Q.S. Al-Baqarah(2):227-230. Ayat 227 menggambarkan bahwa Allah membolehkan suami menceraikan istri, tetapi harus direncanakan atau dipikirkan dengan matang. Keputusan suami untuk menceraikan istri diperbolehkan apabila sudah tidak ada solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang ada. Jika masih ada solusi, lebih baik pernikahannya dipertahankan. Keputusan untuk bercerai harus direncanakan dengan matang, tidak dengan emosi atau amarah yang sedang menggebu-gebu, harus dengan pertimbangan, alasan dan kalkulasi yang matang. Akad nikah merupakan perjanjian yang kuat, karena prinsipnya, sekali akad untuk seumur hidup. Namun, tidak dipungkiri bahwa dalam menjalankan kehidupan rumah tangga ada saja suatu masalah. Allah memberikan alternatif sebagai solusi akhir apabila rumah tangga seseorang tidak berjalan dengan baik, yaitu thallaq. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah menceraikan istri atau menjatuhkan talak. Ayat 228, dikhususkan bagi wanita yang diceraikan suaminya. Wewenang cerai memang ada di tangan suami, tetapi istri bisa saja gugat cerai. Jika wanita sudah diceraikan suaminya, berarti wanita ini sudah tidak terikat tali perkawinan. Dalam proses talak terdapat masa transisi, yaitu masa ‘iddah, yang artinya menunggu atau menghitung. Lamanya masa ‘iddah adalah 3 bulan 10 hari (100 hari). Mengapa harus ada masa transisi atau masa ‘iddah? Allah menjelaskan pada ayat ini hikmah dari masa ‘iddah. 1. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka. Maksudnya ialah bisa jadi terdapat benih yang tertanam dari suami di dalam rahim istri sebelum suami menceraikan. Wanita harus mengecek rahimnya terlebih dahulu sebelum ia bercerai dengan suaminya. Apabila setelah wanita bercerai dengan suaminya, lalu wanita ini menikah lagi, dikhawatirkan terjadi ketidakjelasan. Anak siapa yang tengah dikandung wanita itu? Anak dari mantan suaminya atau dari suaminya sekarang. 2. Sisi ilmiah membuktikan bahwa rahim wanita memiliki alat rekam. 30 hari rekamanan akan hilang. Jika sudah hilang rekamanan yang lama, maka wanita sudah siap memulai dengan memori baru. 3. Masa transisi bisa menjadi waktu tambahan bagi suami untuk mematangkan kembali keputusannya untuk bercerai. Bisa saja dalam masa ini, suami ingin memperbaiki hubungan dengan istrinya. Maka diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam masa ‘iddah terjadinya rujuk, yaitu kembali mengikat tali perkawinan atau hubungan suami istri. Rujuk dapat dilakukan dengan lisan, misalnya “Kembali” atau “Yuk kita baikan.” Namun, utamanya tidak cukup dengan lisan saja, harus tertulis (agar ada bukti) dan ada saksi. Ayat ini juga menyebutkan “Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas merek.” Apa saja kelebihan suami? Kelebihan suami hanya 3, yaitu memiliki kewajiban mencari nafkah, menjadi pemmpin dalam rumah tangga, dan sebagai pemegang kunci perceraian atau wewenang untuk talak. Dalam ayat 229, suami ditegaskan sekali lagi dalam masa transisi untuk memikirkan ulang keputusannya. Terdapat dua pilihan terakhir bagi suami, yaitu menahan (rujuk) atau melepaskan sampai masa ‘iddah berlalu, tetapi dengan cara baik-baik (ihsan). Ayat ini juga menjadi dasar hukum khulu’ dan penerimaan ‘iwad. Khulu’ yaitu hak istri untuk bercerai dari suaminya dengan membayar ‘iwad melalui pengadilan. Dalam ayat 230, setelah disebutkan dua talak pada kesempatan yang lalu, di sini disebutkan talak yang lain yaitu talak ketiga. Jika dia memilih untuk menceraikan istrinya setelah talak yang kedua, yakni pada talak ketiga yang tidak lagi memberinya kesempatan untuk rujuk, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dan melakukan hubungan suami-istri dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa dan halangan bagi keduanya, yakni suami pertama dan mantan istrinya, untuk menikah kembali dengan akad yang baru, setelah ia selesai menjalani masa idahnya dari suami kedua. Hal ini dapat ditempuh jika keduanya berpen-dapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah dengan menjalani hidup baru yang lebih baik sesuai dengan aturan yang ditetapkan Allah. Apabila keduanya ragu untuk kembali dengan baikbaik maka niat untuk kembali hidup bersama hendaknya dibatalkan. Itulah ketentuan-ketentuan Allah tentang hukum talak, rujuk, dan khulu' yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan agar mereka memahami dan memperhatikan hukum-hukum Allah. Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan perintah memilih untuk rujuk atau menceraikan istri, berikutnya Allah menjelaskan batas akhir pilihan itu. Dan apabila kamu menceraikan istri- istri kamu dengan talak yang memungkinkan rujuk, setelah talak pertama atau kedua, lalu sampai akhir ‘iddahnya mendekati habis, maka tahanlah mereka dengan merujuk jika kamu yakin mampu memperbaiki hubungan itu kembali dengan cara yang baik sesuai tuntunan agama dan adat, atau ceraikanlah mereka apabila hubungan itu tidak dapat dilanjutkan dengan cara yang baik pula. Dan janganlah kamu tahan untuk merujuk mereka dengan maksud ingin berbuat jahat atau untuk menzalimi mereka selama hidup bersama. Barang siapa melakukan demikian, yaitu tindakan jahat dan zalim, maka pada hakikatnya dia telah menzalimi dirinya sendiri sehingga ia berhak mendapat murka Allah, kebencian keluarga dan orang sekelilingnya, dan semuanya itu berimbas pada dirinya. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah tentang petunjuk hukum talak sebagai bahan ejekan yang dapat dipermainkan. Ingatlah nikmat Allah yang telah dia karuniakan kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu petunjuk tentang hukum keluarga yang terdapat dalam kitab Al-Qur'an dan hikmah atau sunah. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.