Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KONSEP AKHLAK DAN TASAWUF DALAM ERA MODERNISASI DAN


GLOBALISASI

Untuk Memenuhi Tugas


Agama Islam II

Disusun oleh:
Kelompok 5

Mei Astrid 041911535004


Isrina Sarikunanti 041911535005
Servia Wijayatri 041911535025

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tasawuf adalah jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan
cara mempraktekan konsep konsep yang ada dalam tasawuf. Konsep Konsep yang ada
dalam tasawuf mengarahkan manusia atau sufi untuk berada sedekat mungkin dengan
Allah SWT. Tasawuf juga merupakan rangkaian eksperimen jiwa dalam menempuh jalan
penyucian dan penempaan rohani yang dituntun oleh kerinduan kepada Allah.
Dalam tasawuf ada maqamat dan ahwal. Maqamat adalah konsep dalam tasawuf yang
menunjukkan kedudukan spiritual seorang sufi di mata Allah. Maqamat ini sifatnya tentu
sangat subjektif, Karena berdasarkan pengalaman spiritual masing-masing sufi.
Begitupun dengan ahwal umumnya buku-buku tasawuf memiliki subjektifitas sendiri
dalam merumuskan kondisi spiritual atau ahwal.
Baik maqamat maupun ahwal adalah konsep tasawuf yang bisa dicapai dan dirasakan
oleh semua orang, jika ia step by step mengikuti alur maqamat yang dihadirkan dalam
kajian tasawuf. Setelah manusia bisa melewati step by step maqamat tasawuf maka Allah
akan memberi ia kondisi-kondisi spiritual tentang pengalaman dengan Tuhan. Selain itu,
konsep-konsep tasawuf ini, atau tepatnya maqamat dan ahwal ini, tentu bukanlah hal
yang baru dalam dunia tasawuf. Sejak tasawuf ada maka konsep inipun tentunya hadir.
Melihat pada masa sekarang apakah masih relevan konsep tersebut dengan zaman
sekarang sehingga bisa dipraktekan oleh siapapun yang ingin merasakan kedekatan dan
pengalaman spiritual dengan Tuhan. Maka, oleh sebab itu, penting kiranya untuk
mengetahui bagaimana maqamat dan ahwal dalam tasawuf dan relevansinya dengan
kehidupan sekarang ini.

1.2 Tujuan Masalah


1. Bagaimana konsep dasar akhlak dan tasawuf menurut beberapa pendapat ilmuwan
muslim?
2. Bagaimana sejarah ilmu tasawuf?
3. Bagaimana konsep ilmu dari tasawuf.
4. Apa tantangan ilmu tasawuf dalam modernisasi dan globalisasi?

