Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FIQH MUNAKAHAT
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur Mata kuliah Ilmu Fiqh
Dosen Pengampu:
Prof. Dra. Hj. Nina Nurmila, MA., Ph.D
Arif Nursihah, S.TH.I., M.A.

Disusun Oleh:
Sem. II/PBIO C
Nurlaeli 1212060092
Putri Zaniar Nabilah 1212060097
Rizqi Indana Zulfa Ramli 1212060106
Putri Maulidiya 1212060095

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
MEI 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yan Maha Esa, karena dengan rahmat-nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “FIQH MUNAKAHAT” dengan baik dan
tepat pada waktunya.

Tidak lupa kamu ucapkan terimakasih kepada Prof. Dra. Hj. Nina Nurmila, MA, Ph.D
dan Bapak Arif Nursihah, T.TH.I., M.A yang telah membimbing kami dalam mempelajari
mata kuliah Ilmu Fiqh, dan tak lupa kepada rekan-rekan semua yang telah memberikan
kontribusinya secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini bisa terselesaikan
pada waktu yang telah ditentukan.

Dalam pembuatan makalah ini kamu menyadari terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan. Sehingga kami berharap saran serta masukan dari pembaca demi tersusunnya makalah
yang lebih baik. Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa mahasiswi dalam
mempelajari salah satu materi mata kuliah Ilmu Fiqh yaitu Fiqh Munakahat.

Bandung, 28 Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3

BAB I..........................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................4

B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................4

C. TUJUAN PENULISAN.................................................................................................................5

D. MANFAAT PENULISAN.............................................................................................................5

E. KERANGKA TEORI....................................................................................................................5

BAB II........................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6

A. PENGERTIAN NIKAH................................................................................................................6

B. HUKUM PELAKSANAAN DAN PENCATATAN PERNIKAHAN.........................................6

C. PEREMPUAN DAN LAKI LAKI DIHARAMKAN SALING MENIKAHI...........................11

D. FUNGSI DAN AKIBAT DARI HUKUM KHITBAH...............................................................14

E. RUKUN DAN SYARAT NIKAH...............................................................................................15

BAB III.....................................................................................................................................................17

PENUTUP................................................................................................................................................17

A. KESIMPULAN............................................................................................................................17

B. SARAN.........................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang terjadi diantata laki-laki dan perrempuan yang
tujuannya untuk membentuk sebuah keluarga dan rumah tangga yang Sakinah, mawadah,
warahmah sesuai dengan tuntunan agama islam. Ditinjau dari segi syariat pernikahan
merupakan akad yang menghalalkan suatu pergaulan/interaksi sebagai suami istri (salah
satunya berhubungan seksual). Pada hakikatnya pernikahan dilakukan dengan akad yang
memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
diperbolehkan sesuai dengan aturan Allah dan sunnah Rasul,
Perkawinan sudah ada sejak manusia pertama kali diciptakan. Setiap manusia laki-laki
dan perempuan yang melakukan pernikahan adalah dua manusia yang saling mengikat tali
perjanjian yang suci atas nama Allah SWT. Jika seseorang sudah sanggup untuk
melaksanakan pernikahan maka sangat dianjurkan kepada mereka untuk segera
melangsungkan pernikahan.
Dalam melakukan kewajiban dalam sebuah rumah tangga diperlukan tanggung jawab,
kesiapan, dan pengorbanan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Perkawinan
berkaitan dengan pelaksanaan suatu hak-hak yang dilakukan secara timbal balik antara satu
sama lain. Sehingga dalam melaksanakan sebuah perkawinan maka perlu dilandasi dengan
keikhlasan lahir dan batin.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dengan nikah?
2. Bagaimana hukum pelaksanaan dan pencatatan pernikahan?
3. Siapa saja perempuan dan laki-laki yang diharamkan saling menikahi?
4. Apa saja fungsi dan akibat dari hukum khitbah?
5. Apa saja rukun dan syarat dari nikah?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian dari nikah.
2. Mengetahui hukum pelaksanaan dan pencatatan pernikahan.
3. Mengetahui siapa saja perempuan dan laki-laki yang diharamkan saling menikahi.
4. Mngetahui fungsi dan akibat dari hokum khitbah.
5. Mengetahui rukun dan syarat dari nikah.

