Disusun oleh:
Kelompok 5
2.1 Konsep Dasar Akhlak dan Tasawuf Menurut Beberapa Pendapat Ilmuwan Muslim
“Akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari “khuluq” yang menurut bahasa berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi
persesuaian dengan perkataan “khuluq” yang berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan “khaliq” yang berarti pencipta; demikian dengan “khaliq” yang
berarti diciptakan. Jadi secara kebahasaan kata akhlak mengacu pada sifat-sifat manusia
universal, perangai, watak, kebiasaan, dan keteraturan baik sifat yang terpuji maupun
sifat yang tercela. Menurut Ibnu Manzur, akhlak pada hakikatnya adalah dimensi esoteris
manusia berkenaan dengan jiwa, sifat, dan karakteristiknya secara khusus, yang hasanah
(baik)
maupun yang qabihah (buruk).
Ibnu Miskawaih (w.421 H/1030 M) memberikan definisi sebagai berikut:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu).”
Imam Al-Ghazali (w.550 H/1111 M) menjelaskan definisi akhlak sebagai berikut:
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran
(lebih dahulu).”
Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi, bahwa disebut akhlak “adatul iradah”,
atau kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam suatu tulisannya yang
berbunyi: “Sementara orang yang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak
ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu,
maka kebiasaan itu dinamakan akhlak.”
Sedangkan menurut Anis Matta adalah nilai dan pemikiran yang telah menjadi sikap
mental yang mengakar dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk tindakan dan
perilaku yang bersifat tetap, natural atau alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks.
Menurut Hamid, Abdul dan Saebani, Beni Ahmad (2012:13) akhlak adalah budi
pekerti, perangai, tingkah laku, tata krama, sopan santun adab dan tindakan.
Menurut Umar Baradja (1993:11) menyatakan bahwa akhlak ibarat keadaan jiwa yang
kokoh, darimana timbul berbagai perbuatan dengan mudah tanpa menggunakan pikiran
dan perencanaan. Bilamana perbuatan-perbuatan yang timbul dari jiwa itu baik, maka
keadaannya disebut “akhlak yang baik”. Jika yang ditimbulkan lebih dari itu, maka
keadaannya disebut “akhlak yang buruk”.
Menurut Abudin Nata (2013:6) menyatakan bahwa definisi-definisi akhlak tersebut
secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri
yang terdapat dalam perbuatan akhlak, antara lain: Pertama, perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi
kepribadiannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah dan tanpa pemikiran. Hal ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.
Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
Keempat, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,
bukan main-main atau karena bersandiwara. Jika kita menyaksikan orang-orang berbuat
kejam, sadis, jahat, dan seterusnya. Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan
akhlak (terutama pada akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas
semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin
mendapatkan sesuatu pujian. Seorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena
Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak.
Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata “tashowwafa – yatashowwafu –
tashowwuf” mengandung makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang
sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol.
Menurut sebagian pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena
kesucian (shafa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain
menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada di baris terdepan
(shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan
ada juga yang mengambil dari istilah ash-hab al-Shuffah, yaitu para sahabat Nabi SAW
yang tinggal di kamar/serambi-serambi masjid (mereka meninggalkan dunia dan rumah
mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat dengan Rasulullah SAW).
Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri
(tazkiyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang
menyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya
ditujukan kepada Allah SWT.
Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang
menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal
kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah,
dan meninggalkan (larangan-larangan) Allah menuju (perintah-perintah) Allah SWT.
Esensi tasawuf bermuara pada hidup zuhud (tidak mementingkan kemewahan duniawi).
Tujuan hal ini dalam rangka dapat berhubungan langsung dengan Tuhan; dengan
perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan.
2. Ahwal Tasawuf
Kata ahwal merupakan bentuk jamak dari haal artinya sesuatu dari kejernihan
dzikir yang bertempat dalam hati, atau hati berada dalam kejernihan dzikir tersebut.
Al-Haal (kondisi rohani), menurut banyak orang merupakan arti yang intuitif dalam
hati, tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik dan usaha lainnya, dan rasa senang
atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau sukacita.
Maka setiap al-haal merupakan karunia, dan setiap maqam adalah upaya. Pada al-haal
datang dari Wujud itu sendiri, sedang al maqam diperoleh melalui upaya perjuangan.
