Anda di halaman 1dari 3

Jawaban no 3

MENGENAL 3 JENIS TASAWUF


Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak”, kata Nabi SAW. Misi irfan atau sufismenya kental sekali: penyempurnaan
atau kekeramatan akhlak (makarimal akhlak). Sementara tauhid (akidah) dan syariat
(fikih) hanya untuk membentuk dasar-dasarnya saja (dengan cara meyakinkan
manusia untuk percaya kepada adanya Allah, lalu memaksa mereka melakukan
berbagai ritual fisik untuk menyembah-Nya, walau Allah sendiri tidak pernah bisa
dirasakan kehadiran-Nya). Tasawuflah yang mengantarkan itu semua pada bentuk
yang sempurna.
Terkait dengan pembentukan akhlak, tasawuf itu terbagi tiga. Mulai dari tasawuf
falsafi (tasawuf teoritis), tasawuf akhlaki (adab tasawuf) sampai kepada tasawuf
irfani (suluk atau makrifatullah).
Pertama, “Tasawuf Falsafi” (Tasawuf Tauhid/Ontologi Tasawuf/Ilmu Tasawuf)
Ini jenis tasawuf yang sifatnya teoritis. Mirip dengan filsafat tauhid (kalam/teologi),
aktifitasnya mengkaji dan memahami hakikat dari eksistensi dengan cara yang unik.
Jika filsafat teologi berusaha memahami Tuhan secara rasional, tasawuf falsafi
mencoba menemukan bahasa akal untuk menjelaskan berbagai pengalaman mistis.
Sehingga lahir konsep-konsep semacam ittihad, wahdatul wujud, gradasi
wujud (isyraqiyyah), insan kamil, nur muhammad, tajalli, musyahadah, mukasyafah,
fana, baqa, serta terma-terma ilahiah dan kondisi-kondisi batiniah lainnya.
Tasawuf ini fokus pada kemampuan ‘aqliyah (berfikir), termasuk kajian dan baca-
baca kitab. Pekerjaan para murid mendengar tausiah bahkan diskusi. Yang disasar
adalah kesadaran kognitif (otak). Diharapkan, dengan banyak membaca dan
mendengar, para murid memahami ruang lingkup tasawuf.
Tasawuf ini tidak membawa murid sampai kepada Allah. Tasawuf ini hanya
membawa murid sampai pada level “mengetahui” berbagai filosofi tentang dirinya,
Tuhannya, dan alam semesta; serta relasi antara ketiganya.

Kata para arif: “1000 gelas anggur tidak akan memabukkan, sampai engkau
meminumnya. Pun 1000 kitab yang kau baca tidak akan membawamu kepada Tuhan,
sampai engkau bersedia menempuh jalan.” Oleh sebab itu, bertasawuf harus
melampaui kajian dan ceramah.
Kedua, “Tasawuf Akhlaki” (Tasawuf Syar’i/Fikih Tasawuf/Adab
Berguru/Etika)
Tasawuf ini berfokus pada birokrasi atau aturan-aturan formal untuk membentuk
sikap dan perilaku murid. Targetnya adalah perbaikan langsung moral dan etika.
Tasawuf ini menekankan pada adab lahiriah dan batiniah (ada yang menyebutnya
dengan “hadap”) dalam berguru. Sehingga terkenal aturan: “dahulukan adab
daripada ilmu”. Kalau sekedar berilmu, iblis lebih alim. Semua kitab sudah
dibacanya. Tetapi ia angkuh, merasa paling benar. Kepatuhannya kepada Allah tidak
ada.
Jadi, tasawuf akhlaki ini sudah bernilai praktis. Batin seseorang ikut dibentuk dengan
berbagai aturan dan kebijakan. Sehingga ia memiliki sifat jujur, adil, ikhlas, murah
hati, rajin, patuh, selalu dalam keadaan bersuci, dan lain sebagainya. Pola ketat
pendidikan akhlak ini ditemukan dalam jamaah sufi, atau disebut “tarekat”. Mereka
membentuk ahlus shuffah, kelompok-kelompok sosial dengan berbagai aturan dan
bentuk-bentuk kedisiplinan.
Untuk mencapai ini, sering ditemukan bentuk-bentuk ketaatan kepada ulil amri (guru
spiritual). Semua yang ingin menemui Allah diwajibkan ‘sujud’ kepada Adam (sebuah
objek wasilah atau kiblat material yang dalam dirinya terdapat entitas maksum
nurullah). Disinilah dalam tasawuf atau irfan dipercayai adanya nabi, imam-imam,
walimursyid, atau pembimbing ruhani.
Namun lagi-lagi, tasawuf ini tidak membawa murid sampai kepada penyaksian atau
merasakan langsung akan keberadaan Allah (musyahadah). Mereka hanya diajari
menjadi baik, merasakan seolah-olah Allah melihat mereka. Namun terbentuknya
dasar-dasar akhlak (hilangnya ego/keakuan) melalui adab dan
‘ubudiyah (penghambaan diri kepada Allah) dalam kelompok sosial, menjadi
prasyarat untuk sampai kepada Wajah Allah yang hakiki.
Ketiga, “Tasawuf Irfani” (Tarekatullah/Makrifatullah)
Inilah puncak atau jenis tasawuf yang dapat mengubah, mengembalikan manusia
kepada jati diri yang fitrah.