Terlepas dari itu, tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Ilmu Fiqh

D. MANFAAT PENULISAN
Sebagai solusi alternatif untuk menambah wawasan keilmuan, khususnya ilmu tentang
fiqh munakahat.

E. KERANGKA TEORI

Pengertian nikah

Hukum pelaksanaan dan dan


pencatatan pernikahan

Perempuan dan laki-laki yang


Fiqh munakahat
diharamkan saling menikahi

Fungsi dan akibat hukum nikah

Rukun dan syarat dari nikah


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN NIKAH
istilah nikah berdasarkan bahasa arab yaitu ( ‫ ) زواج‬atau bisa juga disebut ( ‫ ) نكح‬yg
mempunyai arti terkumpul atau menyatu. pernikahan dalam bahasa indonesia biasa diklaim
menggunakan istilah kawin atau perkawinan. kawin bisa diartikan bersetubuh atau
melakukan hubungan suami istri. pernikahan sangat dianjurkan dalam islam dan merupakan
sunnatullah, pernikahan tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja, namun berlaku pula
dalam hewan dan tumbuh-tumbuhan bahkan benda matipun senantiasa berpasang- pasangan.
sebagaimana pada surah Az-zariyat ayat 49 Allah SWT berfirman

" segala sesuatu kami ciptakan berpasang- pasangan, supaya engkau mengingat akan
kebesaran Allah."

Menurut pengertian berdasarkan sebagian fukaha, perkawinan ialah akad yang


mengandung ketentuan aturan kebolehan hubungan kelamin memakai lafadz nikah atau
tazwij atau istilah yg semakna dengan keduanya. Pengertian tersebut dibuat hanya menurut
satu segi saja yaitu kebolehan aturan, pada hubungan antara seorang pria dengan seorang
wanita yg pada awalnya dilarang menjadi dibolehkan. Perkawinan mengandung aspek efek
anggaran melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak & kewajiban. Karena
perkawinan termasuk salah satu pelaksanaan agama, maka dalamnya terkandung adanya
tujuan/ maksud mengharapkan keridhaan berdasarkan Allah SWT. Menurut syari'at islam
Pernikahan merupakan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki- laki dengan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara pria &
perempuan demi mewujudkan keluarga bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.

B. HUKUM PELAKSANAAN DAN PENCATATAN PERNIKAHAN


Pernikahan adalah peristiwa ketika pasangan baik suami dan istri memenuhi akad nikah,
setelah melangsungkan akad, Pegawai Pencatat Nikah melakukan tugasnya yaitu pencatatan
dengan syarat dan rukun nikah yang sudah di penuhi. Pencatatan pernikahan adalah
pendataan administrasi pernikahan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
dengan maksud untuk menciptakan ketertiban di mata hukum. Dengan demikan, pencatatan
Pernikahan merupakan syarat standar sahnya pernikahan dalam segi administratif yang
ditentukan oleh hukum agama dari masing – masing pasangan suami dan istri yang
melangsungkan pernikahan. Akan tetapi, pernikahan yang tidak tercatatkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat melindungi status
pernikahannya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak lain
tidak dapat memohon dengan upaya hukum, ini dapat terjadi karena pernikahan mereka
tidak memiliki bukti autentik. Bukti autentik tersebut merupakan akta nikah atau buku nikah.
Menurut fatwa Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq, beliau membagi ketentuan aturan
pernikahan dengan dua kategori:
a. Peraturan Syara’
Peraturan Syara’ merupakan peraturan yang bersumber dari syari’at Islam, seperti
keseharusan diadakannya Ijab dan Kabul dari dua orang yang berakad yaitu wali dan
calon suami. Diucapkan pada majlis yang sama, dengan menggunakan lafal bahwa telah
terjadinya ijab dan kabul dari dua orang yang memenuhi untuk melangsungkan akad
menurut peraturan syara’, serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah balig, dan
berakal.
b. Peraturan yang Bersifat Tawsiqy
Peraturan Tawsiqy merupakan peraturan yang dimaksudkan agar pernikahan bagi
kalangan umat Islam tidak bebas, namun tercatat dengan adanya bukti autentik yakni
surat akta nikah secara resmi. Ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi dari adanya
pengingkaran akad nikah oleh seorang suami di kemudian hari. Menurut Undang-
Undang Perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78 Tahun 1931, tidak akan didengar
suatu pengaduan tentang perkawinan atau tentang hal-hal yang didasarkan atas
perkawinan, kecuali berdasarkan adanya pencatatan akad nikah atau adanya dokumen
resmi pernikahan.