1.3 Tujuan Masalah


1. Memahami konsep dasar akhlak dan tasawuf menurut beberapa pendapat ilmuwan
muslim.
2. Mengetahui sejarah ilmu tasawuf.
3. Memahami konsep ilmu tasawuf.
4. Mengetahui tantangan ilmu tasawuf dalam modernisasi dan globalisasi.
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Akhlak dan Tasawuf Menurut Beberapa Pendapat Ilmuwan Muslim
“Akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari “khuluq” yang menurut bahasa berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi
persesuaian dengan perkataan “khuluq” yang berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan “khaliq” yang berarti pencipta; demikian dengan “khaliq” yang
berarti diciptakan. Jadi secara kebahasaan kata akhlak mengacu pada sifat-sifat manusia
universal, perangai, watak, kebiasaan, dan keteraturan baik sifat yang terpuji maupun
sifat yang tercela. Menurut Ibnu Manzur, akhlak pada hakikatnya adalah dimensi esoteris
manusia berkenaan dengan jiwa, sifat, dan karakteristiknya secara khusus, yang hasanah
(baik)
maupun yang qabihah (buruk).
Ibnu Miskawaih (w.421 H/1030 M) memberikan definisi sebagai berikut:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu).”
Imam Al-Ghazali (w.550 H/1111 M) menjelaskan definisi akhlak sebagai berikut:
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran
(lebih dahulu).”
Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi, bahwa disebut akhlak “adatul iradah”,
atau kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam suatu tulisannya yang
berbunyi: “Sementara orang yang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak
ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu,
maka kebiasaan itu dinamakan akhlak.”
Sedangkan menurut Anis Matta adalah nilai dan pemikiran yang telah menjadi sikap
mental yang mengakar dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk tindakan dan
perilaku yang bersifat tetap, natural atau alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks.
Menurut Hamid, Abdul dan Saebani, Beni Ahmad (2012:13) akhlak adalah budi
pekerti, perangai, tingkah laku, tata krama, sopan santun adab dan tindakan.
Menurut Umar Baradja (1993:11) menyatakan bahwa akhlak ibarat keadaan jiwa yang
kokoh, darimana timbul berbagai perbuatan dengan mudah tanpa menggunakan pikiran
dan perencanaan. Bilamana perbuatan-perbuatan yang timbul dari jiwa itu baik, maka
keadaannya disebut “akhlak yang baik”. Jika yang ditimbulkan lebih dari itu, maka
keadaannya disebut “akhlak yang buruk”.
Menurut Abudin Nata (2013:6) menyatakan bahwa definisi-definisi akhlak tersebut
secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri
yang terdapat dalam perbuatan akhlak, antara lain: Pertama, perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi
kepribadiannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah dan tanpa pemikiran. Hal ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.
Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
Keempat, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,
bukan main-main atau karena bersandiwara. Jika kita menyaksikan orang-orang berbuat
kejam, sadis, jahat, dan seterusnya. Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan
akhlak (terutama pada akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas
semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin
mendapatkan sesuatu pujian. Seorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena
Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak.

Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata “tashowwafa – yatashowwafu –
tashowwuf” mengandung makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang
sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol.
Menurut sebagian pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena
kesucian (shafa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain
menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada di baris terdepan
(shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan
ada juga yang mengambil dari istilah ash-hab al-Shuffah, yaitu para sahabat Nabi SAW
yang tinggal di kamar/serambi-serambi masjid (mereka meninggalkan dunia dan rumah
mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat dengan Rasulullah SAW).
Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri
(tazkiyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang
menyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya
ditujukan kepada Allah SWT.
Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang
menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal
kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah,
dan meninggalkan (larangan-larangan) Allah menuju (perintah-perintah) Allah SWT.
Esensi tasawuf bermuara pada hidup zuhud (tidak mementingkan kemewahan duniawi).
Tujuan hal ini dalam rangka dapat berhubungan langsung dengan Tuhan; dengan
perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan.

