Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONSEP TALAK DALAM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dalam mata kuliah Fiqih
Munaqahat

Disusun oleh kelompok 8:


Lafitri Fadilah 1321043
Rhaju Framdana 1321070
Fadila Azhari 1321079

Dosen Pengampu:

Dra. Hj. Nuraisyah, MA

PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SJECH M.DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya dan tak lupa pula pemakalah ucapkan salam dan shalawat kepada
Nabi junjungan umat islam yakni Nabi Muhammad SAW, sehingga pemakalah
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Konsep Talak Dalam
Islam”.
Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Fiqih Munaqahat pada program
studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah UIN Sjech M.Djamil Djambek
Bukittinggi. Selanjutnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.
Hj. Nuraisyah, MA., selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Munaqahat serta
kepada pihak yang membantu dan membimbing penulis dalam penyusunan
makalah ini.
Pemakalah memohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanyak milik Yang Maha Kuasa
yaitu Allah Ta’ala, dan kekurangan pasti milik pemakalah sebagai manusia biasa.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Bukittinggi, 6 November 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 1

1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

2.1 Pengertian Talak ......................................................................................... 3

2.2 Sifat–Sifat Talak .................................................................................... 4

2.3 Syarat Jatuhnya Talak ............................................................................ 4

2.4 Klasifikasi Talak .................................................................................... 6

2.5 Saksi dan Wakalah dalam Talak ............................................................. 9

2.6 Pengaruh Perubahan Agama terhadap Talak ........................................ 11

2.7 Kedudukan Hukum Talak .................................................................... 14

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................. 17

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 18

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat sakral dalam agama kita,
karena dengan adanya pernikahan ini hasrat seseorang akan tersalurkan dalam
bingkai ibadah. Serta akan mendapatkan keturunan yang dilegitimasi oleh agama.
Namun jangan dikira bahwa hidup dalam sebuah ikatan perkawinan penuh dengan
hiasan canda dan tawa bagaikan hidup dalam surga. Tentunya banyak kendala-
kendala yang mereka hadapi baik itu disebabkan oleh faktor ekonomi, orang tua
maupun lingkungan.

Memang semua jenis kendala, baik yang rumit hingga sangat rumit yang ada
di dalam keluarga harus selalu dicoba untuk sama-sama kita selesaikan dengan
baik-baik, agar kita dapat mempertahankan hubungan pernikahan kita dengan baik
dan tidak terlibat kedalam cerai (talak). Tetapi apabila sudah sangat terpaksa dan
kebersamaan di dalam hubungan semakin lama semakin terasa tidak tenang,
menyiksa dan masalah yang ada semakin lama tidak kunjung membaik, maka
dengan sangat terpaksa melakukan talak/perceraian.

Pada dasarnya perceraian itu adalah hal yang di bolehkan tetapi hal tersebut
adalah hal yang dibenci olah Allah swt. Maka dari itu, sebisa mungkin manusia
menghindari perceraian tersebut. Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir
karena beberapa hal, yaitu karena terjadi talak yang dijatuhkan kepada suami
kepada istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena
sebab – sebab lain. Oleh karena itu, pemakalah dalam penulisan itu membahas
terkait “Konsep Talak Dalam Islam”.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa itu talak?
1.2.2 Apa saja sifat-sifat talak?
1.2.3 Bagaimana syarat menjatuhkan talak?
1.2.4 Apa saja klasifikasi talak?
1
1.2.5 Apa perbedaan antara saski dan wakalah dalam talak?
1.2.6 Bagaimana pengaruh perubahan agama terhadap talak?
1.2.7 Bagaimana kedudukan hukum talak?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Menjelaskan pengertian talak
1.3.2 Menjelaskan sifat-sifat talak
1.3.3 Menjelaskan syarat dan menjatuhkan talak
1.3.4 Mengetahui klasifikasi talak
1.3.5 Mengetahui perbedaan saksi dan wakalah dalam talak
1.3.6 Menjelaskan pengaruh perubahan agama terhadap talak
1.3.7 Menjelaskan kedudukan hukum talak