1. Dasar Hukum Pencatatan Pernikahan


Hakekat dan tujuan pernikahan ada di dalam Pasal (2) Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa:
1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.”
2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”

Lebih rinci, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II Pasal 2 menjelaskan
tentang pencatatan perkawinan:

1) Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut


agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam
Undang – Undang No 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Di Indonesia sendiri, pencatatan perkawinan diselenggarakan oleh Kantor Urusan


Agama (KUA) Kecamatan, sesuai dengan tata cara dan prosedur dalam Keputusan
Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri
Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah lalu disempurnakan kembali
oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan.

Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2018


tentang Pencatatan Nikah, pasal 1 ayat (5), (6), (7) dan pasal 8 ayat 1 berbunyi:

5) “Akta Perkawinan adalah akta autentik pencatatan peristiwa perkawinan.”


6) “Buku Pencatatan Perkawinan adalah kutipan Akta Nikah.”
7) “Kartu perkawinan adalah Buku Pencatatan Perkawinan dalam bentuk kartu
elektronik.”

Pasal 8 ayat (1) berbunyi: “Pencatatan perkawinan dilakukan setelah akad


dilaksanakan”
Dapat diartikan bahwa setelah akad nikah dilaksanakan maka akta tersebut
ditandatangani oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Perkawinan serta mempelai yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh Wali Nikah
atau yang mewakilinya. Dengan melaksakanakan penandatanganan, maka perkawinan
telah tercatat secara resmi dan pasangan memiliki bukti sah berdasarkan UU
Perkawinan.

2. Pencatatan Pernikahan dan Hak Keperdataan Istri dan Anak


Pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi akan memberikan dampak negatif, yaitu:
1. Bagi istri, dari segi hukum maka istri tidak dianggap sebagai istri yang sah, dengan
demikian istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami
meninggal dunia.
2. Bagi suami, tidak begitu merugikan justru akan menguntungkan, karena suami
dapat bebas untuk menikah lagi, hal ini disebabkan pernikahan sebelumnya di
bawah tangan atau dianggap tidak sah dimata hukum.
3. Bagi anak, pernikahan yang tidak sah di mata hukum memiliki dampak negatif,
yaitu:
a) Status anak akan dianggap sebagai anak yang tidak sah karena anak hanya akan
memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan tidak dengan ayahnya.
b) Status anak di muka hukum tidak jelas, mengakibatkan hubungan antara ayah
dan anak tidak kuat.
c) Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan
dari ayahnya.

Meskipun masalah pencatatan perkawinan telah tersosialisasikan dalam Pasal 2 ayat


(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), akan tetapi hingga saat ini masih ada kendala dalam
pelaksanaannya. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang
berpegang teguh terhadap cara pandang fiqh tradisional. Menurut pemahaman sebagian
masyarakat muslim, perkawinan sah apabila ketentuan-ketentuan yang ada dalam kitab-
kitab fiqh sudah terpenuhi, oleh karena itu pencatatan di Kantor Urusan Agama tidak
penting dilaksanakan dan tidak perlu juga adanya surat nikah sebab hal itu tidak diatur
pada zaman Rasulullah.