2.2 Sejarah Ilmu Tasawuf


Ilmu Tasawuf telah tumbuh dan berkembang sejak lama, tepatnya sejak zamannya
Nabi Muhammad Saw. Ilmu Tasawuf memiliki banyak manfaat, salah satunya dapat
menjadi alat untuk menghadapi kehidupan ini. Dengan tasawuf, orang-orang besar Islam
seperti Diponegoro, Imam Bonjol, dan Cik Di Tiro menentang penjajahan. Dengan
tasawuf, Amir Abdul Kadir al-Jazairi berani melawan Prancis. Pada abad kedua, Tasawuf
hanya terkenal di Kufah dan Bashrah. Baru pada permulaan abad ketiga, Tasawuf mulai
tumbuh dan berkembang secara luas ke kota-kota lain, bahkan hingga ke kota Baghdad.
Pada masa itu, esensi Tasawuf terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak,
dan Ilmu Metafisika atau ilmu tentang hal yang gaib (hal 115-118). Seorang ahli Tasawuf
(sufi) sejati, biasanya menjunjung tinggi syariat dan akan menjalankannya dengan tidak
banyak bertanya. Jika mereka bertemu dengan satu perintah atau larangan, mereka akan
turuti atau hentikan dengan perasaan ridha dan patuh. Bahkan terkadang, hadits yang
dipandang dhaif (lemah) oleh para ahli hadits pun diamalkan isinya oleh mereka dengan
tidak banyak menanyakan siapa yang merawikan (hal 108). Pada abad ketiga dan
keempat, esensi utama ilmu Tasawuf adalah tentang hubungan cinta manusia dengan
Tuhan. Rabi’ah al-Adawiyah terlebih dahulu telah mengungkapkan jiwa ke-Tasawuf
dengan ajarannya yang terkenal, yaitu Hubba, cinta. Sementara itu, Ma’ruf al-Karakhi,
seorang pemimpin besar Tasawuf di Baghdad, menambah hasil peroleh jiwa dari cinta
itu, yakni Thuma’ninah (ketenteraman jiwa) karena cinta. Ketenteraman jiwa itulah yang
menjadi tujuannya. Sebab, kekayaan yang sebenarnya dan bersifat kekal itu bukanlah
berupa harta benda, melainkan kekayaan hati. Kekayaan hati hanya bisa diperoleh
dengan jalan makrifat, yang kenal pada yang dicintai. Sebab, apabila yang dicintai itu
telah dikenal, maka kebahagiaan dan ketentraman hati akan dengan mudah diperoleh.
Dengan demikian, akan tampak kecil segala urusan “kebendaan” dalam penglihatan
mata-hati. Haris al-Muhasibi pernah menjelaskan bahwa rasa cinta seorang makhluk
kepada Sang Khaliq merupakan anugerah Ilahi yang disemaikan Tuhan di dalam hati
orang yang mencintainya (hal 116-117).
Era globalisasi pada dasarnya sering diidentikkan dengan kemodernan, dimana dalam
kemodernan ciri khas yang bisa diamati adalah rasionalisme, materialisme,
individualisme dan industrialisasi atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seiring dengan kemajuan yang dicapai oleh perkembangan teknologi, lahirlah teknologi
informasi dan komunikasi yang merupakan alat utama dalam proses global tersebut.
Media informasi dan komunikasi memberikan jasa yang luar biasa dalam proses interaksi
masyarakat dunia. Melihat kemajuan yang luar bisa yang telah dicapai oleh manusia
modern secara global tersebut, juga memberikan dampak negatif bagi eksistensi manusia
itu sendiri, yaitu kehampaan spiritual dan krisis moral. Tidak hanya itu, Arus globalisasi
yang begitu deras, merobohkan batas-batas ideologi dan budaya. Media informasi dan
komunikasi menjadi sarana yang utama dalam penyebaran modernitas yang bermula dari
Barat. Dengan demikian gaya hidup modern telah menjadi gaya hidup bersama secara
global. Penerapan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari akan menciptakan
lingkungan yang kondusif dan berakhlak. Konsep tahalli yakni membersihkan diri dari
perilaku dan sifat yang tercelah. Konsep ini bisa berfungsi sebagai sarana untuk
membersihkan jiwa dari penyakit batin. Konsep, lain yang ditawarkan dalam tasawuf
adalah zuhud yang bermakna membebaskan diri dari ketertarikan materi. Dalam konteks
kekinian penerapan konsep zuhud ini sangat relevan dengan kondisi manusia modern
yang begitu materialistis. Namun, perlu ditekankan bahwa konsep ini bukan berarti kita
benar-benar memisahkan diri dari dunia, tapi lebih kepada menghilangkan kecintaan
yang berlebihan kepada dunia. Sebab, dalam dunia modern saat ini kita tidak mampu
menghindar dari kebutuhan tersebut. Pada intinya tasawuf bertujuan untuk membimbing
manusia agar dapat memperoleh kedekatan yang hakiki dengan Tuhan-nya.