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Talak


Secara etimologis, talak berarti melepas ikatan talak berasal dari kata iṭlaq yang
berarti melepaskan atau meninggalkan. 1 Dalam terminologi syariat, talak berarti
memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan, baik pemutusan itu terjadi pada
masa kini (jika talak itu berupa talak bain) maupun pada masa mendatang, yakni
setelah iddah (jika talak berupa talak raj’i) dengan menggunakan lafadz tertentu.
Abdul Djamali dalam bukunya, hukum Islam, mengatakan bahwa perceraian
merupakan putusnya perkawinan antar suami-istri dalam hubungan keluarga. Dari
definisi yang telah penulis kemukakan diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa
yang dimaksud talak adalah melepas adanya tali perkawinan antara suami istri
dengan mengunakan kata khusus yaitu kata talak atau semacamnya sehingga istri
tidak halal baginya setelah ditalak.
Putusnya perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan itu dapat
terjadi dalam dua keadaan2:
1. Kematian salah satu pihak
2. Putus akibat perceraian.
Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami dan istri masih hidup (perceraian)
dapat terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas kehendak istri dan terjadi di luar
kehendak suami istri. Menurut hukum Islam, berakhirnya perkawinan atas inisiatif
atau oleh sebab kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang disebut talak, dapat
terjadi melalui apa yang disebut ila' dan dapat pula terjadi melalui apa yang disebut
li'an, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut dhihar.3 Berakhirnya perkawinan
atas inisiatif atau oleh sebab kehendak istri dapat terjadi melalui apa yang disebut
khiyar aib, dapat terjadi melalui apa yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui apa
yang disebut rafa' (pengaduan). Berakhirnya perkawinan di luar kehendak suami

1
Abu Malik kamal, Fikih sunnah Wanita. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 230
2
Abdul Djamali, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997, 94
3
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, 73
3
dapat terjadi atas inisiatif atau oleh sebab kehendak hakam, dapat terjadi oleh sebab
kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab matinya suami atau istri. 4

2.2 Sifat–Sifat Talak


Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Talak Sunni
Talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang
telah dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam
keadaan suci dari haidh dan pada masa itu dia belum mencampurinya. Jadi, suami
menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan belum pernah
dicampuri sejak masa haidh terakhir istrinya berakhir.
b. Talak Bid’i
Talak bid’i adalah talak yang menyelisihi ketentuan syariat, sehingga hukum talak
ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Keadaan ini berlaku
manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam masa
suci setelah ia mencampuri istrinya, atau seorang suami yang melontarkan tiga
talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis.

Misal, perkataan suami, “Engkau saya talak tiga,” atau suami mengatakan :
“Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” (diulang tiga kali), maka
ucapannya itu dihukumi sebagai talak satu. [Lihat pembahasan mengenai masalah
ini dalam I”laamul Muwaqqi”iin (IV/377-426), Al-Jaami” fii Ahkaamith Thalaaq
wa Fiqhihi wa Adillatihi (hal. 79-85), dan Al-Mughni (VII/98)]

2.3 Syarat Jatuhnya Talak


Layaknya sebuah akad, talak juga memiliki sejumlah syarat dan ketentuan,
sehingga ia menjadi sah atau jatuh kendati tak disadari orang yang menjatuhkannya.
Para ulama fiqih melihat syarat dan ketentuan talak ini dari tiga aspek, yaitu:
Pertama, yang menjatuhkan talak adalah suami yang sah, baligh, berakal sehat,
dan menjatuhkan talak atas kemauannya sendiri. Artinya, tidak sah seorang laki-laki

4
Ibid., 73
4
yang menalak perempuan yang belum dinikahinya, seperti mengatakan, “Jika aku
menikahinya, maka ia tertalak.”
Kedua, istri yang ditalak harus dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, yang
kemudian talaknya dikenal dengan “talak sunnah” dalam arti talak yang
diperbolehkan. Sedangkan istri yang ditalak dalam keadaan haid atau dalam keadaan
suci setelah dicampuri, dikenal dengan “talak bid‘ah” dalam arti talak yang
diharamkan. Kedua jenis talak ini berlaku bagi istri yang masih haid. Sedangkan bagi
istri yang tidak haid—seperti istri yang belum haid, istri yang sedang hamil, istri
yang sudah menopause, atau istri yang ditalak khuluk dan belum dicampuri—tidak
berlaku.
Ketiga, redaksi talak yang dipergunakan bisa berupa ungkapan yang jelas
(sharih), bisa juga berupa ungkapan sindiran (kinayah). Maksud ungkapan jelas di
sini, tidak ada makna lain selain makna talak. Sehingga meskipun seseorang tidak
memiliki niat untuk menjatuhkan talak dalam hati, jika yang dipergunakan adalah
ungkapan sharih maka talaknya jatuh. Contohnya, “Saya talak kamu,” atau “Saya
ceraikan kamu,” atau “Saya lepaskan kamu.”
Berbeda halnya dengan ungkapan kinayah. Sebagaimana diketahui, ungkapan
kinayah mungkin bermakna talak, mungkin pula bermakna lain. Sehingga talaknya
akan jatuh manakala ada niat talak dalam hati yang mengucapkanya. Artinya, jika
tidak ada niat, maka talaknya tidak jatuh. Contohnya, “Sekarang kamu bebas,” atau
“Sekarang kamu lepas,” atau “Pergilah kamu ke keluargamu!” Hanya saja, menurut
Abu Hanifah, ungkapan kinayah yang cukup jelas, tetap tidak memerlukan niat.
Contohnya, “Engkau sekarang sudah jelas, bebas, lepas, dan haram (bagiku). Maka
pergilah dan pulanglah ke keluargamu!” Pendapat ini juga didukung oleh Imam
Malik. Sementara menurut Imam Ahmad, makna atau konteks keadaan dalam semua
ungkapan kinayah menentukan status niat.5
Sejalan dengan ungkapan kinayah adalah ungkapan sharih yang dilontarkan
oleh seorang yang dipaksa. Maka jatuh dan tidaknya talak kembali kepada niat dalam
hatinya. Jika bersamaan dengan ungkapan itu ada niat, maka jatulah talaknya. Begitu
pula sebaliknya. Talak juga jatuh dengan ungkapan ta‘liq, seperti ungkapan seorang
5
al-Nawawi, Majmu‘ Syarh al-Muhadzab, Darul Fikr, Beirut, Jilid 17, hal. 104
5
suami kepada istrinya, “Jika engkau masuk lagi ke rumah laki-laki itu, maka engkau
tertalak.” Jika istrinya benar-benar masuk ke rumah tersebut, maka jatuhlah
talaknya. 6 Kemudian talak juga jatuh dengan ungkapan senda gurau atau main-main
selama disengaja mengucapkannya sekalipun tak disengaja maknanya.7