3. Pencatatan Pernikahan Dalam Kajian Ushul Fiqh


1) Nash
Pencatatan Pernikahan merupakan hal yang baru, maka dapat dipastikan bahwa
pencatatan nikah tidak ditemukan secara tegas (qath’i) dan jelas (sharih) dalam
nash (Al-Quran dan Hadits). Meskipun begitu, bukan berarti hal ini luput dari
perhatian syara’. Penjelasan permasalahan ini dapat ditemukan dalam makna umum
dari kandungan nash karena ada keserasian makna, baik disebut dengan istilah
qiyas, ijma’, mashlahah mursalah, maupun maqashid syar’iyah.
2) Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Persoalan yang ada ketentuan
hukumnya dalam fiqh adalah persoalan muamalah hutang piutang. Sebagaimana
dijelaskan Alquran suarat al-Baqarah ayat 282. Sebagaimana diketahui bahwa
pernikahan juga merupakan bagian dari muamalah, malah pernikahan bukanlah
muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam
al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21.
Jadi, hukum yang sama antara fiqh munakahat dengan fiqh muamlah adalah
bahwa di dalamnya terdapat kesamaan rukun, terutama adanya orang yang
melakukan akad, adanya saksi, dan sighat akad. Dengan demikian, meski
pencatatan nikah tidak ada nash syarih nya dapat dijelaskan dan diqiyaskan pada
muamalah hutang piutang yang ada penjelasannya dalam nash sebab adanya
kesamaan illah di antara keduanya, yakni bukti keabsahan perjanjian/transaksi
muamalah (bayyinah syar’iyah). Bila akad muamalah dicatatkan, maka sudah
semestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk
dicatatkan. Dengan demikian, bahwa pencatatan akad nikah dianjurkan oleh Islam
sebagaimana perintah pencatatan akad hutang piutang atas dasar qiyas.
3) Ijma
Dalam ushul fiqh, Ijma’ yang dapat diterima sebagai dalil hukum merupakan
ijma’ para sahabat. Meskipun kesepakatan seluruh ulama saat ini tidak mugkin
terjadi, ada cara lain yang dapat ditempuh para ulama dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan baru, di antaranya melalui konferensi, mu’tamar, lokakarya,
dan lain sebagainya. Terkait dengan pencatatan nikah dalam UU nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan, para ulama Indonesia telah melakukan lokakarya pada
tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1991. Hasil dari lokakarya tersebut menyatakan
bahwa ketentuan pencatatan nikah dapat diterima dengan baik dan dapat dikatakan
sebagian besar ulama Indonesia sepakat pencatatan nikah merupakan bagian dari
hukum yang wajib ditaati oleh umat Islam.
4) Mashlahah dan Mursalah
Mashlahah mursalah merupakan kemashlahatan yang tidak dianjurkan oleh
syari’at dan juga tidak dilarang oleh syari’at, namun semata-mata hadir atas dasar
kebutuhan masyarakat. Pencatatan perkawinan dilakukan selain untuk mewujudkan
ketertiban hukum juga mempunyai manfaat pencegah, yakni agar tidak terjadi
penyimpangan rukun dan syarat perkawinan. Tindakan pencegahan ini dalam
peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dengan demikian mencatatkan perkawinan
mengandung manfaat atau kemaslahatann serta memiliki kebaikan yang besar
dalam kehidupan bermasyarakat. Atas dasar pertimbangan tersebut, meskipun
secara resmi tidak ada ketentuan ayat atau sunnah terkait dengan pencatatan
pernikahan, namun karena kandungan mashlahatnya sejalan dengan tindakan syara’
yang ingin mewujudkan kemashlahatan manusia, maka dapat ditegaskan bahwa
pencatatan pernikahan merupakan konstitusi yang perlu diterima dan dilaksanakan
oleh semua pihak karena memiliki landasan yang kokoh yakni mashlahat mursalah.

C. PEREMPUAN DAN LAKI LAKI DIHARAMKAN SALING MENIKAHI


Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud larangan dalam pernikahan ialah
larangan menikah antara seorang laki-laki dan perempuan. Diantara larangan-laragan ada
yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan

1. Mahram Mu’abbad
Mahram Mu’abbad adalah orang-orang yang selamanya haram dinikahi. Larangan
yang telah disepakati ada tiga, yaitu :

a. Nasab (Keturunan)

Dalam perspektif fiqh, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya


(ta’bid) karena pertalian nasab yakni ibu kandung (ibu, nenek baik dari pihak ayah
maupun ibu dan seterusnya keatas), anak perempuan kandung (anak perempuan,
cucu perempuan baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya
kebawah), saudara perempuan (baik seayah maupun seibu), bibi (saudara
perempuan ayah atau ibu), dan keponakan perempuan (anak perempuan dari
saudara laki-laki atau perempuan).