2.3 Konsep Ilmu Tasawuf


1. Maqamat Tasawuf
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam. Secara etimologi berarti
tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi, atau tingkatan. Adapun secara
terminologi maqamat diartikan sebagai tempat atau martabat seorang hamba di
hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Ia merupakan proses
training, melatih diri dalam hidup kerohanian (riyadhah), latihan memerangi hawa
nafsu (mujahadah), dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti
kepada Allah. Adapun menurut al-Hujwiri (w. 465 H /1072 M), maqamat merupakan
keberadaan seseorang di jalan Allah. Lalu, ia memenuhi kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya,
sejauh berada dalam kekuatan manusia.
Sedangkan menurut Imam al-Qusyairi Naisaburi menjelaskan maqam adalah
tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya,
mewujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing Masing berada
dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhoh
menuju kepadaNya. Berdasarkan penjelasan di atas sederhananya maqamat adalah
kedudukan atau posisi seseorang hamba di hadapan Allah yang ia istiqamah pada
kedudukan tersebut dan berusaha untuk meningkatkannya hingga mencapai derajat
puncak.
Adapun maqamat tersebut yaitu:
a. Taubat
Taubat berarti berpaling dari dosa, untuk menghilangkan segala keprihatinan
duniawi. Taubat juga berarti kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara
menuju sesuatu yang dipuji oleh-Nya.
b. Wara’
Secara harfiah wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata
ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Wara juga
berarti menghindari segala bentuk syubhat karena takut terperosok dalam hal
yang haram. Semua ini sesuai dengan sebuah kaidah yang berbunyi,
“Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu.
c. Zuhud
Secara etimologi zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian. Menurut HAMKA sebagai tokoh Tasawuf Modern berpendapat
bahwa Zuhud akan dunia itu adalah sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak beruang
sepeser juga, sudi jadi miliuner, tetapi harta itu tidak menjadi sebab buat dia
melupakan Tuhan, atau lalai dari kewajiban.
d. Fakir
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau
orang miskin. Fethullah Gulen mengartikan bahwa fakir adalah kesadaran atas
kebutuhan kepada Allah semata dan hidup dalam kesadaran atas kecukupan
pada makhluk.
e. Sabar
Sabar secara bahasa adalah menahan atau bertahan, bertahan dan menahan diri
dari rasa gelisah, cemas dan amarah, menahan lidah dari keluh kesah,
menahan anggota tubuh dari kekacauan. Menurut Fethullah Gulen sabar
adalah tabah menjalani penderitaan dan nestapa ketika menghadapi berbagai
kejadian yang sulit untuk dihadapi dan sulit untuk dihindari. Abu Muhammad
Ahmad al Jurairi menjelaskan bahwa sabar adalah keadaan tidak membedakan
keadaan bahagia atau menderita, disertai dengan ketentraman pikiran dalam
keduanya.
f. Tawakkal
Tawakkal berasal dari kata wakalah yang berarti at-Tafwidl (penyerahan) dan
al-I’timad (penyandaran). Seperti kalimat: wakkala Amruhu Ilaa Fulaanin (ia
menyerahkan dan menyandarkan urusannya kepada seseorang). Jadi, secara
etimologi tawakkal adalah menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada wakil
yang Maha Mewakili dan Maha Haq (Allah).
g. Ridha
Ridha artinya rela menerima apapun yang telah ditentukan dan ditakdirkan
Tuhan kepadanya. Kerelaan mereka dalam menerima semata-mata karena
Tuhan. Orang yang telah memiliki sifat “ridha” tidak akan mudah bimbang
atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa menyesal dalam
hidup kekurangan, tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang telah didapat
oleh orang lain, karena mereka kuat berpegang pada aqidah yang berkaitan
dengan qadha dan qadar yang semuanya itu dari Tuhan.