2.4 Klasifikasi Talak


Dalam ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, penyebab putusnya perkawinan bisa karena kematian, perceraian, atau
karena adanya keputusan pengadilan. Putusnya hubungan perkawinan karena
perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang
suami terhadap isterinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut agama Islam,
yang dapat pula disebut “cerai talak”. Cerai talak ini diperuntukkan bagi seorang
suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan
menceraikan isterinya, juga dapat dimanfaatkan oleh isteri jika suami melanggar
perjanjian taklik talak.8
Berdasarkan perspektif hukum Islam, jenis-jenis talak atau perceraian dapat
dibedakan atas9:
a. Apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami merujuk isterinya kembali, maka
jenis-jenis talak itu meliputi:
1) Talak raj’i,
Talak yang dijatuhkan suami, dimana suami berhak rujuk selama isteri
masih dalam masa ‘iddah tanpa harus melangsungkan akad nikah baru.
Talak seperti ini adalah talak kesatu atau talak kedua. Jadi, apabila
keinginan rujuk (kembali) itu masih dalam masa ‘iddah, maka tidak perlu
dilakukan akad nikah baru. Akan tetapi apabila keinginan rujuk setelah
habis masa ‘iddah, maka harus dilakukan akad nikah baru.
2) Talak ba’in, terdiri atas:

6
Syekh Muhammad ibn Qasim, Fathul Qarib [Semarang: Pustaka al-‘Alawiyyah], tanpa tahun, hal.
48
7
Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I‘anah al-Thâlibîn, jilid 4, hal. 8
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), 400
9
Ibid, 401
6
a) Talak Bain Sughra (kecil), yakni talak yang tidak boleh dirujuk
meskipun dalam masa ‘iddah, tetapi boleh akad nikah baru dengan
bekas suaminya, seperti talak yang terjadi sebelum adanya hubungan
seksual (qabla al-dukhul), talak dengan tebusan atau khulu’. Khulu’
adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan (iwad) kepada dan atas persetujuan suaminya.
b) Talak Ba’in Kubra (besar), yakni talak yang tidak dapat rujuk dan
tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali setelah bekas istri itu kawin
dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta
telah bercerai secara wajar dan telah menjalankan ‘iddahnya. Talak
ba’in kubra terjadi pada talak yang ketiga.
b. Apabila ditinjua dari ketegasan kalimatnya, maka jenis-jenis talak itu meliputi:
1) Talak sharrih, yakni talak yang kalimatnya dapat langsung difahami ketika
diucapkan dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalkan:
“Anti thaaliq” (engkau telah tertalak) atau “Muthallaqah” (engkau wanita
yang tertalak), atau Kamu saya cerai. Dan semua kalimat yang semisal
dengan kata-kata talak atau cerai. Seorang suami yang mengatakan kalimat
demikian kepada istrinya, maka jatuhlah talaknya. Meskipun dilakukan
dalam keadaan bercanda atau tanpa niat untuk menjatuhkan talak. Maka
talak yang lafazhnya jelas diucapkan oleh suami meski dalam keadaan
bercanda, talaknya jatuh dan dianggap sebagai talak satu.
2) Talak kinaayah, yakni talak yang redaksinya mengandung beberapa
kemungkinan makna, bisa bermakna talak atau selainnya. Misalkan: “Alhiqi
bi ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya. Jika
seorang suami mengatakan kalimat seperti itu, maka talaknya tidak jatuh
kecuali perkataan tersebut disertai dengan niat talak. Jadi apabila suami
mengatakannya dengan niat untuk mentalak istrinya, maka jatuhlah talaknya.
Tetapi apabila suami tidak berniat mentalak istrinya, maka talaknya tidak
jatuh.
c. Apabila ditinjau dari segi waktu menjatuhkan talak, maka jenis-jenis talak itu
meliputi:
7
1) Talak Munjazah, yakni pernyataan talak yang oleh pengucapnya diniatkan
agar talaknya jatuh saat itu juga. Misalkan seorang suami yang berkata
kepada istrinya, “Anti thaaliq” (engkau tertalak) dan perkataan yang
semisalnya, maka talaknya jatuh pada saat itu juga. Hukum talak munjazah
terjadi sejak saat suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada
istrinya.
2) Talak Mu’allaq, yakni pernyataan talak yang diucapkan suami kepada
istrinya yang diiringi dengan syarat. Misalkan, suami berkata kepada
istrinya, “Jika engkau pergi ke rumah A, maka engkau telah tertalak,” dan
perkataan yang semisalnya.
3) Talak Mudhaf, yakni talak yang dikaitkan dengan waktu tertentu.
Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan
depan kamu tertalak”. Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak yang
diucapkan dalam kondisi semacam ini terlaksana jika waktu jatuh
temponya sudah datang. Sehingga sang istri tertalak sejak datangnya
waktu yang disebutkan dalam kalimat talak.