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8, bahwa


perkawinan dilarang antara dua orang yang; 1) Berhubungan darah dalam garis
keturunan, lurus ke bawah ataupun ke atas. 2) Bergaris keturunan menyamping,
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya.

b. Persusuan (Radha’ah)

Menurut pandangan para ulama, larangan pernikahan karena hubungan


persusuan adalah sampainya air susu perempuan ke dalam perut anak yang belum
mencapai usia dua tahun Hijriyah dengan metode tertentu.

Hubungan persusuan yang karenanya diharamkan pernikahan, yakni ibu


susuan, nenek susuan (ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang
menyusui), bibi susuan (saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan
suami dari ibu susuan, dan seterusnya keatas), keponakan susuan perempuan (anak
perempuan dari saudara ibu susuan) dan saudara susuan perempuan (saudara seayah
maupun seibu).

c. Hubungan Mushaharah

Keharaman ini disebutkan dalam QS. An-Nisa : 23. Persoalan dalam hubungah
mushaharah adalah keharaman yang disebabkan karena akad perkawinan yang sah,
atau dapat juga dikarenakan perzinaan. Jika diperinci yaitu mertua perempuan
(nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas), anak tiri, menantu (istri anak, istri
cucu dan seterusnya kebawah) dan ibu tiri.

Imam Syafi`i berpendapat bahwa larangan pernikahan karena mushaharah


hanya disebabkan semata-mata oleh akad saja, tidak bias karena perzinaan.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan pernikahan karena
mushaharah disamping disebabkan karena akad yang sah, bias juga disebabkan
karena perzinaan

2. Mahram Mu’aqqat

Mahram Ghairu Ta’bid adalah orang-orang yang haram dinikahi untuk masa
tertentu, selama masi ada hal-hal yang diharamkannya. Jika penghalang sudah tidak ada,
maka halal untuk dinikahi. Perempuan-perempuan yang haram dinikahi tidak untuk
selamanya, yaitu :

a. Halangan Bilangan

Para ulama sepakat mengharamkan menikahi perempuanlebih dari empat.


Apabila ada orang yang baru masuk islam, memiliki istri lebih dari empat orang,
maka orang tersebut harus memilih empat diantara mereka untuk dijadikan istri
tetapnya.

b. Halangan Mengumpulkan

Dua orang perempuan bersaudara haram dinikahi oleh seorang laki-laki dalam
waktu yang bersamaan. Apabila seorang laki-laki menikahi perempuan, kemudian
perempuan tersebut meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu boleh menikahi adik
atau kakak dari perempuan yang telah meninggal atau dicerai tersebut.

c. Halangan Kafir

Wanita musyrik haram dinikahi. Tidak halal dan tidak sah pernikahannya atas
orang kafir dan orang murtad, karena ia telah keluar dari aqidah dan petunjuk yang
benar.
d. Halangan Ihram

Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun ihram haji
tidak boleh dikawini.

e. Halangan Iddah

Wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal
mati. Perceraian hidup dan dalam keadaan hamil, dijelaskan dalam surat At-Thalaq
ayat 4

f. Halangan Perceraian Tiga Kali

Wanita yang ditalak tiga, haram menikah lagi dengan bekas suaminya, kecuali
kalau sebelumnya sudah menikah lagi dengan orang lain dan telah berhubungan
badan serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa idah-nya

g. Halangan Peristrian

Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain (wanita yang terpelihara),
maka haram hukumnya untuk dinikahi. Perempuan yang terpelihara maksudnya
adalah perempuan yang bersuami.

D. FUNGSI DAN AKIBAT DARI HUKUM KHITBAH


Khitbah merupakan proses pendahuluan/awal menuju jenjang pernikahan mempunyai
fungsi sebagai berikut:

1. Khitbah merupakan cara untuk dapat mengenal satu sama lain antara peminang dan
yang dipinang
2. Khitbah dilakukan agar tidak ada penyesalan di kemudia hari karena telah saling
mengenal sebelumnya.