Baiknya amal merupakan hasil dari baiknya ahwal (keadaan spiritual). Sedangkan
baiknya ahwal muncul setelah mencapai tahap kemampuan spiritual
(maqam-maqam). Adapun ahwal tasawuf tersebut yaitu:
a. Muraqabah (Mawas Diri)
Menurut Imam al-Qusyairi an Nisabury secara bahasa muraqabah adalah
mengamati tujuan. Sedangkan secara terminologi muraqabah yaitu keyakinan
seorang sufi dengan kalbunya bahwasanya Allah SWT. melakukan
pengamatan kepadanya dalam gerak dan diamnya sehingga membuat ia
mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya.
b. Mahabbah (Cinta)
Sahl bin Abdullah tentang mahabbah berpendapat bahwa mahabbah adalah
kecocokan hati dengan Allah SWT. dan senantiasa cocok dengan-Nya, serta
SAW. dengan senantiasa mencintai yang sangat mendalam untuk selalu
berdzikir (mengingat) Allah SWT. dan menemukan manisnya bermunajat
kepada Allah SWT.
c. Khauf (Takut)
Khauf dalam tasawuf adalah hadirnya perasaan takut ke dalam diri seorang
salik (orang yang menuju Tuhan) karena dihantui oleh perasaan dosa dan
ancaman yang akan menimpanya. Seorang yang berada dalam khauf akan
merasa lebih takut kepada dirinya sendiri, sebagaimana ketakutannya kepada
musuhnya.
d. Raja’ (harapan)
Raja’ atau harapan adalah memperhatikan kebaikan dan berharap dapat
mencapainya, melihat berbagai bentuk kelembutan dan nikmat Allah, dan
memenuhi diri dengan harapan demi masa depan serta hidup demi meraih
harapan tersebut.
e. ‘Uns (Suka Cita)
‘Uns yaitu keadaan spiritual seorang sufi yang merasa intim tau akrab dengan
Tuhannya, karena telah merasakan kedekatan dengan-Nya. ‘Uns adalah
keadaan spiritual ketika qalbu dipenuhi rasa cinta, keindahan, kelembutan,
belas kasih, dan pengampunan Allah.
f. Yakin
Yakin dalam terminologi sufi yaitu sebuah kepercayaan yang kuat dan tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena
penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh
ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.
3.1 Kesimpulan
Tasawuf menjadi aspek ajaran Islam yang mewarisi etika hidup sederhana,
asketisme, amanah, kerendahan hati, nilai-nilai kesabaran dan sejenisnya. Sementara itu,
dunia modern dipenuhi dengan ibadah materi, persaingan sengit disertai dengan intrik,
tipu daya, keserakahan, saling menjegal, tidak mengenal halal dan haram, dan
sebagainya. Hal ini mengingat fakta bahwa nilai-nilai spiritual semakin mendapatkan
tempat liris dalam masyarakat modern saat ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis
besar yang melanda umat manusia tidak dapat diatasi hanya dengan keunggulan iptek
dan kehebatan ideologi yang dianut oleh negara-negara terkemuka. Ideologi
sosialisme-komunisme telah gagal. Ideologi kapitalisme-liberalisme juga dinilai goyah
dan rapuh.
Dalam hal ini, agama dipandang sebagai harapan dan benteng terakhir untuk
menyelamatkan umat manusia dari kehancuran yang mengerikan. Tasawuf atau Sufisme
adalah sikap perilaku pengendalian diri melalui pengendalian hati hanya untuk Allah
semata. Tasawuf bertujuan untuk menciptakan atau membentuk akhlak mulia. Pelaku
tasawuf berupaya memperbaiki akhlak dengan berpaling dari kehidupan dunia. Fokus
tasawuf berkaitan dengan tindakan batin. Secara hukum dalil tentang pengolahan batin
ini dapat merujuk pada Quran sebagai sumber tertinggi dalam hirarki Hukum Islam.
Allah menjelaskan dalam Quran Al-An’am 6:151 “Dan janganlah kalian mendekati
perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi”.
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa hendaknya manusia menjauhi perbuatan keji baik
perbuatan tersebut tampak, maupun perbuatan tersebut tersembunyi. Perbuatan jahat atau
sifat jahat yang tersembunyi adalah perbuatan yang tersimpan dalam hati dan jiwa setiap
manusia. Allah ingin agar amal-amal yang tersembunyi hilang dari tempat
persembunyiannya di dalam hati manusia.
3.2 Saran
Sebagai umat muslim sepatutnya untuk menghilangkan perilaku yang buruk dalam
diri, kemudian menghiasinya dengan akhlak yang mulia, sehingga terciptalah ketenangan
dalam diri seseorang. Kondisi kejiwaan yang stabil tersebut memberikan spirit dalam
berinteraksi dengan dunia kemodernan yang penuh dengan tantangan dan godaan. Selain
itu tasawuf juga berperan sebagai penyembuh terhadap kehampaan spiritual yang dialami
manusia modern.
DAFTAR PUSTAKA