Dalam hal ini putusnya perkawinan akibat cerai talak, suami mempunyai
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, diantaranya yakni kewajiban
memberikan nafkah yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149,
yakni: “Bilamana perkawinan putus karena cerai talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul
b. Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam ‘iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nushuz
dan dalam keadaan tidak hamil”
Selain itu juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 158, yakni:
“Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da al-dukhul
b. Perceraian itu atas kehendak suami”

8
2.5 Saksi dan Wakalah dalam Talak
a. Saksi
Menurut Jumhur Fuqaha berbeda pendapat bahwa talak bisa jatuh atau
berlangsung tanpa saksi. Sebab talak merupakan hak seorang suami dan
sepertinya tidak ada dasar hukum dari Rasulullah saw., dan dari para sahabat
yang mengharuskan adanya saksi dalam talak. Mereka berpegangan pada
beberapa ayat dalam al-Qur’an yang antara lain:

َ ‫طلَّ ْقت ُ ُم ْوه َُّن م ِْن قَ ْب ِل ا َ ْن ت َ َمس ُّْوه َُّن فَ َما لَكُ ْم‬
ٍ‫علَ ْي ِه َّن م ِْن ِعدَّة‬ ِ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا نَ َك ْحت ُ ُم ْال ُمؤْ مِ ٰن‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
‫س َرا ًحا َجمِ ي ًْل‬ َ ‫س ِر ُح ْوه َُّن‬ َ ‫ت َ ْعتَد ُّْونَ َه ۚا فَ َمتِعُ ْوهُ َّن َو‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu
perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya”. (QS. Al-Ahzab/33 : 49).
Ayat tersebut menjelaskan tentang talak saja dan tidak di singgung tentang
harus adanya saksi dalam proses perceraian. Ayat ini kemudian menjadi salah
satu dalil bagi ualama jumhur untuk menopang pendapat mereka yang tidak
mensyaratkan adanya saksi dalam talak. Kaitannya kesaksian dalam talak,
Muhammad Jawad Mugniyah mengutip dari bukunya Syekh Abu Zahrah “al-
Ahwal al-Syakhsiyyah”, halaman 36513, mengatakan bahwa ulama madzhab
Syi’ah Immamiyah Itsna’ Asyariah dan Ismailiyyah berpendapat bahwa talak
tidak dianggap jatuh bila tidak disertai dua orang saksi yang adil.
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Thalaq yang berbunyi:
َّ ‫عد ٍْل ِم ْنكُ ْم َواَقِ ْي ُموا ال‬
َ ‫ش َهادَة‬ َ ‫ي‬ ْ َ ‫ارقُ ْوه َُّن بِ َم ْع ُر ْوفٍ َّوا‬
ْ ‫ش ِهد ُْوا ذَ َو‬ ِ َ‫فَ ِاذَا بَلَ ْغنَ ا َ َجلَ ُه َّن فَا َ ْم ِسكُ ْوه َُّن بِ َم ْع ُر ْوفٍ ا َ ْو ف‬
ۙ ‫ّٰللاَ يَ ْجعَ ْل لَّه َم ْخ َر ًجا‬
‫ق ه‬ ٰ ْ ‫اّلِل َو ْاليَ ْو ِم‬
ِ َّ ‫اْلخِ ِر ەۗ َو َم ْن يَّت‬ ِ ‫عظُ بِ ٖه َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن بِ ه‬ َ ‫ّلِل ٰۗذ ِلكُ ْم ي ُْو‬
ِ‫ِ ه‬
Artinya: “Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka
rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran
itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.

9
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan
keluar baginya”. (QS At-Thalaq /65 : 2)
Makna yang tersirat dalam ayat di atas adalah bahwa persaksian sebagai
alasan untuk dapat memberikan nasehat bagi orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Setidaknya dengan hadirnya para saksi dari kalangan orang
yang adil tidak akan bisa terlepas dari pemberian nasehat yang baik bagi suami
dan istri, yang bisa menjadi jalan keluar dari persoalan yang amat Allah benci itu.
b. Wakalah
Perwakilan adalah al-wakalah atau al-wikalah. Menurut bahasa artinya
adalah al-hifdz, al-kifayah, al-dhaman dan al-tafwidh (penyerahan,
pendelegasian dan pemberian mandat). 10 Menurut ijma, mewakilkan transaksi
atau akad yang diperbolehkan seperti transaksi jual beli, pembayaran hutang,
perkawinan dan perceraian adalah boleh. Akan tetapi, shalat dan sejenisnya tidak
boleh diwakilkan.11
Menurut Hanafiyyah, wakalah adalah memposisikan orang lain sebagai
pengganti dirinya untuk menyelesaikan suatu persoalan yang diperbolehkan
secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya atau mendelegasikan suatu persoalan
kepada orang lain (wakil). Menurut Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hanabillah,
wakalah adalah prosesi pendelegasian sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan
kepada orang lain sebagai penggantinya guna menyelesaikan pekerjaan tersebut
dalam masa hidupnya.12
Sumpah wakil atas keperwakilannya di selain soal pengadilan tidak bisa
diterima, sedang sumpah wakil atas keperwakilannya dalam masalah hukuman
dan qishas sama sekali tidak bisa diterima, di dalam maupun di luar
sidang.Pemberian kuasa secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
perjanjian dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan sesuatu
wewenang (kekuasaan) kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan

10
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 231
11
Ach. Khudori soleh, Fiqih Kontekstual (Perspektif Sufi-Falsafi) (Jakarta: PT.Pertja,1999), 71
12
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
10
sesuatu urusan, dan orang lain tersebut menerima dan melaksanakannya untuk
dan atas nama pemberi kuasa.
Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunah 13 mendefinisikan wakalah sebagai
pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang
dapat diwakilkan. 13 Pemberian kuasa ini ada yang sifatnya sukarela dan ada
yang sifatnya profit, dengan pemberian semacam upah/fee kepada pihak yang
menerima kuasa. Namun dalam praktik biasanya pemberian kuasa dilaksanakan
dengan cuma-cuma kecuali jika diperjanjikan sebaliknya 14.

2.6 Pengaruh Perubahan Agama terhadap Talak


Jumhur ulama sepakat bahwa tiga talak yang dijatuhkan dalam satu waktu
dianggap terjadi, dan sebagian lagi ada yang berpendapat bahwa hal itu tidak terjadi,
berbeda pendapat lagi, yaitu mempermasalahkan kedua hal: apakah terjadi satu talak
atau tiga talak? Sebagian dari mereka lalu mengatakan bahwa talak terjadi tiga talak
sekaligus, dan sebagian lagi mengatakan bahwa hanya terjadi satu talak saja. Bahkan,
sebagian dari mereka ada melakukan perincian, yaitu apabila istri yang ditalak sudah
digauli, maka terjadi talak tiga. Tetapi, jika sang istri belum digauli terjadi talak satu
saja.15

Alasan golongan yang berpendapat tiga talak yang dijatuhkan dalam satu waktu
ialah dalil-dalil berikut ini.

1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 230


‫ظنَّا ٰٓ ا َ ْن‬ َ ‫طلَّقَ َها فَ َل ُجنَا َح‬
َ ‫علَ ْي ِه َما ٰٓ ا َ ْن يَّت ََرا َج َعا ٰٓ ا ِْن‬ َ ‫غي َْره ۗ فَا ِْن‬َ ‫طلَّقَ َها فَ َل تَحِ ُّل لَه م ْۢ ِْن بَ ْعد ُ َحتهى ت َ ْن ِك َح زَ ْو ًجا‬ َ ‫فَا ِْن‬
‫ّٰللا ۗ َوت ِْلكَ ُحد ُْود ُ ه‬
‫ّٰللاِ يُبَيِنُ َها ِلقَ ْو ٍم يَّ ْعلَ ُم ْو َن‬ ِ ‫يُّ ِق ْي َما ُحد ُْودَ ه‬
Artinya: “Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika

13
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2010), 147
14
Ibid., 148
15
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., hlm. 48
11
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menerangkan melalui lisan Nabi-Nya
bahwa perempuan yang telah ditalak tiga harus dinikahi (dicampuri), baru
setelah itu halal bagi bekas suami untuk menikahinya, apabila perempuan
tersebut telah bercerai dengan suami barunya. 16
2. Firman Allah Al-Baqarah ayat 237
ٰٓ َّ ‫ضت ُ ْم ا‬
‫ِْل ا َ ْن يَّ ْعفُ ْونَ ا َ ْو يَ ْعفُ َوا‬ ُ ‫ضةً فَنِص‬
ْ ‫ْف َما فَ َر‬ ْ ‫طلَّ ْقت ُ ُم ْوه َُّن م ِْن قَ ْب ِل ا َ ْن ت َ َمس ُّْوه َُّن َوقَدْ فَ َر‬
َ ‫ضت ُ ْم لَ ُه َّن فَ ِر ْي‬ َ ‫َوا ِْن‬
ِ َ‫ّٰللاَ ِب َما ت َ ْع َملُ ْو َن ب‬
‫صيْر‬ ْ َ‫س ُوا ْالف‬
‫ض َل بَ ْينَكُ ْم ۗ ا َِّن ه‬ َ ‫ب لِلت َّ ْق ٰو ۗى َو َْل ت َ ْن‬
ُ ‫َاح ۗ َوا َ ْن ت َ ْعفُ ْٰٓوا ا َ ْق َر‬ ْ ‫الَّذ‬
ِ ‫ِي ِبيَد ِٖه عُ ْقدَة ُ النِك‬
Artinya:” Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri),
padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari
yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan
oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat
kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh,
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini menyatakan bahwa lakilaki harus menyerahkan setengah dari
mahar yang menjadi hak milik istri. Seperti halnya dia juga harus memberikan
kepada siapapun segala sesuatu yang memang menjadi hak mereka. Aturan ini
juga menetapkan bahwa seorang mantan istri berwenang untuk merelakan
haknya. Allah SWT menganjurkan istri untuk memaafkan, karena maaf lebih
dekat kepada ketakwaan.
3. Firman Allah Al-Baqarah ayat 236
َ ‫علَى ْال ُم ْوسِعِ قَدَ ُره َو‬
‫علَى‬ َ ‫س ۤا َء َما لَ ْم ت َ َمس ُّْوه َُّن ا َ ْو ت َ ْف ِرض ُْوا لَ ُه َّن فَ ِر ْي‬
َ ‫ضةً ۖ َّو َمتِعُ ْوه َُّن‬ َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫علَ ْيكُ ْم ا ِْن‬
َ ‫َْل ُجنَا َح‬
َ‫علَى ْال ُم ْح ِسنِيْن‬ َ ‫ْال ُم ْقت ِِر قَدَ ُره ۚ َمت َا ًعا ْۢبِ ْال َم ْع ُر ْو ۚفِ َح ًّقا‬
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang
belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu

16
Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i Menyelami Kedalaman Kandungan Al-
Qur’an, (Bandung: Penerbit Al-Mahirah, 2007), hlm. 401.
12
pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-
orang yang berbuat kebaikan.”
4. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229,

َ ‫ان ۗ َو َْل يَحِ ُّل لَكُ ْم ا َ ْن ت َأ ْ ُخذ ُ ْوا مِ َّما ٰٓ ٰات َ ْيت ُ ُم ْوه َُّن‬
ٰٓ َّ ‫شيْـًٔا ا‬
‫ِْل ا َ ْن‬ َ ‫اك بِ َم ْع ُر ْوفٍ ا َ ْو تَس ِْري ْْۢح بِ ِا ْح‬
ٍ ‫س‬ ْۢ ‫س‬
َ ‫ط َل ُق َم َّر ٰت ِن ۖ فَ ِا ْم‬ َّ ‫اَل‬

‫ت بِ ٖه ۗ ت ِْلكَ ُحد ُْود ُ ه‬


‫ّٰللاِ فَ َل‬ ْ َ‫علَ ْي ِه َما فِ ْي َما ا ْفتَد‬ َ ‫ّٰللاِ ۙ فَ َل ُجنَا َح‬ ‫ّٰللا ۗ فَا ِْن خِ ْفت ُ ْم ا َ َّْل يُ ِق ْي َما ُحد ُْودَ ه‬
ِ ‫يَّخَافَا ٰٓ ا َ َّْل يُ ِق ْي َما ُحد ُْودَ ه‬
ٰۤ ُ
‫ولىِٕكَ هُ ُم الظه ِل ُم ْو َن‬ ‫ت َ ْعتَد ُْوهَا َۚو َم ْن يَّتَعَدَّ ُحد ُْودَ ه‬
‫ّٰللاِ فَا‬

Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan
hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus)
diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah,
mereka itulah orang-orang zalim.”17

5. Hadits Nabi saw.,

Artinya: “Sahl bin Sa‟id berkata, “Tatkala saudara bani Ajlaan mengutuk

Artinya: “Sahl bin Sa’id berkata, “Tatkala saudara bani Ajlaan mengutuk
istrinya, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika aku tetap memegang dia, aku
berbuat zalim kepadanya, yaitu (aku) menjatuhkan talak, menjatuhkan talak,
menjatuhkan talak.” (HR. Ahmad).18
Sedangkan golongan yang berpendapat menjatuhkan talak tiga hanya tetap
terjadinya talak satu, yaitu berdasarkan dalam hadits Rasulullah saw:
Artinya: “Ibnu Abbas r.a., berkata, “Pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, dan
dua tahun masa khalifah Umar, talak tiga kali itu dianggap satu kali. Umar

17
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an (terj. As‟ad Yasin,
Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah), (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 294
18
Syaikh Faisal bin Abdul Aziz, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 560
13
berkata “Sesungguhnya orang-orang tergesa-gesa dalam satu hal yang mestinya
mereka bersabar. Seandainya kami tetapkan hal itu terhadap mereka, maka ia
menjadi ketetapan yang berlaku atas mereka. (HR. Ahmad dan Muslim). 19
Hadits ini menjelaskan permasalahan bagaimana dihukumi dengan sah dari
Umar sesuatu yang bertentangan dengan hukum yang sudah pada masa
Rasulullah saw., lalu masa Abu Bakar dan awal-awal masa pemerintahannya.
At-Tirmidzi menyebutkan bahwa ulama dari kalangan sahabat dan
kalangan yang lain berbeda pendapat tentang hukum talak battah. Umar bin
Khatthab menetapkan bahwa talak battah terjadi satu kali saja, sedangkan Ali
bin Abi Thalib mengatakan bahwa talak itu terjadi sebanyak tiga kali talak.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu bergantung kepada suami yang
menjatuhkannya. Jika dia beniat untuk menjatuhkan satu talak, maka dianggap
terjadi satu talak. Tapi jika dia berniat menjatuhkan tiga talak, maka dianggap
terjadi tiga talak.20
Berdasarkan penjelasan diatas sebagian para ulama berpendapat berbeda-
beda, sebagian ulama berpendapat talak tiga tetap jatuh talak satu, pendapat ini
berdasarkan hadits Rasulullah yang dirawi oleh Ibnu Abbas. Sedangkan
sebagian para ulama lainnya berpendapat talak tiga tetap terjadi talak tiga,
berdasarkan pada hadits masa Umar bin Khatthab.

2.7 Kedudukan Hukum Talak


Syariat Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai
pertalian yang suci dan kokoh.sebagaimana Alquran memberikan istilah pertalian itu
dengan mitsaqon gholizhoh. Firman Allah Surat An Nisa ayat 21:

ً ‫غ ِل ْي‬
‫ظا‬ ٍ ‫ضكُ ْم ا ِٰلى بَ ْع‬
َ ‫ض َّوا َ َخذْنَ ِم ْنكُ ْم ِم ْيثَاقًا‬ ٰ ‫ْف ت َأ ْ ُخذ ُ ْونَه َوقَدْ ا َ ْف‬
ُ ‫ضى بَ ْع‬ َ ‫َو َكي‬

Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu


telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu. (QS, An Nisa: 21)

19
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram.., hlm: 472.
20
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram.., hlm: 472.
14
Dalam ajaran Islam Talak diperbolehkan (mubah) sebagai jalan terakhir ketika
kehidupan rumah tangga mengalami jalan buntu, talak hanya dapat dilakukan apabila
hubungan perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Tentang talak ini,
Rasulullah bersabda:

Artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak. ”(HR.
Abu Dawud dan Ibnu Majah dan dianggap shohih oleh Imam Al-Hakim)

Berdasarkan Hadist tersebut menurut Jumhur Ulama hukum talak itu mubah
tetapi lebih baik dijauhi. Ulama Syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa hukum
talak terkadang wajib, terkadang haram dan Sunnah21.