Dari kedua fungsi khitbah diatas, terdapat dua hal positif bagi peminang dan yang
dipinang, yaitu:

1. Memberi dorongan kepada kedua belah pihak untuk segera melangsungkan pernikahan
2. Memberikan keyakinan kepada kedua belah pihak untuk menjalani kehidupan bersama
dengan keadaan yang damai, bahagia, menjamin kesejahteraan, saling mencintai, dan
menyayangi satu sama lain.

Dalam undang-undang pasal 13 dijelaskan bahwa khitbah belum berakibat hukum dan
kedua pihak masih bebas dalam menentukan atau memutuskan sebuah hubungan
peminangan secara “bil-ma’ruf” yang memiliki arti menggunankan cara yang baik/patut
sesuai dengan tuntunan dan kebiayaan daerah setempat agar menciptakan kerukunan dan
rasa saling menghargai.

Menurut Ismail, para fuqaha sepakat bahwa khitbah tidak dipandang sebagai akad
perkawinan dan tidak ada konsekuensi hukum/akibat hukum akad perkawinan. Maka dari itu
setiap orang yang melakukan khitbah dilarang untuk berkhalwat (bersepi-sepi berdua)
kecuali jika terdapat mahram berkhalwat diperbolehkan hal ini bertujuan agar tidak terjadi
maksiat diantara keduanya.

Berikut ini merupakan penjelasan yang terdapat pada pasal 13:

1. Khitbah tidak menimbulkan akhibat hukun dan kedua pihak masih bebas dalam
memutuskan hubungannya jika terdapat ketidak cocokan.
2. Pemutusan khitbah/peminangan harus dilakukan dengan tata cara yang baik dan sesuai
dengan kebiasaan daerah setempat agar tetp terbina kerukunan dan rasa saling
menghargai.

E. RUKUN DAN SYARAT NIKAH


Rukun nikah merupakan sesuatu yang harus ada dalam akad nikah. menurut pandangan
jumhur, rukun nikah terdiri dari:
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon Mempelai perempuan
3. Wali Nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab & qabul (akad nikah). Sementara itu, Malikiyah memutuskan mahar pula menjadi
rukun nikah.
Lima rukun nikah tersebut harus ada ketika melaksanakan pernikahan, jika salah
satunya tidak ada maka tidak bisa dilaksanakan pernikahannya.

Akad pernikahan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat
dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan agama.

As-Sayyid Sabiq dalam hal ini berpendapat, akad nikah merupakan ijab qabul yang
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Pihak yang melakukan akad pernikahan memiliki kecakapan yaitu berakal, baligh dan
merdeka.
2. Masing-masing pihak memiliki wewenang untuk melakukan akad.
3. Qabul tidak boleh menyalahi ijab, kecuali kalau wali itu menguntungkan pihak yang
berijab.
4. Kedua belah pihak yang berakad, hendaknya berada dalam satu majlis dan saling
memahami ucapan lawan bicara (As-Sayyid Sabiq, 1073:34-36)

Para ahli hukum islam di Indonesia sepakat bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah
terpenuhinya rukun dan syarat nikah, yaitu :

1. Kedua calon pengantin sudah dewasa dan berakal (akil baligh).


2. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.
3. Harus ada mahar (maskawin) dari calon pengantin laki-laki yang diberikan ketika telah
resmi menjadi suami kepada istrinya.
4. Harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki islam yang adil dan
merdeka.
5. Harus ada upacara ijab qabul.
6. Hendaknya diadakan walimah (pesta pernikahan) sebagai tanda resmi terjadinya
pernikahan.
7. Sesuai dengan analogi surat Ali ‘Imron : 282 harus diadakan pendaftaran nikah kepada
Pejabat Pencatat Nikah, sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perkawinan merupakan suatu akad atau perikatan untuk membuat interaksi kelamin
antara pria & wanita guna mewujudkan kebahagian dalam berkeluarga yg mencakup rasa
ketenteraman dan kasih sayang menggunakan cara yg diridhai oleh Allah SWT.

Pencatatan pernikahan adalah pendataan administrasi pernikahan yang ditangani oleh


petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum.
Dengan demikan pencatatan Perkawinan merupakan syarat administratif, standar sahnya
pernikahan ditentukan oleh hukum agama dari pasangan suami dan istri yang melangsungkan
pernikahan. Akan tetapi, pernikahan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) tidak memiliki kekuatan hukum yang berlaku untuk melindungi status pernikahannya.
Apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan
upaya hukum, karena tidak memiliki bukti autentik dari perkawinan tersebut. Bukti autentik
itu disebut dengan akta nikah atau buku nikah. Fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq
membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua kategori yaitu peraturan syara’
dan peraturan bersifat fawsiqy. Sedangkan secara rinci hukum pernikahan, yaitu wajib,
sunnah, makruh, mubah, dan haram. Pencatatan Pernikahan Dalam Kajian Ushul Fiqh terdiri
dari nash, qiyas, ijma, dan Mashlahah dan Mursalah.

Perempuan dan laki-laki yang diharamkan saling menikahi dikelompokan menjadi 2


yaitu mahram mu’abbad (selamanya haram dinikahi) dan mahram mu’aqqat (orang yang
haram dinikahi untuk masa tertentu).

Khitbah atau meminang yang merupakan proses pendahuluan menuju jenjang


pernikahan mempunyai fungsi sebagai berikut :

3. Khitbah merupakan cara untuk dapat mengenal satu sama lain antara peminang dan
yang dipinang
4. Khitbah dilakukan agar tidak ada penyesalan di kemudia hari karena telah saling
mengenal sebelumnya.

Akibat hukum khitbabh yang terdapat pada pasal 13:

- Khitbah tidak menimbulkan akhibat hukun dan kedua pihak masih bebas dalam
memutuskan hubungannya jika terdapat ketidak cocokan.
- Pemutusan khitbah/peminangan harus dilakukan dengan tata cara yang baik dan sesuai
dengan kebiasaan daerah setempat agar tetp terbina kerukunan dan rasa saling
menghargai.

Para ahli hukum islam di Indonesia sepakat bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah
terpenuhinya rukun dan syarat nikah, yaitu :

8. Kedua calon pengantin sudah dewasa dan berakal (akil baligh).


9. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.
10. Harus ada mahar (maskawin) dari calon pengantin laki-laki yang diberikan ketika telah
resmi menjadi suami kepada istrinya.
11. Harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki islam yang adil dan
merdeka.
12. Harus ada upacara ijab qabul.
13. Hendaknya diadakan walimah (pesta pernikahan) sebagai tanda resmi terjadinya
pernikahan.
14. Sesuai dengan analogi surat Ali ‘Imron : 282 harus diadakan pendaftaran nikah kepada
Pejabat Pencatat Nikah, sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan.

B. SARAN
Penyusun menyadari jika makalah ini memiliki banyak kekurangan, tentunya peyusun
akan terus memperbaiki agar makalah ini dapat dimanfaatkan secara maksimal. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan.
DAFTAR PUSTAKA

Musyafah, A. 2020. PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS HUKUM ISLAM.


Jurnal Mengenai Dasar-Dasar Pemikiran Hukum: Filsafat dan Ilmu Hukum. Vol 2 No 2
Julir, N. 2017. PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA PERSPEKTIF USHUL
FIKIH. Jurnal MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan. Vol 4 No 1
Halim, A. 2020. PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM. Jurnal
Penelitian Sosial Agama. Vol 5 No 1
Salsabila, S. 2019. “TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN
DAN ISBAT NIKAH”. Diakses dari http://repository.uinbanten.ac.id/4666/5/BAB%203.pdf
pada tanggal 27 Mei 2022 pukul 23.00
Syahrudin. (2021, November 26). Peminangan dan Akibat Hukumnya (Tinjauan Peminangan
Dalam Perspektif KHI). Retrieved from Banten.kemenag.go.id:
https://banten.kemenag.go.id/det-berita-peminangan-dan-akibat-hukumnya-tinjauan-
peminangan-dalam-perspektif-khi.html
Atabik, A. & Mudhiiah, K. (2014). PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM, 5(2), 291-292.
Hermanto, A. (2017). LARANGAN PERKAWINAN PERSPEKTIF FIKIH DAN RELEVANSINYA
DENGAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA, 2(1), 127-145.

Anda mungkin juga menyukai