Anda di halaman 1dari 5

TUGAS PSIKOLOGI ISLAM 3

KESEHATAN MENTAL MENURUT AL GHAZALI

Disusun Oleh :

Exsha Vividia R L 10050017114

Faizah Azzahra 10050017115

Hazar Rahmadianti 10050017116

Claviria Khairani O 10050017117

Mutia Farah Nur Rahmah 10050017118

KELAS C

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

BANDUNG

2019
KESEHATAN MENTAL MENURUT AL GHAZALI

Konsep Kesehatan Mental Menurut Al-Ghazali

Menurut Al-Ghazali, kondisi mental memang sangat menentukan dalam


kehidupan manusia. Hanya orang yang sehat mentalnya saja yang dapat merasa
bahagia, mampu, berguna dan mampu menghadapi kesukaran dan rintangan dalam
hidup. Apabila kesehatan mental terganggu akan tampak gejala dalam aspek
kehidupan, misanya perasaan, pikiran, kelakuan dan kesehatan.

Kesehatan mental ini seharusnya dibina sejak kecil, agar pertumbuhan


berjalan dengan lancar dan tidak ada gangguan untuk membina kesehatan mental,
baik pembinaan berjalan literatur sejak kecil atau pembinaan yang dilakukan
setelah dewasa dimana peranan agama sangat penting. Agama menjadi unsur
yang menentukan dalam perkembangan mental anak sejak kecil, apabila seorang
remaja atau dewasa tidak mengenal agama, maka kegoncangan jiwanya akan
mendorong kearah yang kurang baik. Firnan Allah dalam surat Ar-Ra‟d ayat 28-29
yang artinya:

“ Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dan mengingat


Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. Adapun
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bagi mereka kebahagian dan tempat
kembali yang baik.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa agama sangat berperan dalam pembinaan


mental khususnya bagi orang-orang yang beriman karena agamalah yang dapat
menenteramkan hati seseorang apabila manusia sedang mengalami kegoncangan
seperti stres, musibah dan sebagainya.

Al-Ghazali mememandang disposisi manusia (human nature) sebagai


sesuatu yang suci, kosong dan murni, dalam bahasa Arab disebut fitrah. Seperti
tokoh imajinatifnya Ibnu Thufail (1105-1185 M), Hayy bin Yaqdzan, yang hidup
tanpa manusia lainnya, ia berkembang menjadi manusia dengan mempelajari gerak
alam di sekitarnya.

Tentu saja, al-Ghazali tidak menafikan peran lingkungan terhadap


perkembangan kejiwaan seseorang. Perbedaannya, ia tidak memanggapnya sebagai
deterministik mutlak. Contohnya anak kecil, menurut al-Ghazali, hati anak kecil itu
bersih (al-thâhir) dan kosong dari segala inskripsi dan gambaran (khâliyah ‘an kulli
naqsy wa shûrah). Kekosongan itu dapat diisi dengan berbagai inskripsi yang
diberikan dan dapat diarahkan menuju kecenderungan tertentu.

Konsekuensi logis dari pandangan yang menyatakan bahwa disposisi


manusia itu fitrah (sesuai dengan hadits Nabi Saw) menjadikan pendidikan usia dini
memegang peranan penting. Tujuannya untuk mencegah kefitrahan itu dimasuki
hal-hal negatif. Atas dasar inilah Islam menghendaki umatnya membangun
masyarakat beradab dan berbudaya melalui pendidikan intensif yang menggarap
dua wilayah sekaligus, spiritual dan fisik (jiwa dan raga).

Al-Ghazali membagi penyakit manusia ke dalam dua kategori, penyakit


fisik dan penyakit spiritual. Dalam pandangannya, penyakit spiritual jauh lebih
berbahaya dibandingkan penyakit fisik, karena menghasilkan kebodohan dan
deviasi dari Tuhan, semacam penyakit kecanduan dihormati, hasrat kaya yang
berlebih, hasud, iri hati, takabbur, sombong, munafik, ujub, dengki dan seterusnya.

Cara Al-Ghazali dalam Pembinaan Kesehatan Mental Melalui Pembinaan


Akhlak

a. Mujahadah (Bersungguh-sungguh)

Mujâhadah menurut bahasa berasal dari kata Jahada, seakar dengan kata
Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan. Secara lebih
luas, mujâhadah adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi
hawa nafsu (keinginankeinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya
jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja
yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh perbagai pengetahuan yang
hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.

b. Tazkiyah An-Nafs

Tazkiyah secara etimologis mempunyai dua makna : penyucian dan


pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun-nafsi artinya
penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan
(tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma‟ dan sifat sebagai
akhlaqnya (takhalluq).

Tazkiyatun-nafs secara singkat berarti membersihkan jiwa dari


kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan
tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik
sebagai akhlaknya, disamping „ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan
membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan
kepada Rasulullah SAW

c. Riyadhoh (Latihan)
Riyâdhah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk
menyucikan jiwa dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan).
Proses yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan pembersihan atau
pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi
jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan berakhlak mulia. Pekerjaan
yang termasuk kedalam amalan riyâdhah adalah mengurangi makan,
mengurangi tidur untuk salat malam, menghindari ucapan yang tidak berguna,
dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan dengan orang banyak diisi dengan
ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan dosa.
Tujuan riyâdhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik
jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci. Karena itu, riyâdhah haruslah
dilakukan secara sungguhsungguh dan penuh dengan kerelaan. Riyâdhah yang
dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat
kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap
Allah Swt. Dan bagi seorang sufi riyâdhah merupakan sarana untuk
mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai
hakekat.

Selain pendapat di atas Metode terapi penyembuhan yang digunakan al-


Ghazali, untuk penyakit spiritual tersebut, adalah metode ‘berlawanan’ (opposite),
misalnya menyembuhkan kebodohan dengan belajar; menyembuhkan benci dengan
cinta; menyembuhkan takabbur dengan rendah hati. Metode penyembuhan tersebut
bersifat aplikatif, dengan kontemplasi ketat terhadap diri sendiri sebagaimana yang
dilakukan al-Ghazali ketika menghilang bertahun-tahun untuk menemukan terapi
paling tepat mengatasi penyakit hatinya.

Dalam studi kejiwaan, al-Ghazali memperkenalkan pendekatan excercise of


soul (pelatihan jiwa), disiplin moral, dan penyembuhan perilaku buruk. Teorinya
ini bisa dikatakan tidak meniru filosof sebelumnya. Ia memperkenalkan cara efektif
baru untuk memodifikasi perilaku manusia dan memperbaiki kecacatannya. Ia
merancang pendekatan ini karena mengendalikan jiwa bukan perkara mudah.

Ia sering mengeluh: “Never have I dealt with anything more difficult than my
own soul, which sometimes helps me and sometimes opposes me—aku tidak
pernah berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit dari jiwaku sendiri, terkadang ia
membantuku dan di lain waktu ia menentangku.”Al-Ghazali juga orang pertama
yang membedakan eksternal sense (panca indera luar) dan internal sense (panca
indera dalam). Panca indera luar adalah hidung, mata, telinga, lidah dan kulit.
Sedangkan panca indera dalam adalah hiss musytharik (akal sehat, common sense),
takhayyul (imajinasi), tafakkur (refleksi), tadzakkur (ingatan), dan hâfidz (memori).
Inner sense, menurutnya, berfungsi untuk membantu seseorang mempelajari
pengalaman masa lalu dan memproyeksikannya di situasi yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai