul akibat talak diluar pengadilan yang tidak di
akui oleh Undang-Undang Perkawinan, sedangkan menurut hukum Islam yang
diyakini oleh ulama dan masyarakat adalah sah. Permasalahan tersebut
diantaranya mengenai kapan jatuhnya talak dan berakhirnya masa iddah.,
mengenai talak tiga, mengenai keabsahan status anak yang dilahirkan setelah
jatuhnya talak dan mengenai keabsahan pernikahan kedua dan status anak yang
dilahirkannya yang dapat merusak agama dan keturunan ummat Islam di
Indonesia. Jika Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut agama tersebut,
maka Perceraian seharusnya juga adalah sah jika dilakukan menurut hukum
agama tersebut.
2. Faktor Faktor yang menyebabkan terjadinya talak diluar pengadilan meliputi
faktor ekonomi (kemiskinan), faktor yuridis (dualisme hukum perceraian dan
masih banyaknya nikah siri, faktor sosiologis (kepatuhan masyarakat terhadap
ulama) dan Faktor adat istiadat 3. Mengenai pembagian harta perkawinan akibat
cerai diluar pengadilan adalah sama dengan perceraian di depan pengadilan
dimana umumnya masyarakat yang menyelesaikan permasalahan mengenai harta
perkawinan secara kekeluargaan dengan mengikut sertakan ulama setempat dan
tokoh adat. Tetapi mulai terbukanya harta perkawinan untuk dibagi adalah sejak
dijatuhkan talak oleh suami.
3.2.Saran
1. Disarankan Hakim Pengadilan Agama memutuskan mengesahkan talak diluar
pengadilan apabila secara hukum Islam telah sah dengan mengakomodir Fatwa
Ijtima‟ Majelis Ulama Indonesia IV tahun 2012.
2. Disarankan agar para pakar hukum Islam atau MUI mengajukan perubahan
Kompilasi Hukum Islam, khusus yang mengatur tentang talak karena telah ada
Ijtima‟ Majelis Ulama Indonesia atau mengajukan Yudisial Review terhadap
Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan
9
DAFTAR PUSTAKA
M, Dr. Ds. H. Hauzan SH. M.M., H. . (2016). Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama Dan Mahkamah Syariah Di Indonesia. Kajian Teoritis Konsep
Perceraian Dalam Rumah Tangga, 23–27.
10