Antara hamba dengan Allah ada “jarak” yang memisahkan (hijab). Tasawuf ini
merintis jalan untuk kembali kepada Allah, ke asal yang suci. Ini yang disebut “mati
sebelum mati” (hadis). Sejak hidup di dunia harus ada usaha untuk sampai, terhubung
dan kembali menyaksikan-Nya. Sebab, jika di dunia kita buta, di akhirat juga begitu
(QS. Al-Isra: 72). Itulah pendakian ruhani atau disebut sayr (perjalanan) wa
suluk (bepergian). Disini ada yang namanya titik keberangkatan, tempat tujuan,
stasiun-stasiun (makam) serta kondisi-kondisi yang akan dialami (fenomena-
fenomena spiritual) selama perjalanan pulang.
Dalam tasawuf, roh manusia dipandang sebagai organisme hidup. Dari tahap lahir
hingga dewasanya, ia harus terus diberi “gizi” agar mengenal Allah. Perjalanan ruhani
adalah sebuah proses pendewasaan wadah spiritual ini, yang dimulai dari ritual taubat
sampai kepada berbagai bentuk dan jenjang meditasi (dzikir). Praktik tasawuf ini
terpusat pada aspek pensucian jiwa sehingga memungkinkan baginya untuk
melakukan perjalanan (mikraj) dari satu langit ke langit lainnya (ke berbagai maqam
para nabi), sampai kepada yang tertinggi. Pada praktik tasawuf inilah mulut harus
terkunci, akal dan logika juga diharuskan mati. Karena yang dihadapi adalah alam
yang sama sekali berbeda.
Dalam Alquran banyak suri tauladan yang sejak di dunia disebut-sebut sudah liqa
Allah (bertemu Allah), memperoleh wahyu atau ilham, dan berbicara dengan
malaikat. Termasuk pengalaman wisata ruhani Muhammad SAW ke “Sidratul
Muntaha” (makam musyahadah, fana dan baqa dalam pengetahuan laduni).
Tasawuf ini bersifat amali dan mesti dibimbing oleh seorang “khidir” atau “jibril”
yang sudah bolak balik ke alam ketuhanan. Mursyid harus seorang master yang
sempurna, dapat membaca persoalan, isi hati dan kebutuhan muridnya (kasyaf). Jika
tidak, muridnya bisa tersesat. Kalau tidak dibimbing oleh orang-orang seperti ini,
bisa-bisa di alam sana setanlah yang akan menyambut ruhani kita.
Anda harus berdoa untuk menemukan ‘urafa, guru-guru irfani atau para wali pewaris
nabi. Mereka sangat langka dan cenderung tersembunyi. Biasanya spiritualitas mereka
tinggi sekali, punya qudrah spiritual semacam mukjizat yang disebut “karamah”.
Kemampuan aneh mereka ini berada di luar nalar awam. Dalam kondisi tertentu,
mereka tidak terikat dengan hukum alam. Karena ruh mereka sudah berada di alam
ketuhanan, tidak terjebak lagi dengan materi, ruang dan waktu. Karena itulah jiwa
para murid dapat mereka bimbing dari alam material (jabarut) menuju alam
malaikat (malakut), sampai ke alam ketuhanan (rabbani).
Bukan cuma terletak pada guru yang mumpuni. Suksesnya perjalanan ini juga
tergantung pada kesungguhan si murid sendiri dalam melakukan olah
ruhani (riyadhah). Yang malas-malas tidak akan sampai kemana-mana. Akhlaknya
juga akan begitu-begitu saja. Sebab, inti dari tarekatullah adalah sungguh-sungguh
(mujahadah). Jika ditekuni, jiwa si murid akan sampai kepada sang Khalik, sehingga
terbentuk akhlak yang paripurna (kamil). Itulah gambaran kepribadian Muhammad
SAW, sosok sempurna, manifestasi (tajalli) dari keagungan
Allah. Rahmatallil’alamin terbentuk pada saat seseorang telah mengalami penyatuan
dengan-Nya.
Nabi Muhammad diutus Allah untuk membawa kita kepada tarekat, atau jalan
perbaikan akhlak yang pernah ia tempuh. Beliau sangat menginginkan kita untuk
mereproduksi pengalaman mistisnya. Alquran sendiri sebenarnya adalah kompilasi
pengalaman dan pengetahuan mistis Nabi. Sehingga banyak isinya
yang mutasyabihat, sulit dipahami, bahkan harus ditafsir-tafsir.

Anda mungkin juga menyukai