2. Ahwal Tasawuf
Kata ahwal merupakan bentuk jamak dari haal artinya sesuatu dari kejernihan
dzikir yang bertempat dalam hati, atau hati berada dalam kejernihan dzikir tersebut.
Al-Haal (kondisi rohani), menurut banyak orang merupakan arti yang intuitif dalam
hati, tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik dan usaha lainnya, dan rasa senang
atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau sukacita.
Maka setiap al-haal merupakan karunia, dan setiap maqam adalah upaya. Pada al-haal
datang dari Wujud itu sendiri, sedang al maqam diperoleh melalui upaya perjuangan.
Baiknya amal merupakan hasil dari baiknya ahwal (keadaan spiritual). Sedangkan
baiknya ahwal muncul setelah mencapai tahap kemampuan spiritual
(maqam-maqam). Adapun ahwal tasawuf tersebut yaitu:
a. Muraqabah (Mawas Diri)
Menurut Imam al-Qusyairi an Nisabury secara bahasa muraqabah adalah
mengamati tujuan. Sedangkan secara terminologi muraqabah yaitu keyakinan
seorang sufi dengan kalbunya bahwasanya Allah SWT. melakukan
pengamatan kepadanya dalam gerak dan diamnya sehingga membuat ia
mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya.
b. Mahabbah (Cinta)
Sahl bin Abdullah tentang mahabbah berpendapat bahwa mahabbah adalah
kecocokan hati dengan Allah SWT. dan senantiasa cocok dengan-Nya, serta
SAW. dengan senantiasa mencintai yang sangat mendalam untuk selalu
berdzikir (mengingat) Allah SWT. dan menemukan manisnya bermunajat
kepada Allah SWT.
c. Khauf (Takut)
Khauf dalam tasawuf adalah hadirnya perasaan takut ke dalam diri seorang
salik (orang yang menuju Tuhan) karena dihantui oleh perasaan dosa dan
ancaman yang akan menimpanya. Seorang yang berada dalam khauf akan
merasa lebih takut kepada dirinya sendiri, sebagaimana ketakutannya kepada
musuhnya.
d. Raja’ (harapan)
Raja’ atau harapan adalah memperhatikan kebaikan dan berharap dapat
mencapainya, melihat berbagai bentuk kelembutan dan nikmat Allah, dan
memenuhi diri dengan harapan demi masa depan serta hidup demi meraih
harapan tersebut.
e. ‘Uns (Suka Cita)
‘Uns yaitu keadaan spiritual seorang sufi yang merasa intim tau akrab dengan
Tuhannya, karena telah merasakan kedekatan dengan-Nya. ‘Uns adalah
keadaan spiritual ketika qalbu dipenuhi rasa cinta, keindahan, kelembutan,
belas kasih, dan pengampunan Allah.
f. Yakin
Yakin dalam terminologi sufi yaitu sebuah kepercayaan yang kuat dan tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena
penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh
ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.

2.4 Tasawuf dan tantangan modern dan Global


Istilah modernitas diderivasikan dari istilah modern. Istilah modern pertama kali
muncul pada abad ke-16 (sekitar tahun 1500-an di Eropa), berasal dari bahasa Latin
‘moderna’ yang artinya sekarang, baru, atau saat kini. Melalui Istilah inilah kata
modernitas itu muncul. Modernitas bukan hanya menunjuk pada suatu periode,
melainkan juga suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan kabaruan (Inggris:
Newness), karena itu istilah perubahan, kemajuan, revolusi, pertumbuhan adalah
istilah-istilah kunci kesadaran modern. Pemahaman tentang modernitas sebagai suatu
bentuk kesadaran itu, lebih mendasar daripada pemahaman-pemahaman yang bersifat
sosiologis maupun ekonomis dalam pemahaman-pemahaman terakhir ini, orang
menunjuk pada tumbuhnya sains,teknik dan ekonomi kapitalistis sebagai ciri-ciri
masyarakat modern.
Masyarakat modern adalah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan
antara anggota masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau persaudaraan,
tetapi pada prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Masyarakatnya Merasa bebas dan lepas
dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Ciri-cirinya yang lain adalah
penghilangan nilai-nilai sakral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks
sejarah dan kenisbian nilai-nilai.
Era globalisasi pada dasarnya sering diidentikkan dengan kemodernan, dimana dalam
kemodernan ciri khas yang bisa diamati adalah rasionalisme, materialisme,
individualisme dan industrialisasi atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seiring dengan kemajuan yang dicapai oleh perkembangan teknologi, lahirlah teknologi
informasi dan komunikasi yang merupakan alat utama dalam proses global tersebut.
Media informasi dan komunikasi memberikan jasa yang luar biasa dalam proses interaksi
masyarakat dunia.
Melihat kemajuan yang luar bisa yang telah dicapai oleh manusia modern secara
global tersebut, juga memberikan dampak negatif bagi eksistensi manusia itu sendiri,
yaitu kehampaan spiritual dan krisis moral. Tidak hanya itu, Arus globalisasi yang begitu
deras, merobohkan batas-batas ideologi dan budaya. Media informasi dan komunikasi
menjadi sarana yang utama dalam penyebaran modernitas yang bermula dari Barat.
Dengan demikian gaya hidup modern telah menjadi gaya hidup bersama secara global.
Penerapan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari akan menciptakan lingkungan
yang kondusif dan berakhlak. Konsep tahalli yakni membersihkan diri dari perilaku dan
sifat yang tercelah. Konsep ini bisa berfungsi sebagai sarana untuk membersihkan jiwa
dari penyakit batin. Konsep, lain yang ditawarkan dalam tasawuf adalah zuhud yang
bermakna membebaskan diri dari ketertarikan materi. Dalam konteks kekinian penerapan
konsep zuhud ini sangat relevan dengan kondisi manusia modern yang begitu
materialistis. Namun, perlu ditekankan bahwa konsep ini bukan berarti kita benar benar
memisahkan diri dari dunia, tapi lebih kepada menghilangkan kecintaan yang berlebihan
kepada dunia. Sebab, dalam dunia modern saat ini kita tidak mampu menghindar dari
kebutuhan tersebut. Pada intinya tasawuf bertujuan untuk membimbing manusia agar
dapat memperoleh kedaulatan yang hakiki dengan Tuhan-nya.
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tasawuf menjadi aspek ajaran Islam yang mewarisi etika hidup sederhana,
asketisme, amanah, kerendahan hati, nilai-nilai kesabaran dan sejenisnya. Sementara itu,
dunia modern dipenuhi dengan ibadah materi, persaingan sengit disertai dengan intrik,
tipu daya, keserakahan, saling menjegal, tidak mengenal halal dan haram, dan
sebagainya. Hal ini mengingat fakta bahwa nilai-nilai spiritual semakin mendapatkan
tempat liris dalam masyarakat modern saat ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis
besar yang melanda umat manusia tidak dapat diatasi hanya dengan keunggulan iptek
dan kehebatan ideologi yang dianut oleh negara-negara terkemuka. Ideologi
sosialisme-komunisme telah gagal. Ideologi kapitalisme-liberalisme juga dinilai goyah
dan rapuh.
Dalam hal ini, agama dipandang sebagai harapan dan benteng terakhir untuk
menyelamatkan umat manusia dari kehancuran yang mengerikan. Tasawuf atau Sufisme
adalah sikap perilaku pengendalian diri melalui pengendalian hati hanya untuk Allah
semata. Tasawuf bertujuan untuk menciptakan atau membentuk akhlak mulia. Pelaku
tasawuf berupaya memperbaiki akhlak dengan berpaling dari kehidupan dunia. Fokus
tasawuf berkaitan dengan tindakan batin. Secara hukum dalil tentang pengolahan batin
ini dapat merujuk pada Quran sebagai sumber tertinggi dalam hirarki Hukum Islam.
Allah menjelaskan dalam Quran Al-An’am 6:151 “Dan janganlah kalian mendekati
perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi”.
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa hendaknya manusia menjauhi perbuatan keji baik
perbuatan tersebut tampak, maupun perbuatan tersebut tersembunyi. Perbuatan jahat atau
sifat jahat yang tersembunyi adalah perbuatan yang tersimpan dalam hati dan jiwa setiap
manusia. Allah ingin agar amal-amal yang tersembunyi hilang dari tempat
persembunyiannya di dalam hati manusia.

3.2 Saran
Sebagai umat muslim sepatutnya untuk menghilangkan perilaku yang buruk dalam
diri, kemudian menghiasinya dengan akhlak yang mulia, sehingga terciptalah ketenangan
dalam diri seseorang. Kondisi kejiwaan yang stabil tersebut memberikan spirit dalam
berinteraksi dengan dunia kemodernan yang penuh dengan tantangan dan godaan. Selain
itu tasawuf juga berperan sebagai penyembuh terhadap kehampaan spiritual yang dialami
manusia modern.
DAFTAR PUSTAKA

Arrasyid, Arrasyid. "Konsep-konsep Tasawuf dan Relevansinya dalam Kehidupan." Jurnal


Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis 9.1 (2020).
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche: Suatu Pengantar
dengan Teks dan Gambar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 19.
Sulkifli, dkk. (2019). Peran Tasawuf Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Prosiding
Konferensi Nasional Ke- 7: Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi
Muhammadiyah Aisyiyah (APPPTMA), 173-179.
Baradja, Umar. (1993). “Bimbingan Akhlak”. Jakarta: Pustaka Amani.
Hamka. (2016). “Sejarah Tasawuf Islam dan Perkembangannya”. Kebumen: Republika.

Anda mungkin juga menyukai