Apabila dilihat latar belakang terjadinya talak, maka hukum talak bisa berubah
kepada:
1. Wajib
Talak menjadi wajib hukumnya apabila hakim tidak menemukan jalan lain,
kecuali talak, yang bisa ditempuh untuk meredakan pertikaian yang terjadi diantara
suami dan istri. Dan Juga apabila seorang suami bersumpah ila’ (tidak akan
mencampuri istri) sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau membayar kafarah
sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya.
2. Haram
Talak Yang diharamkan adalah talak yang dilakukan bukan karenaadanya
tutuntan yang dapat dibenarkan karena hal itu akan membawa mudhorot bagi diri
sang suami dan juga istrinya serta tidak memberikan kebaikan bagi keduanya 22 .
Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya pada saat haid, atau pada saat suci dan
di masa suci itu sang suami telah berjimak dengan istrinya.
Sebaliknya, bagi istri tidak boleh (haram) meminta kepada suami untuk
menceraikannya tanpa ada sebab syar’i. Hal ini berdasarkan hadits:

21
Prof.Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 258
22
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidh, Fiqih Wanita, (Jakarta: Alkautsar, 2010), h. 456
15
“Siapapun Wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa ada alasan (syar’i),
maka haram baginya bau surga” (HR, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan
Attirmidzi dimana beliau menghasankannya.)
3. Mubah
Hukum talak bisa menjadi mubah jika seorang istri memiliki akhlak yang buruk,
jelek tabiatnya dalam bermuamalah, melalaikan hak suami, dan lain sebagainya.
Sehingga tujuan pernikahan yang diinginkan tidak tercapai sama sekali.
4. Sunnah
Hukum talak akan menjadi sunnah apabila keadaan rumah tangga sudah sulit
dipertahankan, dan apabila dipertahankan akan lebih banyak bahayanya, misalnya
seorang istri tidak mau atau lalai dalam menjalankan hak – hak Allah swt seperti
sholat, puasa, dan lain sebagainya. Setelah beberapa kali diperintahkan agar jangan
melalaikan perintah Allah Swt. Namun seorang istri tetap tidak menghiraukannya,
maka suami disunnahkan untuk menceraikannya.
5. Makruh
‫ع ِليْم‬
َ ‫س ِميْع‬
َ ‫ّٰللا‬ َّ ‫عزَ ُموا ال‬
َ ‫ط َلقَ فَا َِّن ه‬ َ ‫َوا ِْن‬
“Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 227).”

16
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perceraian tidak akan pernah ada apabila perkawinan tidak terjadi.
Perkawinan itu sendiri adalah sebagai awal untuk hidup bersama antara suami-
istri, maka perceraian itu ialah akhir dari kehidupan antara suami dan istri, apabila
terjadinya ketidaksesuaian hubungan keluarga itu sendiri. Demikian pula, dengan
perceraian bukan hanya suami-istri saja yang menjadi korban, tetapi anak-anak
dan keluarga dari kedua belah pihak yang awalnya saling bersilahturahmi dengan
seketika dapat bercerai berai.

Talak berarti memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan, baik


pemutusan itu terjadi pada masa kini (jika talak itu berupa talak bain) maupun
pada masa mendatang, yakni setelah iddah (jika talak berupa talak raj’i) dengan
menggunakan lafadz tertentu.

Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu talak sunni dan talak bid'i.
Dalam ajaran Islam Talak diperbolehkan (mubah) sebagai jalan terakhir ketika
kehidupan rumah tangga mengalami jalan buntu, talak hanya dapat dilakukan
apabila hubungan perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Apabila
dilihat latar belakang terjadinya talak, maka hukum talak bisa berubah kepada:
wajib, haram, mubah, sunah, makhruh sebagaimana yang telah di jelaskan
sebelumnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Djamali, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997, 94


Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2010), 147 Ibid., 148
Abu Malik kamal, Fikih sunnah Wanita. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 230
Ach. Khudori soleh, Fiqih Kontekstual (Perspektif Sufi-Falsafi) (Jakarta:
PT.Pertja,1999), 71
al-Nawawi, Majmu‘ Syarh al-Muhadzab, Darul Fikr, Beirut, Jilid 17, hal. 104
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2009), 400
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008)
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 231
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram.., hlm: 472.
Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I‘anah al-Thâlibîn, jilid 4,
hal. 8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., hlm. 48
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an
(terj. As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah), (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), hlm. 294
Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i Menyelami Kedalaman
Kandungan Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Al-Mahirah, 2007), hlm. 401.
Syaikh Faisal bin Abdul Aziz, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2006), hlm. 560
Syekh Muhammad ibn Qasim, Fathul Qarib [Semarang: Pustaka al-‘Alawiyyah],
tanpa tahun, hal. 48
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, 73

18

Anda mungkin juga menyukai